Share

Club Malam

Author: cutiebearmum
last update Last Updated: 2025-08-23 02:51:12

“Arrghhhh, semua orang sangat gila! Mereka semua gila, Anne,” gumam gadis berambut cokelat yang tergerai indah.

“Aku tidak bisa mendengarmu, Cleo! Berhentilah, ini sudah terlalu banyak!” teriak gadis dengan rambut sebahu di hadapannya.

“Ck, kau sangat membosankan,” protesnya.

“Cleo, sebaiknya kita kembali saja,” pinta Anne, sahabat sekaligus asisten pribadi Cleora Daniella Addison.

Keduanya kini tengah berada di sebuah klub malam. Inilah dunia Cleo. Sebagai anak tunggal dari Aaron Addison dan Victoria Wilson, dia sering kali merasa kesepian.

‘Kau sudah mendengarnya? Tuan muda Vesper akan kemari malam ini!’

‘Benarkah? Bagaimana penampilanku?’

Sayup-sayup terdengar suara para gadis di belakang mejanya yang menyebut marga seseorang, membuat Cleora berdecak.

“Tidak di rumah, tidak di sini, nama keluarga itu selalu disebutkan,” gerutunya sebal sambil memejamkan mata.

Di lain tempat, Dominic baru saja memasuki ruangan khusus miliknya di klub tersebut. Malam ini ia berencana untuk menghabiskan malam di tempat yang ia besarkan itu.

“Keluarlah,” perintahnya pada Luca, asisten pribadinya.

“Baik, Tuan,” patuhnya.

Namun sebelum Luca benar-benar melangkah keluar, Dominic menahannya.

“Jangan kunci pintunya. Aku akan menemui Brian di ruang VVIP satu jam lagi.”

Luca mengangguk cepat. “Baik, Tuan.”

Pintu menutup perlahan, meninggalkan Dominic sendirian di tengah ruangan yang kini hanya diterangi cahaya lampu gantung redup.

Tangannya terulur, mengambil satu botol favoritnya, menuangkan cairan amber ke dalam gelas kristal, lalu meneguknya perlahan.

Suara es yang beradu lembut di dalam gelas mengisi keheningan.

“Tidak buruk.”

Ia kemudian menjatuhkan diri di atas sofa single berwarna hitam pekat. Bahunya tegap, wajahnya dingin tanpa ekspresi.

Dominic memejamkan mata sambil mendongak, menyenderkan kepalanya ke sandaran sofa. Dada bidangnya naik turun perlahan, menandakan betapa lelahnya pria itu menahan sesuatu yang tak bisa ia lepaskan begitu saja.

“Addison,” gumamnya lirih.

Ia membuka sedikit matanya, bibirnya melengkung membentuk seringai tipis yang nyaris tidak terlihat.

“Nicholas, sejauh apa pun kau bersembunyi, aku pasti akan menemukanmu.”

Tatapan tajamnya menembus ruang kosong di depannya, membidik bayangan masa lalu yang masih mengusiknya.

Sementara itu, di lantai bawah, suasana sudah semakin kacau. Anne tengah kelimpungan di antara kerumunan pengunjung yang menari tanpa arah. Cahaya lampu berwarna ungu berganti-ganti menyorot wajahnya yang panik.

“Cleo! Cleo! Ya Tuhan, di mana gadis itu?!” serunya sambil berusaha menembus kerumunan.

Tangannya menggenggam ponsel, sementara suara ibunya di seberang masih terdengar samar.

“Ma, nanti aku telepon lagi! Aku harus mencari Cleo sekarang!” katanya terburu-buru sebelum menutup panggilan.

Napasnya terengah, mata hazelnya menatap ke segala arah. “Cleo, jangan bilang kau naik ke lantai atas lagi,” gumamnya cemas.

Beberapa pengunjung menatapnya aneh saat ia mendorong tubuh-tubuh yang berdansa, berusaha mencari sosok sahabatnya yang kini entah ke mana.

Cleo sendiri kini melangkah tak tentu arah. Sepatu haknya beradu dengan lantai marmer, langkahnya goyah, matanya mulai sayu.

Kepalanya terasa berat, campuran dari alkohol, kebisingan, dan pikirannya yang tak pernah berhenti berputar.

Ia tertawa kecil tanpa alasan, menatap kilauan lampu di langit-langit seolah itu adalah bintang. “Anne, kau terlalu kaku. Hidup ini terlalu membosankan kalau kau terus menuruti aturan,” suaranya mulai melantur.

Setiap langkahnya membawanya semakin jauh dari keramaian utama klub, ke arah lorong yang lebih gelap, tempat hanya sedikit orang berani melintas.

Matanya yang sudah setengah kabur menangkap pantulan cahaya dari pintu kaca buram bertuliskan Private Area – Staff Only, tapi ia tidak begitu peduli. Dalam kepalanya yang berat, semua pintu tampak sama.

