The SEVEN SEAS EXPLORER Cruise Ship. Mediterranean Seas—Italy | 7:02 PM
"Anne, apa sekarang aku kurang cantik? Kurang seksi?"
Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam, ketika Crystal masih memutar-mutar tubuhnya di depan cermin. Mengagumi, sekaligus meragukan tiap sudut tubuh moleknya yang terbalut dress biru tua tanpa lengan dengan motif abstrak setelah percobaan berpuluh-puluh dress lain. Elegan dan seksi. Rambut tergerai yang tengah disisir Anne juga cukup memberikan kesan manis. Tapi, tetap saja, untuk pertama kali dalam hidupnya Crystal merasa tidak percaya diri.
"Anda selalu cantik, Nona. Hanya orang buta yang tidak akan terpikat pada Anda," ucap Nanny berusia setengah abad yang selalu melayaninya.
Crystal menyematkan kedua tangannya di pinggang, membusungkan dada. "Ya, kau benar. Jika sampai si berengsek itu masih juga tidak terpana, fix—dia buta."
"Maksud Nona muda?"
"Ah, tidak-tidak lupakan saja." Crystal melambaikan tangan, kembali duduk di kursi meja rias kamarnya, sengaja memudahkan tugas Anne sekaligus mengalihkan pembicaraan. Sialan. Sampai kapan pun Crystal tidak akan mengakui jika ada laki-laki bodoh tidak terpana melihatnya.
Crystal masih belum selesai ketika ponsel di meja riasnya bergetar.
Aiden : Kau di mana? Aku ingin menemuimu sebelum sayembara yang terakhir.
Crystal buru-buru membalasnya.
Crystal : Masih di kamar. Apa sayembaranya? Quinn berkata kau hampir menang.
Jawaban Aiden datang dengan cepat.
Aiden : Bermain Piano.
Balasan itu membuat tangan Crystal gemetar, dingin. Jantung Crystal serasa diremas. Apa mereka sudah gila? Aiden memang mahir bermain piano, lelaki itu juga sering mengajari Axelion bermain lagu-lagu mudah. Tapi, untuk bermain di kumpulan orang yang menunggu performa dengan lagu-lagu rumit itu dan memerhatikan detail permainan Aiden ... Crystal ragu Aiden akan baik-baik saja. Tidak. Ini akan sulit. Dulu, Aiden adalah maestro piano termuda, hingga kecelakaan itu terpaksa membuatnya berhenti. Bagaimana bisa ia membiarkan Aiden menunjukkan kemampuan yang hilang?
Crystal : Aku akan kesana. Tunggu sebentar.
"Ini sudah cukup," ucap Crystal kepada Anne. Kemudian ia berdiri dan membiarkan Anne menata gaunnya lagi sebelum berlari keluar dari kamar yang dia tempati selama di kapal pesiar.
Ini benar-benar bodoh. Sayembara ini saja sudah bodoh, rutuk Crystal dalam hati.
Crystal berniat langsung ke ballroom kapal, tempat Aiden berada, tetapi melihat Aurora keluar dari kamar sambil membawa kucing putih yang sangat dia kenal--menghentikan langkahnya.
"Princessa?" Crystal menghampiri Aurora, yang terlihat sangat menyayangi kucing putih bermahkota itu.
Aurora tersenyum lebar pada Crystal. "Hi, Crys?"
"Dari mana kau mendapatkan kucing itu?" tanya Crystal tanpa basa-basi, seolah baru saja melihat orang mengambil barang miliknya.
"Huh?"
Crystal menggeram. "Astaga, kucing ini!"
"Oh, Xander yang memberikannya."
"Xander?" Mendadak mulut Crystal jadi terasa pahit.
"Ya, Xander. Xander William. Apa kau mengenalnya?" Aurora tersenyum, mengelus lembut Princessa. "Dia memang jahil, tapi dia selalu sebaik ini."
Dia bukan hanya kucing. Dia kucing yang akan kuberikan pada orang yang kusuka.
Crystal menutup mata namun menggeram dalam hati mengingat ucapan Xander tadi. Tubuhnya menegang. Sial. Apanya yang baik? Jadi yang lelaki itu maksud Aurora? Crystal tidak tahu kenapa dia bisa sekesal ini, mungkin egonya terluka mendapati ada lelaki yang tidak tertarik padanya sama sekali, malah menyukai perempuan yang sudah bersuami. Kakak iparnya sendiri.
