Baik aku maupun Mas Reyfan sama sekali tak ada yang berbicara mulai dari kami bertemu di kantor polisi. Bahkan saat kami berdua memasuki halaman rumah dan turun dari mobil, Mas Reyfan meninggalkanku melangkah duluan tanpa kata. Aku merasa dia sangat marah padaku. Tapi entahlah, dia belum mengatakan apapun setelah pertemuan hari ini. "Makan malam sudah saya hangatkan, Bu." Mbok Jum menyambutku di pintu rumah. "Ya Mbok, sebentar saya bersihkan diri dulu." Aku bergegas naik ke lantai atas. Dan saat berada di kamar, kulihat Mas Reyfan sedang menyiapkan pakaiannya untuk mandi. Kalau biasanya aku pasti akan dengan sigap melakukannya untuknya, meladeni segala keperluannya, namun tatapan tidak bersahabatnya malam ini membuatku tak ingin mendekatinya. Setelah siap dengan pakaian gantinya, dia berjalan melewatiku begitu saja menuju kamar mandi yang ada di dalam kamar kami. Sekitar lima menit kemudian, dia keluar lagi dengan balutan handuknya. Tak seperti biasa dia se
Kalimat yang hanya tiga kata, tapi mampu memporak-porandakan hati dan perasaanku. Sejak kapan sebenarnya mereka berhubungan hingga sekarang perempuan ini mengaku bahwa dirinya hamil? Mas Reyfan pun sepertinya sama denganku. Shock dengan ucapan gund*knya sendiri. "Ma-maksud kamu apa, Sha?" "Aku hamil. Dan ini anak Mas Reyfan." Perempuan itu terlihat mulai menangis lagi. Sepertinya badanku rasanya ingin limbung jika saja Mbok Jum tidak berada di dekatku dan memegang lenganku. "Kita masuk saja, Bu," ajaknya. "Nggak Mbok, biarkan aku disini." "Sha, itu nggak benar kan?" Kudengar Mas Reyfan bersuara lagi. "Benar Mas, ini anak Mas Reyfan." Perempuan itu lalu merogoh ke dalam tasnya mengambil benda putih pipih dan menyerahkannya pada Mas Reyfan. Itu sebuah testpack yang sedang dia berikan pada suamiku. "Tapi ini belum tentu benar 'kan?" Dia masih menyangkal. "Belum tentu benar gimana Mas? Kita sudah melakukannya." "Iya aku tahu. Tapi .
"Awalnya aku pikir aku telah jatuh cinta untuk kedua kalinya. Tapi sepertinya aku hanya sedang khilaf sampai kebablasan. Setelah kusadari, semuanya telah terlambat." -Reyfan Andriano Semalaman pria itu tidak bisa memejamkan mata. Entah sudah berapa kali dia mengetuk pintu kamar tidur istrinya, namun tak satupun panggilannya dihiraukan. Nampaknya sang istri sudah tak lagi bisa memaafkannya. Penyesalan memang selalu datang belakangan. Hingga hampir subuh, pria itu hanya duduk di sofa ruang tengah sambil menatap kosong layar TV plasma yang entah sedang menayangkan apa. Dia sendiri tertidur beberapa menit dengan sangat tak nyenyak. Saat Mbok Jum keluar dari kamar dan menghampirinya, Reyfan baru berpikir untuk bangkit. "Bapak mau makan atau minum sesuatu? Biar saya siapkan," tawar perempuan baya itu. Reyfan hanya menggeleng tak minat. Lalu pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Beberapa menit kemudian dia sudah mengganti baju dengan dengan pakaian kerjanya dan
Aku mendapat laporan dari Mbok Jum pagi itu bahwa Mas Reyfan sudah meninggalkan rumah sehabis subuh. Aku kira dia sudah menuruti kata-kataku untuk enyah dari rumahku. Tapi ternyata aku salah. Koper-koper Mas Reyfan masih ada di rumah. Itu berarti dia akan masih kembali ke rumah ini lagi. Saat jarum jam menunjuk pukul 8, aku pun sudah siap untuk berangkat ke kantor polisi, menemui pria tanpa senyum bernama Daniel itu. Jalanan pagi itu nampak masih lumayan ramai saat aku melintas, hingga membuatku harus ekstra sabar untuk sampai ke tujuan. Setengah jam kemudian aku sudah berhasil memarkirkan mobilku di area parkir kantor yang bagiku sangat menyeramkan itu. Iya benar, dari kecil aku tidak pernah suka dengan kantor polisi. Entah kenapa, setiap bertemu dengan pria-pria berseragam itu pun, kata bapak, Hani kecil akan selalu melengos, takut. "Jalanan macet?" Aku kaget mendengar suara yang begitu dekat di telinga kala aku ingin kembali menutup pintu mobil. Segera saja aku
