Damar menghela napas dalam penuh beban. “Kalau iya, memangnya kenapa? Aku sengaja melakukan itu dengan Carol! Supaya kamu nggak pergi dan mau menikah denganku,” ujarnya tanpa raa bersalah.
“Cara kamu murahan, Pak! Jujur, aku kecewa berat sama kalian berdua. Kalian nggak punya hati memang. Kenapa harus aku yang kalian jadikan korban? Apa Bapak pikir, memiliki anak tanpa nasab kepada ayahnya itu enak? Enggak, Pak!" Diana menatap nanar. Dia menelisik wajah berwibawa namun berotak dangkal. Sangat dangkal sampai tak berpikir panjang jika kejadian Shanum dulu yang hadir tanpa diminya harus terulang. Dia tak mau memiliki anak di luar pernikahan.“Karena kamu harus tahu kalau aku mencintaimu tulus.” Damar mengucap pasrah. Dia sudah hilang akal dan tak tahu lagi, harus bagaimana meluluhkan hati Diana.“Cinta? Omong kosong! Aku rasa itu hanya obsesimu seperti dulu, Pak. Bukan cinta! Ah ... Entahlah. Semenjak kejadian Nyonya Helen datang, Mama Mayang yang tiada dan semua kejadian iCukup lama mereka berbincang di dekat sekolahan Shanum hampir 30 menit lamanya. Sampai pada akhirnya, Diana berpamitan terlebih dahulu karena mempunyai urusan yang tidak bisa ditinggalkan."Udah ya, gue cabut dulu, Hans. Ada urusan yang harus gue lakuin.” ujar Diana berjalan meninggalkan Hans yang sedang terbengong. Dia ada urusan di Laundry nya dan harus membeli kebutuhan di mall.***Diana sampai di sebuah laudry rumahan— yang menyatu dengan rumah kecilnya— setelah berbelanja di mall selama 3 jam. Dia berjalan selepas memarkirkan kendaraan di depan rumahnya.“Nona, ada kiriman bunga tuh dari someone. Ciye ... Gak jomblo lagi nih ye?” ujar salah satu karyawan saat Diana baru saja sampai.Diana melipat dahi. “Dari siapa?” tanya nya.“Nggak tahu. Dari kurir yang mengantarkan kemari,” sahut Mina sambil menggelengkan kepala.“Ah, baiklah.” Diana menerima bunga mawar berjumlah puluhan berbentuk love tersebut. Tidak ada nama oengirim, jadi dia menyimpulkan pas
Laki-laki yang menggunakan jaket jeans dan juga kaos putih polos tersebut menatap Diana dengan lekat. Memperhatikan dengan seksama, apakah yang dilihat oleh nya saat ini bukanlah kemiripan semata? Tetapi saat memperhatikan tattoo berada di pergelangan tangan kiri wanita itu, Hans yakin jika itu Diana.“Diana! Ini loe beneran Diana?” tanya Hans— teman sekolahnya dulu.“Hans? I— iya. Ini gue, Hans.” Diana menjawab santai. Dia melirik ke samping. Dua anak kembar Hans berjenis kelamin perempuan itu mungkin juga sekolah di sini.Lantas, mana ibunya? Apa Hans sudah berpisah?“Nggak nyangka gue ketemu lo di sini. Nganterin ... Siapa? Gue nganterin twins nih, masih di PAUD.” kekeh Hans menunjuk putri-putrinya.“Anak gue. Di kelas TK A.” Diana menjelaskan.Setelah membiarkan putri kembarnya masuk ke dalam halaman sekolah, Hans sedikit macet Diana melipir ke sebuah tempat duduk yang terletak tidak jauh dari sana.Di bawah pohon ri
