LOGIN“Pilihan sulit yang mana? Aku memberimu pilihan yang mudah,” sanggah Damar meyakinkan. Semua akan mudah jika Diana mau menerimanya. Namun, sepertinya wanita keras kepala ini tetap sulit ditakhlukkan.
Meski saat ini Shanum sudah dalam genggamannya, nyatanya Diana masih saja berkelit. Memangnya, apa susahnya memilih salah satu? Tinggal berkata iya, semua selesai. Aman dan tenteram.Kalau masalah orang lain yang berkomentar, ah bukankah itu bisa diabaikan? Kebanyakan orang memang selalu berkomentar. Entah benar atau salah, semua selalu diprotes dan juga digunjing.Ingin menerapkan prinsip bodo amat dengan omongan orang lain, nyatanya Diana tak mau melakukan itu."Kamu keras kepala sekali, Diana. Pilihan itu mudah, tinggal katakan iya. Semua selesai. Aku tak perlu mendengar ucapan orang lain. Begitu pula kamu. Kamu ingat kan, Shanum membutuhkanku?" Tanyanya sambil membawa Shanum sebagai alasan.“Itu bukan pilihan yang mudah bagiku. Apa kamu tahu, menjadi wanita kedua“Diana! Diana!” “Keluar!” “Diana, aku—” “Keluar. Silakan cari bukti dan berikan padaku! Kalau sampai Mas gak bersalah, aku terima Mas. Kalau sampai Mas salah, aku pokoknya minta cerai!” “Oh ya ampun!” Damar menggerutu usai Diana menutup pintu gerbang setinggi 3 meter itu sambil berkata pada security. “Pak, jangan sampai Mas Damar masuk!” “Tapi, Nyonya. Saya—” “Bapak masih mau bekerja di sini atau tidak?” Ancaman Diana berhasil membuat sang security mengangguk penuh keterpaksaan. Matanya menatap Damar. Damar pun menatapnya, dan seolah ia mendapat kode agar menuruti perintah sang Nyonya. “Ma-masih, Nyonya.” “Ha, bagus! Kalau masih ingin bekerja di sini, turuti perintahku. Jangan biarkan Mas Damar masuk. Kalau dia masuk, tembak saja kakinya!” Terusir dari rumah sendiri, Damar mendengus sebal. Usai Diana menjauh meninggalka
“Diana, Diana kamu salah paham, Sayang. Diana, kumohon dengarkan aku!”Damar melompat dari sofa, jantungnya berdebar keras. Ia berlari mengejar Diana yang sudah berdiri di ambang pintu dan terlihat punggungnya bergetar hebat. Wanita itu menangis tergugu sambil berlari. Demi Tuhan, Damar takut terjadi sesuatu pada kandungan istrinya saat ini!“Jangan berlari, Sayang. Kumohon jangan lari!” Diana pun enggan mendengarkan. Kedua bola matanya sembab, ia menatap suaminya dengan tatapan penuh luka serta amarah.Diana baru percaya pada pria itu sekitar dua tahun kalau Damar tidak lagi bermain wanita. Tapi, apa kenyataannya?Pria bergelar suaminya itu justru mengkhianatinya, dan bahkan selingkuhannya sampai hamil!Apa-apaan ini? Jadi selama menikah dengannya, Damar sudah berse-tu-buh dengan wanita lain? Ya ampun! Tak cukupkah rasa sakit di masa lalu yang ditorehkan pria itu untuknya?Diana tak habis
"Tuan Damar, kondisi kehamilan istri Anda sangat baik. Perkembangannya sesuai dengan usia kehamilan dan janinnya sehat. Mohon tetap kurangi aktivitas berat, ya. Usahakan untuk rutin berolahraga ringan seperti yoga, senam hamil, atau sekadar jalan pagi atau sore di sekitar rumah." Setelah melakukan pemeriksaan awal dan USG, dokter berhijab merah maroon itu menatap Damar dan Diana dengan senyum lembut. Ia menjelaskan setiap detail yang dia periksa tadi serta memberikan saran. "Baik, Dok." sahut Damar. Kini, bola matanya masih fokus menatap layar monitor USG dengan tatapan penuh haru. Ia melihat janin kecil yang tampak begitu menggemaskan. Ia harus bersabar beberapa bulan lagi kini. Lalu, Damar bertanya saking penasarannya. "Kalau untuk jenis kelaminnya bagaimana, Dok? Apakah sudah bisa terlihat?" Dokter menggerakkan transduser ke sisi kiri dan kanan perut Diana, mencoba mencari petunjuk. “Belum
