Demam panggungkah?Sedikit pun aku tida bisa memejamkan mata, detik jarum jam terdengar begitu jelas ditelinga.Apa aku harus mulai menghitung agar bisa tidur? satu domba, dua domba, tiga domba.Trang! Trang!Refleks tubuh langsung terbangun, menengok jarum jam pukul 01.00 malam, tidak mungkin itu adalah suara tikus seperti di rumahku yang dulu. Jangan-jangan .... maling?Aku keluar dari kamar sembari mengendal-endap, sesosok tubuh berdiri di samping meja makan . Diperhatikan dari atas hingga bawah, jelas itu bukan maling."Tumben belum tidur, Den?"Den Aaraf menengok sembari meneguk segelas air."Aku haus." Ia kembali menyimpan gelas yang sudah kosong, aku duduk di kursi memperhatikannya."Apa Den Aaraf tidak bisa tidur karena mengkhawatirkan besok hari di kantor?"Tumben ia pun ikut duduk, biasanya tidak pernah punya waktu meski hanya sekedar berbicang dengan orang rumah. Bahkan, napas beratnya kali ini sangat kentara dan bisa kurasakan."Papa sudah tidak mempercayaiku memegang peru
Hoam! Lelah sekali hari ini. Berkali-kali aku menguap di dalam mobil. Kaki terasa kesemutan. Bola balik dari satu ruangan ke ruangan lain. Aku kira kerja dikantoran itu cuma duduk santai di depan komputer, ternyata tidak seenak itu. Nggak bisa rebahan lagi. Ah, pinggangku pegal. Aku bersandar lemas pada sandaran kursi. Melirik pak supir yang mengemudi, lalu melihat sepasang mata sedang memelototi.Astagfirullah. Aku langsung bangun dan kembali duduk tegap, merapihkan pakaian yang sebelumnya ketarik. Sejak kapan bapak memperhatikanku seperti itu? Kulirik sekali lagi, mata itu masih terlihat melotot tajam dari kaca spion."Minah, jangan pegang-pegang!"Aku menautkan dua alis, sedang apa mereka berkumpul di halaman? Mobil yang kami tumpangi baru saja masuk ke dalam gerbang saat ada beberapa orang berdiri di sana."Hanya megang saja, Non. Mulus benar ini bokong mobil.""Hus! Sana jauh-jauh! Mending kamu fotoin aku saja. Nih!"Minah mengkerucutkan bibirnya sembari mengambil berbagai pose N
"Kamu 'kan yang mengambil uangku? Ayo ngaku! Jangan pura-pura polos anak kampung! Kamu pasti kekurangan uang karena ibumu yang pembantu itu belum gajian 'kan? Ngaku aja, aku tidak akan melaporkanmu ke polisi."Mendengar keributan di luar aku meminta ijin pada bapak untuk melihatnya.Farel sedang berdiri di depan Non Laras dengan wajah menunduk. Si singa betina bahkan menggunkan gagang sapu untuk menunjuk dada Farel."Ada apa ini, Non?""Noh, tanya pada anakmu!" Dia membuang wajah sembari melipat tangan di dada.Aku segera mendekati Farel dan melihat matanya yang sudah sembab."Farel menemukan uang itu di tangga, Ma. Farel mengambilnya kerena ....""Bagus kamu ngaku!" Non Laras beralih tempat dan duduk di atas sofa."Mana uang itu?" Pintaku.Farel memasukkan tangannya ke saku celana, ia mengeluarkan selembar uang berwarna merah. Aku menghela napas, ternyata uang itu benar-benar ada di tangannya."Ini, Non." Aku menyimpannya di atas meja."Kamu pikir aku miskin dan mempermasalahkan uang
"Mbak, Mbak ....""Ya.""Sudah siap?"Aku hanya membariskan gigi. Memperlihatkan si ginsul kesayangan. Lagi-lagi otak ngelag dengan sendirinya. Fisik dan pikiran yang lelah tidak menjamin aku bisa fokus saat ini."Saya akan memperkenalkan instrumen mobil ini terlebih dahulu, supaya Mbak Gigi mengingatnya." Bastian mulai memberikan arahan."Ini pedal gas, rem, dan kopling. Fungsi gas untuk melaju, rem untuk memperlambat laju mobil atau berhenti, kalau kopling untuk berhenti tanpa mematikan mesin, biasanya digunakan saat dilampu merah, atau macet. Jangan sampai ketuker ya, Mbak." Selanjutnya Bastian menunjuk bagian bawah mobil.Aku mengangguk berat, rasanya memang tidak singkron antara pikiran dan perasaan."Kalau ini rem tangan. Digunakan untuk menghentikan mobil saat parkir, terutama pada jalan yang tidak mendatar.Sekarang kita coba menghidupkanya ya, Mbak. Mbak Gigi duduk di sini." Tubuhku benar-benar bergetar sekarang, selain semua ini asing, ada perasaan takut yang berlebih, terut
