Isabella melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, menuju pusat perbelanjaan. Hari Minggu menjadi waktu yang tepat baginya untuk mengisi stok persediaan kulkas dan barang-barang rumah tangga lainnya.
Di perjalanan, Isabella mencoba menghubungi Nathaniel melalui perangkat telepon mobilnya, namun panggilannya tidak kunjung terhubung. Sebenarnya Isabella ingin mengajak Nathaniel untuk berbelanja bersama, jika pemuda itu bersedia. Namun setelah beberapa kali menghubunginya, panggilan Isabella tidak tersambung juga.
“Mungkin dia sedang sibuk,” pikir Isabella lalu kembali fokus pada jalanan di depannya.
Tetapi tiba-tiba, dia melihat sosok Nathaniel yang berjalan sempoyongan di trotoar. Kedua mata Isabella terbelalak kaget. “Nate?” serunya kebingungan.
Isabella segera menghentikan mobilnya, lalu bergegas turun dari mobil. Langkahnya terburu-buru menuju Nathaniel yang masih melangkah gontai di tepi trotoar. “Nate!”
Isabella menarik lengan pemuda itu
Senja mulai turun, membawa suasana yang semakin dingin di udara. Nathaniel keluar dari kamar mandi dengan jubah mandi berwarna putih yang melingkari tubuhnya. Saat melangkah menjauh dari kamar mandi, tatapannya terarah pada Isabella yang sedang mencuci mangkok kotor di wastafel. Yang membuat Nathaniel merasa heran adalah karena Isabella terdiam dan membiarkan air terus mengguyur mangkok di tangannya meski pun sudah bersih, sementara kedua mata gadis itu terlihat menerawang— seolah memikirkan sesuatu. “Isabella, itu sudah bersih,” tegur Nathaniel. Isabella tersentak dan baru menyadari jika dia baru saja tenggelam dalam lamunan. Isabella buru-buru mematikan keran, kemudian meletakkan mangkok di rak. Isabella menoleh pada Nathaniel sembari berusaha tersenyum, “Kau sudah selesai mandi?” Nathaniel mengangguk. Setelah mandi air hangat, wajah pemuda itu terlihat lebih segar— meski Isabella tetap bisa melihat kabut keresahan di matanya. Sebelumnya, Nathaniel
Selama dua hari penuh, Nathaniel dan Isabella sibuk menata dan mendekorasi flat yang baru saja disewa. Mereka berdua bekerja keras, mencoba membuat ruangan tersebut menjadi tempat yang nyaman dan menyenangkan untuk ditinggali. Setelah waktu yang cukup lama berlalu, flat yang disewa Nathaniel sudah tertata rapi dan nyaman. Isabella mengusapkan jari-jarinya di atas permukaan meja kayu yang baru saja mereka letakkan di tengah ruang. “Kurasa ini sudah cukup nyaman,” kata Isabella. “Meski menurutku, tinggal di rumah Elena akan jauh lebih nyaman.” Nathaniel terdiam sejenak, mencerna kata-kata Isabella. “Mungkin kau benar,” kata Nathaniel setelah beberapa saat. “Tapi jika aku tiba-tiba pindah, Elena pasti akan heran dengan apa yang terjadi. Apa kau pikir aku bisa mengatakan yang sebenarnya soal Paman Julian?” Isabella melihat ada kesedihan di mata Nathaniel. Dia tahu bahwa meski Nathaniel kecewa pada Julian, pemuda itu sulit untuk melupakan kedekatannya dengan pria
Nathaniel memasuki flatnya dengan langkah yang cepat, lalu segera menyalakan lampu. Ruangan terasa hening, dan keheningan itu menggetarkan dadanya. Adegan-adegan dari film horor yang baru saja ditonton masih menghantui pikirannya, membuat Nathaniel merasa agak gugup. Dia menyesali keputusannya untuk menonton film horor. Seharusnya tadi dia mengabaikan ledekan Isabella, daripada harus terbayang-bayang wajah-wajah seram yang terpampang di layar. Sekarang, dia meragukan keberaniannya untuk pergi ke kamar mandi jika nanti dia ingin buang air. Dengan napas yang naik turun, Nathaniel memutuskan untuk memasuki kamar barunya yang tidak terlalu besar. Di dalam kamar, hanya ada tempat tidur single dan sebuah lemari kecil yang masih kosong. Semua pakaiannya masih tertinggal di rumah Julian, dan dia masih belum tahu kapan akan mengambilnya. Teringat Julian, sedikit mengalihkan pikirannya dari bayang-bayang ngerinya adegan-adegan film. Nathaniel duduk di ujung te
