"Ma, tambah mulus aja sih?"
"Iya dong. Mas tidak akan menemukan perempuan lain semulus aku," selorohku sembari bangun dari tidur.Tidak disentuh oleh Mas Abas selama 3 tahun harusnya menjadi momen istimewa malam ini, tapi mengingat pengkhianatannya diatas jerih payahku. Enggan sekali aku disentuh olehnya lagi."Mas rindu banget, Ma." Tangan Mas Abas sudah main perosotan di bagian lenganku yag lenjang. Lemak sudah kabur dari awal pertama kerja di rumah Bapak. Setiap hari makan omelan Non Laras mana tahan itu lemak lama-lama bersemayam dalam tubuh."Sama sih Mas. Tapi, nggak bisa.""Kenapa?""Mama lagi dapet." Aku berdiri dan mengelus tubuh bagian belakang."Ya ampuuun!" pekikku kaget."Ada apa, Ma?""Tembus segala lagi." Kutunjukkan tangan merah di hadapan Mas Abas."Ih, jorok banget sih, Ma.""Iya ih, Pah. Bau banget lagi." Aku mencium tanganku sendiri. "Mau cium nggak, Mas?""Malas banget lah. Bersihin sana! Bau banget!" Mas Abas menutup hidung dan hampir muntah, aku menggigit bibir dan segera berlari ke kamar mandi.Pewarna merah yang sengaja kubeli di Mall dicampur terasi ibu di dapur, baunya emang beneran bikin mual."Lah kok Farel tidur di kamar, Mama?""Di suruh ayah, Ma.""Oooo." Mulutku membulat, saat kembali ke kamar Mas Abas sudah minggat. rencana yang jitu. Bisikku senang."Mama kok senyum-senyum sendiri. Mama, nggak gila kan?""Hah!" Au kaget dengan ucapan Farel. Di sangka ibunya gila."Mana ada sayang, meski Mama disakiti ayahmu, Mama akan jadi wanita kuat." Kutunjukkan otat tangan padanya. "Farel pun sama, harus kuat seperti Mama." Farel menunjukkan lengannya yang tinggal tulang. Ah, tergores lagi hatiku dibuatnya. Mereka benar-benar tega.Kupeluk Farel dan menangisinya dalam diam, dalam hati berjanji untuk tidak meninggalkannya lagi apapun yang terjadi.Semalam hujan turun deras, aku bersyukur karena rumah ini masih melindungi kami dari guyuran air yang bocor.Aku bangun pagi begitu pun ibu, ia menguap dan terlihat tidur dengan nyeyak meski hujan dan angin cukup deras menerjang."Haaaaacih!"Aku dan ibu menoleh, sama-sama terkejut mendengar suara bersin yang begitu keras.Mas Abas menggigil, seperti habis tidur di luar semalaman. Kutengok kamar Farel, ya ampun air menggenang di bawah lantai, bocor besar di sisi tembok. Selain itu udara masuk cukup dingin dari celah ventilasi yang dibiarkan terbuka, kawat yang melapisinya sudah bolong dan rusak.Ya Allah, Nak. Ini yang kamu rasakan tiap hujan datang? Ah, segera kuseka tetesan air mata yang lolos begitu saja."Kenapa kamu tidur di situ Abas? Sudah tahu bocor.""Haaaacih!"Ibu menuju dapur sedangkan Mas Abas menuju sofa dan meringkuk lagi di sana. Tidak lama ibu kembali dan membawakan Mas Abas secangkir kopi."Hangatkan tubuhmu, bisa sakit kamu, Bas."Ibu begitu khawatir pada anaknya sendiri, tapi ia membiarkan cucunya kedinginan sepanjang malam, setiap hari. Apakah ibu lupa kalau darah dan daging Mas Abas ada di tubuh Farel?Aku memijiti pundak Mas Abas lembut. "Kamu pasti sangat kedinginan kan, Mas?""Haaaciiih!"Dia hanya ngangguk sembari bersin-bersin."Dulu kan Mas sudah sempat kirimkan foto saat renovasi rumah? Kok Mama lihat nggak ada bekasnya, Mas?" Lagi, pria sakit itu dibuat berpikir keras. Tidak tahan aku melihatnya nyaman seolah tidak terjadi apa-apa. Dah nipu kok santai-santai saja."Oh itu ...." Enta berapa kali dia mengggaruk pelipis matanya, otaknya dipaksa berpikir keras untuk mengelabuiku."Apa Mas baru memperlihatkan contohnya saja?""Ya benar. Maksud Mas begitu. Apakah Mama mau yang seperti itu atau punya pilihan lain?"Otak yang sudah stagnan kembali mencair. Layaknya air yang diberi jalan untuk mengalir, kebohongannya kembali beraksi.Setelah