Diah segera mengambil telepon selularnya. Nomor tidak dikenal yang memanggilnya. Dia pun mengangkatnya sambil mengerutkan dahinya.
“Halo,” sapa Diah lirih."Halo Ibu direktur, atau mantan ibu direktur?" sambut suara di seberang sana seraya tertawa. Dia bingung dengan sapaan itu. Apalagi suara itu terdengar familiar di telinganya.“Ini siapa ya?” tanya Diah kebingungan."Saya Sari, pegawai Pak Dion...oh! Atau calon istri Pak Dion?" Suara itu semakin kurang ajar menghina Diah.Calon istri? Mantan Ibu direktur? Diah tidak mengerti arah pembicaraan lawan bicaranya di telepon.“Ada apa menelpon saya?” tanya Diah. Dadanya bergemuruh, perasaannya tidak nyaman hinggap di hatinya.Dia mempunyai firasat jelek pada panggilan telepon ini."Oh nggak, hanya ingin serah terima jabatan saja," semakin menjadi-jadi perempuan yang bernama Sari itu bicara.Serah terima jabatan? Diah semakin dibuat bingung dengan pernyataan-pernyataan yang dilontarkan perempuan itu.“Serah terima jabatan apa?” Diah mencoba tenang."Dari mantan Nyonya Dion Rahardja kepada calon Nyonya Dion Rahardja," jawab yang di seberang sana.Tangan Diah yang sedang memegang telepon langsung gemetar. Dia mulai memahami maksud dari pembicaraan ini. Tangisnya kembali mengalir, dadanya yang belum sepenuhnya pulih, menjadi sesak kembali.“Jangan mengada-ada kamu,” desis Diah."Hari ini kamu ditalak, kan? Ya karena Mas Dion akan menikah denganku," Diah semakin gemetar mendengar penjelasan penuh hinaan untuknya. Tangisnya makin deras mengalir di pipinya.Prang!Mya yang akan masuk dapur, kaget mendengar ada suara benda jatuh dari sana, segera berlari.Didapatinya Diah yang terkulai jatuh pingsan di lantai dapur.“Ibu!” seru Mya, langsung berlari menghampiri Diah.***Perempuan berkuning Langsat itu bernama Sari Permata. Cantik, jelas sekali dia menyadari kelebihan fisiknya. Awalnya dia bekerja sebagai frontliner di Biro Wisata MyaQi, milik Dion. Tetapi keluwesannya berinteraksi dan penguasaan beberapa bahasa asing, membuatnya dipercaya oleh Dion untuk jadi tour guide.Dia berdiri di depan jendela ruang kerja Dion yang terletak di lantai 3.Tadi pagi dirinya menelpon Dion, menanyakan rencana laki-laki itu untuk meninggalkan anak dan istrinya. Tetapi perempuan itu merasa belum puas dengan jawaban calon suaminya tersebut. Itu sebabnya dia menelpon Diah dan menerornya.Sari tersenyum sinis ketika tadi didengarnya suara Mya berteriak memanggil ibunya. Sepertinya rencananya berhasil.Tetapi tampaknya perempuan itu masih kurang puas. Dia mengirimkan foto-foto mesranya dengan Dion kepada calon mantan istri laki-laki yang digilainya itu.“Biar mantap,” bisiknya kejam.Pintu ruangan terbuka. Dion masuk dengan tatapan matanya yang dingin.“Aku sudah bilang, besok ke rumahmu,” ujar Dion. Ada nada kesal yang tersirat dari perkataannya.Sari tersenyum manis, kemudian memeluk laki-laki itu dengan erat."Cobalah bersabar, aku sudah menuruti keinginanmu," Dion terus mengomel.“Tapi aku kangen,” Rajuk Sari manja.Dion tersenyum, luluh dengan sikap kekasihnya. Kemanjaan dan rajukan Sari yang membuatnya selalu merasa dicintai, itu lah yang membuat laki-laki tampan itu berani melangkah lebih dari sekedar rekan kerja, sehingga akhirnya perempuan itu hamil dan menuntut pertanggungjawaban darinya.