Share

GANTENG-GANTENG PELIT
GANTENG-GANTENG PELIT
Author: ENI SUPADMI

DITINGGAL NIKAH

“Kita putus!” pinta Amoy tegas membuat Ali  tersentak.

Pasalnya tak ada hujan tak ada badai, tiba-tiba ucapan menyakitkan itu meluncur dari bibir indah gadis berdarah Cina itu.

“Kamu jangan bercanda, Sayang?” ucap Ali mencoba santai.

“Aku ga bercanda,” jawab Amoy masih dengan dingin.

“Tapi salahku apa? Perasaan hubungan kita baik-baik saja?” Ali mencoba mengingat kesalahan yang dilakukannya.

“Kamu memang ga salah.”

“Terus, kenapa kamu minta putus?” Ali menyelidik ,menghadirkan rasa canggung pada gerak tubuh gadis sosialita itu.

“Aku dijodohkan oleh orang tua,” jelas Amoy membuat mata Ali membeliak. Tak percaya di zaman modern seperti ini masih ada saja tradisi kolot itu.

“Kenapa kamu ga tolak?” tanya cowok cool itu. “Kamu kan pacarku.”

“Aku tak bisa menolak karena lelaki yang akan dijodohkan denganku itu anak rekan bisnis Papa.”

“Aku tak terima kita putus!” tandas Ali marah. “Harusnya kamu memperjuangkanku. Katakan pada papamu jika kamu mencintai laki-laki lain!”

“Aku tak berani.”

“Kamu harus berani!” Ali memberi semangat. “Kita perjuangin cinta kita seperti yang dilakukan pasangan yang tak direstui layaknya di TV-TV,” sambung Ali berapi-api membuat Amoy menepuk dahinya. Ternyata pacarnya ini korban sinetron.

“Kalau perlu kita kawin lari!” ucapan Ali makin tak bisa diterima akal.

“Aku tak bisa,” tolak Amoy dengan tatapan tajam. “Aku tak mau melawan perintah papa.”

“Kamu ini gimana sih?” sentak Ali. “Ga ada pengorbanannya sama sekali dengan cinta kita.”

“Maksud kamu?” Amoy menautkan alis tebalnya.

“Ya, harusnya kamu berkorban dengan menolak lamaran ini demi cinta kita,” paksa Ali.

“Aku tak bisa!” lagi-lagi Amoy menolak. “Kita putus!” tandasnya lalu pergi tanpa mengacuhkan teriakan Ali yang terus memanggilnya sehingga menjadi tontotan gratis di tepi Danau Sunter.

**************

Ali mengingat masa-masa indah bersama Amoy saat memadu kasih. Cewek Cina itu bukan hanya cantik, tapi begitu perhatian dengan Ali. Apa yang diminta Ali semua dituruti. Dari beli baju, sepatu, hingga makan di tempat mahalpun, Amoy yang bayar.

Saat mengunjungi tempat-tempat wisata di ibu kota, Ali tak pernah sekalipun mengeluarkan uang. Semua keluar dari dompet Amoy. Tapi Ali punya cara lain untuk membalas perlakuan royal pacarnya. Ia berusaha bersikap romantis. Mengirimi Amoy pesan baik pagi, siang, sore atau malam. Nelpon di atas jam dua belas malam dengan paket nelpon hemat. Selalu menggandeng tangan Amoy saat berjalan berdua. Membelai, menciumi jemari pacarmya hingga menikmati bibir tipis sang kekasih hati.

Bahkan untuk memberikan rasa hangat ia sering memeluk Amoy. Merangkul mesra untuk memberikan perlindungan pada gadis yang sudah menaklukkan hatinya itu. Bagi Ali, hubungannya dengan Amoy itu sempurna karena saling mengisi kekurangan satu sama lain. Amoy mengisi kekurangan isi dompet Ali. Sedang Ali mengisi ruang kosong di hati Amoy.

Terlalu indah jika momen-momen itu berlalu begitu saja. Banyak kenangan bersama Amoy yang tak bisa terlupa begitu saja. Tak ingin ditinggal nikah saat sayang-sayangnya, Ali nekat menemui orang tua Amoy di kawasan elite Kelapa Gading.

Ruang tamu yang luas itu terasa sempit saat Ali sudah duduk dengan kedua orang tua Amoy dan juga Amoy sendiri. Keringat dingin mulai menyeruak di kepala pemuda asli Jakarta itu.

“Perkenalkan Om, saya Ali, pacar Amoy.” Ali memperkenalkan diri dengan perasaan gugup.