dihitung semalam, jumlah uang yang kukirim untuk renovasi rumah berjumlah hampir 30 juta."Ada kok. Masih utuh dengan uang seolah Farel.""Ah, syukurlah." Aku mengelus dada. Sepertinya uang tabungan Farel masih utuh, uang yang tadinya akan kupakai untuk mengadakan pesta sunatan, tidak tadi digunakan karena Mas Abas tidak setuju. Harus segera kuamankan sebelum dipakai untuk rencana pesta sunatan Rian. Enak aja, ikut buatnya saja kagak kenapa mesti nyumbang buat pesta? Hiih! Amit-amit dah."Uang buat renovasi kan hanya 30 juta ya, Mas?""Sebanyak itu?""Aih, masih sedikit itu Mas. Melihat rumah kita sudah hancur begini butuh dana lebih."Mas Abas yang menggigil kedinginan mendadak demam. Butiran keringat bahkan sudah muncul di dahinya yang hitam. Bagaimana tidak? uang keringatku itu sudah habis dipakai renovasi rumah istri barunya."Mama sedang berpikir Mas. Coba saja ada yang mau meminjamkan uang buat tambahan kita merenovasi rumah." Aku berpura-pura ikut berpikir."Ah, apa kita pinjam Bank saja, Mas?Tapi, nggak ada agunan yang bisa diajukan. Kalau cuma rumah ini mana dapat uang gede." Aku mengaduh, terdiam dan pura-pura terus berpikir."Memangnya apa yang Mama rencakan?""Begini loh, Mas." Aku sangat bersemangat, akhirnya Mas Abas terpancing juga. Kuperbaiki posisi duduk agar kami bisa berhadapan dan mengutarakan keinginanku."Jadi, setelah kita dapat pinjaman, Mama mau langsung berangkat kerja lagi dan menyerahkan urusan renovasi rumah pada Mas Abas, Mama tahunya pas pulang rumah bagus ajalah. Kasian kalau Farel tiap malam kedinginan.Tapi, darimana dapat pinjaman, nggak ada yang bisa dibuat jaminan." Aku kembali berhenti dan mengaduh lagi."Ada!" Mas Abas menemukan semangatnya, soal duit otaknya langsung mencair, ia bahkan menyingkirkan bantal sofa yang sedari tadi dijadikan ganjal kepala.Aku merengutkan dahi menunggu rencana pria itu selanjutnya."Mas punya teman, kita akan pinjam sertifikat rumahnya untuk jadi jaminan ke rentenir.""Hebat Mas. Kamu memang suami idaman, selalu bisa kuandalkan!" Berkali-kali aku mencubit pipi Mas Abas hingga memerah.Setelah rencana itu, aku meminta Mas Abas untuk bertindak cepat, sebelum masa cutiku habis. Dengan semangatnya ia segera pergi, dan tidak lama datang kembali membawa sertifikat rumah."Kok atas nama perempuan, Mas?""Iya tuh teman Mas bego, sertifikat aja pake atas nama istri. Kalau ditendang, dia jadi gelandangan. Hahahaha""Hahaha, itu namanya istrinya cerdas, Mas." Aku pun ikut terkekeh menimpali ucapan Mas Abas. Bagaimana bisa dia mengakui kebodohannya sendiri?Kami tidak ingin membuang waktu, segera mengajukan pinjaman, Mas Abas yang memilih meminjam pada rentenir dan bukannya pada Bank."Ribet!" Alasannya begitu.Mas Abas sangat bersemangat bahkan mengajukan pinjaman cukup besar, aku hanya meminta 30 juta saja, tapi Mas Abas mengajukan 50 juta. Terserahlah, jaminannya pun rumah kalian juga. Sengaja tidak kucegah tindakan Mas Abas. Dia berpikir lurus-lurus saja dengan segala keuntungannya, dan hanya mengandalkanku untuk membayar."Mas, uangnya kita masukkan ke rekening, satukan dengan milik Farel. Di rumah takut ada maling."Aku mengajukan hal itu setelah uangnya kami terima secara langsung. Mas Abas berpikir sejenak. Lalu, ia mengangguk setuju."Iya bener, Ma. Di rekening lebih aman."Entah apa yang dipikirkan Mas Abas, mungkin saja salah satunya dia takut uangnya aku gondol bawa kabur.Aku mengajukan membuat Brimo pada pihak Bank, Mas Abas yang kurang paham hanya iya-iya saja. Hal ini membuatku semakin mudah mengakses rekening Mas Abas. Bagaimana tidak? akulah yang mendownload aplikasi sampai memasukkan nama dan kata sandi miliknya.Mas Abas begitu