"Aku hanya ada 50 juta, Dam. Kira-kira gimana?" tanyaku pada pria yang sedang duduk dihadapanku itu. Sejenak dia terdiam, seperti sedang berpikir. "Han, kamu masih suka gambar-gambar desain? Aku ingat dulu kamu suka banget gambar design pakaian kan?" "Iya dulu. Tapi udah nggak pernah lagi. Kok kamu masih inget sih, Dam?" "Ya ingat lah, orang yang lainnya pada rapat kamunya malah sibuk gambar kan?" tawa Adam pecah, sepertinya dia teringat masa-masa itu. Saat kami sering berkumpul bersama para pemuda karang taruna. "Kenapa nggak coba bisnis fashion aja? Kamu ngikutin trend fashion kekinian kan?" tanyanya lagi. Aku menggigit bibir mencoba mencerna arah pembicaraannya. "Lumayan ngikutin sih. Tapi gimana caranya? Aku nggak tau, Dam. Jujur aku awam banget masalah bisnis." "Itulah gunanya aku," kata dia bangga. Kumonyongkan bibir demi mendengar kesombongannya itu. Lagi-lagi dia tertawa. "Jadi gini, Han. Aku ada kenalan konveksi. Dia profesional, sering teri
Wanita tua itu sudah berada di teras rumahku dengan angkuhnya. Dia mungkin belum tahu kalau rumah ini sudah menjadi milikku. "Mau apa lagi kemari, Mi?" tanyaku sudah tak ada respect sedikitpun padanya. Kelakuannya yang membuatku sangat muak untuk masih tetap menganggapnya sebagai orang tua. "Eh, eh, kok melarang Mami kesini. Ini kan rumah anak Mami. Mau kamu bilang apa tetap saja ini rumah Reyfan." Aku tersenyum kecut mendengar celotehnya. Nggak cuma Mami. Ternyata adik iparku, Irwan pun ada di rumah ini. Dia sedang duduk menatap kami yang berseteru di teras dari ruang tamu. "Kemarikan kunci mobil kamu sama suratnya, Han!" "Lhoh mau buat apa, Mi?" tanyaku pura-pura keheranan. "Itu kan mobil yang beli Reyfan. Ya mau Mami jual lah. Memangnya mau diapakan lagi?" "Enak saja mami ngomong begitu." Tanpa mempedulikan Mami lagi, aku bergegas masuk. Malu kalau sampai perseteruan kami dijadikan tontonan para tetangga. Mami mengikutiku masuk. Tak kuhiraukan
"Kamu mau kemana, Han?" Sore itu Mas Reyfan yang baru saja memarkirkan mobilnya di halaman rumah, nampak panik bukan main melihatku, Keenan, dan Mbok Jum sudah bersiap-siap akan pergi dengan beberapa koper yang sudah kami seret ke teras. "Apa-apaan ini? Kalian mau kemana?" Mbok Jum yang melihat Mas Reyfan marah, langsung menggendong Keenan, mengajaknya masuk. Sementara aku mengajak Mas Reyfan duduk di kursi teras setelah menghela nafas panjang mempersiapkan apa yang akan kukatakan padanya. "Aku akan pindah sementara ke rumah Bapak, Mas." "Apa? Tidak boleh! Aku tidak mengijinkanmu, Han." Mas Reyfan bertambah panik. Wajahnya merah bersemu marah mendengar ucapanku. "Tapi ini demi keselamatanku dan Keenan. Kamu nggak mau aku atau Keenan celaka karena ulah ibu atau adikmu 'kan? Kamu lihat sendiri kan Mas apa yang mereka lakukan padaku kemarin?" Aku mencoba mengingatkannya. "Mereka tidak akan bisa berbuat itu lagi. Ada aku, Hani. Aku yang akan melindungi
Adam mengajakku melihat tempat yang akan kami sewa. Dari sekian banyak tempat yang sudah kami kunjungi, sepertinya tempat terakhir yang paling cocok untukku. Lokasinya strategis di pinggir jalan yang tidak terlalu ramai, ruangan utamanya di lantai bawah juga sangat luas bisa digunakan untuk melakukan banyak pekerjaan jika nanti usaha kami maju. Sedangkan di lantai atas, terdapat 3 buah kamar tidur, kamar mandi, dapur dan sebuah ruang lagi yang cukup besar untuk dijadikan ruang tamu dan dan ruang bersantai. "Kalau rumah ini kujadikan tempat tinggal saja gimana menurutmu, Dam?" "Tempat tinggal? Maksudnya?" "Ya tempat tinggal. Jadi aku sekalian tinggal disini, di lantai atas. Sementara lantai bawah buat kantor. Jadi nggak harus bolak balik ke rumah bapak. Lebih hemat waktu dan tenaga 'kan?" Mataku berbinar menatap Adam. Dan dia memicingkan matanya ke arahku. "Ide yang bagus, sepakat," katanya sambil menjabat tanganku. Lalu kembali memasukkan kedua tangannya lagi