“Ya.” Suara berat milik papanya Amoy terdengar. Laki-laki gagah itu duduk santai menyeder ke sofa. “Terus.”

“Sa_saya dan Amoy saling mencintai” lanjut Ali makin gugup.

“Lalu.”

“Izinkan saya menikahi Amoy,” ucapnya membuat Amoy menyunggingkan senyum sinis.

“Emang Amoy ga bilang kalau dia sudah dijodohkan dengan anak relasi bisnis saya?” tanya ayah Amoy santai.

“Sudah, Om.”

“Lalu kenapa kamu masih nekat melamar anak saya?”

“Karena saya begitu mencintai anak, Om.” Ali berharap kalimat ini bisa meluluhkan hati orang tua Amoy.

“Kamu punya modal berapa untuk menikahi anak saya?”

“Maksudnya?” Ali mendongak, menatap wajah calon papa mertuanya.

“Kamu kan mau menikahi anak saya jadi butuh modal untuk pesta pernikahan nanti,” jelas papa Amoy.

“Memang saya ga bisa menyeleggarakan pesta besar, hanya cukup ke KUA saja,” sahut Ali bijak. “Tapi percayalah Om, saya akan membahagiakan Amoy!”

Janji Ali membuat tawa ayah Amoy pecah. Begitupun dengan mama dan Amoy sendiri yang menutupi senyum mereka dengan tangan. Sedang Ali bingung mengapa dia ditertawakan.

“Al, Al,” ucap ayah Amoy sambil geleng-geleng kepala. “Kirain kamu bawa uang dua ratus juta untuk melamar anak, Om.”

Ali menelan saliva. “Dua ratus juta, Om?”

“Iya, dua ratus juta.” Ayah Amoy menegaskan lagi. “Itu uang yang dibawa calon suami Amoy untuk pesta pernikahan.”

“Kalau uang sebanyak itu saya ga punya, Om,” kilah Ali. “Yang saya punya segudang cinta untuk Amoy.”

“Rumah tangga ga cuma makan cinta Al, tapi butuh duit.” Ayah Amoy berdiri dan diikuti oleh ibunya. “Dan nikah itu butuh modal duit bukan modal dengkul doang.” Mereka berlalu.

“Yang, kamu kok ga bantuin aku?”protes Ali mengalihkan pandangan pada Amoy yang diam saja saat dia sedang memperjuangkan cintanya di hadapan orang tua Amoy.

“Bantuin apa?” tanya Amoy enteng sedang Ali pakai emosi tingkat dewa.

“Bantuin ngomong kalau kamu mau nikah cuma ke KUA aja.”

“Hallo Al,” sahut Amoy dengan nada mencibir. “Aku tuh anak pengusaha, masa iya nikah cuma ke KUA saja?” cibirnya. “Apa kata dunia?”

“Ya sudah kalau kamu mau pernikahan kita pakai pesta besar, kamu modal sendiri,” tukas Ali.

“Terus kamu numpang nampang doang?” sindir Amoy membuat Ali terhenyak.

“Ya, karena aku ga punya duit sebanyak itu,” kilah Ali gelagapan. “Lagian sayang, uang sebanyak itu cuma habis dalam semalam,” lanjutnya. “Mending ditabung.”

“Ya sudahlah, memang kita ga jodoh,” sahut Amoy berdiri. “Buang-buang waktu saja, ngomong sama cowok yang ga mau modal.”

“Apa maksudmu?” Ali tak terima.

“Iya, kamu itu cowok itu ga modal,” tandas Amoy dengan menekan kalimat. “Cowok pelit bin medit.”

“Kamu.” Gigi Ali mengatup. Sedang tangannya mengepal.

“Kenapa? Ga terima?” sindir Amoy. “Emang kamu itu pelit kok,” tandas Amoy lagi.

“O, iya kalau ada waktu datang ya di pernikahanku!” Amoy memberi undangan berwarna coklat keemasan. “Banyak makanan enak dan gratis.” Amoy meninggalkan Ali yang masih terpaku.

Ali hanya bisa memendam amarahnya. Merasa perjuangan dianggap sebelah mata oleh Amoy. Ia yakin jika Amoy mau memperjuangkan cinta mereka tentu yang bersanding di pelaminan itu Amoy dan Ali bukan Amoy dengan laki-laki lain.

Tapi sayang, wanita yang sudah setahun ini jadi pacarnya lebih memilih laki-laki pilihan orang tuanya daripada dengannya.

*************

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status