"Sakit, Nah?" Kepala Minah berputar, matanya bergerak malas. Ia berjalan seperti wanita tua yang encokan."Puas kamu ngetawain aku? Temen jatuh bukannya ditolongin malah cekikikan sendiri.""Kok kamu tahu? Padahal aku ngumpet-ngumpet loh, pengennya ketawa ngakak. Tapi, takut disemprot Den Aaraf, Nah." Tawaku kembali tergelak, kalau ingat adegan tadi membuat perut ini tiba-tiba merasa digelitik.Bibir Minah yang panjang ditekuk ke dalam, ia masih kesulitan untuk berjalan apalagi menuruni tangga. Pekerjaan kami sudah selesai, pakaian Non Laras sudah rapi di dalam koper, tidak ada sehelai pun yang tertinggal di lemari. Kami memindahkannya sesuai perintah Den Aaraf, ia nampak benar-benar murka dengan sikap No Laras kali ini."Sini, aku tolongin.""Nggak usah!" Minah menepis."Cie yang merajuk, padahal niatnya mau ngajak jalan-jalan pake mobil baru.""Beneran?" Tubuh Minah yang encok langsung sehat bugar."Bener doong.""Aih! Aku ganti baju dulu."Benar saja, Minah langsung berlari ke kam
Bagaimana ini? Hati benar-benar resah, pikiran tidak bisa lepas dari bapak. Takut jika beliau masih terjebak di sana. Tidak!tidak! Bapak pasti sudah di tempat aman sekarang. Aku berusaha mengusir pikiran buruk itu, tidak akan kubiarkan hinggap meski sekejap.Tid!tid!tid! Jalanlah plisss! Tid!tid!tid!Mobil di depanku sama sekali tidak bergerak, apa yang harus kulakukan?"Beri jalan, tolong, beri jalan! Ini darurat! Menyingkirlah! aku mohon!" Aku menengok pada seseorang yang keluar dari kaca mobilnya dan terus berteriak.Itu Den Aaraf!"Den! Den!" "Gigi, kamu di sini?" Ia menoleh dan terus menyalakan klakson mobilnya.Aku segera turun dan menghampiri Den Aaraf. Harus kupastikan keadaan bapak sekarang."Bapak sudah di rumah, Den?""Aku kira dia bersamamu, Gigi?"Aku menggeleng, dan hampir menangis, itu artinya bapak masih ada di kantor."Aku baru bangun saat suara ponsel tidak berhenti berdering. Penjaga keamanan memberitahu kalau kantor kebakaran. Saat ingin memberitahu Papa, tidak a
Tubuhku melesat seperti angin, membuka pintu kamar dan bersandar pada daunya. Mengatur napas yang ngos-ngosan. Sesekali membuka pintu dan menengok lagi. Mungkin saja bapak keluar dari kamar dan memintaku untuk menemaninya sarapan. Aku harus kembali cantik sebelum itu terjadi."Apa yang Mama lakukan?"Farel dan Minah sudah memelototiku sekarang, tubuh mendadak jadi patung. Aku lupa kalau tidak sendiri lagi di kamar ini, mana ada Minah lagi."Apa yang sedang kamu lakukan di kamarku, Nah?""Harusnya aku bertanya, di mana kamu tidur semalam? Aku sampai menginap di sini buat nemenin Farel."Semalam aku tidur di mana? Mana mungkin kukatakan kalau sebenarnya semalam aku tidur di kamar bapak. Bisa ditampar si Minahlah pipi ini. Meski aku mengatakan itu tidak sengaja dan kami tidak melakukan apapun. Mana mungkin anak itu percaya."Anu ... semalam aku ... tidur di ....""Di mana? kamu kok gugup gitu, Gi.""Di ... di jemuran," jawabku ngasal. Dapat ide darimana coba tidur dijemuran, Minah pasti
"Mbak Gigi, mau pulang nggak?" teriak Lidia di balik pintu mobil.Aku menyadarkan diri, bibir tersenyum sembari mengelus-elus tembok putih besar penyangga bangunan. Lah, apaan ini tembok pake berdiri di sini. Aku memukulnya sebelum naik mobil."Kalau hati lagi berbunga, susah ngebedain Pak Gian sama tembok ya?" celoteh Lidia membuatku cengengesan."Tahu aja, Mbak""Sama-sama putih dan tinggi 'kan?," selorohnya lagi sembari menggeleng. Sepanjang jalan, Lidia membiarkaku menikmati wajah ini di kaca spion, ia bahkan tidak berani mengganggu, hanya sesekali kulihat ekor matanya melirikku dengan senyuman.Kami sampai ke depan rumah setelah langit gelap. Mobil bapak dan Den Aaraf sudah terparkir berurutan."Mampir dulu, Mbak?""Saya sudah ditunggu suami, Mbak Gigi. Salam buat Pak Gian dan Aaraf ya.""Mbak Lidia sudah menikah?"Ia mengangguk cepat. "Bukan hanya sudah menikah, Mbak. Anak saya sudah dua," jawabnya nyengir."Kok bisa?" "Memangnya kenapa, Mbak?""Saya kira masih gadis."Lidia t