Damar menghela napas dalam penuh beban. “Kalau iya, memangnya kenapa? Aku sengaja melakukan itu dengan Carol! Supaya kamu nggak pergi dan mau menikah denganku,” ujarnya tanpa raa bersalah.“Cara kamu murahan, Pak! Jujur, aku kecewa berat sama kalian berdua. Kalian nggak punya hati memang. Kenapa harus aku yang kalian jadikan korban? Apa Bapak pikir, memiliki anak tanpa nasab kepada ayahnya itu enak? Enggak, Pak!" Diana menatap nanar. Dia menelisik wajah berwibawa namun berotak dangkal. Sangat dangkal sampai tak berpikir panjang jika kejadian Shanum dulu yang hadir tanpa diminya harus terulang. Dia tak mau memiliki anak di luar pernikahan.“Karena kamu harus tahu kalau aku mencintaimu tulus.” Damar mengucap pasrah. Dia sudah hilang akal dan tak tahu lagi, harus bagaimana meluluhkan hati Diana.“Cinta? Omong kosong! Aku rasa itu hanya obsesimu seperti dulu, Pak. Bukan cinta! Ah ... Entahlah. Semenjak kejadian Nyonya Helen datang, Mama Mayang yang tiada dan semua kejadian i
Sejak semalam, Shanum menginap.di rumah ayahnya. Gadis kecil itu bangun pagi pagi sekali.Selepas sarapan bersama, dia memang menunggu Diana di ruang tamu. Membersamai Mama Carol dan Ayahnya Damar yang sedang berbincang sejenak.Tin! Tin!"Itu pasti ibu!" Shanum bersorak. dia segera berlari menuju ke depan.Carol dan Damar yang melihatnya pun kemudian turut keluar dari rumah dan menyambut Diana."Ibu!" sapa Shanum."Hai, Kesayangan. Udah cantik. Udah siap sekolah, kan?" Tanya nya yang kemudian tersenyum canggung ke arah Damar dan Carol."Masuk dulu, Di. Tadi bibi masak kesukaannya mereka nih, perkedel sama ayam kecap." Caroline mengajak Diana ke dalam."Nggak usah, Mbak. Tadi udah sarapan di rumah. Mau langsung aja nih. Udah setengah delapan lebih soalnya. Takut telat. Tadi masih ngurus urusan rumah dulu soalnya," ujar Diana menolak dengan lembut. Hampir saja dia keceplosan menyebut usaha laudrynya. Ya, selama i
“Ya, tapi aku yang juga merawat Mama dan ikut mengembangkan perusahaan, jadi aku tetap memiliki andil.”“Tante tidak setuju, Mar. Pokoknya semua harta mama kamu, itu milik kami. Kamu anak wanita lain, jadi tidak berhak sama sekali!” tukas Om Beni berapi-api.“Tante dan Om slow aja dong. Kenapa sepertinya kalian ingin terburu-buru sekali? Bahkan, Mama saja baru pergi kurang dari 10 jam. Pantaskah kalian semua menuntut seperti itu di saat kamu sedang berduka cita?” cibir Damar. Dia memang tak akur sejak dulu.“Kami sudah datang jauh-jauh dari luar kota. Setidaknya hargai kehadiran kami!” sarkas Tante Mayang.“Dan setidaknya hargai juga perasaan kami yang masih berduka, Tante, Om!” ucap Damar menyanggah dengan nada tinggi.“Omong kosong! Ini nih, orang yang tidak tahu diri. Dulu saja saat masih hidup tidak mau disuruh untuk membagi harta. Dan sekarang, kamu malah mempersulit kami. Mau kamu apa sih, Mar? Mau nguasain harta yang jelas-jelas akan menjadi milik kami, ha
Matahari mulai meninggi. Mama Maya dipastikan telah tiada. Damar, Diana dan Carol tak hentinya menderaikan air mata.Usai mengurusi semua administrasi dan juga persiapan kepulangan Mama Maya, Damar meminta semua anggota keluarga untuk berkumpul di rumahnya dan langsung mempersiapkan pemakaman.Pukul 14.00 siang, semuanya sudah siap diberangkatkan dari rumah sakit menuju pemakaman. Damar dan Carol berada dalam satu mobil. Sementara Diana, dia pulang lebih dulu bersama sopir pribadi untuk memulang kan Shanum...Sirine yang terdengar dari mobil ambulance sangat memilukan. Damar dan Carol menunggu di dalamnya. Tidak ada sepatah kata yang terlontar, melainkan hanya air mata yang terus aja berjatuhan tanpa isak tangis.“Sabar, Mas.” Caroline mengusap punggung suaminya dan berusaha untuk menenangkan.“Mama pergi disaat Diana sudah mau kembali padaku, Dek. Bahkan, Mama belum sempat melihat adiknya Shanum nanti.” Damar membalas pelukan sang istri. Dia