"Ngomong-ngomong, tadi Xavier tampak kesal, katanya kau membuat ulah. Dia menolak menceritakan padaku. Sebenarnya ada apa, Crys?"
"Ah, iya. Aku lupa." Crystal mengutuk dalam hati, teringat dengan agenda lain yang belum selesai. Tadi hanya dengan Daddy-nya, tapi sekarang Xavier juga ikut campur. "Tadi Daddy memergokiku saat kabur dari sayembara bersama Xander."
Aurora terbelalak. "Kalian?" beo Aurora. "Kalian berhubungan? Aku pikir, kau hanya berhubungan dengan Aiden."
"Hubungan kami ... sedikit rumit." Crystal mengedikkan bahu. "Aku pergi dulu, Vee.”
Tidak sepenuhnya benar, tapi aku tidak berbohong, bisik Crystal dalam hati.
Crystal menghentikan langkah, menatap lautan lewat kaca kapal pesiar. Berhenti lama di sana. Amarah masih mendesak menjalari tulang punggungnya. Kenapa? Ia tidak tahu apa yang membuatnya berkata dan bertingkah seperti ini. Crystal bahkan ingin menangis.
Namun, tetap saja masa bodoh. Apa pun alasannya, bukankah Aurora juga sudah bersama Xavier, tidak seharusnya Xander William mengejar-ngejar istri orang lain, apalagi memberikan Princessa padanya! Itu namanya! Jika lelaki itu ingin memberikannya pada seseorang, seharusnya orang itu adalah—sial.
Perut Crystal menegang. Napasnya berubah pendek. Sebenarnya apa yang terjadi padanya? Di dalam sana, Aiden sedang berjuang demi mereka. Kenapa Crystal malah memikirkan lelaki—tunggu. Crystal terbelalak, teringat sesuatu; Aiden! Benar ... Aiden menunggunya! Kenapa dia malah berdiri di sini seperti orang bodoh?!
Suara high heels beradu dengan lantai marmer begitu Crystal berlarian melewati lorong yang mengarahkannya ke ballroom. Penjaga membuka pintu dan Crystal melongok masuk. Ballroom itu sudah penuh dengan orang-orang berpakaian modis. Tapi, suasana entah kenapa hening. Pandangan Crystal menjelajah, berusaha menemukan Aiden di tengah kerumunan orang-orang itu sembari menelponnya.
Dering pertama.
Dering kedua.
Masih tidak ada jawaban.
Hingga, lantunan suara piano yang terdengar membuat darah Crystal membeku. Butuh beberapa saat untuk mengenali lagu itu.
Crystal menurunkan ponselnya, mencengkram benda itu erat. Kemudian, ia berjalan membelah kerumunan yang tengah melihat pertunjukan piano di ujung ruangan. Di sana Crystal melihatnya, Aiden Lucero—prince charming-nya tengah memainkan karya Liszt berjudul La Campanella—salah lagu tersulit yang pernah ditulis dalam dunia per-pianoan dengan sempurna. Jemari Aiden terus meluncur cepat di atas tuts piano tanpa cela.
Crystal tersenyum, matanya berkaca-kaca, disusul kelegaan dalam dadanya. Seakan bongkahan batu yang selama ini menyumbat jiwanya terangkat semua.
Suara tepuk tangan dan decak kagum membanjiri ballroom begitu penampilan Aiden usai.
Crystal masih membeku, terus mengamati Aiden yang berdiri di samping piano dan mengangguk hormat pada semua hadirin. Lalu, tatapan Aiden menjelajah, memecah kerumunan—seakan mencari sesuatu. Hingga mata coklat itu berbinar begitu bertemu dengan mata biru Crystal, diikuti bibir Aiden yang tersenyum hangat.
Ketika Aiden mengulurkan jemarinya, meminta Crystal mendekat, Crystal tidak berpikir panjang untuk naik ke panggung untuk menyambut uluran Aiden dan masuk kepelukan lelaki itu .
"Astaga, Eden. Kau membuatku terkejut. Aku sangat lega. Tangan emasmu kembali. Kemampuanmu kembali," ujar Crystal, suaranya serak dan parau.
Dada Aiden bergemuruh karena tawa. Lelaki itu mengelus puncak kepala Crystal sebelum mendaratkan ciuman di keningnya. "Kau millikku. Demi dirimu, aku akan menekan hingga batas maksimalku."
"Aku tahu." Crystal tersenyum, meringkuk lebih dekat dengannya, lengan Crystal merangkul pinggangnya dengan erat.