Baru saja tangannya menyentuh gagang pintu itu, sosok pria tinggi berpakaian rapi muncul dari arah berlawanan.

Luca.

“Nona, Anda dilarang memasuki area ini,” ucapnya tegas.

Cleo berhenti sejenak, bibirnya bergerak tapi suaranya nyaris tak terdengar. “Area ini, indah sekali,” gumamnya pelan sebelum kehilangan keseimbangan.

Bruk!

Tubuhnya oleng, tumitnya terpeleset, dan detik berikutnya ia hampir jatuh ke lantai. Luca terkejut, matanya membulat.

“Sial!” umpatnya cepat sambil menahan refleks untuk menolong, tapi ia tahu tidak pantas menyentuh pengunjung wanita, apalagi yang tampak mabuk.

Ia menatap sekitar dengan frustrasi. “Tunggu di sini, saya akan memanggil staf wanita untuk mengurus Anda.”

Nada suaranya kali ini lebih lunak. Ia lalu berbalik cepat, melangkah pergi menyusuri lorong dengan langkah besar.

Namun kesalahan kecil terjadi. Ia meninggalkan pintu itu terbuka sedikit.

Cleo, dengan pandangan kabur dan rasa penasaran yang tak bisa dijelaskan, mendorong daun pintu itu perlahan.

Satu langkah, dua langkah, dan pintu menutup kembali di belakangnya dengan suara klik yang nyaris tak terdengar.

Ruangan itu remang, diterangi cahaya kuning lembut dari lampu gantung di langit-langit. Aroma alkohol mahal memenuhi udara.

Dan di sana, duduk santai di sofa hitam dengan segelas minuman di tangannya

Dominic Vesper.

Beberapa detik hening membentang di antara mereka.

Cahaya lampu yang temaram menyorot wajah gadis itu; wajah muda, cantik, tapi dengan mata yang tampak sayu. Rambut cokelatnya tergerai acak, kulitnya memantulkan kilau lembut dari cahaya lampu.

Dominic menegakkan tubuhnya perlahan. Suara kursi kulit yang bergesekan dengan jasnya terdengar halus.

“Siapa kau?” suaranya berat, dalam, mengandung ancaman yang membuat udara di ruangan seolah menipis.

Tatapannya menelusuri sosok asing itu dengan curiga, namun juga sedikit bingung, karena tak seorang pun bisa masuk ke ruangannya tanpa izin.

Cleo memandanginya dengan mata sayu, napasnya bergetar karena efek alkohol yang masih memabukkan pikirannya.

“Aku… tersesat, mungkin,” jawabnya samar.

Alis Dominic terangkat sedikit. “Tersesat? Di tempat ini?”

Nada suaranya sinis.

Cleo tertawa kecil, miring, setengah sadar. “Kau bicara seolah tempat ini milikmu.”

Dominic menatapnya lama, sekilas senyum miring muncul di sudut bibirnya. “Karena memang milikku.”

Cleo membeku sejenak.

Matanya, yang tadi buram, kini mulai fokus. Ada sesuatu pada cara pria itu menatapnya tajam, tapi memikat.

Ia menelan ludah pelan. “Lalu, apa yang akan kau lakukan padaku, Tuan Pemilik?”

Ia berdiri perlahan, langkahnya mendekat ke arah gadis itu. Setiap langkah terdengar jelas, membuat ruang di antara mereka terasa semakin sempit.

“Tergantung,” jawabnya datar, mata kelam itu tak lepas dari wajah Cleora.

“Apakah kau tahu siapa aku, atau kau hanya gadis mabuk yang tidak tahu bahaya apa yang sedang menatapmu sekarang?”

Suara itu rendah, bergetar halus, dan entah kenapa membuat Cleora justru sulit bernapas.

Ia mundur satu langkah, tapi punggungnya sudah menyentuh dinding.

Dominic berhenti di hadapannya, hanya jarak satu napas yang memisahkan keduanya.

Untuk pertama kalinya malam itu, Cleora benar-benar sadar bahwa ia telah melangkah ke dalam dunia yang seharusnya tak pernah ia masuki.

Cleo menatap pria di depannya, rahangnya tegas, matanya gelap, dan auranya begitu mendominasi.

Tipenya sekali!

Dominic menunduk sedikit, memperhatikan bagaimana gadis itu berusaha menahan gemetar di ujung jarinya.

“Apa yang kau cari di sini?” tanyanya pelan, tapi suaranya tetap menusuk.

Cleo menggeleng. “S-sudah kubilang, aku tersesat,” gugupnya. Seketika rasa pusing di kepalanya menguar, menghilangkan rasa mabuknya.