“Aku juga kangen, tetapi bisa sabar sebentar kan?" Dion masih mencoba membujuk kekasihnya. "Aku nggak bisa jauh dari Mas," rajuk Sari dengan suara lirih, semakin erat memeluknya. "Aku sudah memilihmu, jangan khawatir," Dion terus membujuk kekasihnya. Sari tersenyum menggoda. Melangkah ke pintu, mengunci nya, kemudian kembali kepada Dion.“Apa yang kamu lakukan?” tanya Dion, saat kekasihnya memegang kemejanya, melepaskan satu per satu kancingnya."Ini rasa kangen yang sebenarnya," sahut Sari, suaranya seksual.Maka setelahnya, kedua orang yang belum halal itu pun asyik dengan dunia mereka. Bahkan Dion melupakan kedua anaknya yang baru saja ditangisinya.Tiba-tiba telepon selular milik Dion berbunyi. Awalnya dia mengabaikan panggilan itu. Kenikmatan yang diberikan oleh Sari terlalu indah buat ditinggalkan. Tetapi bunyi telepon masuk terus bergema. Jelas dia terganggu.Dion menghentikan kegiatan panasnya, bermaksud menjawab panggilan telepon tersebut.Tetapi Sari lebih gesit, diraihnya telepon selular itu, menolak panggilan dan mematikannya."Siapa tahu penting," protes Dion yang tidak digubris oleh Sari.Perempuan seksi itu kembali menggodanya. "Kangen ku lebih penting," jawab Sari.Dirinya pun kembali terbuai dengan permainan kekasih gelapnya itu. Lupa dengan panggilan telepon yang tadi sempat mengusiknya. "Kamu memang yang paling penting untukku," sahut Dion.Sepertinya, laki-laki yang berusia matang itu melupakan keluarga yang baru beberapa jam ditinggalkannya.Sementara Diah yang pingsan dengan susah payah dibawa anak-anaknya ke kursi panjang dari bambu yang memang ada di dapur. Qilla berusaha menyadarkan ibunya dengan minyak kayu putih, sedangkan Mya langsung menghubungi ayahnya. Mereka jelas butuh Dion untuk menangani pingsannya Diah. Bagaimanapun keduanya masih muda untuk menghadapi sendiri masalah seperti ini.Berkali-kali Mya menghubungi ayahnya, tetapi tidak ada respon. Bahkan setelah itu telepon Dion tidak bisa dihubungi. Gadis remaja itu menggeram marah.“Telepon saja Tante Rika. Rumahnya yang paling deket,” usul Qilla.Mya pun mengikuti usul adiknya itu.“Halo Tante, Ibu pingsan! Ayah nggak ada!” seru Mya begitu panggilannya diterima."Tante sama Om ke sana. Tunggu!" Jawab Rika, kemudian sambungan telepon pun ditutup.Setelah meletakkan ponselnya, Mya membantu adiknya, berusaha membuat ibunya sadar.“Kenapa Ibu pingsan?” tanya Qilla seraya menggosok-gosokkan minyak kayu putih ke dada, perut dan di bawah hidung Diah.“Nggak tahu, tadi kayaknya Ibu habis terima telepon. Terus...,” Mya diam sejenak. Dia baru ingat tentang hal itu."Ibu pingsan habis terima telepon?" tanya Mya dalam hatinya. Tangannya segera menggapai telepon selular milik Diah. Diutak-atiknya telepon itu untuk memeriksa riwayat panggilan masuk di sana.Tetapi ada notifikasi chat masuk yang tampaknya belum sempat dibuka ibunya. Mungkin keburu pingsan, kalau dilihat dari perkiraan waktunya.Karena penasaran, dibukanya chat tersebut. Tampak ada beberapa foto mesra ayahnya dengan perempuan yang Mya tahu adalah pegawai di biro wisata milik Dion."Ini pegawainya Ayah? Mereka pacaran?" hatinya pun bertanya-tanya. Hati Mya seketika sakit, rasanya semakin kecewa dengan Dion."Jadi ini yang bikin Ayah minta pisah dari Ibu? Bukan karena Ibu boros?" tanya hatinya."Aku harus mencari Ayah di kantornya!" tekad