"Sudahlah Daddy Javier! Tidak perlu susah-susah melakukan sayembara! Nikahkan langsung saja mereka!" teriakan Andres mengalun nyaring.
Crystal menoleh menatapnya, biasanya dia akan selalu memberikan tatapan sinis pada Andres, tapi malam ini—bersama Aiden, dia menatapnya geli. Sementara di ujung ruangan, Xavier dan Javier tampak menatap tajam seraya berkata tidak jelas—sepertinya mengumpat.
Hingga tiba-tiba ....
"Sampai kapan kalian akan berdiri terus disana? Turunlah, harus ada orang yang memperbaiki mood pesta ini."
Crystal memelotot begitu mendapati Xander William sudah berdiri di anak tangga terbawah panggung, memandang malas dengan jemari dimasukkan ke saku celana. Berbeda dengan Aiden yang mengenakan setelan hitam, Xander dengan bisa-bisanya memakai setelan jas biru tua seperti milik Crystal.
"Kau!" Crystal menggeram, melepas pelukannya dari Aiden, lalu menghampiri Xander dengan wajah menantang. “Kenapa kau memplagiat warna gaunku?!"
"Apa kau selalu meributkan hal tidak perlu seperti ini; nama kucing, sekarang warna?” Xander mengangkat satu alis, melirik Aiden di balik punggung Crystal, lalu kembali memandang Crystal dengan kilatan jail. "Atau, kita memang berjodoh, Meng?”
"What?!" Crystal menganga.
Xander mengerling, lalu menaiki tangga dan melewati Crystal. "Kau sudah, bukan? Kalau sudah, silahkan turun dengan Meng manjamu, biar aku memperbaiki mood di sini. Musik klasik memang bagus dan sulit, tapi kau tahu tidak semua orang memiliki telinga mahal kan?" tanya Xander tidak memedulikan tatapan dingin dan curiga Aiden.
"A—apa katamu?" Crystal masih tidak mau mengalihkan pembicaraan tentang mereka berjodoh. Dia mengamati para tamu yang menganga, Javier yang terbahak, kemudian menyusul Xander--berdiri di samping Aiden.
"Turun," ulang Xander lagi, padahal bukan itu maksud pertanyaan Crystal. Bahkan, tanpa sopan santun, Xander sudah lebih dulu duduk di kursi piano, sengaja memberikan pengusiran tanpa kata lagi.
"Dasar lelaki gila!" Crystal menggeram, bersiap melepas sepatunya. Berniat melemparkan kepala berotak kurang waras itu dengan sesuatu, sekaligus menyalurkan amarahnya sejak tadi yang sama sekali tidak beralasan.
Namun, Aiden menahan dan menuntun Crystal turun, sementara Xander memulai permainan.
Setelah Xander bermain mood ruangan itu langsung berubah. Bukan hanya karena suara indah Xander yang mengiringi alunan pianonya, tapi pilihan lagu lelaki itu benar-benar luar biasa. Crystal menganga mendengar Xander menyanyikan Marvin Gaye—lagu bertema seks di atas sana.
Crystal tidak bisa berkata-kata, tapi ia masih bisa mengumpat dalam hati; Dasar, lelaki sinting!
***
Lebih sinting lagi, perbuatan Xander membuat mereka tidak bisa lepas dari sidang Javier.
Crystal mendongak begitu Xander melangkah masuk ke salah satu ruangan khusus di kapal pesiar. Tentunya tidak secara sukarela, enam bodyguard dengan badge L E O N I D A S berjaga di kanan kirinya. Xander sendiri tampak pasrah.
Seluruh keluarga Leonidas mulai dari Javier sampai Aurora sudah ada di ruangan ini, tetapi tidak mengikut sertakan Aiden.
"Apa-apaan ini. Aku merasa seperti penjahat," gerutu Xander begitu para bodyguard melepaskannya. Tapi, begitu dia mendapati Aurora, Xander langsung mengedipkan mata. "Hai, sayang."
Sontak, Xavier dan Crystal melotot, sementara Aurora mendengus malas. "Bukankah kau memang penjahatnya?"
"Aku? Penjahat?" Xander menunjukkan raut wajah pura-pura terluka.
"Kau mengacaukan sayembaranya, Xander! Bisa-bisanya kau membawa Crystal kabur. Ikuti saja sayembaranya dengan benar!" gerutu Aurora.
