Di kedai tersebut sudah ada seorang pria yang bertengger. Mungkin sedikit kesal. Meski kesal dia tampak lega. Buktinya nafasnya tak lagi tersengal-sengal. Perlahan amarahnya mulai menurun, seperti pasang air laut pada pantai yang mulai surut kembali ke laut.
“Dari mana aja? Seratus kali aku telpon, wahai seniman muda yang amat terhormat!”, kata si pria berkacamata.
Tanpa menjawab perkataannya, pria itu hanya berlari kecil melewati pria berkacamata dengan sedikit tawa. Mereka memasuki kedai tersebut. Beberapa karyawan di sana menyapa pria itu. Sambil membalas beberapa sapaan orang-orang di sana, pria itu mempersiapkan diri untuk menemui sesorang pria berjas rapi dilengkapi dengan dasi biru bercak merah dan sepatu hitam mengkilap yang mencoba menangkap cahaya-cahaya di sana.
“Rudra sang seniman muda berbakat, akhirnya datang juga. Sudah pesan?”, kata pria berdasi.
Seorang pelayan dipanggil ke meja tersebut oleh pria berdasi dan menanyakan menu yang ingin dipesan. Pria berkemeja kotak-kotak dengan cepat menyambutnya dan berkata, ”Biasa ya, dua”.
Meja tersebut mendadak serius, semua fokus dengan satu gambar bangunan. Pria berdasi terlihat sumringah, menunjuk-nunjuk beberapa sisi ruangan dan menepuk kemeja kotak-kotak pria tersebut. Pria berkacamata seperti tak mau kalah sumringah, dengan bangga dia berkata “Saya akan jadi manajer yang andal, tenang promosimu tak akan berhenti setelah ini”, katanya.
“Kurator ini orang terpandang, dia sering menjadi kurator di pameran-pameran internasional. Karya-karyamu itu sangat unik dan otentik. Meskipun sudah banyak seniman lukis. Akan tetapi saya pun tertarik dengan ide gila yang kemarin kamu tawarkan itu mengenai satu lukisan yang kamu bilang dia akan hidup di waktu yang tepat setiap harinya. Coba bayangkan seberapa penasaranya pengunjung yang akan hadir di jam tersebut. Melihat ketenaranmu di berbagai sosial media hari ini, boleh saya bilang kamu sudah populer. Berarti kini saatnya saya dan temanmu yang berbaju basah ini melapangkan jalanmu”, kata pria berdasi itu dengan semangat.
“Saya sudah siapkan, beberapa strategi promosi untuk karya fenomenal itu. Baik promosi sosial media dan strategi pasarnya”, lanjut pria berkacamata itu.
Pria berkemeja kotak-kotak itu menunduk, lalu memandang keluar jendela. Menimbang-nimbang apakah ide ini bisa terwujud dengan sempurna atau tidak. Dalam lamunannya yang mengambang seperti balon ulang tahun, tiba-tiba pecah oleh kehadiran pelayan kedai mengantarkan pesanannya.
“Bagaimana? Kira-kira karyamu itu akan selesai kapan? Untuk biaya produksi, saya sudah memberikan katalog dari beberapa karyamu. Beberapa pengusaha dan artis ibu kota sudah memberikan harga. Kalau saya hitung, itu sudah lebih dari cukup, tinggal proses legalisasi karya saja yang menurutku sedikit rumit. Biar dia yang mengurusnya”, kata pria berdasi sambil menunjuk pria berkacamata.
“Saya akan kirimkan kontrak kepadamu besok di kantor, kau datang kesana. Hari ini sekretarisku sedang membuatkannya. Lusa kita bertemu dengan beberapa sponsor dan sudah kusiapkan mobil yang akan menjemput kalian. Jadi berkelas sedikit kalian. Bagaimana? Menarik bukan?”, sambung pria berdasi.
“Aku mengajukan satu nama seniman senior sebagai orang yang akan memberikan tanggapannya, syukur-syukur beliau bisa memberikan ulasan tentang karya saya. Apakah bisa?” timpal pria berkemaja kotak-kotak.
“Siapa seniman yang kau maksud?” sambung pria berdasi.
“Hendra Koesno Dono”, jawab pria berkemeja kotak-kotak.
“Siapa dia? Apakah media mengenalnya? Apakah nama tersebut pernah trending di Twitter? Kalau perihal itu saya sudah siapkan, tenang saja. Ada artis ibukota, musisi, ada selebgram dengan ratusan ribu followers jadi tenang saja.” jawab pria berdasi itu.