Mya , kemudian membalikkan badannya."Titip Ibu, aku mau mau cari Ayah," Mya berkata sambil keluar dari dapur."Kak! Enggak perlu! Kita urus Ibu saja!" Qilla memanggil dan mencoba menghalangi niatnya, tetapi tidak digubris.Mya terus berjalan, tekad nya kuat untuk mencari ayahnya di kantor. Memintanya kembali ke rumah."Ayah pasti mau," gadis remaja itu mempunyai keyakinan yang besar. Tidak pernah sekalipun Dion menolak permintaan darinya. Tetapi sesampainya di luar, sudah ada Rika dan Heri."Kamu mau kemana?" Rika bertanya sambil mengerutkan keningnya. Mya tergagap, memandang ke arah sahabat ibunya dengan ekspresi panik."Mengapa Om ingin membeli rumah kami?" tanya Mya."Karena Om pernah tinggal di sana, jadi ingin kembali," jawab Arga.Mya mengerutkan keningnya."Maksudnya gimana? Tinggal di rumah kami?" Mya pun bertanya kembali.Arga susah payah menahan tawa dengan kepolosan gadis yang duduk di sebelahnya."Bukan, Om dulu tetangga ibumu saat kami masih seusia kalian. Lalu pindah karena pekerjaan orang tua," Arga memberikan penjelasan, setelah berhasil menahan tawanya.Mya pun menganggukkan kepalanya."Jadi ketika Om kembali ke Jogja, rumah itu sudah jadi milik orang lain. Tapi hanya bisa tinggal di kaliurang," Arga melanjutkan ceritanya."Dan tau Ibu jual rumah, makanya Om ingin beli?" Mya bertanya dijawab dengan anggukan kepala Arga."Selain tempat Om yang dulu ada di depan kalian, rumah kalian memiliki banyak kenangan," beritahu Arga.Laki-laki itu tersenyum, mengingat segala hal yang pernah dilewatinya bersama Diah."Apa tujuan Om membeli rumah kami?" Mya masih terus mengejar jawaban Arga."Yang p
Arga menatap layar teleponnya, menimbang apakah perlu menerima atau diabaikan saja."Siapa tahu orang yang mau jual rumah itu, Pa," ujar Tania."Ah betul juga, Nia. Papa belum punya nomer teleponnya," sahut Arga. Dia pun akhirnya menjawab panggilan tersebut.Tetapi dugaan Arga keliru, bukan sahabat masa kecilnya yang menghubungi.["Saya Mya, putrinya Bu Diah, Om."]Sejenak, Arga terpaku. Bertanya di dalam hatinya, darimana remaja putri itu mendapatkan nomer kontaknya.["Maaf, saya menemukan kartu nama Om di meja ruang tamu."] Mya memberikan penjelasan."Oh iya, Mya. Ada keperluan apa sampai telpon Om?" Arga bertanya dengan suara lembut.["Bisakah kita bertemu? Om yang akan beli rumah kami kan?"] Permintaan Mya cukup membuatnya kaget."Boleh Om tahu, kenapa Mya minta ketemu sama Om?" Arga balik bertanya.["Hanya ... ingin ngobrol saja, sebelum ikhlas dengan keputusan yang diambil Ibu."] Mya terdengar ragu-ragu dengan perkataannya.Arga menghela nafas panjang, merasakan kegamangan gadis
Arga menerbitkan senyum, membuat hati Diah mendadak tegang."Asal syaratnya masih masuk akal, aku nggak masalah," Diah melanjutkan perkataannya."Sebuah kesepakatan yang insyaallah saling menguntungkan," Arga menyahut dengan suara tegas."Iya, apa syaratnya?" Diah balik bertanya, wajahnya terlihat penasaran."Assalamu'alaikum, Ibu!" sapaan dari Mya dan Qilla membuat percakapan kedua orang dewasa itu terhenti.Diah pun menyambut kedua anaknya yang baru pulang sekolah."Tadi dijemput Om Heri sama Tante Rika, Bu," beritahu Qilla, tetapi pandangannya terang-terangan mengarah kepada Arga."Tante sama Om langsung pergi, katanya ada urusan," timpal Mya, mencuri pandang ke arah Arga.Diah dan Arga menyadari rasa ingin tahu kedua gadis itu terhadap kehadiran laki-laki dewasa tersebut."Ganti baju dulu ya, nanti kembali ke sini. Ada yang ingin Ibu jelaskan," titah Diah.Kedua anaknya pun menuruti perkataan sang ibu."Apa syaratnya?" Diah mengulangi pertanyaannya kepada Arga. "Kita kerja sama,"
