Jam sudah menunjukkan pukul 22.00 malam, aku sangat khawatir karena belum melihat Den Aaraf kembali, di cek ke kamar pun masih kosong tanpa terkunci. Den Aaraf bukan orang yang suka menghabiskan waktu di jalanan, ia adalah anak rumah dan kantoran."Den Aaraf belum kembali, Pak," ucapku sembari memandang tubuh bapak dari belakang, beliau tidur menyamping ke kiri dan memunggungiku saat ini."Dia butuh merenung, tidak apa-apa sesekali membiarkannya sendiri."Aku tahu getar suara itu, bapak sama sekali tidak tenang. Ia pasti sangat khawatir. Aku keluar dan menutup pintu kamarnya pelan. Duduk menunggu di ruang tamu. Jarum jam sudah bergerak ke angka 11, tapi tidak ada tanda-tanda Den Aaraf akan kembali.Aku tidak bisa duduk termenung seperti ini! pekikku dalam hati. Berdiri dan mengambil kunci mobil, berusaha mencari dari pada hanya terpaku menunggu. Jalanan sudah cukup sepi dan gelap. Baru kali ini aku mencoba berkendara di tengah malam. Lajunya benar-benar seperti keong, bahkan berkali-k
"Den, saya ikut!"Farel berlari menyusul Den Aaraf ke luar setelah menyalami kami dengan tergesa."Farel, jangan Nak!""Aku tidak mau telat lagi gara-gara naik mobil keong itu, Ma."Farel berlari kencang, menghentikan mobil Den Aaraf yang hampir melaju. Aku mengintip mereka di balik tirai. Den Aaraf terlihat membuka kaca jendela, keduanya nampak berbicara sebentar sebelum Farel memutar untuk duduk di kursi depan."Biarkan saja mereka sering bersama, kedekatan akan terjalin dengan sendirinya," ucap bapak.Aku berbalik, bapak sudah berada di sampingku saat ini. Beliau menggelindingkan kursi rodanya sendiri. Hari ini adalah jadwal bapak terapi, ada bagusnya Farel ikut Den Aaraf, jadi aku tidak perlu memutar jalan."Mobil keong naik kelas ni," coleteh bapak saat merasakan caraku mengemudi lebih cepat dari biasanya. Aku membusungkan dada, tidak tahu saja bapak kalau semalam aku sudah jadi pembalap jalanan."Di mana kamu menemukan Aaraf semalam?"Aku melirik, lalu menggeleng. Wajah bapak me
"Sakit, Nah?" Kepala Minah berputar, matanya bergerak malas. Ia berjalan seperti wanita tua yang encokan."Puas kamu ngetawain aku? Temen jatuh bukannya ditolongin malah cekikikan sendiri.""Kok kamu tahu? Padahal aku ngumpet-ngumpet loh, pengennya ketawa ngakak. Tapi, takut disemprot Den Aaraf, Nah." Tawaku kembali tergelak, kalau ingat adegan tadi membuat perut ini tiba-tiba merasa digelitik.Bibir Minah yang panjang ditekuk ke dalam, ia masih kesulitan untuk berjalan apalagi menuruni tangga. Pekerjaan kami sudah selesai, pakaian Non Laras sudah rapi di dalam koper, tidak ada sehelai pun yang tertinggal di lemari. Kami memindahkannya sesuai perintah Den Aaraf, ia nampak benar-benar murka dengan sikap No Laras kali ini."Sini, aku tolongin.""Nggak usah!" Minah menepis."Cie yang merajuk, padahal niatnya mau ngajak jalan-jalan pake mobil baru.""Beneran?" Tubuh Minah yang encok langsung sehat bugar."Bener doong.""Aih! Aku ganti baju dulu."Benar saja, Minah langsung berlari ke kam
Bagaimana ini? Hati benar-benar resah, pikiran tidak bisa lepas dari bapak. Takut jika beliau masih terjebak di sana. Tidak!tidak! Bapak pasti sudah di tempat aman sekarang. Aku berusaha mengusir pikiran buruk itu, tidak akan kubiarkan hinggap meski sekejap.Tid!tid!tid! Jalanlah plisss! Tid!tid!tid!Mobil di depanku sama sekali tidak bergerak, apa yang harus kulakukan?"Beri jalan, tolong, beri jalan! Ini darurat! Menyingkirlah! aku mohon!" Aku menengok pada seseorang yang keluar dari kaca mobilnya dan terus berteriak.Itu Den Aaraf!"Den! Den!" "Gigi, kamu di sini?" Ia menoleh dan terus menyalakan klakson mobilnya.Aku segera turun dan menghampiri Den Aaraf. Harus kupastikan keadaan bapak sekarang."Bapak sudah di rumah, Den?""Aku kira dia bersamamu, Gigi?"Aku menggeleng, dan hampir menangis, itu artinya bapak masih ada di kantor."Aku baru bangun saat suara ponsel tidak berhenti berdering. Penjaga keamanan memberitahu kalau kantor kebakaran. Saat ingin memberitahu Papa, tidak a
