Mag-log inMalam itu vila Rafael di tepi pantai Amalfi berkilau seperti istana para dewa. Lampu kristal bergantung di langit-langit tinggi, cahaya keemasan memantul di dinding kaca, sementara musik elektronik berdenyut menembus udara. Lantai marmer dingin dipenuhi jejak langkah tangannya. Model, bintang televisi, pengusaha yang haus sensasi, dan wanita-wanita muda yang datang hanya untuk menjadi bagian dari pesta sang Don.
Di halaman belakang, kolam renang memantulkan cahaya bulan. Alkohol mengalir seperti sungai. Sampanye, bourbon, vodka, semua dituang tanpa henti. Tawa keras bercampur dengan desahan, tubuh-tubuh menempel, dan aroma parfum bercampur dengan bau tembakau mahal. Namun di tengah kegaduhan itu, Rafael duduk di kursi kulit hitam di ruang utama vila. Wajahnya tetap dingin, matanya kelam, menatap kerumunan tanpa benar-benar melihat. Ia menyalakan cerutu, mengisapnya dalam-dalam, lalu membuang asapnya dengan gerakan lambat. Semua ini seharusnya menghiburnya. Tapi tidak. Sejak malam di klub, sejak tatapan Elena Vetrova menembus dirinya tanpa rasa takut, Rafael tidak lagi sama. Ia membenci kenyataan itu. Ia menyalakan lonceng kecil di meja. Seorang pelayan segera mendekat, menunduk hormat. “Bawa dua perempuan itu,” Rafael memberi isyarat dengan dagunya. Pelayan itu mengerti. Dari kerumunan, ia memilih dua wanita: seorang berambut pirang bergelombang dengan gaun perak ketat, dan seorang berambut hitam panjang, bibir merah menyala. Mereka berjalan ke arah Rafael, pinggul mereka bergoyang seperti undangan tak tertolak. Rafael bangkit, tanpa berkata apa pun, lalu melangkah menuju lantai atas. Kedua wanita mengikutinya dengan langkah ringan, tawa menggoda mereka memecah riuh pesta. ••• Kamar utama vila itu luas, dindingnya dihiasi lukisan, lampu gantung kristal menyorot ranjang king-size dengan sprei satin hitam. Jendela terbuka ke arah laut gelap, ombak terdengar samar di kejauhan. Rafael melepas jasnya, meletakkannya di kursi. Ia membuka dasinya dengan gerakan kasar, lalu menoleh ke dua wanita yang kini berdiri di tengah ruangan. “Lepaskan gaun kalian.” Tanpa ragu, mereka menurut. Kain jatuh ke lantai, memperlihatkan tubuh mereka yang terawat sempurna. Rafael menatap mereka seperti seorang raja menilai hadiah. Tapi di balik tatapan itu ada kekosongan. Wanita pirang mendekat lebih dulu, duduk di pangkuannya, menciumi lehernya. Rafael membiarkannya, sambil mengisap cerutunya lagi. Wanita berambut hitam bergabung, merayap dari samping, bibirnya menyentuh rahang Rafael. Suasana kamar dipenuhi desahan pelan, suara gesekan kulit, aroma parfum yang kian pekat. Rafael mendorong tubuh mereka ke ranjang, gerakannya penuh kuasa. Ia tidak memberi kelembutan hanya perintah. Tangan kuatnya mencengkeram pinggang, rambut, bahkan dagu mereka, mengarahkan, menguasai, seperti ia mengatur permainan perang. Wanita-wanita itu pasrah karena terbuai pesona gelap Don De Luca. ••• Tapi di puncak permainan itu, ketika tubuh-tubuh berguling di sprei satin, bayangan seorang perempuan tiba-tiba muncul di pikirannya. Elena. Rafael menutup mata. Tapi semakin ia mencoba menyingkirkan, semakin kuat wajah itu hadir. Senyum samar Elena menembus pikirannya, membuat desahan wanita di hadapannya terdengar palsu, kosong, menjijikkan. Tiba-tiba ia berhenti. Tangannya mencengkeram rambut wanita pirang itu, menariknya kasar hingga perempuan itu meringis. “Jangan lihat aku dengan tatapan itu,” suaranya rendah, penuh amarah. Wanita itu ketakutan, matanya membelalak. “Apa… apa salahku, Don?” ia berbisik. Rafael menunduk, menatapnya dari dekat. “Kau bukan dia. Kau hanyalah tubuh murah tanpa jiwa.” Wanita itu menelan ludah, gemetar, sementara yang satunya lagi terdiam, takut bergerak. ••• Rafael berdiri, membuang cerutu ke lantai, lalu menginjaknya dengan gerakan kasar. Ia berjalan mondar-mandir di kamar, napasnya berat. Kedua wanita masih telanjang di ranjang, saling berpelukan