Diah masih terpaku, menatap laki-laki yang masih tampak tampan meski tidak lagi muda.“Siapa ya? Seperti pernah lihat,” gumam Diah, terus memandangi laki-laki tersebut.“Aduh, aku dilupain,” lirih suara laki-laki tersebut, memandang kecewa ke arah perempuan berparas manis tersebut.Sebenarnya, Diah bisa saja bersikap masa bodoh dengan sikap misterius tamunya. Tetapi entah kenapa, dia penasaran. Wajah laki-laki itu terasa familiar.Laki-laki itu tersenyum kecil. “Didi lupa sama Mas Gaga?” tanyanya“ya ampun! Mas Gaga? Yang dulu tinggal di sebelah?” Diah langsung heboh. Memory tentang masa kecilnya pun kembali hadir.Laki-laki tampan itu, namanya Arga Cahyo. Tetangga Diah di masa lalu. Seingatnya, laki-laki itu pindah ke luar kota saat remaja.“Alhamdulillah, sudah ingat sama Mas,” ada nada bersemangat pada suara laki-laki tersebut.Diah tertawa lirih. Dirinya pun senang bisa bertemu dengan tetangga masa kecilnya. Rasanya kenangan indah muncul kembali di kepalanya.“Apa kabar
“Aku mau jual rumah ini.”. Jawaban Diah jelas membuat Rika terperangah.“Serius kamu?” tanya Rika, setelah rasa syoknya mereda.Diah menganggukkan kepalanya. Sepertinya, perempuan berparas manis itu mantap dengan keputusannya.“Di, ini rumah lho. Jangan gegabah,” sergah Rika.Diah masih diam, mencari kata untuk menjelaskan.“Dari kecil kamu tinggal di sini. Anak-anak pun lahir dan besar di sini,” Rika mencoba mengingatkan besarnya keterikatan sahabatnya itu terhadap rumah ini.Diah menghela nafas. Tahu kekhawatiran sahabatnya. Tetapi mau bagaimana lagi? Dirinya dan anak-anak lebih perlu jika rumah ini dijual.“Mas Dion sudah lepas tangan, yang terakhir diberikan ya yang saat di Pengadilan Agama itu,” Diah memulai penjelasannya kepada sahabatnya.Rika diam, menyimak penjelasan Diah.“Dan uang itu sudah kudepositkan untuk biaya pendidikan anak-anak,” Diah meneruskan perkataannya.Diah diam, masih memikirkan rencana yang sebenarnya baru saja dipikirkan olehnya. Rika menatap ke ara
Sari mendatangi Dion yang sedang duduk bersama kedua putrinya.Wajahnya merah padam dengan tangan mengepal di sisi kiri kanan tubuhnya.Seruannya tentu menarik perhatian orang sekitar. Dion dan kedua anaknya pun mengarahkan pandangan mereka kepadanya.Mya yang sudah menduga apa sumber masalahnya, mendorong sebuah amplop tebal yang dipegang oleh Dion, kembali pada ayahnya.“Sepertinya, istri Ayah nggak suka. Ambil saja kembali,” kata Mya seraya tetap mendorong amplop tersebut kepada Dion.Begitu sampai di depan mereka, Sari menyambar amplop tersebut.“Apa-apaan kamu, Mas!” seru Sari, tatapannya berapi-api.Dion yang gerah dengan sikap istrinya, berusaha meraih kembali amplop tersebut. Tentu saja Sari tidak mau dengan sukarela menyerah kepada suaminya.“Kembalikan Sari, mereka bahkan berhak lebih dari itu!” pekik Dion, marah dan sakit hati bercampur menjadi satu di hatinya.“Ingat, Mas! Aku mau melahirkan dan kita belum punya rumah! Jangan sembarangan kasih uang!” Sari masih ngotot, engg