ホーム / Romansa / Fleur's Wedding / Bab 3 - Aroma Anggur

共有

Bab 3 - Aroma Anggur

last update 最終更新日: 2025-10-27 11:04:33

Baru saja melangkah masuk ke kantornya, Anshel menerima kabar yang membuat darahnya berhenti mengalir.

“Apa, Tuan Wesley meninggal?”

Anshel langsung mengecek panggilan dari Fleur dan dari kediaman Ayahnya.

Flashback

Saat Fleur baru tiba di kantor, ia menerima telepon dari Philippe, kakak laki-lakinya.

“Fleur, jangan banyak tanya. Cepat pulang ayah kritis?”

Fleur langsung meminta supirnya pergi ke Estate Rivershade, kediaman mereka.

Saat tiba disana orang-orang sudah berkumpul kamar Tuan Wesley. Dokter pribadi mereka memberitahu bahwa ayahnya sudah tiada. Fleur disambar petir di siang bolong, ia menangis sesenggukan, memeluk jenazahnya, ia terus mencoba membangunkan dari lelap tidurnya, lalu berdiri dan marah kepada kakaknya.

“Philippe… kau bilang ayah kritis, ternyata… beliau sudah meninggal, kenapa kau membohongiku?” ucapnya sambil memukul dada kakaknya.

Philippe langsung memeluk Fleur sambil meminta maaf, tapi ia Melepaskan Pelukannya. Lalu menatap beberapa pelayannya.

“Bibi Alice apa yang terjadi pada Ayahku?”

Pelayannya, Alice, menunduk. Suaranya pelan, seperti takut pada setiap kata yang keluar.

“Semalam, saya melihat Tuan Wesley masuk ke ruang anggur dan menolak ditemani siapa pun. Sekitar dua atau tiga jam kemudian, saya mendengar suara gelas pecah... tapi saya tidak berani mengeceknya, Nyonya.”

Alice menelan ludah sebelum melanjutkan,

“Keesokan paginya, saat Tuan Clement mencari beliau, seluruh ruangan tercium aroma anggur dan Tuan Wesley ditemukan sudah tergeletak dan tak sadarkan diri.”

Clement, sopir mereka menambahkan bahwa dirinya langsung menelpon dokter keluarga, kebetulan rumahnya tidak jauh dari kediaman mereka, namun setelah di cek beliau sudah meninggal dunia.

Ketiga anaknya Wesley Ruthven langsung mengelilingi jenazahnya. Kemudian Fleur mencoba menelpon suaminya tapi tidak diangkat, lalu Alicelah yang menelponnya ke kantor Anshel.

Anshel pun langsung menuju rumah mertuanya. Setiba di sana ia melihat Fleur sedang menangis di pelukan Pamela. Lantas ia mengobrol dengan Philippe.

Ayahnya kini sudah dimasukkan ke dalam peti. Meskipun kerajaan keluarganya telah lama bubar, darah bangsawan tetap melekat di nama Ruthven, dan pemakamannya tetap dijalankan dengan upacara kehormatan, sebuah penghormatan bagi darah asing yang kini diakui sebagai bagian dari mereka. Bendera keluarga diselimuti di atas peti matinya, setangkai mawar putih diletakkan di dadanya, lambang cinta dan persaudaraan yang menembus batas asal negaranya, Sovereign Hearts . Saat tanah menutupi peti perlahan, udara di sekeliling seolah membeku dalam hening yang sakral.

Ibunya Anshel juga hadir ia mengulurkan tangan dan memeluk Fleur. Cukup membuat Fleur tersentuh di tengah kekacauan hatinya.

Di Kediaman Ruthven. Fleur, si bungsu Ruthven sedang berada di kamar Ayahnya, ia masih sukar melepaskan kepergiannya. Anshel mencoba membujuknya agar tenang, tapi tak didengar. 

“Ayah jadi kau memilih pergi agar aku bisa menginap disini?” tangisnya.

Anshel membiarkan Fleur menginap di rumah Ayahnya dan ia kembali ke rumah.

Anshel tertidur di ruang kerjanya. Namun ponselnya berdering, panggilan dari kekasihnya, tapi ia mematikannya. Ia mengangkat tangannya kanannya di atas kening sambil memikirkan kepergian Ayah mertuanya secara mendadak.

Karena sudah tidak bisa tidur ia pun berlatih anggar.

“Sudah lama sekali aku tidak melakukannya,” ucapnya sambil mengambil pedang dari lemari khusus lalu mengamatinya, ia mengelus dari bawah ke ujung, Ia tersenyum tipis dan ia pun memulai.