"Mau apa dia ke sini?" gumam Damar dalam hati. “Apa dia juga melakukan USG?” Matanya membulat tak percaya. Sosok yang ia temui di depan ruang USG tak lain dan tak bukan adalah Raline. Jantungnya berdebar kencang, firasat buruk mulai menghantuinya. Jujur, Damar takut apa yang ia pikirkan akan terjadi. Di depannya, Raline tersenyum sinis sambil memamerkan hasil USG. Seolah-olah tengah mengejeknya dengan gambar hitam putih itu.Bibir Raline tak berkata apa-apa, tapi seolah mengucapkan, “Hai, Pak Damar. Benihmu telah hadir di rahimku!”Pikiran Damar pun bercabang, “Apa yang dilakukan wanita itu? Apa dia berniat menjebakku lagi dengan ini? Oh, ini gak boleh terjadi. Aku harus mencegahnya?”Pada saat yang sama, Raline pun tak berkata apa-apa. Wanita bertubuh ramping dengan balutan kaos crop top hitam dan celana baggy pants cream itu hanya menyeringai dingin.Seringai itu menusuk tepat di jantung Damar, membuatnya membeku se
"Ya udah, ayo deh. Terus, Sagara gimana nanti, Mas? Masa kita tinggal enak-enak, tapi dia belum tidur sih,” tanya Diana sedikit khawatir. Jujur saja Diana tak suka suaminya meminta jatah saat Sagara masih terjaga. Pernah saat itu, saat mereka hendak mencapai puncak.Lalu, Sagara menangis kencang hingga Diana tak terpuaskan sebab Damar menghentikan semuanya. Ia tidak mau rengekan Sagara mengganggu Damar pun menanggapi dengan santai. "Biarin main di kamar dulu, Sayang. Asal di bawah, nggak masalah. Kita nggak takut dia jatuh, ‘kan?" jawab Damar sambil tersenyum nakal. “Ya udah ayo! Tapi sebentar aja, ya?” “Iya. Cuma 10 menit!”Akhirnya, Diana tak mampu menolak godaan suaminya. Ia berpamitan pada anak dan keponakannya untuk naik ke lantai atas sebentar. Sesampainya di kamar, Damar langsung menyerbu Diana tanpa peduli Sagara masih terjaga di dekat mereka. "Eumh, Mas ...." Diana mendesah dan melenguh saat Dama
“Assalamualaikum.”“Walaikum salam. Mas, baru pulang?”“Em.” Pukul 8.30 malam, Damar kembali dari pekerjaannya. Begitu tiba di ruang tamu, matanya langsung tertuju ke sisi ruangan. Di sana, keponakannya—Claudia—sedang belajar bersama Diana dan Shanum. Sagara juga ada, tampak aktif bergerak ke sana kemari. Buku-buku dan mainan berserakan di atas karpet, menciptakan pemandangan yang hidup. Keceriaan terpancar dari wajah mereka, tawa kecil sesekali terdengar, membuat hati Damar merasa tenang dan damai."Iya, Sayang, baru saja sampai rumah,” jawab Damar. Kemudian, pandang ia alihkan pada Sagara yang berjalan riang ke arahnya. “Hm, anak Ayah sudah kangen, ya?" “Tentu aja, Yah!” celoteh Diana seperti suara anak kecil. Lalu, Diana tersenyum sambil menuntun Sagara mendekat, "Sini, Nak, ikut Ayah, yuk." Begitu Sagara mencapai kakinya, Damar segera meletakkan tas laptop dan jasnya di lantai. Ia be







