Mashayu berjalan gontai setelah membetulkan pakaiannya yang acak-acakan karena perbuatan pria tadi, cengkraman tangan itu masih sangat ia rasakan, rasanya sakit sekali untuknya, tetapi Shayu heran, mengapa wajah Albiru begitu familiar baginya, mungkinkah mereka pernah bertemu sebelumnya, Shayu sama sekali tidak ingat, lalu ia pun melanjutkan pekerjaanya dan setelah itu, gadis itu menghadap HRM, untuk menuntut keadilan untuknya, dan juga untuk orang lain, karena kejadian seperti tadi akan terus jika tidak dihentikan.
Kini ia tiba di depan ruangan HRM, diapun masuk ke ruangan itu, Ibu Dina adalah kepala HRM di hotel tempatnya bekerja tersebut, ia sangat ramah, tanpa ragu wanita paruhbaya itupun menanyakan apa keperluan Shayu datang ke ruangannya.
“Ibu Dina, saya minta maaf sebelumnya jika dinggap terlalu berlebihan dalam menyikapi sikap tamu terhadap saya hari ini,” ucap Shayu ragu, Ibu Dina dengan saksama mendengarkan dan memperhatikan ucapan gadis itu
“Ada masalah apa dengan tamu itu Shayu?” tanya wanita itu dengan sabar.
“Sa-saya dilecehkan bu,”
“Apa? Dilecehkan bagaimana? Dan dimana?” Ibu Dina terkejut saat mendengar pengakuan Shayu.
“Di kamar 7012, hari ini Bu,” ucap Shayu gugup.
“Apa yang terjadi di kamar itu hari ini Mashayu?”
“Hari ini tamu dari kamar itu meminta saya untuk merapikan kamarnya, sayapun menyetujuinya dengan datang ke kamar itu segera, namun saat saya tiba di sana ternyata tamu itu memiliki maksud lain Bu, beliau mengancam saya, mencium pipi saya dan menindih tubu saya ke bed, saya takut Bu,” gadis manis itupun mulai menangis saat menceritakan semuanya, bagaimanapun ini adalah kali pertamanya diperlakukan seperti itu oleh lelaki.
“Oh Shayu, Ibu bersedih mendengarnya, sebentar ya Ibu periksa dulu siapa tamu di kamar itu,” Shayu pun mengangguk dan Bu Dina segera memeriksa laptopnya untuk menemukan pria tersebut.
Wanita tampak berfikir saat menatap layar komputer, seperti ingin mengatakan sesuatu pada Shayu tetapi tertahan.
“Bu, apa ibu berhasil mengetahui siapa orang itu?” tanya Shayu tidak sabar.
“Benar inikah orangnya?” tanya Bu Dina sambil menunjukkan layar pada laptopnya.
“Benar sekali Bu, pria ini orangnya,” saat itu Shayu merasakan adanya aura ketakutan di wajah Bu Dina.
“Mashayu, apa kau yakin bahwa dia yang telah melecehkanmu?”
“Benar Bu, saya yakin. Saya masih ingat betul wajah dan suaranya,” jawab Shayu, dan gadis itupun mulai bingung dengan ekspresi Dina.
“Shayu, sepertinya kau sedang dalam masalah saat ini, jika kita memproses kasus ini, maka itu beresiko kaulah yang akan dipecat dari hotel ini,” Bu Dina memberikan suatu pilihan yang Shayu sendiri belum mengerti apa maksud perkataannya.
“Maaf Bu, apa maksud Ibu? Dan mengapa saya yang harus dipecat bukankah tamu itu yang bersalah.
“Maafkan aku Shayu, mungkin ini tidak adil bagimu, tetapi kau harus mengetahui kebenarannya, bahwa pria yang kau anggap telah melecehkanmu itu adalh CEO hotel ini, sekaligus pemegang saham terbesar dari seluruh cabang hotel milik perusahaan kita,” ucap Dina kemudian memeluk Shayu yang tercengang dengan perkataannya.