Anshel membuka kedua kakinya hingga sembilan puluh derajat, dan mulai mengeluarkan beberapa teknik yang Ia kuasai. Dan tak terasa dia sudah melakukannya selama empat puluh menit. Di tengah keseriusannya ia teringat awal pertemuan dengan mertuanya, mereka di kenalkan oleh Ayahnya saat pesta ulang tahunnya.

“Kenalkan Anshel, ini Tuan Wesley Ruthven. Kau pasti sudah sering mendengar namanya kan kalau dia pembuat Anggur terenak di kota Rivershade.”

Mereka pun berkenalan dan berjabat tangan.

“Senang berkenalan dengan anda, saya sangat menyukai minuman yang tuan buat.”

Tuan Wesley merasa tersanjung. Lalu mereka mengobrol tentang beberapa jenis anggur yang diolahnya, dan ia juga mengundangnya ke pesta pernikahan Philippe, kakaknya Fleur.

Beberapa minggu kemudian acara pernikahan Philippe digelar. Dan disanalah ia bertemu dengan Fleur.

Keduanya disarankan berdansa oleh Ayah Anshel dan Philippe. Mereka pun setuju.

Namun Fleur tidak terlalu pandai dalam berdansa. Tapi Anshel menenangkan kalau dirinya akan mengajarinya. Lalu keduanya mulai berlatih, Anshel mengajarinya dengan sabar. Dan karena jarak mereka terlalu dekat Fleur memintanya berhenti.

Fleur mundur dan tersenyum dengan perasaan campur aduk, namun lilinya sedikit memerah.

“Maaf…, saya merasa tidak nyaman,” ucap Fleur sopan.

“Baiklah tidak apa-apa Nona Princetta.”

Fleur mencoba merapikan rambut dan pakaiannya.

“Panggil saja, Fleur.”

“Oh oke Nona Fleur…” seru Anshel sambil tersenyum.

Lalu Fleur pamit. Dia malah memilih minum wine dan mengobrol dengan Pamela dan Beatrice, istri kakaknya.

Anshel senyum tipis sambil memandangnya dan kembali mengobrol dengan tamu undangan lain, namun sejak itu Ayahnya sering mengajaknya bertemu dengan Keluarga Ruthven. Bahkan Tuan Wesley sering memberikan Anshel Anggur secara cuma-cuma dan beliau sempat mengajaknya bermain anggar, rupanya Tuan Wesley sering mengajaknya bermain bersama, dan beliau lebih mahir darinya, Anshel sampai kalah telak dan menjatuhkan pedangnya.

Tepat saat itu ia pun tersadar.

“Tuan Wesley, sayang sekali kita tidak bisa menjadi rival lagi.”

Ia pun berbaring di lantai dan memejamkan mata.

Beberapa hari kemudian suasana di Estate Rivershade tampak sunyi.

Fleur dan Pamela tampak murung di kamar mereka masing-masing.

Philippe menemui Pamela di kamar.

“Ka Pamela, cepatlah bangun. Kita harus melanjutkan hidup kita, kau tidak takut warisan Ayah aku ambil semua?” candanya.

“Ambil saja, aku tidak membutuhkan itu.”

Philippe pun pergi ke kamar Fleur, Ia menggelengkan kepalanya pelan. Tanpa pikir panjang ia memanggulnya dan menyeburkannya ke kolam renang.

“Philippe, kau sangat keterlaluan.”

“Aku tidak tahu bagaimana lagi membujukmu, bukankah kau sangat suka berenang Fleur,” ucapnya sambil bertolak pinggang.

“Jangan keluar dari sana atau aku akan menghukummu!”

Fleur dengang polosnya mengangguk.

Tak berapa lama kemudian ia membawa kakaknya dan mendorongnya ke kolam, lalu ia pun ikut nyebur.

Philippe terus menciprati kakaknya dan adiknya dengan air, mereka pun langsung membalasnya suasana pun menjadi cair dan hangat seketika, para pelayan tersenyum melihat keakraban mereka.

Emma memperhatikan mereka dari kejauhan sambil menyirami tanaman.

“Syukurlah mereka selalu akur, Philippe memang dewasa selalu menjaga kakak dan adiknya.” Lalu ia kembali fokus pada pekerjaannya.

Kini Pamela dan dan Fleur sedang bercanda, Philippe menatap keduanya dan pikirannya terlempar ketika mulai dari ayahnya yang ditemukan tak sadar diri dan saat dimakamkan, ia menatap liang lahat yang baru saja tertutup, angin dingin menyentuh kulitnya wajahnya. Suara doa dan langkah-langkah para pelayat yang berderu di telinganya, lalu pada malam hari ketika ia berdiri di ruang kerja ayahnya, dokter keluarga pribadi mereka datang ke rumah, dan ia bicara dengan nada hati-hati.