Crystal berpura-pura tidak melihat ketika Xander memberikan tatapan kesal padanya, yang sengaja tidak memberikan klarifikasi. Lagipula, kesimpulan itu bukan salahnya. Orangtua dan kakaknya, yang berpikir seperti itu.
"Tunggu! Aku? Xander? Membawa dia kabur?" Xander tegelak. "Lucu sekali. Aku tidak pernah—"
"Tunggu, siapa namamu tadi?" Javier menyela, keningnya mengernyit.
"Xander, Sir."
"Hanya Xander?"
Xander tersenyum sopan. "Xander Peter Raul William."
"Aku yakin tidak melihatmu di daftar peserta sayembaranya,” ujar Javier, tatapannya menyelidik.
Belum sempat Xander menjawab, Xavier menyahut. "Untuk apa dia ikut? Dia menang pun, aku tetap tidak akan merestui—"
"Xavier. Aku bertanya padanya," tukas Javier tegas, cukup membuat Xavier terdiam, sekalipun tatapannya pada Xander makin tajam.
Lagi. Xander tersenyum tenang. "Saya memang tidak ikut, Sir."
"Tidak ikut?"
"Saya sadar diri. Kekayaan saya masih terlalu sedikit untuk menyetarai putri—"
“Jangan merendah untuk melangit! Memangnya William Corp itu kau anggap apa? Kedai Pizza pinggir jalan?” Aurora menyela, mengabaikan lirikan Xavier padanya.
“Ya ampun, Vee. Seharusnya itu hanya jadi rahasia kita,” rajuk Xander seolah-olah itu sebuah rahasia besar, tapi senyuman lelaki itu yang terkesan jahil tidak bisa menyembunyikan kesombongan di baliknya. Lalu, Xander kembali menatap Javier dengan tatapan hormat. "Saya benar-benar minta maaf, Sir. Saya tidak berniat berbohong, tapi saya hanya takut jawaban saya akan melukai ego Anda."
"Apa itu?" Tatapan Javier makin menajam, penuh perhitungan. "Apa kau sudah menemukan gadis yang lebih baik dari putriku?"
Tidak, Daddy. Tapi, dia sudah menyukai menantumu, Crystal bergumam kesal dalam hati, tapi tidak dia katakan—sadar itu hanya akan melukai gengsinya sendiri.
Sembari tersenyum, Xander menggeleng. "Tidak juga, Sir."
"Lalu?"
Xander menyugar rambutnya, tampak tersiksa. "Ayolah, Sir! Saya ini Xander! Xander William!" ucap Xander lelah, kali ini tatapannya tertuju pada Crystal. "Bukan saya ingin merendahkan putri Anda, tapi saya ini terlalu Dewa untuk mengikuti sayembara hanya untuk bocah manja seperti dia."
"Bocah kau bilang?" Crystal meledak. Denyut nadinya berpacu. Buru-buru dia berdiri, melangkah mendekati Xander dengan dagu terangkat ke atas. Menghapus jarak antara mereka menjadi beberapa senti saja. "Ah, bocah." Crystal tersenyum sinis. "Kalau begitu kau seorang pedophile sialan yang menegang hanya dengan melihat bocah memakai dalaman. Bagaimana tadi? Aku sangat fantastis bukan? Kau pasti tidak pernah melihat bocah seseksi Crystal Leonidas!”
Tawa Xander mengudara. “Kau terlalu pandai berkhayal.”
“Apa aku harus menciummu di sini? Mencumbumu sekarang juga? Agar kita bisa membuktikan siapa yang sedang berkhayal, William?!”
"What?!" pekik Anggy.
Crystal meringis. Punggungnya menegang. Seraya menutup mulutnya dengan kedua tangan, ia mengedarkan pandangan ke masing-masing anggota keluarga yang kompak terbelalak.
"Wow. Kau berani sekali," bisik Xander.
Crystal makin meringis. "Daddy, begini ... bisa kujelaskan." Crystal gelagapan, terlebih melihat tatapan Javier dan Xavier yang menggelap—siap melahapnya. Terutama Xavier. "Jadi, jadi, begini—"
"Baiklah. Jadi kau Dewa." Mengabaikan ucapan Crystal, Javier yang sudah bisa menguasai diri melangkah mendekati Xander.
"Iya, Sir." Xander tampak tak gentar.