Isabella sedang berbelanja di supermarket, mendorong troli di sepanjang lorong-lorong yang dipenuhi dengan berbagai produk. Tiba-tiba, ponselnya berdering, memecah keheningan suasana. Dia menghentikan langkahnya dan segera meraih ponsel yang terletak di saku celananya. Di layar ponselnya, Isabella melihat nama ‘Elena’ memanggil. Isabella tersenyum melihat panggilan dari ibu Nathaniel dan segera menjawab panggilannya. “Halo, bibi,” sambutnya dengan hangat. “Halo, Bella. Apa hari ini kau sedang sibuk?” Suara Elena terdengar lembut di ujung telepon. “Tidak juga, Bibi. Aku sedang belanja kebutuhan dapur,” jawab Isabella sambil melanjutkan langkahnya di antara rak-rak di supermarket. “Ku dengar dari Nate, katanya kau pandai memasak,” ucap Elena, mencoba memulai percakapan. Isabella tersenyum tersipu, “Benarkah Nate yang mengatakannya? Di depanku dia tidak pernah sekali pun memuji masakanku.” “Dia memang seperti itu, kau tidak usah kaget,” j
Nathaniel dan Isabella memasuki flat, langkah mereka bergema di ruang yang sepi. Isabella segera melepas mantel dan syalnya, lalu menggantungnnya pada sandaran kursi. Sedangkan Nathaniel berjalan menuju dapur, berniat untuk membuatkan kopi untuk Isabella.“Aku lapar,” ujar Isabella tiba-tiba.Nathaniel memutar kepalanya untuk kembali menatap gadis itu, lalu mencoba memikirkan opsi terbaik. “Apa sebaiknya kita keluar untuk mencari makanan?” tawarnya.Isabella menyelipkan tangannya ke dalam saku celananya, mengangkat bahu dengan nada ragu. “Kau tidak punya apa pun untuk dimasak?” tanyanya.Nathaniel menggelengkan kepala. “Kau tahu sendiri, aku baru pindah ke sini, terlebih aku sama sekali tidak memiliki skill memasak. Jadi, untuk apa aku menyimpan bahan masakan?” jelasnya.Isabella mendesah kecil, bibirnya melengkung ke bawah. “Bagaimana caramu bisa bertahan jika suatu hari terdampar di h
Isabella merasa lega melihat hubungannya dengan Nathaniel semakin dekat setiap harinya. Pekerjaannya di BelleVue Books juga berjalan lancar. Ia menulis novel dengan begitu mengalir, dan semua itu tentu berkat bantuan dan dukungan dari Nathaniel. Semua tampaknya berjalan baik-baik saja, dan Isabella merasa bahagia dengan arah hidupnya saat ini. Namun, sangat disayangkan karena Isabella terlalu terlena dengan kehidupan yang damai sebelumnya. Hingga dia tidak siap saat melihat guncangan yang ada di hadapannya. Dan saat ini, Isabella tercengang cukup lama saat melihat ponselnya, memerhatikan headline beberapa portal berita dipenuhi dengan kabar tentang keluarga Alexander. Di antara judul-judul yang memenuhi internet, semuanya didominasi oleh informasi tentang Elena Alexander—yang ternyata adalah ibu kandung Nathaniel, bukan kakak Nate seperti yang selama ini diketahui oleh publik. Yang membuat Isabella tercekat adalah banyaknya berita yang melebih-lebihkan dan t
Setelah beberapa hari belalu, Nathaniel memilih untuk mengabaikan segala yang tertulis dan tersebar di internet. Meskipun Elena telah melakukan konferensi pers dan menjelaskan segalanya, media tampaknya tidak puas dan terus menggoreng pembahasan tentang keluarga Alexander. Yang paling menyedihkan dari semua berita di media adalah munculnya foto-foto Nathaniel yang dijebak oleh Jane sebelumnya. Foto-foto itu tidak hanya merusak reputasinya, tetapi juga menggiring persepsi buruk terhadapnya di mata publik. Isabella penasaran siapa sebenarnya yang menyebarkan foto tersebut, mengingat jika Henrik sudah mendekam di tahanan. Isabella semakin gelisah melihat Nathaniel harus menerima hujatan dari netizen setiap hari, sementara dia sendiri merasa tidak bisa berbuat banyak untuk membantu. Yang bisa Isabella lakukan saat ini hanya memberikan Nathaniel lebih banyak perhatian, meyakinkan pemuda itu jika dia tidak sendiri menghadapi semua masalah di hadapannya. Saat ini, Nathaniel
Isabella dan Nathaniel berhenti berlari saat mereka tiba di salah satu lorong jalanan yang sepi. Setelah memastikan situasi aman, Isabella menoleh pada Nathaniel lalu membantunya duduk di salah satu emperan toko yang tutup. Pemuda itu terlihat kacau, darah terus mengalir dari kepalanya, wajahnya pucat dan sekujur tubuhnya gemetar. Isabella segera menyingkirkan rambut Nathaniel dari wajahnya, mencoba untuk melihat keadaannya dengan lebih jelas. Melihat napas Nathaniel yang tersengal-sengal, Isabella semakin khawatir. “Nate, bagaimana perasaanmu?” tanya Isabella cemas. “Kurasa kita harus cepat pergi ke rumah sakit, kau masih sanggup jalan? Kita terpaksa ambil jalan memutar, karena di depan masih banyak massa yang mengamuk.” Isabella menggenggam tangan Nathaniel dengan erat. Nathaniel tak menganggapi ucapan Isabella, kepalanya menunduk— dia seolah masih sibuk mengatur napasnya sendiri. Isabella makin cemas melihat itu. “Nate? Apa yang kau rasakan? Apa kau sulit bernapas