"Nak Philippe, saya tahu anda juga pasti mencurigai hal yang sama dengan saya.”

Kebetulan Philippe pernah ingin melanjutkan kuliah kedokteran dan sering bertanya soal dunia kesehatan pada dokter Leander. tapi Ayahnya ingin ia terjun ke dunia bisnis, makanya ia mengubur mimpi itu.

Dokter itu menatap serius anak kedua dari keluarga Ruthven sekaligus penuh kekhawatiran.

“Ya kita tahu, Tuan Wesley tidak memiliki penyakit yang serius karena beliau pandai menjaga kesehatan dengan rajin berolahraga, saya melihat ada kejanggalan dari kepergiannya, kata dokter itu, matanya menatap Philippe penuh kekhawatiran. Lalu ia melanjutkan ucapannya.

“Saya sudah mengambil sampel darah dan sisa minumannya. Dan sudah dikirim ke laboratorium, dan tinggal nunggu hasilnya dalam beberapa hari."

Philippe menautkan alisnya, menelan rasa cemas yang tiba-tiba membuncah.

"Apakah itu sejenis racun?" bisiknya, meski tahu pertanyaan itu terdengar menakutkan.

Dokter menghela napas panjang, menundukkan kepala.

"Kita tidak bisa memastikan sebelum hasil laboratorium keluar, tapi ini… tanda-tanda kematian yang tidak wajar. Kulitnya pucat, bibirnya sedikit kebiruan, dan posisinya ketika ditemukan, terlihat seperti kaget sebelum akhirnya kolaps."

Philippe merasakan jantungnya berdegup lebih kencang. Dan bertanya-tanya orang yang sudah berani merebut nyawa Ayahnya itu.

Tak terasa airnya matanya menetes, dan percikan air membuyarkan lamunannya.

Fleur dan Pamela langsung menariknya dan mengajaknya bertanding.

“Oke kalau aku menang bagaimana kalau kita liburan ke villa hijau?

Pamela dan Fleur pun setuju.

Ketiganya langsung bersiap-siap menyebur, tapi di pertengahan perlombaan itu, Fleur justru berbuat curang ia berhenti lalu menarik kaki kakaknya, alhasil Philippe kalah, dan Pamela yang jadi pemenangnya, Kakaknya gak terima minta di ulang. Namun di tengah keseruan mereka ada suara seseorang yang ikut nimbrung.

“Kau curang Fleur, harusnya Philippe yang menang, bukan sekutumu.”

Ruthven bersaudara langsung menoleh ke belakang.

“Anshel, sejak kapan kau di sana?” tanya Fleur sambil bersembunyi di balik tubuh kedua kakaknya.

Bersambung.

この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード

最新チャプター

  • Fleur's Wedding   Bab 5 - Tuan Putri Di Tengah Bayangan

    Baru saja tiba di Ruthven Wine, Anshel langsung meminta Philippe memberhentikan istrinya dari jabatannya. “Philippe, jangan dengarkan dia!” seru Fleur dengan nada tinggi. Philippe menatap keduanya bergantian lalu tertawa kecil. “Baiklah, anggap saja ini hanya lelucon.” Namun Anshel menatapnya serius. “Aku tidak sedang bercanda. Aku ingin istriku bekerja bersamaku.” Nada Philippe berubah. “Baiklah, kita bicarakan di dalam.” “Maaf, ini sudah siang. Aku ada rapat lain. Lain kali saja kita lanjutkan.” Anshel mengalihkan pandangan pada istrinya. “Fleur, aku sudah menyampaikan yang ingin kukatakan. Tolong pikirkan permintaanku.”Tanpa di duga Anshel mencium bibir Fleur di depan mereka, membuat Fleur terdiam tak berdaya.Philippe dan Pamela menutup mulut, terkejut melihat aksi adik iparnya, sementara Smith hanya bisa ternganga.“Aku berangkat dulu ke kantor, sayang.”Anshel pun pergi, diam-diam tersenyum puas karena berhasil mencuri ciuman dari istrinya.Fleur menggertakk