bingung. Ia menatap mereka seolah hendak melampiaskan amarah, tapi akhirnya hanya mengibaskan tangan. “Keluar dari sini. Sekarang juga.” Kedua wanita itu buru-buru mengumpulkan gaun mereka dan lari meninggalkan kamar, hampir jatuh saat membuka pintu. Keheningan mendadak menyelimuti ruangan. Rafael meraih botol bourbon dari meja, menuang ke gelas kristal, lalu menenggaknya langsung tanpa menunggu. Alkohol membakar tenggorokannya, tapi tidak cukup untuk menghapus wajah itu dar pikirannya. Wajah Elena. Ia melempar gelas ke dinding. Pecahan kaca berhamburan, cairan cokelat mengalir di lantai marmer. “Elena!” Rafael menggeram, memukul meja dengan tinjunya. Ia menjatuhkan tubuhnya ke kursi, kepalanya terbenam di kedua tangan. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Rafael merasa kehilangan kendali. Bukan karena lawan mafia, bukan karena polisi, tapi karena seorang wanita yang bahkan tidak menyentuhnya. Elena berbeda. Wanita itu bukan tubuh yang bisa dibeli. Bukan boneka yang bisa dipaksa tunduk. Ia punya mata yang berbicara lebih tajam dari peluru. Rafael menatap keluar jendela. Ombak bergulung, bulan masih menggantung. Tapi bagi Rafael, malam itu terasa sempit, pengap, seperti penjara. Di bawah sana, pesta masih berlangsung. Musik berdentum, tawa pecah, desahan terus terdengar. Tapi di kamar atas, Don De Luca terjebak dalam keheningan dan bayangan seorang wanita yang seharusnya sudah mati di tangannya. Rafael menyulut cerutu baru, menarik napas panjang, lalu membiarkannya terbakar perlahan. “Elena Vetrova,” ia bergumam, suaranya nyaris tak terdengar. Pesta di bawah masih bergemuruh, tapi di kamar atas, Rafael De Luca berdiri sendirian. Cerutu di tangannya sudah hampir habis, asapnya mengepul seperti kabut tipis yang menyelimuti wajah murungnya. Ia berjalan pelan ke arah jendela besar, menatap pantai yang diterangi bulan. Ombak berkejaran, seolah mengejek pikirannya yang tak pernah tenang. Rafael benci ini. Ia benci kehilangan kendali. Selama ini, ia bisa melupakan siapa pun, apa pun, hanya dengan satu malam pesta, satu gelas bourbon, atau satu tubuh wanita. Tapi Elena berbeda. Tatapannya menghantui seperti api yang menolak padam. Rafael menekan ujung cerutu ke asbak hingga padam, lalu duduk kembali. Tangannya mengambil ponsel di meja. Ia menekan nomor singkat. Tak lama, suara seorang pria tua terdengar di seberang. “Don?” suara itu rendah, hati-hati. “Carlo,” kata Rafael pendek. “Aku ingin informasi.” “Nama?” “Elena Vetrova. Temukan semuanya. Latar belakang, keluarga, siapa saja yang dekat dengannya. Aku ingin tahu segalanya sebelum matahari terbit.” Hening sesaat di seberang, lalu Carlo menjawab mantap, “Baik, Don. Akan segera saya kerjakan.” Rafael memutus sambungan. Ia tahu Carlo bisa dipercaya. Lelaki itu yang selama puluhan tahun menyimpan semua rahasia keluarga De Luca. Dan bila Carlo bergerak, setiap lembar catatan, setiap laporan imigrasi, setiap dokumen tersembunyi bisa terbuka. ••• Rafael bangkit, berjalan ke kamar mandi. Ia menyalakan lampu, dan wajahnya terpampang di cermin besar. Ia membuka keran, membasuh wajah dengan air dingin. Tapi setelah mengangkat kepala, yang ia lihat bukan hanya dirinya. Untuk sepersekian detik, seolah-olah Elena berdiri di belakangnya, menatap dari cermin. Ia mengedip, dan bayangan itu hilang. “Sialan.” Rafael menggeram, memukul cermin dengan kepalan tangannya. Retakan tipis muncul, memantulkan wajahnya yang terbelah. ••• Jam menunjuk pukul dua dini hari. Vila mulai sepi, meski sebagian tamu masih bercinta di sudut-sudut tersembunyi. Musik dipelankan, hanya tersisa dentuman bas yang samar. Rafael duduk di ruang kerjanya yang gelap, ditemani segelas bourbon lain. Di mejanya ada map cokelat yang baru dikirim Carlo. Orang tua itu memang cepat. Ia membuka map tersebut. Lembar-lembar kertas berisi data pribadi Elena Vetrova yang lahir di Moskow, umur dua puluh tujuh, bekerja sebagai fotografer lepas