Tubuhku melesat seperti angin, membuka pintu kamar dan bersandar pada daunya. Mengatur napas yang ngos-ngosan. Sesekali membuka pintu dan menengok lagi. Mungkin saja bapak keluar dari kamar dan memintaku untuk menemaninya sarapan. Aku harus kembali cantik sebelum itu terjadi."Apa yang Mama lakukan?"Farel dan Minah sudah memelototiku sekarang, tubuh mendadak jadi patung. Aku lupa kalau tidak sendiri lagi di kamar ini, mana ada Minah lagi."Apa yang sedang kamu lakukan di kamarku, Nah?""Harusnya aku bertanya, di mana kamu tidur semalam? Aku sampai menginap di sini buat nemenin Farel."Semalam aku tidur di mana? Mana mungkin kukatakan kalau sebenarnya semalam aku tidur di kamar bapak. Bisa ditampar si Minahlah pipi ini. Meski aku mengatakan itu tidak sengaja dan kami tidak melakukan apapun. Mana mungkin anak itu percaya."Anu ... semalam aku ... tidur di ....""Di mana? kamu kok gugup gitu, Gi.""Di ... di jemuran," jawabku ngasal. Dapat ide darimana coba tidur dijemuran, Minah pasti
"Mbak Gigi, mau pulang nggak?" teriak Lidia di balik pintu mobil.Aku menyadarkan diri, bibir tersenyum sembari mengelus-elus tembok putih besar penyangga bangunan. Lah, apaan ini tembok pake berdiri di sini. Aku memukulnya sebelum naik mobil."Kalau hati lagi berbunga, susah ngebedain Pak Gian sama tembok ya?" celoteh Lidia membuatku cengengesan."Tahu aja, Mbak""Sama-sama putih dan tinggi 'kan?," selorohnya lagi sembari menggeleng. Sepanjang jalan, Lidia membiarkaku menikmati wajah ini di kaca spion, ia bahkan tidak berani mengganggu, hanya sesekali kulihat ekor matanya melirikku dengan senyuman.Kami sampai ke depan rumah setelah langit gelap. Mobil bapak dan Den Aaraf sudah terparkir berurutan."Mampir dulu, Mbak?""Saya sudah ditunggu suami, Mbak Gigi. Salam buat Pak Gian dan Aaraf ya.""Mbak Lidia sudah menikah?"Ia mengangguk cepat. "Bukan hanya sudah menikah, Mbak. Anak saya sudah dua," jawabnya nyengir."Kok bisa?" "Memangnya kenapa, Mbak?""Saya kira masih gadis."Lidia t
Malam sudah beranjak larut, mata belum bisa terpejam. Tidak ada Farel membuatku terus kepikiran. Bagaimana kabarnya sekarang di kamar Den Aaraf? rasa khawatir itu tetap ada.Jam menunjukkan pukul 23.00 malam, aku mengendap setengah melayang menuju lantai dua, pintu kamar Den Aaraf tertutup, tidak ada suara apapun dan sangat sunyi. Sepertinya mereka sudah tidur.Clek! aku membukanya perlahan, memastikan keduanya dalam keadaan bak-baik saja adalah tujuanku kali ini. Den Aaraf masih duduk di mejanya, ia masih bekerja, sedang Farel sudah terlelap di kasur besar itu.Pria itu menggeser kursi, kukira dia pun akan pergi tidur, sesaat tubuhnya berdiri mematung, melihat Farel yang sudah mendengkur halus. Den Aaraf menarik selimut dan menyelimuti Farel hingga atas. Ia pun membaringkan tubuhnya di samping Farel. Mereka berbagi kasur, bantal dan selimut. Ah! syukurlah aku bisa tidur nyenyak sekarang.Aku benar-benar menutupnya dengan hati-hati, tidak ingin menimbulkan keributan di saat sunyi sep
"Tidak perlu pergi ke kantor. Ada tugas buat nyonya baru." Bapak melarangku ikut saat aku bergegas untuk mengambil tas.Tugas untuk nyonya baru? ini ledekan apa pujian sih, kok kayanya kurang enak di dengar."Tugas untuk nyonya baru?" Ulangku memastikan."Iya Nyonya ... Ada tukang yang akan datang. Urusan itu Papa serahin pada nyonya rumah." Diiih ... merinding dengarnya. "Nanti ada drafternya yang akan menjelaskan interior kamar Farel, mintalah desainnya seperti yang kamu mau, dan jangan sungkan menolak jika tidak sesuai dengan hati. Paham?""Bagaimana kalau salah, Pak. Nggak sebaiknya bapak saja yang bertemu dengan drafternya?""Kamu punya seni yang bagus, Gigi. Tugas ini akan mudah. Aku harus segera pergi, banyak pekerjaan yang harus diselesaikan sebelum bulan madu kita."Apalagi ini? Sepertinya aku mendengar cairan manis lengket itu di sebut-sebut. Hih! Merinding semua romaku. Alah! ini otak butuh di guyur air terjun.Bibirku sedikit berkerucut saat melepas bapak menaiki mobilny