“Jadi bisa atau tidak?”, jawab pria berkemeja kotak-kotak dengan sedikit merubah raut mukanya menjadi lebih datar lagi.
“Pandanganmu itu lho, sangat mengintimidasi meski tak ada ekspresi. Baiklah-baiklah, memang di mana-mana seniman itu pasti punya permintaan aneh dan cendrung nyeleneh. Tenang saja, itu semua bisa diatur, asal beliau masih sehat dan bugar di kursi kopinya. Nanti pas saya cari beliau ada di balik tanah kan repot jadinya.”, jawab pria berdasi itu dengan sedikit memberikan senyum.
“Semua berkas, beberapa sudah saya siapkan pak, termasuk dokumen perkarya yang dia buat. Bisa dibilang lima puluh lima persen”, sambung pria berkacamata.
Mereka asik berdiskusi, menurut si pria berkemeja kotak-kotak, sebagai seorang yang mencintai dunia seni, dia butuh jadi sebuah perhatian dari salah satu seniman yang sudah menjadi inspirasinya sejak dahulu. Dari sudut pandang bisnis pria berdasi hanya peduli tentang keuntungannya saja, berbeda dengan pria berkacamata selain dia ingin karirnya ikut meningkat dia ingin sahabatnya itu menjadi seniman terkenal. Obrolan itu beberapa saat beradu pendapat, karena si pria berkemeja kotak-kotak terlihat sangat idealis jika menyangkut tentang karya. Baginya karya adalah seorang anak yang harus mendapatkan kesempatan yang layak untuk tumbuh dan berkembang sampai menemui takdirnya.
“Karya adalah anak yang lahir dari rahim takdir dan ruang yang menyala dalam gelap”
Kedai di tengah kota memang menawarkan ribuan tempat untuk menghilangkan penat. Mulai dari kedai kopi dengan tema industrial atau kopi dengan tema ramah lingkungan. Kedai kopi yang sekarang mereka singgahi punya nilai yang paling beda hari ini, hampir seperti kejatuhan durian runtuh. Mereka memberikan racikan kopi yang istimewa dengan rasa yang sangat otentik, tak khayal banyak pengunjung yang datang berkali-kali ke tempat ini.Suara pengunjung yang bersinambungan dengan riuhnya kota dihaluskan dengan tawa dan desir angin pohon-pohon hijau yang ditanam di sekitar kedai tersebut.“krincing”sua
Para pengunjung kedai pun mulai pergi termasuk pria berdasi dan pria berkacamata, mungkin ada urusan lain yang lebih penting bagi mereka atau mungkin sudah bosan dengan ruangan yang disajikan kedai tersebut. Tampak pria berbaju kotak-kotak masih bergeming di meja kedai bekas diskusi yang tidaklah penting baginya setelah melihat gadis itu. Hingga tak sadar hanya tinggal dia seorang ditemani secangkir kopi gayo yang dari tadi tak disentuhnya.“Maaf, Kak, kami akan segara tutup.” kata pelayan kedai sambil menepuk pundak pria berbaju kotak-kotak itu. Pria itu terkejut karena kehadiran pelayan kedai.“Boleh saya a
Hari itu memang sangat cerah, matahari tampak hangat sehangat sayur sup buatan ibu. Semangat Rudra sangat bergelora untuk bertemu gadis yang menarik perhatiannya di kedai itu. Dengan langkah mantap, pria itu memasuki kedai dengan harapan bisa melihat dan menemui gadis yang memenuhi pikirannya akhir-akhir ini. Saat ini, yang terpenting bukanlah berdiskusi persoalan proyeknya dengan kurator. Bagi Rudra, proyek itu hanyalah proyek yang biasa saja yang sudah sering ia lalui dan menjadi sebuah kebiasaan. Tepat ketika Rudra masuk ke dalam kedai itu, fokus utamanya tidak langsung menuju pria berdasi atau pria berkacamata, baginya mereka hanyalah angin yang tak berbentuk. Ia berdiri agak lama membelakangi pintu melihat ke sekelilingnya. Rudra sangat berharap gadis itu sudah berada lebi