  • Fleur's Wedding   Bab 4 - Sarapan Yang Hangat

    Ruthven bersaudara baru menyadari kehadiran Anshel. “Kalian terlalu sibuk bermain, hingga tidak menyadari kehadiranku.” Philippe langsung naik dan mengajak adik iparnya masuk ke dalam, ia juga menyuruh pelayannya menyiapkan sarapan untuk mereka. Anshel sempat menoleh ke belakang menatap istrinya, yang terlihat lebih ceria dari kemarin. Kemudian Philippe izin mandi dulu dan akan segera kembali untuk mengobrol dengannya. Anshel memperhatikan ruangan itu. Kediaman Ruthven memancarkan keanggunan klasik, lantai kayu gelap berkilau, lampu kristal yang memantulkan cahaya lembut di cermin besar, dan tirai beludru emas yang menahan sinar pagi. Mata Anshel tertuju pada rak buku di sudut ruangan laku mengambil sebuah buku dan membacanya. Fleur dan Pamela pun langsung masuk kamar masing-masing untuk membersihkan diri. Anshel merasa bosan ia lalu berjalan-jalan. Fleur pun mandi dengan tenang. Air hangat melesap di kulitnya, Ia menggosok tubuhnya dengan spons berbusa, aroma mawar y

  • Fleur's Wedding   Bab 3 - Aroma Anggur

    Baru saja melangkah masuk ke kantornya, Anshel menerima kabar yang membuat darahnya berhenti mengalir. “Apa, Tuan Wesley meninggal?” Anshel langsung mengecek panggilan dari Fleur dan dari kediaman Ayahnya. Flashback Saat Fleur baru tiba di kantor, ia menerima telepon dari Philippe, kakak laki-lakinya. “Fleur, jangan banyak tanya. Cepat pulang ayah kritis?” Fleur langsung meminta supirnya pergi ke Estate Rivershade, kediaman mereka. Saat tiba disana orang-orang sudah berkumpul kamar Tuan Wesley. Dokter pribadi mereka memberitahu bahwa ayahnya sudah tiada. Fleur disambar petir di siang bolong, ia menangis sesenggukan, memeluk jenazahnya, ia terus mencoba membangunkan dari lelap tidurnya, lalu berdiri dan marah kepada kakaknya. “Philippe… kau bilang ayah kritis, ternyata… beliau sudah meninggal, kenapa kau membohongiku?” ucapnya sambil memukul dada kakaknya. Philippe langsung memeluk Fleur sambil meminta maaf, tapi ia Melepaskan Pelukannya. Lalu menatap beberapa p

  • Fleur's Wedding   Bab 2 - Ancaman Dan Kabar Duka

    “Kalau kau belum bercerai juga, aku akan membunuhmu, atau… Ayahmu dulu yang harus aku lenyapkan, Fleur!”Fleur menatap layar itu lama. Di bawah teks, terlampir foto lama ayahnya di sebuah acara politik, dengan tanggal dan nama perusahaan keluarga di pojok bawah.Alisnya berkerut pelan. Foto ini tak seharusnya bisa keluar dari arsip keluarga.Ia menarik napas panjang, mencoba menekan debar di dadanya.“Siapa yang kirim ini…?” gumamnya lirih. Fleur tersenyum sinis. Ia tak membalas, hanya membaca sekilas pesan itu sambil bergumam lirih di dalam hatinya. Sepertinya ini dari Ava Grace. Berani-beraninya dia mengancam istri sahnya. Smith datang membawa kopi untuk mereka. Tuan Weasley dan Fleur pun mengucapkan terima kasih. Sahabatnya itu duduk di samping ayahnya. “Fleur, bagaimana kalau besok kita berkuda?” tanya pria yang memiliki rambut coklat dan ikal itu Fleur meletakkan cangkir kopinya dengan tenang. Ia duduk tegap, menyilangkan kaki, lalu menatapnya sambil tersenyum. “

  • Fleur's Wedding   Bab 1 - Klausul Pernikahan

    Kehidupan rumah tanggaku seperti sebuah papan catur, aku hanya pion yang bergerak di antara dua raja.“Nyonya saya mohon, jangan masuk. Tuan Anshel sedang ada tamu.”Fleur tidak mempedulikannya dan terus melangkah. Wanita berusia tiga puluh tahun itu terus membujuk dan mencoba menghalang Fleur kembali. “Nyonya Fleur, tolong… tunggu dulu di ruangan sebelah, Tuan Anshel bisa marah!”Suara sekretaris terdengar gugup. Namun Fleur terus melangkah di koridor panjang dengan langkah mantap, gaun krimnya bermotif bunga lili bergoyang mengikuti irama tumit yang beradu dengan lantai marmer, parfumnya yang beraroma bunga manis dan mewah langsung menyebar.Saat tiba di depan ruangan, ia mendengar suara samar dari dalam. Fleur memegang gagang pintu itu dan langsung membantingnya dengan keras. Fleur melenggang memasuki kantor suaminya, Anshel Robinson, cucu Raja Robinson II. Ayahnya, Arthur Robinson, meninggalkan istana untuk mengejar kekuasaan di dunia bisnis, meninggalkan tahta di belakangnya.

続きを読む
無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status