“Apa Bu? Apa ibu sedang bercanda? Bukankah dia tamu? Bukankah kemarin tamu itulah yang memesanku untuk merapikan kamarnya? “ Shayu masih tak percaya dengan perkataan Dina yang baru saja ia dengar.
“Sungguh Shayu, Pak Albiru adalah CEO perusahaan kita, hotel ini hanyalah salah satu dari sekian banyak hotel yang ia pimpin.”
“Bu, jika memang seperti itu, lalu mengapa tingkahnya tidak melambangkan suatu kepemimpinan? Mengapa dia begitu mesum? Mengapa dia berani berbuat seperti itu pada staff rendahan seperti saya?”
“Shayu, tentang itu, ibu juga tidak tau, sekarang pilihan ada di tanganmu,apa kau ingin melanjutkan kasus ini atau tidak?” Bu Dina tampak sedih saat memberi pilihan itu kepada Shayu, Shayu tau dalam hati Dina, ia sangat ingin membantu dirinya, tetapi pada kenyataannya, pria itu bukanlah orang biasa dan cukup berpengaruh di tempat ini.
Shayu bisa saja melaporkannya ke pihak berwajib, tetapi bagaimana jika nanti ia dipecat? Bagaimana caranya melunasi hutangnya pada rentenir itu? Begitu banyak orang jahat di hidup Shayu, entah apa dosa yang sudah ia lakukan sebenarnya.
Gadis itu pun keluar dari ruang HRM kembali dengan langkah gontai, kini ia harus tetap menjalani hidupnya seperti semula dan melupakan adegan menyedihkan yang baru saja ia alami. Orang tuanya butuh uang, dan tak seharusnya ia mengutamakan egonya dengan membahayakan satu-satunya mata pencahariannya.
Hari berganti, bulan berlalu kini Shayu memasukki semester terakhir pendidikannya, setelah ini gadis cantik itu akan diwisuda dan bisa bekerja dengan penuh tanpa harus membaginya dengan kerja paruh waktu lagi, kondisi ayahnya pun semakin membaik. Shayu sangat bahagia. Di tahun ke empat pendidikannya, ia dapat pekerjaan di sebuah kedai kopi di dekat universitas tempatnya menimba ilmu.
Sesuai dengan jurusan yang ia ambil, saat ini Shayu menjadi barista di kedai kopi, dimana hari-harinya selalu diwarnai dengan aroma kopi dari mesin, aroma caramel dan latte. Sungguh sangat membanggakan saat tangannya itu berhasil membuat kopi art, atau kopi dengan seni pada permukaan atasnya yang biasa ditampilkan pada cappuccino with art.
Siang ini kondisi café sangat ramai, hingga Mashayu kelabakan dibuatnya, para pengunjung sangat agresif, beberapa kali mendekat ke meja barista agar gadis itu cepat memproses pesanannya, dengan sabar ia tetap tersenyum meskipun hatinya terbakar.
Saat ia sedang sangat sibuk dengan racikan kopinya, tiba-tiba saja seseorang datang dengan asisten di belakangnya, eksekutif muda itu berjalan ke arah Shayu, dan membuatnya begitu gugup, sebab sorot mata pria sangat tajam saat menatapnya dari kejauhan, hingga semakin mendekat, semakin mata Shayu mengenalinya. Shayu tak habis pikir saat wajah tampan itu mulai menghampirinya.
“Al-Albiru?” ucap gadis itu lirih dan hanya Shayu yang mampu mendengarnya.
“Hai Mashayu, apa kabar?” tanya pria bernama Albiru itu, dengan senyuman yang tersungging di sudut bibirnya.
“Kau? Kau si mesum itu kan?” tanpa control ucapan itu terlontar dari mulut Shayu begitu saja.
