Daniel menelponku pagi harinya. Dia menghujaniku dengan perhatian-perhatian yang justru membuatku semakin merasa bersalah pada Adam. Masih belum hilang dari ingatanku bagaimana kemarahan di wajah Adam semalam. Lalu sebuah pertanyaan segera terlintas di pikiranku. Apa hari ini Adam akan tetap datang kesini seperti biasa? Atau dia justru tidak akan muncul di hadapanku lagi? Aku belum sanggup ditinggal Adam dengan kondisi bisnis yang sedang mulai berjalan seperti ini. Mendadak aku merasa sangat kotor. Seperti inikah aku sekarang? Memikirkan Adam hanya karena membutuhkan bantuannya saja? Aku merasa sepertinya aku telah menjadi orang yang sangat jahat. Sampai hari menjelang siang, Adam belum juga muncul disini. Entah sudah berapa ratus kali aku melirik ponsel yang tergeletak di atas meja kerjaku. Berharap tiba-tiba dia mengirimiku pesan candaan seperti biasanya, lalu tiba-tiba muncul membawakan makan siang untuk kami bertiga. Aku sudah mulai putus asa menunggu kemunculan Ada
Wanita seksi dengan tinggi 170 cm itu membanting pintu mobilnya dengan kesal saat sampai di garasi rumah. Dia merasa mantan suaminya itu semakin lama semakin menyebalkan. Kemarin-kemarin dia masih bisa bertemu Tasya, putrinya, walau dengan sembunyi-sembunyi menunggu Daniel pergi ke kantornya. Tapi sekarang, pria itu benar-benar menutup aksesnya untuk menemui putrinya. Pembantu rumah tangganya juga mendukungnya melakukan hal itu. "Brengs*k!!" umpatnya kesal sambil menghempaskan diri di sofa ruang tamu. Tangannya mengacak-acak rambut ikal berhigh light merahnya dengan sangat frustasi. "Ada apa sih, Kak?" Suara serak Vina bertanya dari arah ruang tengah. Lalu sejurus kemudian gadis yang pergelangan tangannya masih dibalut perban itu menghampiri Clarissa di sofa ruang tamu. "Daniel!" sebut Clarissa dengan nada kesal. "Maunya apa sih dia? Aku nggak dibolehin ketemu Tasya. Dia sendiri selalu menghindar waktu kuhubungi, sekarang nomerku malah diblokirnya. Lama-lama str
Sudah sekitar dua minggu Adam tidak lagi datang kerumahku. Tapi lucunya, dia mengirimkan seorang karyawan pria bernama Riko, ke rumah kontrakanku. Dan sudah seminggu lebih, pekerjaan Adam dihandle oleh orang bernama Riko ini. Beberapa kali aku mencoba mengirim pesan pada Adam untuk meminta maaf. Tapi pesanku tak satu pun dibalas oleh lelaki itu. Panggilanku pun tak pernah diangkatnya. Apa Adam semarah ini padaku? Melihat kemarahan Adam ini membuatku hingga tak berani menemuinya langsung baik di kantor maupun di rumah orang tuanya. Beberapa hari setelah kedatangan Mas Reyfan waktu itu, aku terus kepikiran tentang modal usaha yang dimintanya. Bagaimanapun, melihat hidupnya yang sulit seperti sekarang membuatku miris. Setidaknya dia harus punya pekerjaan untuk menghidupi istri dan anaknya. Maka saat bapak menelponku mengatakan bahwa sudah ada yang menawar rumahku, aku bergegas mengajak Keenan ke rumah bapak untuk membicarakan masalah itu. "Kamu mau lepas rumahmu di ha
Mas Reyfan mengajakku duduk di kursi teras. Entah, mungkin dia tidak punya meja kursi tamu di dalam rumah kontrakannya itu. Daniel segera mendudukkan diri di sebelahku, sementara Mas Reyfan berada di depanku. Tak lama berselang, Shasha muncul dengan pakaian yang sedikit lebih sopan dari yang dia kenakan tadi. Lalu dia pun duduk berdempetan dengan mantan suamiku. "Maaf Mas, aku nggak bisa bantu banyak. Hanya ini yang bisa kuberikan untuk kamu. Sisanya tetap aku simpan untuk masa depan Keenan," kataku sambil menyerahkan amplop coklat berisi uang 75 juta. Mas Reyfan hanya mengangguk saja tanpa berani bertanya apapun. "Jumlahnya hanya 75 juta Mas, semoga bisa kamu jadikan modal usaha," kataku lagi. Mas Reyfan tetap tak bereaksi, hanya menunduk menatap ke arah amplop yang kuketakkan di meja itu. Tapi justru Shasha yang nampak bereaksi cepat. "Kok cuma segitu Kak? Bukannya rumah Mas Reyfan itu besar. Pasti harganya mahal kan?" Dahinya nampak berkerut menatap ke arahku.