Javier tersenyum manis. "Kebetulan sekali Leonidas ini ingin bermain-main dengan Dewa. Aku belum pernah mencobanya," lanjutnya tidak mau membuang-buang waktu. "Ayo kita tebak; kira-kira berapa lama seorang Leonidas bisa membangkrutkan Dewa?"
"Daddy!"
"Tiga hari?"
Crystal dan Xavier menyahut bersamaan. Raut mereka bersebrangan; Crystal ketakutan, sementara Xavier tertarik. Sangat.
Menahan napas, Crystal sangat tahu jika senyum Daddy-nya yang manis adalah sinyal bahaya. Namun, raut wajah Xander terlihat mengangap itu lelucon yang harus ditertawai. Bajingan bodoh. "Coba saja dulu, Sir," kata Xander sambil mengangkat kedua bahu tidak acuh.
"Wah! Aku suka anak muda yang berani," kekeh Javier, sementara tatapan iblis muncul di wajah Xavier.
THE GUARDIAN :WILLIAM CORPS'S BANKRUPTCY : The World’s Economy is Shaken Up!Manhattan, NY. Berita mengejutkan datang dari William Corp; perusahaan teknologi, perminyakan dan infrastruktur yang dalam beberapa waktu terakhir masih menempati posisi satu dunia. Dilansir dariRouters,perusahaan multinasional ini mulai mengalami penurunan saham sejak satu bulan yang lalu. Nilai sahamnya terus merosot, bahkan saat ini sudah menyentuh kisaran harga—Crystal mengerang, melempar ponselnya kedashboardmobil. Xavier salah. Bukan tiga hari, tapi perlu waktu satu bulan bagi Leonidas untuk meratakanWilliam Corp. Menekan pedal gas keras-keras, Crystal melajukanLamborghini Aventadorputihnya membelah jalanprivateyang menghubungkan gerbang utama dengan 
FOUR SEASONS HOTEL, New York—USA | 02:15 PM"Terima kasih. Jika bukan karena kau, Axelion mungkin masih uring-uringan." Crystal menoleh pada Aiden yang tengah mendorong kursi untuknya, sementara beberapa pelayan menata makan siang sekaligus menuangwinemereka. "Kau bahkan melewatkan makan siangmu untuk mengajaknya bermain piano.""It's okay,"jawab Aiden, seraya memutari meja lalu duduk di depan Crystal. "Lagipula, aku lebih suka makan bersamamu." Ekspresi Aiden datar, tapi Crystal tetap bisa merasakan cinta yang besar di mata Aiden."Apa aku harus mengulangi kalimatmu?""Hm?""Berkata jika aku juga lebih suka makan bersamamu?"Aiden tersenyum. Senyum yang hanya akan diberikan pada Crystal saja. Lelaki itu mengulurkan tangan, menggenggam jemari Crystal dan mengelus lembut cincin pertunangan mereka. "S
INQUIRETA's office, Manhattan, New York—USA | 04:01 PMSetelah memastikan pegawainya menempelkan plester terakhir ke jemari Aiden dengan benar, Crystal meminta orang itu segera keluar dari ruangannya. Dalam waktu yang cukup lama, dia dan Aiden duduk bersebelahan tanpa mencoba membuka obrolan. Keduanya kompak memusatkan perhatian pada televisi yang menampilkan berita kebangkrutan perusahaan Xander.Perekonomian dunia memburuk, diakibatkan terkena efek domino terkait ancaman kebangkrutan William corp. Beberapa aksi dilakukan oleh para pekerja di seluruh dunia untuk menuntut pembatalan PHK. Dimulai dari Hong Kong, Jerman, Canada, Belanda, Amerika, dan kini merembet ke wilayah Asia. Bukan hanya para buruh pekerja, beberapa perusahaan yang berkaitan dengan William Corp juga terkena imbasnya. Beberapa dari mereka memilih melepaskan saham, tapi tidak sedikit juga yang memilih mempertahankan—yakin jika
"Jika aku jadi kau, aku tidak akan segan mematahkan lehernya." Suara geraman sengit membelah udara di belakang mereka. "Selain menjadiA ranker,dia hanya anak Charlotte! Bahkan, dia bangkrut! Dia tidak bisa seenaknya bersikap kurang ajar kepadaS rankersepertimu!""Wah! Apa itu berarti aku juga tidak boleh bersikap kurang ajar padamu?" tanya Xander pada si pemilik geraman. Tanpa menoleh, Xander tahu itu suara Alexandre Dominguez, lelaki pirang bermata biru sepantaran Xander yang baru naik pangkat menjadiS ranker Tygerwellsatu bulan yang lalu.Alex menggeram. "Apa itu hal yang masih perlu kau tanyakan?""Seseorang pernah bilang padaku; jika kau malas bertanya, kau akan tersesat." Xander berputar dan menatap Alex malas-malasn. "Aku sedang berusaha agar tidak tersesat. Bukan begitu, Rex?""Terserah kau saja," jawab Rex datar.