Bukannya menjawab, tetapi ia malah semakin mendekati ke dalam station barista. Jika superviosor melihat ini pasti Shayulah yang akan dimarahi.
“Sayang, jangan terlalu lelah bekerja, seperti sedang dikejer hutang piutang saja!” katanya sambil membelai rambut Shayu, astaga mengapa ia begitu lancang, batin gadis itu.
“Hentikan ini Pak. Terakhir kita bertemu kau telah melecehkanku! Aku tak ingin hal serupa terjadi lagi hari ini!” Shayu semakin tak sabaran untuk memukulnya.
“Jangan terlalu galak pada calon suamimu ini Shayu, sebaiknya simpan sisi liarmu di malam pengantin kita saja!” ucap Biru, menyeringai.
Shayu masih mematung, mencoba mencerna perkataan Albiru, bagaimana mungkin Biru dan Shayu akan menikah, sedangkan bertemu saja baru dua kali, itulah yang ada di pikiran gadis itu.
Biru masih saja berada di sudut ruang barista yang sempit itu, ia terus menatap tawananannya dengan mata elangnya yang menawan, seolah Mashayu adalah mangsa buruan yang harus ditakhlukan.
“Kenapa kau masih berada di situ Biru, pergi sana! Ini tempat kerjaku!” teriak gadis bertubuh ramping itu.
“Mashayu, aku sedang menunggumu membuatkan kopi untukku,” senyuman mesum itu lagi-lagi menghiasi bibir merahnya.
Siapa sebenarnya Albiru, mengapa perasaanku mengatakaan jika kami pernah bertemu sebelumnya, batin Mashayu.
“Apa maksudmu?” bentak Shayu pada pria yang masih saja berada di hadapannya itu, ia merasa pria itu sedang ingin menggodanya, pria setampan dan semapan itu menggoda seorang gadis biasa seperti Shayu, gadis itu merasa ada yang tidak beres pada Biru. Biru mulai mendekat, dan semakin dekat lalu berbisik di telinga Shayu. “Aku tau kau sangat penasaran terhadapku bukan?” tanya Albiru, hembusan nafas itu lagi-lagi menggelitik manja di area leher Shayu. Seakan ia sengaja melakukannya untuk membangunkan hasrat Mashayu. “Albiru, siapa sebenarnya dirimu? Dan kenapa kau terus saja menggangguku?” Shayu tak tau lagi harus menggunakan bahasa apa, agar pria itu mau menjelaskan maksud dan tujuannya. “Mashayu, aku tertarik padamu. Menikahlah denganku, dan kau tak perlu lagi bekerja keras untuk melunasi hutangmu,” kata Biru tepat pada wajah Shayu. Sejenak gadis itu berfikir bagaimana mungkin pria itu tahu tentang hutangnya. Mungkinkah ia benar-benar telah mengenal Shayu dan keluarganya sebelumnya.