dan juga pianis, sering berpindah kota untuk proyek. Namun ada sesuatu yang menarik perhatian Rafael, sebuah catatan kecil. Orang tua Elena meninggal bertahun-tahun lalu. “Sendirian.” Rafael bergumam. Wanita yang tumbuh tanpa sandaran memang punya mata seperti itu, mata yang sudah terbiasa menghadapi dunia seorang diri. Ia terus membaca. Ada foto-foto Elena sedang memotret di jalanan Roma, tersenyum samar di sebuah pameran seni, bahkan satu foto candid di tepi sungai. Rafael menatap foto itu lama. Senyumnya tidak besar, tidak dibuat-buat. Senyum yang sederhan. Tiba-tiba ia meremas kertas itu, marah pada dirinya sendiri. “Apa aku gila?” desisnya. Pintu ruang kerja diketuk pelan. Seorang anak buah masuk, menunduk. “Don, pesta sudah selesai. Para tamu sudah pulang.” Rafael mengangguk tanpa menoleh. “Pergi.” Pria itu segera keluar, menutup pintu rapat-rapat. Kesunyian kembali menguasai ruangan. Rafael menyalakan cerutu lagi, matanya tak lepas dari sisa foto yang tergeletak di meja. Ia tahu ada bahaya besar dalam perasaan ini. Obsesi semacam ini bisa menjadi kelemahan. Dan kelemahan dalam dunia mafia adalah undangan menuju kematian. Menjelang fajar, Rafael bangkit dari kursinya. Ia berjalan ke balkon ruang kerja, menghirup udara laut yang asin. Cahaya jingga mulai muncul di ufuk timur. Di bawah sana, para pelayan sibuk membersihkan sisa pesta. Botol pecah, puntung rokok, pakaian berserakan. Semua tanda kebebalan malam itu dibersihkan agar vila kembali tampak sempurna. Ia menggenggam pagar balkon, matanya menatap lurus ke llaut “Aku akan tahu segalanya tentangmu. Dan ketika waktunya tiba, kau tidak akan bisa lari.” Angin pagi berhembus, membawa aroma garam dan darah yang samar masih menempel. Rafael menyalakan cerutu terakhir, mengisapnya pelan. Ia tahu satu hal pasti, obsesi ini hanya punya dua akhir. Elena akan menjadi miliknya, atau Elena akan mati di tangannya.Ruangan itu kembali sunyi setelah pintu menutup, sepi yang bukan sekadar ketiadaan suara, melainkan sejenis pengosongan yang menempel pada dinding dan lantai. The Ghost berdiri beberapa saat di ambang pintu, tangan masih menjari gagang, lalu melangkah kembali ke meja. Ia menatap gelas bourbon yang selama ini tidak tersentuh. Jejak jarinya di bibir gelas itu tampak samar dalam gelap, seperti tanda yang menunggu untuk diartikan. The Ghost mengangkat gelas itu perlahan, bukan untuk menenggaknya, kebiasaan, atau ritual kecil untuk memastikan bahwa pilihan masih ada, lalu meletakkannya kembali. Di dalam sakunya ada sesuatu yang lebih penting, sebuah paket kecil yang ia tarik keluar dengan gerakan halus. Bungkusan kertas cokelat, pita hitam, tak ada label, hanya bau keringat manusia dan minyak mesin yang menempel sebagai kesaksian hidupnya yang berkelana di lorong-lorong gelap kota.Ia duduk. Meja baja memantulkan sedikit senyumannya yang kering. Dengan teliti The Ghost
Ruangan itu seperti perut malam yang menelan cahaya. Dinding-dindingnya hitam, bukan sekadar warna cat, tapi seperti menelan segala pantulan, membuat udara terasa berat. Di tengah ruangan, hanya ada meja baja tanpa pantulan dan dua kursi. Di atas meja, segelas bourbon yang belum disentuh, dingin seperti niat di balik pertemuan ini.Suara langkah muncul dari lorong panjang. Tak terburu-buru, tapi juga tidak malas, ritme terukur dari seseorang yang tahu betul siapa dirinya. The Ghost duduk, menunggu. Tubuhnya condong sedikit ke depan, jari-jari mengetuk pelan permukaan logam. Ketika pintu terbuka, cahaya dari luar hanya menampakkan siluet seseorang sebelum segera tertelan gelap lagi.“Sudah lama,” suara itu berat, datar, tapi penuh nada sindiran halus.“Belum cukup lama,” jawab The Ghost tanpa menoleh. “Waktu di dunia ini terlalu murah untuk disebut lama.”Orang misterius itu tertawa pendek. “Kau masih sama. Dingin. Sok tahu. Dan selalu berbicara seolah dunia ini di bawah kakimu.”“Buka
