LOGINUcapan Selene membuat ruangan itu kembali hening.
Hanya detak jam dinding yang terdengar — satu-satunya saksi bahwa malam itu, sesuatu di antara mereka mulai berubah.
“Jika kau ingkari—” suara Selene menggantung di udara, dingin tapi bergetar oleh amarah yang ditahan.
Dirian menatapnya, matanya menyipit tajam.
“—kau tidak boleh menyentuhku,” ucap Selene akhirnya, tegas dan tanpa ragu.
Dirian menghela napas panjang, bahunya menegang.
“Jangan suka membuat janji dengan tubuhmu,” balasnya datar, tapi nadanya mengandung ancaman halus.
“Kenapa?” Selene membalas tatapannya, tidak mau kalah.
“Itu batas kesabaranku,&rd
Suara Selene pelan tapi jelas.Dirian menatapnya sebentar, rahangnya menegang. “Kau tidak usah mencampuri.”Ia lalu menarik pergelangan tangan Selene dan menuntunnya menaiki tangga menuju lantai atas.Selene menoleh ke arah Odet yang hanya berdiri di sisi ruangan.“Dia dokter keluarga kita. Kenapa jadi seperti ini?”Odet hanya mengangkat bahu tipis dan kembali menatap ke arah bawah, ke tubuh dokter yang kini diseret keluar oleh pengawal.“Masih banyak dokter yang setia. Istirahatlah. Jangan terlalu banyak berpikir,” ujar Dirian pelan, masih menggenggam tangan Selene erat, seolah takut dia akan hilang lagi.
“Jalang!”Kata itu meluncur dari mulut Viviene, diikuti teriakannya yang memecah udara.“KAU JALANG SIALAN!”Selene menunduk sedikit, menatapnya dari balik helai rambutnya yang jatuh di sisi wajah.Lalu tertawa — ringan, lembut, tapi tajam seperti belati.“Kalau kau ingin memanggilku begitu…”Dia menegakkan tubuhnya, menatap Viviene penuh kemenangan.“…pastikan kau mengucapkannya pada seseorang yang masih bisa diraih.”“Kau benar-benar sangat licik! Dirian pasti akan melihat wajah aslimu! Kau—”
Air mata jatuh dari mata Viviene, tapi kali ini bukan karena luka di wajahnya.Ia tahu—lelaki di hadapannya, yang dulu pernah lembut dan hangat padanya, kini sudah benar-benar menjauh.“Apa sekarang kau tidak malu memintaku berjanji,” suara Viviene serak, penuh getir dan kemarahan yang ditahan, “sementara selama ini kau juga seperti apa memperlakukannya?”Tatapannya menembus jeruji, penuh tuduhan dan luka lama.Dirian menatapnya dengan wajah dingin. “Tidak perlu membahas yang lain.”Viviene terkekeh pendek, sarkastik. “Tidak perlu? Sebelumnya kau tidak pernah masalah dengan apapun. Kalau pun dia mati, bukankah kau bilang kau akan menikahiku?”Dirian menatapnya lama, seperti tak percaya dengan kata-kata yang baru ia dengar."Kapan aku mengatakan hal itu?" Dirian menatapnya heran."Dirian kau bilang kau cinta aku!" teriak Viviene."Ak
Ada jeda hening. Kalimat itu mengandung sesuatu yang tak ia ucapkan—sesuatu yang membuat Dirian membeku sesaat.Odet mengepalkan tangannya. “Jangan pikirkan wanita itu, Selene, dia harus menanggung akibatnya.”Selene tersenyum lemah, suaranya nyaris tak terdengar.“Jangan sampai kau menyesal, Dirian,” ucapnya, menatapnya dalam. “Kau tahu apa yang aku maksud.”Hening panjang menyelimuti ruangan.Hanya suara api di perapian yang berderak pelan, seolah menahan napas bersama mereka.Odet akhirnya menarik napas panjang. Wajahnya masih dingin, tapi ada sedikit kelonggaran di sana. Melihat Dirian yang diam, d
“Yang Mulia, mohon, jangan bawa keluarga saya ke dalam masalah ini,” Count Moreau mencoba bicara, tapi Dirian langsung menatapnya dingin. “Masalah ini sudah membawa keluargamu sejak Viviene berani melakukan hal ini.” Semua orang menunduk. Beberapa bangsawan menutup mulut, berusaha menyembunyikan keterkejutan mereka. Odet menoleh pada Dirian. “Anakku, aku tidak akan biarkan ini berlalu begitu saja. Perintahkan penjaga untuk menahan wanita ini di ruang tunggu istana sampai kaisar sendiri memutuskan hukumannya.” “Ibu—” Dirian kaget dengan ucapan Odet. “Tidak ada tapi.” Tatapan Odet dingin. “Kau mungkin masih punya belas kasihan, tapi aku tidak.” Viviene menatapnya dengan mata penuh air mata, suaranya pecah, “Duchess, saya mohon...” “Berhenti menangis,” potong Odet dingin. “Air matamu tidak pantas ditumpahkan di lantai istana.” Dirian masih diam, tapi rahan
“Apa yang kau lakukan?!”Suara Dirian menggema keras, memenuhi balkon yang kini dikelilingi para tamu istana.Tangannya masih menggenggam kuat lengan Selene, menariknya ke atas dari tepian pembatas. Begitu memastikan Selene tidak terluka, ia menoleh tajam ke arah Viviene.“Dirian, aku—”“Lancang sekali dia memanggil Duke dengan namanya,” bisik seseorang di antara tamu.“Bukankah dia Lady Moreau? Pelakor itu?”Bisikan lain segera mengikuti, berdesir seperti angin tajam di antara kerumunan bangsawan.“Aku tanya, apa yang kau lakukan!” bentak Dirian lagi, suaranya menggema,