Albiru sedang berada di ruangannya, sebuah ruang kerja di mansion bergaya Eropa, pemilik mata elang dan hidung mancung itu sedang berbicara pada asisten pribadinya, Dilan. “Tuan, kami mendapat laporan bahwa Tangguh Airlangga masih dalam status koma,” ucap pria berseragam serba hitam itu pada bosnya. “Bagaimana kondisi bedebah itu sekarang? Apa kau yakin ia masih koma?” tanya Biru, memastikan. “Yakin tuan, sesuai dengan laporan dokter,” “Bagus, lihat saja Tangguh! Setangguh apa dirimu setelah ini, apa yang bisa kau lakukan saat nanti putrimu berada dalam genggamanku,” gumam Biru sambil menatap foto agen rahasia Negara yang sejak lama diincarnya itu. “Charles, pastikan system sadap dan pengintai kita bekerja dengan benar! Aku tak ingin ada kesalahan terutama, saat Tangguh tersadar nanti,” ucap Biru pada asistennya itu. “Siap tuan,” jawab Charles. “Berjagalah di depan kamar Shayu, jangan sampai ia kabur!” “Sesuai perintahmu Tuan,” jawab Charles. **** Di tempat lain. Tepatnya di
Sial, kenapa curam sekali lantainya! dan jika aku memaksakan untuk melompat maka matilah diriku! jika saja tak ada tanggungan keuangan untuk keluarga, sudah dari kemarin-kemarin aku bunuh diri. Sayangnya, aku masih memikirkan ayah ibuku yang saat ini terjerat rentenir gila itu! gumam Mashayu saat berada di balcony bangunan megah itu. Dia mengamati lingkungan sekitar dari atas, lantai tiga kamar dimana Albiru menyekapnya, dilihatnya beberapa penjaga mansion sedang berjalan mondar-mandir mengedarkan pandangan. Mashayu masih mengamati dan memikirkan caranya bagaimana untuk bisa kabur. Diapun mengambil bed cover di atas tempat tidur kemudian menariknya dan mengikatnya menjadi beberapa bagian. Setelah itu dihubungkannya pada rails pada balcony tersebut. Mashayu berusaha sekuat tenaga agar kain tebal itu dapat terikat dengan sempurna sehingga mampu untuk menopang tubuhnya saat ia kabur nanti. Semoga saja bundalan sheet dan bed cover ini cukup untuk membawaku hingga ke dasar, Ya Tuhan, la
“Ayo pulang!” ucap Biru, mencengkeram tangan gadis itu. “Tidak mau! Pulang kemana? Itu bukan rumahku!” ucap Shayu mencoba untuk melepaskan tangan kekar itu, otot kehijauan mulai terlihat di kulit putih Albiru. “Mansion itu akan menjadi tempat tinggalmu! Mashayu!” Biru semakin mengeratkan genggaman tanganya. “Akhh! Shayu! Kau!” pria itu tiba-tiba memekik kesakitan saat Shayu menggigit tangannya, seketika Albiru melepaskan tawanan yang telah berhasil ditangkapnya itu. “Rasakan!” Mashayu berlari sekuat tenaganya, namun dengan sigap kawanan pengawal Albiru kembali menangkapnya. “Bawa dia masuk ke mobil!” perintah Albiru, seketika pria-pria berpakaian hitam itu membawa Shayu masuk. “Baik tuan,” jawab mereka serempak. Mashayu berontak, hingga ia kembali menggigit para bodyguard itu dengan sisa tenaga yang ia miliki. “Akh! Nona kenapa kau hobi sekali menggigit!” ucap salah seorang pengawal. “Rasakan! Aku bisa saja memakan dagingmu jika aku mau!” ucap gadis yang mulai pucat itu, ia ke