Pagi yang cerah, burung-burung saling berkelakar tentang caranya berenang jika terjadi banjir di kota ini. Daun-daun kering berlarian mengitari batang pohon yang berdiri kokoh di taman kota. Seorang pria duduk dengan memegang pensil yang dia gunakan untuk membentuk sebuah gambar sketsa. Perlahan-lahan gambar itu terlihat seperti seorang gadis yang berada di pojok ruangan dekat jendela. Rambut hitam yang tergerai mengombak seperti ombak laut selatan, indah dan berkilau. Asap kopi yang menipis pertanda kopi mulai kedinginan, pria itu melihat cup kopi yang mulai menggigil, lalu menangkapnya dalam genggaman, dan “sruput!” suara yang terdengar dari pria itu pada kopi yang sekarang sudah habis. Gadis itu mulai menyembulkan senyumnya, pria itu tersenyum p
Pagi itu mulai lebih cerah lagi, matahari mengambang dengan sendirinya. Di taman mereka berdua asik bercengkrama. Obrolan tersebut terlihat menyenangkan, sesekali Lintang menebar senyumnya pada pria itu, sesekali pula ada tawa yang timbul di antara sela-sela obrolan menjelang siang itu. Tangan si pria memanggil seorang pedagang yang berada di pojok taman, tempat tersebut memang menjadi lokasi untuk para pedagang kaki lima. Obrolan panjang menguras energi mereka, membuat keduanya merasa lapar. "Pak, pesan dua porsi ya." "Siap, Mas dan Mbak yang
Suara pedagang kaki lima penjual empek-empek adalah tanda waktu yang pasti, setelahnya akan disusul suara siar suar-suar di sekitar komplek perumahan dan tempat tinggal di gubuk-gubuk liar. Parade klakson juga kadang konvoi gelombangnya sampai di telinga meski pintu depan sudah tertutup, pintu kamar sedikit terbuka. Ramai-ramai lampu rumah berlarian menyala. Sepeda yang ia gunakan dia sandarkan di garasi. Nanti malam adalah waktu yang tepat untuk memijakkan mimpinya kepada orang-orang yang tepat dalam hal menghargai karya yang ia lahirkan. Mandi yang bersih, memilih parfum yang baik serta busana yang rapi menjadi prioritas pencariannya saat ini. Pria itu bergegas untuk siapkan diri karena dering nada panggilan dari gawainya yang ia tengok berasal dari sahabatnya sekaligus juru
Seekor burung memasukan dirinya ke air, menangkap ikan-ikan kecil lalu membawanya ke sarang, tak jauh dari pemandang itu lautan menawarkan ke mesraan lain. Layar putih yang ditiup angin samudera menghantarkan perahu itu ke semenanjung rindu. Seorang gadis duduk di ujung perahu, seraya menyulam senyum yang merekah pelan-pelan, terlihat seorang pria yang asik mengagumi senyum itu dari tempat kemudi. Tak mau kalah, ikan-ikan berjingkrakan mengambil buih-buih senyum yang di sulamnya. Perahu itu dikelilingi lompatan-lompatan cahaya yang berkejaran, mengitari perahu. Seakan-akan mengiringi pelayaran perahu itu. Layar pun mengembang ditiup samudera. Keindahan yang tak kunjung usai dihempaskan begitu saja dari gadis yang berbalut mimpi keanggunan hakiki, perlahan-lahan perahu pun merayap mendekati bibir pantai, langit pun kian gelap, suara lagu pun kian mengeras, lagu yang terdengar tak asing lagi. Lagu yang berasal dari grup band terkenal yaitu Dead Squad.Pria itu terbangun, sediki
Setelah beberapa hari dia mengurung diri di dalam studionya. Beberapa lukisan sudah selesai di lahirkan. Persalinan antara harapan dan takdir yang belum merestuinya untuk bertemu dengan seorang gadis yang sangat dia harapkan untuk bertemu. Lukisan-lukisan itu semuanya berwajah sama dengan bermacam-macam tokoh, seperti gadis tersebut ingin hadir disetiap peristiwa. Wajah tersebut sangat haru, bisa juga sangat indah, bisa juga sangat menyedihkan. Gambaran negeri tersebut terwakilkan oleh seorang gadis yang mampu menyilap mata. Cahaya masuk tanpa permisi, menyilaukan mata pria yang sedari tadi tertidur diantara lukisan-lukisan, kuas yang bergeletakan dan bercak-bercak cat yang jatuh ke lantai. Sinar matahari seakan mengelus pipinya dan mencoba membangunkan pria tersebut. Pria tersebut terbangun. Melakukan hal-hal yang menjadi rutinitas masyarakat pada umumnya. Menggosok gigi, lalu pergi untuk mandi. Pria itu pergi untuk sekedar mampir meminum kopi. H