bahagia melihat saldo rekeningnya dibuku tabungan hingga 65 juta."Kalau semua sudah selesai begini, Mama harus segera kerja lagi untuk membayar ansuran bulan depan, Mas.""Kapan Mama berangkat lagi?""Besok kayanya, Mas.""Besok?" Raut wajah Mas Abas terlihat ceria. Namun, segera ia tekuk untuk menutupi busuknya."Mas masih kangen sama kamu, Ma.""Gimana lagi, Mas. Kita kan ingin punya rumah bagus.""Iya sayang." Mas Abas memeluk dan mengelusku lembut. "Sehat-sehat ya di sana."Aku mengangguk sedih, memegang punggung tangannya. Ini adalah pelukan perpisahan, semua kenangan kukembalikan padamu, Mas. Aku tidak ingin membawa kenangan apapun, baik atau buruknya saat bersamamu.Saat malam tiba, aku beraksi, semua furniture termasuk sepeda Farel kulelang pada salah satu toko bekas. Aku pun membuka aplikasi brimo dari g****e, memasukkan email dan pin rekening milik Mas Abas, mentrasfer sejumlah uang yang menjadi hakku dan hanya menyisakan uang Mas Abas.Besok aku akan mengajukan gugatan perceraian sebelum kembali ke kota. Hidup berdua bersama Farel. Meninggalkan kampung ini dan menata hidup baru.Semoga saja semua berjalan lancar, sebelum Mas Abas mengamuk. Bagaimana pun dia adalah salah satu orang yang ditakuti di kampung kami, karena itulah salah satu alasan kenapa tidak ada satu pun dari mereka yang memberitahu kelakuan Mas Abas padaku.Bersambung ...."Papa udah kaya supir aja sih." Gerutu bapak sembari mengintip di kaca spion. Mata yang tidak sengaja melihatnya segera kupalingkan, berpura-pura sibuk sendiri di kursi paling belakang.Aku memilih duduk di kursi pojok, mengisolasi diri sendiri, berharap bapak tidak mencium bau pesing yang ternyata lebih sedap baunya pas mau kering kaya gini dari pada tadi. "Udah deh jangan lihat-lihat Mama begitu," ucapku ketus menghindar tatapan matanya yang terus mencuri-curi."Papa sakit hampir setahun ya, Ma?""Iya," jawabku seadanya. Nggak semangat bicara, pengennya cepat sampai saja."Papa lumpuh, mandi dianterin, makan di suapin, bahkan mandi sore di lapin. Papa ingat sesekali, saat malam Papa pipis di celana karena sulit untuk ke kamar mandi, intinya nggak mau usaha. Betul begitu 'kan, Ma?""Iya, Pak. Kenapa bahas itu sekarang sih? Mama lagi nggak mood." Tolakku halus."Setiap kali itu terjadi, Papa selalu memperhatikan Mama. Selama itu, tidak pernah sekali pun Papa melihat Mama jijik atau m
"Apa semua sudah selesai?""Sudah, Pa. Hari ini kantor baru kita sudah beroperasi.""Papa akan melihat ke sana setelah mengambil beberapa berkas yang masih diperlukan di kantor lama.""Kantor itu sedang diliburkan dua hari kerja oleh Tante Sarah."Sesekali sembari menata sarapan aku menoleh pada mereka yang sedang berbicara di sofa menunggu semuanya siap."Ma.""Pagi sayang." Farel mencium pipiku, menoleh sebentar pada dua pria di sana, lalu dengan lemas duduk di kursi makan. Wajahnya semakin menunduk lesu saat bapak dan Aaraf berjalan ke arah kami.Bapak melirikku saat melihat Farel hilang semangat, dunia ceria saat kakak adik itu bersama seolah sirna begitu saja. Tidak ada kata, panggilan apalagi guyonan, keduanya hanya menunduk menatap semangkuk salad buah. Aku dan bapak pun sepakat untuk tidak mencampuri urusan mereka, membiarkan semuanya menjadi sunyi. Sarapan kelam sepanjang sejarah aku menjadi nyonya. Menghadapi dua anak sekaligus dengan usia yang terpaut sangat jauh."Biarkan