Rafael keluar dari mobilnya, mantel panjangnya berkibar ditiup angin malam. Marco berjalan di belakang, masih dengan perban di pelipis. Setelah pertemuannya dengan Marchetti, ia memutuskan ke klub malam miliknya. “Sudah lama kau tidak datang ke sini, Don,” ucap Marco. Rafael hanya menjawab dengan anggukan pelan. Asap rokoknya terhembus, memudar di udara. Di dalam, klub itu tidak seramai biasanya. Musik lembut dari piano mengalun, samar di antara percakapan pelan dan gelas-gelas yang saling beradu. Lampu-lampu gantung menyorot lembut, memantulkan cahaya ke dinding. Rafael melangkah masuk. Semua mata langsung menunduk. Para pelayan yang mengenalinya bergerak cepat, satu mengambil mantel, satu lagi menuntunnya ke meja pribadi di lantai atas, tempat biasa ia duduk. Namun langkahnya terhenti sebelum sampai ke tangga. Di panggung kecil di ujung ruangan, di bawah sorot cahaya biru muda, seorang wanita duduk di depan piano. Elena. Jari-jarinya menari di atas tuts, lembut nam
Di luar, pelabuhan sudah dikepung orang-orangnya. Puluhan pria berpakaian gelap bergerak tanpa suara, menyebar di antara peti-peti kontainer seperti bayangan yang sedang berburu. “Pastikan tidak ada yang keluar hidup-hidup,” ucapnya datar. Salah satu anak buahnya pun menjawab, “Siap, Don.” Rafael menatap ke luar. Dari kejauhan, api kecil menyala, lalu meledak. Kontainer pertama terbakar, disusul ledakan kedua di sisi kiri dermaga. Suara tembakan mulai terdengar, bersahut-sahutan, memantul di antara dinding logam. Ia tersenyum kecil. “Sudah dimulai.” Marco duduk di belakang, kepalanya masih mengeluarkan darah segar, tapi matanya tajam. “Mereka pikir bisa menyentuh pelabuhan kita begitu saja.” “Tidak,” jawab Rafael. “Mereka pikir aku akan diam.” Di tangan kirinya, ia memegang pistol kecil. Di tangan kanan, sebatang rokok yang masih menyala. Asapnya menari-nari di udara dingin. Dua orang anak buahnya mendekat. “Don, mereka bersembunyi di gudang tiga. Sekitar delapan orang.
Waktu berjalan cepat, tapi bukan berarti Rafael berhenti. Sudah dua minggu sejak pencurian itu.Dan sejauh ini, nihil. Tak ada jejak. Tak ada nama.Semua anak buahnya seperti menabrak dinding yang tak terlihat.Rafael berdiri di ruang bawah tanah miliknya, memandang lampu-lampu yang berkelap-kelip. Asap rokok di tangannya menari, tipis, lalu menghilang diterpa angin. Di depan pintu, dua orang anak buahnya sedang menyeret seorang pria bertubuh gemuk ke tengah ruangan. Mulut pria itu ditutup lakban, tangannya diikat dengan tali plastik. Tubuhnya penuh debu dan keringat.“Buka,” kata Rafael datar.Salah satu anak buahnya merobek lakban itu. Pria gemuk itu langsung terbatuk, hampir tersedak udara.“Don Rafael, saya—”“Diam,” potong Rafael.Nada suaranya pelan, tapi mengandung sesuatu yang membuat semua orang di ruangan itu menelan ludah.Rafael menurunkan tubuhnya sedikit, menatap langsung ke mata pria itu. Tatapannya dingin. Datar. Tak ada amarah, tapi justru itulah yang paling menakutka
Malam itu vila Rafael di tepi pantai Amalfi berkilau seperti istana para dewa. Lampu kristal bergantung di langit-langit tinggi, cahaya keemasan memantul di dinding kaca, sementara musik elektronik berdenyut menembus udara. Lantai marmer dingin dipenuhi jejak langkah tangannya. Model, bintang televisi, pengusaha yang haus sensasi, dan wanita-wanita muda yang datang hanya untuk menjadi bagian dari pesta sang Don.Di halaman belakang, kolam renang memantulkan cahaya bulan. Alkohol mengalir seperti sungai. Sampanye, bourbon, vodka, semua dituang tanpa henti. Tawa keras bercampur dengan desahan, tubuh-tubuh menempel, dan aroma parfum bercampur dengan bau tembakau mahal.Namun di tengah kegaduhan itu, Rafael duduk di kursi kulit hitam di ruang utama vila. Wajahnya tetap dingin, matanya kelam, menatap kerumunan tanpa benar-benar melihat. Ia menyalakan cerutu, mengisapnya dalam-dalam, lalu membuang asapnya dengan gerakan lambat.Semua ini seharusnya menghiburnya.Tapi tidak.Sejak malam di k