Malam sudah beranjak larut, mata belum bisa terpejam. Tidak ada Farel membuatku terus kepikiran. Bagaimana kabarnya sekarang di kamar Den Aaraf? rasa khawatir itu tetap ada.Jam menunjukkan pukul 23.00 malam, aku mengendap setengah melayang menuju lantai dua, pintu kamar Den Aaraf tertutup, tidak ada suara apapun dan sangat sunyi. Sepertinya mereka sudah tidur.Clek! aku membukanya perlahan, memastikan keduanya dalam keadaan bak-baik saja adalah tujuanku kali ini. Den Aaraf masih duduk di mejanya, ia masih bekerja, sedang Farel sudah terlelap di kasur besar itu.Pria itu menggeser kursi, kukira dia pun akan pergi tidur, sesaat tubuhnya berdiri mematung, melihat Farel yang sudah mendengkur halus. Den Aaraf menarik selimut dan menyelimuti Farel hingga atas. Ia pun membaringkan tubuhnya di samping Farel. Mereka berbagi kasur, bantal dan selimut. Ah! syukurlah aku bisa tidur nyenyak sekarang.Aku benar-benar menutupnya dengan hati-hati, tidak ingin menimbulkan keributan di saat sunyi sep
"Tidak perlu pergi ke kantor. Ada tugas buat nyonya baru." Bapak melarangku ikut saat aku bergegas untuk mengambil tas.Tugas untuk nyonya baru? ini ledekan apa pujian sih, kok kayanya kurang enak di dengar."Tugas untuk nyonya baru?" Ulangku memastikan."Iya Nyonya ... Ada tukang yang akan datang. Urusan itu Papa serahin pada nyonya rumah." Diiih ... merinding dengarnya. "Nanti ada drafternya yang akan menjelaskan interior kamar Farel, mintalah desainnya seperti yang kamu mau, dan jangan sungkan menolak jika tidak sesuai dengan hati. Paham?""Bagaimana kalau salah, Pak. Nggak sebaiknya bapak saja yang bertemu dengan drafternya?""Kamu punya seni yang bagus, Gigi. Tugas ini akan mudah. Aku harus segera pergi, banyak pekerjaan yang harus diselesaikan sebelum bulan madu kita."Apalagi ini? Sepertinya aku mendengar cairan manis lengket itu di sebut-sebut. Hih! Merinding semua romaku. Alah! ini otak butuh di guyur air terjun.Bibirku sedikit berkerucut saat melepas bapak menaiki mobilny
"Mau Mbok pijitin, Non?" Tubuhku yang lunglai bersandar di sofa."Nggak perlu, Mbok. Dari tadi Mbok kan belum berhenti bekerja.""Tidak apa-apa, Non.""Biar sama Minah aja, Mbok."Minah yang baru saja selesai membersihkan diri mengambil alih pekerjaan Mbok Darmi. Sebenanrya tidak nyaman diperlakukan seperti ini, tapi badan memang butuh belaian. Eh, maksudnya pijitan."Begini, enak nggak, Gi?"Aku hanya mengangguk pelan sembari menikmatinya."Minah, jaga ucapanmu!""Gigi yang minta kok, Mbok.""Iya Mbok, nggak apa-apa.""Nggak bisa Non. Tatakrama dan sopan santun itu harus dipakai. Meski pun kalian berteman, sekarang statusnya sudah berbeda. Hormatilah itu!" Mbok Darmi tegas memberitahu Minah untuk memperlakukanku sebagai nyonya rumah."Iya, Mbok," jawab Minah merengut. Minah adalah anak dari adik Mbok Darmi. Saat kembali dari mudik lebaran setahun yang lalu, Minah dibawa Mbok Darmi untuk ikut bekerja. "Minah kan masih kecil, Mbok," ujarku waktu itu."Di rumah pun nggak ada kerjaan.
"Hebat, aku bahkan tidak kau anggap." Tante Sarah tiba-tiba datang. Berdiri menyilangkan tangan di dada sembari menilaiku dari ujung rambut hingga ujung gaun."Cicipi makanannya, Kak.""Kamu kira aku datang untuk itu, Gian?""Seharusnya tidak, karena kakak tidak akan membuang waktu begitu saja hanya untuk menghadiri pernikahanku.""Hahaha ... kamu memang sungguh paham watakku.""Jadi, apa yang membuat kakak datang hari ini?""Hanya untuk menyampaikan ini." Tante Sarah menyodorkan amplop berisi surat pernyataan. Bapak membaca dengan seksama."Begitu cepat kalian mengurusnya?""Tentu saja."Aku mengambil kertas itu dan membacanya sendiri, betapa terkejutnya saat nama bapak di coret dalam pembagian hak waris keluarga. Anggota keluarga yang tidak menikah dengan kerabat dekat, maka otomatis langsung tercoret dari daftar hak waris keluarga yang diturun temurunkan dari kakek buyut."Aku sudah memberitahu tentang ini, Gian.""Tentu saja, pernikahan ini sudah menjadi pertimbanganku sejak lama.