“Bagaimana keadaannya Dok?” tanya Albiru pada dokter itu. “Umm.. tidak ada masalah tuan,” ucap dokter sambil memeriksa bagian luka Shayu. “Apa anda yakin?” Albiru ikut mengamati kaki Mashayu. “Yakin, tuan. Hanya perlu dua atau tiga jahitan dan luka ini akan segera hilang,” dokter itupun mulai memebersihkan luka di telapak kaki Mashayu. Kemudian dikeluarkannya alat jahit medis, Shayu bergidik ngeri. “Ahh!” pekik gadis itu saat dokter menyuntiknya bius di bagian yang akan dilakikan tindakan. “Maaf Nona,” ucap dokter itu. Albiru menatap gadisnya yang tengah kesakitan selama proses penjahitan. “Dok, apa kau yakin itu mati rasa?” tanya Albiru. “Iya tuan,” jawab sang dokter sambil melanjutkan kegiatannya. “Tapi, kenapa dia sangat kesakitan?” tanya pria itu sedikit menampakkan kekhawatiran. “Aku tidak sedang kesakitan Biru!” “Aku hanya ngeri melihat jarum jahit,” kini Shayu mengeluarkan suaranya. “Tidak apa nona, ini tak akan lama lagi, dan setelah ini luka anda akan segera pulih,”
Albiru masuk ke kamar Mashayu dengan diikuti Rida, pelayannya dari belakang. Tampak gadis itu masih terbaring di atas tempat tidur. "Rida, suruh dia makan! aku ingin melihatnya!" perintah Albiru, dan seketika mendekati Mashayu yang masih tak mau menatap ke arah Albiru. "Nona, maaf ini makanannya," ucap pelayan wanita itu. "Sudah kubilang, aku tidak lapar!" ucap Mashayu ketus. "Tapi, tuan meminta anda untuk makan, Nona," tutur Rida lembut. "Suruh saja dia yang makan!" Mashayu masih saja menolak, sedangkan perutnya kian berbunyi menandakan jika empunya sedang kelaparan. "Nona.. " "Apa? cepat bawa nasi itu pergi!" Albiru yang hanya memperhatikan sejak tadi, kemudian merasa geram pada gadis itu dan menghampirinya, ia bahkan tau jika Mashayu sedang kelaparan."Rida, pergilah," ucap pria itu sambil meraih piring di tangan pelayannya. Wanita itupun mengangguk dan keluar dari sana meninggalkan tuannya bersama gadisnya. "Apa kau mau mati kelaparan?" tanya Albiru dengan sepiring nasi di
“Jangan menyentuhku!” ucap Shayu berusaha melepaskan diri dari pria itu. “Biru!” “Lepaskan!” bagaikan mendapat dorongan semangat, nyatanya pria itu justru semakin liar menjelajahi tubuh indah Mashayu, Shayu menggunakan segala kekuatannya agar bisa lolos dari pria kejam dan mes*m itu. Tetapi, tetap saja sepertinya tenaga mereka sangat berbeda jauh. Bagaimanapun Shayu adalah seorang wanita, tentu saja ia tak dapat melawan pria kekar itu. Ada desiran aneh saat mata mereka saling bertemu, namun rasa kesal dan benci begitu mendominasi sehingga membuat gadis itu memiliki tenaga lebih untuk mendorong Albiru. “Sudah kubilang jangan menyentuhku!” “UKHH!” Shayu mendorong dan menendang tubuh pria yang sedang mengungkungnya tersebut, hingga terjatuh ke lantai. “Sial, tubuh sekecil itu, nyatanya bisa menjatuhkanku,” batin Albiru , dia meringis kesakitan, mendapati bagian tubuhnya yang menghantam lantai marmer kamar itu. Shayu berlari menuju pintu keluar, ia tak sanggup untuk berada di dekat
"Bu, apa yang ibu katakan?" tanya Mashayu saat mendengar ibunya mengatakan hal yang menurutnya gila. "Nak, ibu tak mau melihatmu terus menderita, lebih baik menikah saja dengan Albiru!" "Tidak Bu, Shayu tidak mau!" ucap gadis keras kepala itu pada ibunya, sebenarnya Shayu tak pernah membantah perintah atau perkataan ibunya namun ia terpaksa harus menolaknya jika sang ibu meminta gadis itu untuk menikah dengan pria yang sangat ia benci. "Belum menikah saja sudah berniat jahat! apa lagi setelah menikah, apa ibu mau Shayu lebih disiksa lagi?" "Nak. dengarkan ibu, sepertinya dia itu pria yang baik," Laras semakin membuat Mashayu terintimidasi. "Apa ibu bilang?" "Dia itu jahat Bu, dia telah membuat hidup kita menjadi seperti ini, tidak ada pria baik yang memanfaatkan ketidakberdayaan orang lain, tidak ada orang baik yang menjadikan kelemahan orang lain untuk kepentingannya sendiri," gadis itu masih saja melanjutkan pendapatnya tentang Albiru. "Tapi Nak, waktu kita tidak banyak lagi