LOGINRuangan itu kembali sunyi setelah pintu menutup, sepi yang bukan sekadar ketiadaan suara, melainkan sejenis pengosongan yang menempel pada dinding dan lantai. The Ghost berdiri beberapa saat di ambang pintu, tangan masih menjari gagang, lalu melangkah kembali ke meja. Ia menatap gelas bourbon yang selama ini tidak tersentuh. Jejak jarinya di bibir gelas itu tampak samar dalam gelap, seperti tanda yang menunggu untuk diartikan. The Ghost mengangkat gelas itu perlahan, bukan untuk menenggaknya, kebiasaan, atau ritual kecil untuk memastikan bahwa pilihan masih ada, lalu meletakkannya kembali. Di dalam sakunya ada sesuatu yang lebih penting, sebuah paket kecil yang ia tarik keluar dengan gerakan halus. Bungkusan kertas cokelat, pita hitam, tak ada label, hanya bau keringat manusia dan minyak mesin yang menempel sebagai kesaksian hidupnya yang berkelana di lorong-lorong gelap kota.Ia duduk. Meja baja memantulkan sedikit senyumannya yang kering. Dengan teliti The Ghost
Ruangan itu seperti perut malam yang menelan cahaya. Dinding-dindingnya hitam, bukan sekadar warna cat, tapi seperti menelan segala pantulan, membuat udara terasa berat. Di tengah ruangan, hanya ada meja baja tanpa pantulan dan dua kursi. Di atas meja, segelas bourbon yang belum disentuh, dingin seperti niat di balik pertemuan ini.Suara langkah muncul dari lorong panjang. Tak terburu-buru, tapi juga tidak malas, ritme terukur dari seseorang yang tahu betul siapa dirinya. The Ghost duduk, menunggu. Tubuhnya condong sedikit ke depan, jari-jari mengetuk pelan permukaan logam. Ketika pintu terbuka, cahaya dari luar hanya menampakkan siluet seseorang sebelum segera tertelan gelap lagi.“Sudah lama,” suara itu berat, datar, tapi penuh nada sindiran halus.“Belum cukup lama,” jawab The Ghost tanpa menoleh. “Waktu di dunia ini terlalu murah untuk disebut lama.”Orang misterius itu tertawa pendek. “Kau masih sama. Dingin. Sok tahu. Dan selalu berbicara seolah dunia ini di bawah kakimu.”“Buka
Rafael keluar dari mobilnya, mantel panjangnya berkibar ditiup angin malam. Marco berjalan di belakang, masih dengan perban di pelipis. Setelah pertemuannya dengan Marchetti, ia memutuskan ke klub malam miliknya. “Sudah lama kau tidak datang ke sini, Don,” ucap Marco. Rafael hanya menjawab dengan anggukan pelan. Asap rokoknya terhembus, memudar di udara. Di dalam, klub itu tidak seramai biasanya. Musik lembut dari piano mengalun, samar di antara percakapan pelan dan gelas-gelas yang saling beradu. Lampu-lampu gantung menyorot lembut, memantulkan cahaya ke dinding. Rafael melangkah masuk. Semua mata langsung menunduk. Para pelayan yang mengenalinya bergerak cepat, satu mengambil mantel, satu lagi menuntunnya ke meja pribadi di lantai atas, tempat biasa ia duduk. Namun langkahnya terhenti sebelum sampai ke tangga. Di panggung kecil di ujung ruangan, di bawah sorot cahaya biru muda, seorang wanita duduk di depan piano. Elena. Jari-jarinya menari di atas tuts, lembut nam
Di luar, pelabuhan sudah dikepung orang-orangnya. Puluhan pria berpakaian gelap bergerak tanpa suara, menyebar di antara peti-peti kontainer seperti bayangan yang sedang berburu. “Pastikan tidak ada yang keluar hidup-hidup,” ucapnya datar. Salah satu anak buahnya pun menjawab, “Siap, Don.” Rafael menatap ke luar. Dari kejauhan, api kecil menyala, lalu meledak. Kontainer pertama terbakar, disusul ledakan kedua di sisi kiri dermaga. Suara tembakan mulai terdengar, bersahut-sahutan, memantul di antara dinding logam. Ia tersenyum kecil. “Sudah dimulai.” Marco duduk di belakang, kepalanya masih mengeluarkan darah segar, tapi matanya tajam. “Mereka pikir bisa menyentuh pelabuhan kita begitu saja.” “Tidak,” jawab Rafael. “Mereka pikir aku akan diam.” Di tangan kirinya, ia memegang pistol kecil. Di tangan kanan, sebatang rokok yang masih menyala. Asapnya menari-nari di udara dingin. Dua orang anak buahnya mendekat. “Don, mereka bersembunyi di gudang tiga. Sekitar delapan orang.
Waktu berjalan cepat, tapi bukan berarti Rafael berhenti. Sudah dua minggu sejak pencurian itu.Dan sejauh ini, nihil. Tak ada jejak. Tak ada nama.Semua anak buahnya seperti menabrak dinding yang tak terlihat.Rafael berdiri di ruang bawah tanah miliknya, memandang lampu-lampu yang berkelap-kelip. Asap rokok di tangannya menari, tipis, lalu menghilang diterpa angin. Di depan pintu, dua orang anak buahnya sedang menyeret seorang pria bertubuh gemuk ke tengah ruangan. Mulut pria itu ditutup lakban, tangannya diikat dengan tali plastik. Tubuhnya penuh debu dan keringat.“Buka,” kata Rafael datar.Salah satu anak buahnya merobek lakban itu. Pria gemuk itu langsung terbatuk, hampir tersedak udara.“Don Rafael, saya—”“Diam,” potong Rafael.Nada suaranya pelan, tapi mengandung sesuatu yang membuat semua orang di ruangan itu menelan ludah.Rafael menurunkan tubuhnya sedikit, menatap langsung ke mata pria itu. Tatapannya dingin. Datar. Tak ada amarah, tapi justru itulah yang paling menakutka
Malam itu vila Rafael di tepi pantai Amalfi berkilau seperti istana para dewa. Lampu kristal bergantung di langit-langit tinggi, cahaya keemasan memantul di dinding kaca, sementara musik elektronik berdenyut menembus udara. Lantai marmer dingin dipenuhi jejak langkah tangannya. Model, bintang televisi, pengusaha yang haus sensasi, dan wanita-wanita muda yang datang hanya untuk menjadi bagian dari pesta sang Don.Di halaman belakang, kolam renang memantulkan cahaya bulan. Alkohol mengalir seperti sungai. Sampanye, bourbon, vodka, semua dituang tanpa henti. Tawa keras bercampur dengan desahan, tubuh-tubuh menempel, dan aroma parfum bercampur dengan bau tembakau mahal.Namun di tengah kegaduhan itu, Rafael duduk di kursi kulit hitam di ruang utama vila. Wajahnya tetap dingin, matanya kelam, menatap kerumunan tanpa benar-benar melihat. Ia menyalakan cerutu, mengisapnya dalam-dalam, lalu membuang asapnya dengan gerakan lambat.Semua ini seharusnya menghiburnya.Tapi tidak.Sejak malam di k







