Share

Chapter 2: Terima 

Di kedai tersebut sudah ada seorang pria yang bertengger. Mungkin sedikit kesal. Meski kesal dia tampak lega. Buktinya nafasnya tak lagi tersengal-sengal. Perlahan amarahnya mulai menurun, seperti pasang air laut pada pantai yang mulai surut kembali ke laut.

“Dari mana aja? Seratus kali aku telpon, wahai seniman muda yang amat terhormat!”, kata si pria berkacamata.

Tanpa menjawab perkataannya, pria itu hanya berlari kecil melewati pria berkacamata dengan sedikit tawa. Mereka memasuki kedai tersebut. Beberapa karyawan di sana menyapa pria itu. Sambil membalas beberapa sapaan orang-orang di sana, pria itu mempersiapkan diri untuk menemui sesorang pria berjas rapi dilengkapi dengan dasi biru bercak merah dan sepatu hitam mengkilap yang mencoba menangkap cahaya-cahaya di sana.

“Rudra sang seniman muda berbakat, akhirnya datang juga. Sudah pesan?”, kata pria berdasi.

Seorang pelayan dipanggil ke meja tersebut oleh pria berdasi dan menanyakan menu yang ingin dipesan. Pria berkemeja kotak-kotak dengan cepat menyambutnya dan berkata, ”Biasa ya, dua”.

Meja tersebut mendadak serius, semua fokus dengan satu gambar bangunan. Pria berdasi terlihat sumringah, menunjuk-nunjuk beberapa sisi ruangan dan menepuk kemeja kotak-kotak pria tersebut. Pria berkacamata seperti tak mau kalah sumringah, dengan bangga dia berkata “Saya akan jadi manajer yang andal, tenang promosimu tak akan berhenti setelah ini”, katanya.

“Kurator ini orang terpandang, dia sering menjadi kurator di pameran-pameran internasional. Karya-karyamu itu sangat unik dan otentik. Meskipun sudah banyak seniman lukis. Akan tetapi saya pun tertarik dengan ide gila yang kemarin kamu tawarkan itu mengenai satu lukisan yang kamu bilang dia akan hidup di waktu yang tepat setiap harinya. Coba bayangkan seberapa penasaranya pengunjung yang akan hadir di jam tersebut. Melihat ketenaranmu di berbagai sosial media hari ini, boleh saya bilang kamu sudah populer. Berarti kini saatnya saya dan temanmu yang berbaju basah ini melapangkan jalanmu”, kata pria berdasi itu dengan semangat.

“Saya sudah siapkan, beberapa strategi promosi untuk karya fenomenal itu. Baik promosi sosial media dan strategi pasarnya”, lanjut pria berkacamata itu.

Pria berkemeja kotak-kotak itu menunduk, lalu memandang keluar jendela. Menimbang-nimbang apakah ide ini bisa terwujud dengan sempurna atau tidak. Dalam lamunannya yang mengambang seperti balon ulang tahun, tiba-tiba pecah oleh kehadiran pelayan kedai mengantarkan pesanannya.

“Bagaimana? Kira-kira karyamu itu akan selesai kapan? Untuk biaya produksi, saya sudah memberikan katalog dari beberapa karyamu. Beberapa pengusaha dan artis ibu kota sudah memberikan harga. Kalau saya hitung, itu sudah lebih dari cukup, tinggal proses legalisasi karya saja yang menurutku sedikit rumit. Biar dia yang mengurusnya”, kata pria berdasi sambil menunjuk pria berkacamata.

“Saya akan kirimkan kontrak kepadamu besok di kantor, kau datang kesana. Hari ini sekretarisku sedang membuatkannya. Lusa kita bertemu dengan beberapa sponsor dan sudah kusiapkan mobil yang akan menjemput kalian. Jadi berkelas sedikit kalian. Bagaimana? Menarik bukan?”, sambung pria berdasi.

“Aku mengajukan satu nama seniman senior sebagai orang yang akan memberikan tanggapannya, syukur-syukur beliau bisa memberikan ulasan tentang karya saya. Apakah bisa?” timpal pria berkemaja kotak-kotak.

“Siapa seniman yang kau maksud?” sambung pria berdasi.

“Hendra Koesno Dono”, jawab pria berkemeja kotak-kotak.

“Siapa dia? Apakah media mengenalnya? Apakah nama tersebut pernah trending di Twitter? Kalau perihal itu saya sudah siapkan, tenang saja. Ada artis ibukota, musisi, ada selebgram dengan ratusan ribu followers jadi tenang saja.” jawab pria berdasi itu. 

“Jadi bisa atau tidak?”, jawab pria berkemeja kotak-kotak dengan sedikit merubah raut mukanya menjadi lebih datar lagi.

“Pandanganmu itu lho, sangat mengintimidasi meski tak ada ekspresi. Baiklah-baiklah, memang di mana-mana seniman itu pasti punya permintaan aneh dan cendrung nyeleneh. Tenang saja, itu semua bisa diatur, asal beliau masih sehat dan bugar di kursi kopinya. Nanti pas saya cari beliau ada di balik tanah kan repot jadinya.”, jawab pria berdasi itu dengan sedikit memberikan senyum.

“Semua berkas, beberapa sudah saya siapkan pak, termasuk dokumen perkarya yang dia buat. Bisa dibilang lima puluh lima persen”, sambung pria berkacamata.

Mereka asik berdiskusi, menurut si pria berkemeja kotak-kotak, sebagai seorang yang mencintai dunia seni, dia butuh jadi sebuah perhatian dari salah satu seniman yang sudah menjadi inspirasinya sejak dahulu. Dari sudut pandang bisnis pria berdasi hanya peduli tentang keuntungannya saja, berbeda dengan pria berkacamata selain dia ingin karirnya ikut meningkat dia ingin sahabatnya itu menjadi seniman terkenal. Obrolan itu beberapa saat beradu pendapat, karena si pria berkemeja kotak-kotak terlihat sangat idealis jika menyangkut tentang karya. Baginya karya adalah seorang anak yang harus mendapatkan kesempatan yang layak untuk tumbuh dan berkembang sampai menemui takdirnya.

“Karya adalah anak yang lahir dari rahim takdir dan ruang yang menyala dalam gelap” 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status