Pikiranku tidak bisa lepas dari memikirkan Bastian, bagaimana bisa karena ulahku satu orang telah kehilangan pekerjaannya? Lalu, aku ingat pada kertas administrasi yang diberikan oleh pihak Rumah Sakit. Kebetulan sekali ada nama Bastian dan nomor telepon yang bisa dihubungi sebagai penanggung jawab dari pasien.[Hallo, ini Bastian?][Ya. Saya bicara dengan siapa?][Ini, Gigi. Yang Mas ajari mobil kemarin.][Oh ya, Mbak Gigi, gimana kabarnya? Saya kembali ke Rumah Sakit lagi, tapi Mbak Giginya sudah pulang.][Saya sudah baikan kok, Mas.][Syukurlah kalau begitu.][Mas, dipecat ya dari pekerjaannya?][Ah, iya.] Aku mendengar ia seperti tertawa kecil. Mungkin untuk menutupi perasaan yang sebenarnya. Siapa sih orang yang akan baik-baik saja setelah dipecat begitu saja dari perusahaan karena berbuat kesalahan? Aku rasa tidak ada.[Saya akan mencoba berbicara dengan Pak Giantara agar meminta perusahaan mempekerjakan Mas Bastian lagi.][Tidak apa-apa Mbak, saya baik-baik saja.][Saya sungguh
"Ayo berangkat!""Kemana, Pak?""Bukannya kepalamu sakit?"Mataku memutar, celaka! tadi aku hanya ngomong sekenanya saja. Lupa kalau bapak orangnya seriusan."Lain kali saja, Pak. Gigi bisa sendiri. Sakitnya sudah hilang kok. Hari ini karyawan yang masuk hanya sedikit, kita tidak bisa meninggalkan kantor."Bapak terlihat berpikir, "Kalau sakit lagi, jangan tunda untuk periksa!""Siap, Pak." Aku menarik garis senyum untuk meyakinkannya.Bapak kembali ke kursinya, beliau mulai terlihat sibuk dan sangat serius. Sedangkan, aku? Tidak ada pekerjaan yang bisa kulakukan sekarang, hanya duduk terpaku memandangnya. Menunggu instruksi yang beliau berikan, selain itu aku tidak bisa melakukan apa-apa tanpa perintah.Usiaku mungkin tidak jauh berbeda dengan Den Aaraf, itu artinya aku lebih pantas jadi anaknya dari pada istri beliau. Ih! Kenapa juga aku berpikir sejauh itu. Bapak mungkin akan menikah lagi, tapi bukan berarti denganku. Ini semua gara-gara Minah! "Sadar-sadar Gigi, jangan ikutan gil
Bapak memintaku untuk menunggu sampai Non Laras keluar dari ruangan dokter. Kami sedikit melipir sembari menunggunya. Cukup lama, hampir 45 menit aku dan bapak menunggu, Non Laras keluar bersama seorang suster, wajahnya terlihat lebih pucat dengan tubuh yang lemas."Non .... " Aku sempat memanggilnya sebelum bapak menarik tanganku. Beliau menggeleng, bukankah kami menunggu untuk bertemu dengannya, kenapa bapak malah mencegahku?"Aku ingin menemui dokternya," ucap bapak membelokkan kursi roda. Lalu, menggelinding cepat ke arah sana. Aku setengah berlari mengejarnya. Ternyata selama menunggu, apa yang ada dalam pikiran kami berbeda."Selamat siang dokter.""Ya." Dokter itu berdiri saat kami datang. Bapak menghampirinya dengan cepat."Saya Giantara, ayah mertua dari wanita yang baru saja keluar dari ruangan ini." Bapak menjabat tangannya, sang dokter mempersilahkan kami untuk duduk."Apa yang Bapak maksud adalah Laras?""Ya, benar dokter.""Saya kira Laras tidak menikah." Dokter cantik i
Bapak berbaring di tempat tidur dengan tangan bersedekap, matanya terpejam tapi jemari tangannya masih bergetar. Jelas terlihat ia hanya pura-pura tidur.Aku, Minah dan Mbok Darmi sibuk membersihkan kamarnya, pecahan beling dan kaca di mana-mana. Hampir semua benda di kamar ini tergeletak di lantai, jarang yang selamat , semua hancur berkeping, ada pun yang masih bisa diselematkan, pasti memiliki retakan atau pecahan."Terimakasih, Mbok."Mbok Darmi mengangguk. Mengelus lenganku. Ia menengok bapak sebentar sebelum meninggalkan kamar yang berhasil kami bersihkan setelah 1 jam bekerjasama saling membantu dengan hati-hati.Aku menutup kaki bapak yang terbuka, sedikit noda darah bahkan terlihat di sana. Seperti ada pecahan benda yang mengenainya. Bergegas aku mengambil obatk P3K, mengolesnya dengan alkohol, dan memberinya plester."Pergi dan bantulah Aaraf!" ucap bapak tanpa membuka mata.Aku mengerti dan langsung menemuinya, Den Aaraf masih menunduk di atas kursi. Satu jam lebih dia dala