Mobil ambulans yang dipesan bapak sudah tiba di depan rumah. Aku dan Mbok Pati mengepak beberapa pakaian yang akan digunakan Om Haris.Tim kesehatan membawa tandu untuk membopong tubuhnya, kurus kering tinggal tulang, begitu lemas tak berdaya."Mungkin Papa akan seperti ini kalau bukan Mama yang merawatnya," ucap bapak sendu menelukupkan tangan di atas pundakku. "Terimakasih." Aku menoleh untuk menatapnya, pria itu masih memandang lurus, memperhatikan Om Haris yang sedang dibenahi agar nyaman saat dibawa berkendara untuk jarak yang cukup jauh."Semua tidak terlepas dari kebaikan bapak, Tuhan mengirimkan Mama untuk menjaga," jawabku lembut, bapak mengulas senyum saat mendengarnya.Mobil ambulans berangkat lebih dulu, aku dan bapak bersiap mengikutinya."Mbok, jika ada yang tanya, katakan saja jika saya membawa Om Haris untuk berobat." Pesan bapak pada Mbok Pati sebelum menaiki mobil. Wanita setengah baya itu berlinang air mata."Den, jika bapak lama di sana, mbok pun ingin pulang saja
"Pa, Ma."Aaraf turun dari kamarnya, ia menghampiri kami yang masih saja cekikikan. Plak! Aku memukul tangan bapak yang nakal, modus aja emang ni aki-aki."Aku mengganggu? Harusnya sih tidak." Pertanyaan yang Aaraf jawab sendiri sembari memutar mata malas saat melihat kami. Maklum selama aku di sini, sekali pun tidak pernah melihat Aaraf dan Laras tertawa bersama atau sekedar bercanda. Mungkin benar kata bapak, pernikahan tanpa cinta hanya sebatas menjalankan kewajiban saja, rasanya tetap hambar, bahkan sering terlihat kecanggungan di antara keduanya saat duduk bersama."Ada apa?" Aku menarik kaki dan duduk dengan benar, seperti Aaraf akan berbicara serius."Bagaimana kabar persidanganmu?" Bapak bertanya lebih dulu, karena Aaraf terlihat sulit untuk memulai."Persidangan banding yang diajukan Laras sepertinya akan ditunda atau mungkin dicabut kembali." Aku dan bapak memandanginya dengan serius. "Aaraf melaporkan Laras balik atas aborsi janin yang dilakukannya, dengan bukti-bukti yan
"Sayang, cobain ini." Bapak menyuapiku dengan salah satu hidangan terfavorit di resto kami."Enak?""Enak banget, Pak. Lumer ini, ada sensai pecah dalam mulut. Mau lagi ...," ucapku nyengir.Bapak tersenyum sembari menyuapiku dengan makanan yang terhidang, beliau pun menunjukkan beberapa makanan yang menjadi favoritnya, dan memintaku untuk mencoba."Pak.""Ya.""Kemarin kan kita kesini juga, Mama makan makanan ini loh, tapi rasanya beda.""Bedanya?" Tangan bapak yang awalnya sibuk menyiduk, berhenti sebentar untuk memperhatikanku."Rasanya lebih manis karena bapak yang nyuapi.""Masa sih?""Heum." Bapak kembali menyuapiku dengan sesendok salad."Kalau gitu Papa akan menyuapi Mama setiap hari.""Beneran?""Iya." Satu ciuman mendarat di keningku."Pak. Ini tempat umum." Aku sedikit kaget dengan ciuman itu, "Kita bukan ABG, Pak," bisikku bersembunyi di dada bidangnya."Emang bukan, tapi pasangan bucin.""Iih, bapak kok tahu yang begituan?" Aku bergidik di depannya."Hahaha ... sejak sama
"Nyaaah ....""Iya, Nah. Sebentar. Papa sih, udah tahu siang bolong juga." Aku beringsut dari kasur, sedangkan tubuh kekarnya menyelusup mirip siput masuk selimut."Apa?" tanyaku mengintip di celah pintu."Ini Nyah, sisa uangnya, kebanyakan." "Oh, iya.""Nyaah.""Apa, Nah?""Kamar Nyonya kok gelap sih, matahari kan masih ada, tuh." Tunjuk Minah keluar."Kita beda planet, Nah. Kamu di planet bumi, aku baru saja naik pesawat ke Antariksa.""Masa sih, Nyah, di Antariksa gelap? Minah jadi pengen nyobain." Sebelah kaki Minah yang cukup panjang sudah menjegal pada celah pintu yang sedikit terbuka."Belum waktunya, Minaaah ...." Aku sedikit mendorong tubuhnya agar mundur. Lalu, menutup pintu. Menapakkan kaki beberapa langkah untuk kembali ke peraduan."Nyaaah ...." Ya, ampun Minah. Apalagi sih?!"Apalagi, Nah?" Aku berjalan cepat dan membuka pintu, suara Minah kaya petasan renteng, nggak bisa berhenti kalau nggak disamperin."Mau disisain nggak, Nyah?"Aku menggeleng, "Enggak, Nah. Buat kamu