Xander mengerang, merasakan mulut Crystal yang panas dan basah, manis. Xander tersentak keras begitu Crystal membelai belakang tengkuknya ringan—perlahan dan sensual—membuat rasa lapar dan kebutuhan menjalari tulang punggungnya."Crystal." Xander melenguh, ketika bibir Crystal membalas pelan dan lembut pagutannya. Seakan ingin berlama-lama. Seakan ini harus jadi panjang, membuatnya gila.Xander melepaskan bibir dan memandang Crystal, mengagumi penampilan perempuan itu yang begitu sempurna. Bibir yang manis dan hangat. Lekuk tubuh yang menggoda untuk disentuh. Mata birunya menatap Xander sayu, berkabut, seakan kehilangan fokus. Sial. Tubuh Xander menegang, ia menangkup bagian bawah kepala Crystal lalu mencium perempuan itu lebih brutal dari sebelumnya.Erangan Crystal, menggetarkan tubuh Xander.Dia sudah bisa membayan
"Aku lapar, lelah, dan ingin mandi!" keluh Crystal. Matanya menatap nanar kuku-kuku yang tidak digandeng Xander. Tadinya, Crystal menyukai hasil nail art dari perpaduan warna coklat dan emas, tetapi sekarang jadi kotor. Dia tidak terlihat lagi seperti Crystal Leonidas!Xander masih bisu.Bibir Crystal mencebik. "Xander! Bawa aku pulang. Rambutku juga sudah kusut. Aku maunanny-ku!"Xander tetap diam, terus berjalan dan menggandeng Crystal."Xander! Kau tidak mendengarku?!"Tetap tidak ada jawaban."William!!!""Ssttt!" Bebarengan dengan desisannya, Xander menarik Crystal ke salah satu lorong jalan. Menyembuyikan tubuh mereka, lalu menatap sekitar. Penuh kewaspadaan.Seketika, jantung Crystal berdebar keras. "Apa yang mengejar kita terlihat lagi?"
Ranjang yang bergerak-gerak membangunkan Crystal.Crystal mengerjap, menyadari sinar matahari yang menembus atap kaca kotor dan menerangi kamar loteng ini. Wajah Xander terlihat, dibingkai cahaya memesona dan tampan seperti biasanya, tapi juga menyebalkan dengan senyum mengejek yang tersungging di sana.Rambut Xander masih basah, badan kokoh lelaki itu sudah terbungkus rapi; celana jeans biru, kaus oblong putih, dan jaket kulit coklat. Astaga, lelaki ini lebih tampan dibanding pemain TV Series Spanyol!"Good morning, sleepyhead," sapa Xander.Berisik.Crystal menutup matanya lagi. Tempat ini terlalu nyaman, aman, segar, dan tenang—cocok untuk tidur seharian. Sudah lama rasanya Crystal tidak tidur sedamai ini. Senyenyak ini. Kenapa dia harus bangun?"Crys! Kenapa kau tidur lagi?!" Xander menarik selimut Crystal.
"Sepertinya perempuan jelek ini penting bagimu." Alex melangkah ke hadapan Crystal dengan langkah penuh percaya diri, menyentuh dagunya, kemudian menatap Xander. "Haruskah kita bawa dia juga?"Xander terlihat makin tegang dan marah, tapi Crystal sudah tidak memedulikan itu ketika ucapan Alexandre lebih mengganggunya. “Jangan sentuh di—““Bitch!” "Jelek katamu! Berkacalah! Kau lebih jelek, berengsek!" Umpatan Crystal beradu dengan erangan Alexandre ketika lutut Crystal menendang di pusat diri Alexandre. Di senternya.Sepersekian detik Crystal melihat Xander menganga, lalu berkata, "Sentermu pasti sakit," ringis Xander berkebalikan dengan tatapan mengejeknya pada Alexandre. "Aku harus memeringatkan Zoe. Kasihan jika dia tidak sengaja menerima lelaki yang asetnya sudah—""Diam kau, setan!" teriak Alex."Maksudmu De