Dominic menatapnya beberapa detik sebelum menghela napas panjang. Senyum samar muncul di wajahnya, bukan senyum ramah, tapi mampu membuat darah di nadi Cleora berdesir.

“Kalau kau tidak lari dari sini, maka kau akan menyesal seumur hidupmu,” katanya perlahan.

Nada suaranya rendah.

Cleo terdiam.

Kata-kata itu seperti peringatan, tapi juga undangan, dan entah mengapa, alih-alih takut, ia justru ingin tahu apa yang akan terjadi jika ia memilih untuk tidak pergi.

Tatapan mereka kembali bertemu. Tak ada lagi jarak, hanya ketegangan yang nyaris tak tertahankan.

Dominic tidak bergerak, namun hawa keberadaannya begitu kuat hingga seolah memenuhi seluruh ruangan.

Sementara itu, jantung Cleora berdebar begitu keras hingga ia bisa mendengarnya sendiri.

Matanya menatap ke arah pintu yang terbuka sedikit di belakang Dominic jalan keluar. Tapi tubuhnya tak mau bergerak.

Ia tahu ia seharusnya berbalik.

Ia tahu pria di depannya berbahaya.

“Aku tidak menyesal,” ucap Cleora akhirnya, hampir tanpa suara.

Dominic menatapnya tajam, seolah mencoba membaca isi pikirannya. Senyum kecil kembali muncul di sudut bibirnya samar dan berbahaya.

“Kau bahkan belum tahu apa yang harus kau sesali,” bisiknya.

Cahaya di ruangan itu terasa meredup, dentuman musik dari luar menghilang. Hanya ada mereka berdua dua orang asing dari dua dunia berbeda yang seharusnya tidak pernah bertemu.

Namun malam itu, segalanya berubah.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Enmity: Musuhku Ayah Bayiku   Kesedihan Cleo

    Cleora meringkuk di ranjangnya, tubuhnya bergetar hebat. Air mata sudah mengering di pipinya, namun hatinya masih terasa sakit dan ketakutan. Anne duduk di sampingnya, menghela napas panjang. Ia sudah mencoba berbagai cara untuk menenangkan Cleora, namun tidak ada yang berhasil."Sampai kapan kau akan seperti ini, Cleo?" tanya Anne, dengan nada lelah. "Kau tidak bisa terus-terusan menyalahkan dirimu sendiri."Cleora tidak menjawab. Ia hanya menatap kosong ke arah langit-langit kamar. Pikirannya melayang, mengingat kembali saat-saat bersamanya dengan Dominic."Padahal... dia tipeku sekali," gumam Cleora, dengan nada melamun.Anne mengusap wajahnya dengan frustrasi. Ia tidak habis pikir dengan sahabat sekaligus nonanya itu. Di saat seperti ini, Cleora masih saja memikirkan hal-hal yang tidak penting."Kau pikir nona muda sepertimu akan mudah mencari cinta sesuai yang kau inginkan?" kata Anne, dengan nada kesal. "Kau punya segalanya, Cleo. Kau cantik, kaya, pintar. Tapi kau selalu saja

  • Enmity: Musuhku Ayah Bayiku   Terungkap

    Dominic menutup telepon dengan kasar. Wajahnya mengeras, rahangnya mengeras. Ia berbalik, menatap Cleo yang masih berbaring di ranjang, terbalut selimut dan mengenakan kemejanya.“Sial!” Makinya.Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Dominic bergegas berpakaian. Ia mengenakan setelan jasnya dengan gerakan cepat. Ia meraih kunci mobilnya dan bergegas keluar dari kamar, meninggalkan Cleo yang masih terbaring di ranjang.Dominic melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, membelah jalanan kota yang sepi. Pikirannya dipenuhi dengan amarah dan kekhawatiran. Ia tahu, keluarga Addison adalah ancaman nyata bagi keluarganya. Dan sekarang, mereka merencanakan sesuatu yang besar.Sementara itu, di penthouse Dominic, Cleo terbangun dari tidurnya. Ia meregangkan tubuhnya, lalu menyadari bahwa ia sendirian di ranjang. Ia mencari-cari Dominic, namun tidak menemukannya di mana pun.Cleo bangkit dari ranjang, mengenakan kemeja kebesaran Dominic yang terasa hangat dan nyaman di tubuhnya. Ia berjalan kelu