Lelaki itu menutup pintu ruang kerjanya rapat-rapat. Lalu memejamkan matanya sejenak sebelum akhirnya melangkah ke sofa. Vina, dengan pakaian sedikit berantakan menatapnya masih dengan penuh hasrat. "Pulanglah sekarang! Katakan pada Clarissa kesepakatan yang kita buat tadi," kata Adam sambil menghempaskan diri ke sofa. "Tapi kita belum menyelesaikan yang tadi, Sayang," protes gadis bergincu warna gelap itu. "Kamu pikir tadi itu apa? Maaf, aku nggak sengaja. Pulang saja sana! Kerjakan yang aku bilang," ketua Adam. "Adam, kok kamu gitu sih? Apa kamu benar-benar sudah nggak mau bersamaku?" "Vinaaa ... kamu dengar aku kan? Kamu turuti perintahku atau kita tidak akan pernah bertemu lagi." Adam mulai mengancam. Dan Ancaman Adam selalu menakutkan bagi gadis bernama Vina itu. Akhirnya dengan kesal karena hasrat yang belum tuntas, dia menghentakkan kakinya keluar ruangan. 'Kamu sudah melukaiku sangat dalam, Hani. Aku ingin suatu hari kamu bertekut lutut me
Sepagian aku tak keluar kamar. Saat tengah malam, aku tiba-tiba merasa badanku panas. Mbok Jum yang kupanggil subuh itu tentu saja panik. Dia segera mencari minyak angin dan koin untuk mengeroki bagian punggungku seperti biasa saat aku meriang. Setelah Mbok Jum selesai, aku kembali meringkuk dengan selimut tebal. Menyelimuti badanku yang sedang menggigil parah. Hera dan Santi yang datang seperti biasa pukul 8 pagi menjengukku ke lantai atas. Keduanya muncul dengan wajah-wajah polos mereka yang penuh simpati padaku. "Mbak Hani sudah minum obat? Apa aku anterin ke dokter aja, Mbak?" tanya Santi khawatir. Aku menggeleng lemah. "Nggak usah, San. Udah dikerokin tadi sama Simbok. Paling bentar lagi juga sembuh," ucapku dengan nada serak. "Aku minta tolong ya kerjaanku hari ini kamu handle dulu? Kayaknya aku masih perlu istirahat," jelasku padanya. Keduanya mengangguk dan kemudian kembali turun untuk memulai aktifitas seperti biasa. Setelah menghabiskan bubur
Setelah menerima transferan uang dengan jumlah lumayan fantastis dari Adam hari itu. Clarissa pun segera memacu mobilnya kencang untuk menemui seseorang. Entah apa yang dia bicarakan dengan lelaki yang ditemuinya di sudut sebuah mall itu, tapi yang jelas sepertinya sangat serius. Setelah menyelesaikan urusan dengan si lelaki misterius, Clarissa bergegas menuju ke sebuah klinik milik seorang sahabatnya untuk melancarkan rencana keduanya. Dan dia menghubungi ponsel adik sepupunya selama dalam perjalanan menuju ke arah klinik. "Vin, Kamu sudah berangkat kan?" tanyanya. "Sudah Kak. Aku hampir sampai." "Oke, jangan lupa kasih kabar ya. Lewat pesan saja." "Oke, Kak." Dan sambungan telepon mereka pun berakhir saat Clarissa sampai di depan sebuah Klinik. Setelah memarkirkan mobilnya, Clarissa bergegas memasuki lobby klinik, berjalan dengan pasti dengan stiletto tingginya dan kaca mata hitam menutupi matanya. . . . Sementara itu di sudut lain kota itu, V
Tanpa tidur semalaman, Daniel berangkat pagi-pagi sekali meninggalkan rumah. Dia biasanya orang yang tidak pernah suka menyelesaikan urusan pribadinya dengan memanfaatkan fasilitas kantor. Tapi kali ini sepertinya harus dia lakukan demi mencari tau kebenaran. Ada beberapa rumah sakit di kota ini yang harus dia datangi. Hanya akan ada dua kemungkinan jika memang Hani benar-benar sakit, yaitu bahwa wanita itu sengaja menghindarinya atau memang disembunyikan. Instingnya sebagai penegak hukum memang jarang salah selama ini karena seringnya menemui kejanggalan pada kasus-kasus yang dia tangani di lapangan. Daniel hanya butuh kepastian apa yang sebenarnya sedang dilakukan oleh kekasihnya itu. Jika dia memang ingin bersembunyi darinya, artinya Daniel akan mundur. Walaupun sifat posesifnya terhadap Hani sangat besar hingga dia bahkan rela kehilangan seorang sahabat seperti Adam, namun jika wanita itu sendiri yang tidak menginginkannya, maka dia tidak bisa memaksanya. Dan