  • Enmity: Musuhku Ayah Bayiku   Fakta

    Napas Cleo dan Dominic masih tersengal-sengal saat mereka berbaring berdampingan di sofa. Suasana di restroom itu terasa begitu intim dan penuh kehangatan. Keduanya masih berusaha menenangkan diri setelah badai gairah yang baru saja mereka lalui.“Kau lelah?” tanya Dominic.Cleo menatap langit-langit, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Ia merasa sedikit malu, tetapi juga sangat bahagia. Ia tidak pernah membayangkan akan melakukan hal seperti ini dengan seorang pria yang baru dikenalnya. “Mh sedikit.” Jawabnya.Namun, ia tidak menyesal. Ia merasa bahwa Dominic adalah seseorang yang istimewa, seseorang yang bisa membuatnya merasa nyaman dan aman.Dominic memiringkan tubuhnya, menatap Cleo dengan tatapan lembut. Ia mengulurkan tangannya, mengelus rambut Cleo dengan sayang. "Kau baik-baik saja?" tanyanya, dengan nada khawatir.Cleo mengangguk pelan. "Ya, aku baik-baik saja," jawabnya, sambil tersenyum tipis. "Aku hanya... sedikit terkejut."Dominic tertawa kecil. "Aku juga,"

  • Enmity: Musuhku Ayah Bayiku   Melakukannya lagi 21+

    Cleora duduk santai bersama Anne yang tengah sibuk bergelut dengan ponselnya, sementara Cleo, gadis itu benar-benar gugup sampai dia bahkan tidak bisa berbuat apa-apa di kursinya sendiriBeberapa saat kemudianPintu ruangan itu terbuka, seorang pria dengan jas abu-abu masuk dengan satu orang di belakangnya. Kemudian tanpa aba-aba langsung melangkah ke arah meja Cleora tanpa ragu sedikit pun.“Boleh aku duduk di sini?” suara itu muncul tiba-tiba dari samping meja.Anne dan Cleora serempak mendongak. Begitu Cleo melihat wajah itu, ia langsung berdecak pelan dan memutar bola matanya malas. “Tidak,” jawabnya singkat dengan nada menyebalkan.Brandon hanya terkekeh kecil. “Kau belum berubah, Cleo. Aku bahkan belum duduk, tapi sudah ditolak lebih dulu.”Cleo menyandarkan tubuhnya, menyilangkan tangan di dada. “Kau juga belum berubah, Brandon. Masih saja tidak mengerti konsep ‘tidak berarti tidak.’”Anne menahan tawa di seberang meja, pura-pura sibuk membuka menu.Brandon menarik kursi dan d

  • Enmity: Musuhku Ayah Bayiku   Bertemu

    Setelah berendam air hangat dan menikmati sarapan di kamarnya, Cleo dan Anne bersiap untuk mengunjungi kakek Cleo, Tuan Lewis Addison, di mansionnya. "Ayo, Anne, kita harus segera berangkat," kata Cleo, berjalan keluar dari kamarnya. "Iya, sebentar," jawab Anne, menyusul Cleo. "Tapi Cleo, bisakah kau naikkan sedikit kerah crewneck-mu? Nyonya Amartha bisa marah besar kalau melihat lehermu yang penuh tanda itu." Cleo hanya mengangkat bahu, tidak peduli. "Sudahlah, Anne. Nenekku tidak akan melihatnya," jawab Cleo, santai. "Justru itu masalahnya! Kalau nenekmu sampai melihatnya, aku yang akan digantung hidup-hidup!" seru Anne, panik. "Ayolah, Cleo, demi aku." Cleo menghela napas panjang, lalu dengan malas menaikkan sedikit kerah crewneck-nya. "Sudah?" tanya Cleo, dengan nada kesal. "Naikkan lagi sedikit," pinta Anne, cemas. "Sedikit lagi saja." Cleo memutar bola matanya, lalu menarik kerahnya hingga hampir menutupi dagunya. "Puas?" tanya Cleo, sinis. "Sempurna!" jawab Anne,

  • Enmity: Musuhku Ayah Bayiku   Mencari Informasi

    Mobil sport Cleora berhenti di depan gerbang mansion mewah keluarga Addison. Cleora keluar dari mobil dengan santai, senyum cerah menghiasi wajahnya. Ia tampak seperti tidak terjadi apa-apa semalam.Anne keluar dari mobil setelahnya, membawakan tas dan barang-barang Cleora. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah sahabatnya yang seolah tanpa beban."Kau ini benar-benar tidak bisa dipercaya," gumam Anne, mengikuti Cleora masuk ke dalam mansion.“Welcome home!!!!” teriaknya ceria"Bibi Marry" panggil Anne, melihat kepala pelayan senior itu berjalan menghampiri mereka."Selamat pagi, Nona Cleora, Nona Anne," sapa Bibi Marry dengan sopan.“Pagi bibi marry ku sayang” jawab Cleo sambil melengos menuju lift meninggalkan mereka"Bibi, tolong siapkan sarapan untuk Cleo di kamarnya ya," pinta Anne. "Dan tolong minta pelayan siapkan air hangat untuk Cleo mandi juga.""Baik, Nona," jawab Bibi Marry, mengangguk."Apakah Tuan Aaron dan Nyonya Victoria sudah berangkat, Bi?" tanya Anne."Su

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status