Kembali ke meja masing-masing, Tanisha dan kawan-kawan langsung melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda. Menjawab semua telepon sambil menginformasikan promo baru. Saking banyaknya customer yang harus dihubungi, orang-orang itu sampai merelakan kehilangan jam makan siangnya. Lembur bukanlah sebuah pilihan karena Nisha sudah memesan tiket bioskop.
Bunyi nyaring terdengar dari gawai yang tersimpan dalam laci meja Tanisha. Mengira itu adalah customer yang biasa menghubunginya via WhasApp, Nisha mengeluarkan benda itu dari dalam sana. Namun ketika dilihatnya nama yang tertera di layar, dia langsung mencelos.‘Stranger’.Ya, begitulah dia menamai Ansell di kontak ponselnya. Stranger alias orang asing. Sekalipun mereka sudah bersama selama satu bulan, itu sama sekali tidak berarti apa-apa. Bagi Tanisha, Ansell tetaplah seorang asing yang kebetulan menumpang hidup kepadanya. Yang menguras isi rekeningnya hingga nyaris collaps seperti sekarang.Selain persoalan uang, ada lagi yang membuat gadis itu merasa sedikit terganggu. Ya seperti sekarang ini. Ansell mengiriminya pesan berupa reminder untuk makan siang. Ini sudah terjadi selama seminggu terakhir. Tidak hanya itu, setiap sore laki-laki itu juga mulai rajin bertelepon hanya untuk bertanya kenapa Nisha belum sampai di rumah. Iya kali kena macet harus lapor-lapor? Lagian siapa dia? Cih!Stranger (13.12) : Don’t forget to having lunch, Tanisha.Pffft!Seperti biasa Nisha hanya membacanya. Sama sekali tidak berniat untuk membalas. Kalaupun dia ingin membalas, bisa dipastikan hanya untuk melabrak Ansell dan terang-terangan memberi tahu kalau uangnya sudah habis, sehingga dia harus mengirit agar laki-laki itu bisa makan fast food setiap hari. Namun Tanisha sudah bisa menebak kalau benalu itu tidak akan sadar diri.Please, siapa pun yang punya cara jitu untuk mengusir bule kesasar itu dari apartemennya, Tanisha berjanji akan memberinya imbalan yang setimpal. Asal nggak minta satu milyar aja.Jam di dinding ruangan kembali berputar dengan cepat. Mungkin sebenarnya tidak, hanya saja orang-orang di dalam ini terlalu sibuk sehingga tidak punya waktu untuk bersantai. Targetnya adalah pekerjaan harus selesai saat jam pulang kerja. Termasuk report yang Ken minta. Menjelang jam lima sore, Tanisha mulai ketar-ketir. Khawatir dia tidak akan keburu menyelesaikan semuanya.“Ayo? Udah jam lima nih!” Apalagi saat Hana sudah bersuara dari meja sebelah. Makin gusar!“Bentar, aku tinggal send email!” Nisha setengah memekik.“Aku juga donee!” Keisya malah sudah selebrasi. Hari ini sepertinya sangat menegangkan. Jadi, ketika semua pekerjaan bisa selesai tepat pada waktunya, rasanya terlalu bahagia.“Ah, sent!!” Akhirnya Tanisha juga finished! Emailnya sudah terkirim ke email iternal Kennedy Valery.“Aku juga udah.” Fransiska menyahut dari mejanya.“Samaaa. Akhirnya ya gaiiiis,” disambut senada oleh Jill. Jill ini adalah member yang pacarnya posesif tidak karuan. Mungkin karena dia secantik dan seseksi itu.Kelimanya tak menunggu lama lagi. Menyambar tas masing-masing dan segera keluar dari ruangan. Langsung masuk lift dan turun ke basement, tempat dimana parkir mobil berada. Kebetulan Jill dan Keisya itu punya mobil sendiri. Jadi cukup gampang kalau mau ke mana-mana.Tanisha dan Hana nebeng di mobil Jill karena apartemen mereka masih searah. Jadi nanti kalau pulang akan lebih gampang. Begitupun dengan Fransiska yang nebeng di mobil Keisya.***Sampai di mall, kelima perempuan dewasa itu cepat-cepat naik lift menuju lantai empat. Jamnya sudah mepet. Mana masih mau beli popcorn segala. Harus gerak cepat.Sesampainya di atas, Tanisha langsung menuju mesin untuk mencetak tiket online ke tiket fisik, sedangkan yang lain antri beli minum dan popcorn. Berhubung ini pemutaran film hari pertama, antrian cukup panjang dan bikin jantung berdebar tidak tenang. Semoga nggak telat deh masuknya.Tanisha sudah selesai mencetak tiket saat ponselnya kembali berbunyi. Sebelum melihat id caller, dia melirik jam tangannya. Sudah jam enam sore. Sepertinya itu adalah panggilan absen dari Ansell. Malas banget deh!Gadis itu abai. Dia malah menyimpan benda itu kembali ke dalam saku celananya. Biarin deh bergetar terus. Dia tidak peduli. Mending nyamperin anak-anak aja.“Masih tiga orang lagi. Keburu lah ya.” Hana cemas. Berulang kali melihat jam di pergelangan tangan. Film akan dimulai tujuh menit lagi. Oh God!“Nggak apa-apalah kalau telat dikit. Paling nanti iklan-iklan dulu.” Tanisha berusaha tenang. Meski pikirannya masih terbagi pada getaran yang tak kunjung berhenti di saku celananya.“Iya sih. Semoga ya.”Ck! Tanisha merasa harus menjawab panggilan dari Ansell, dari pada diteror selama menonton. Gadis itu kembali menjauhi baris antrian dan mengeluarkan benda pipih itu dari dalam saku.“Hm,” jawabnya malas.“Tanisha, kamu di mana?”“Di kantor lah. Memangnya kamu? Pengangguran!” jawab gadis itu berbohong. Dia memang sengaja menghindar ke tempat yang lebih sepi agar tidak ketahuan sedang berada di mall.“Bukannya ini sudah lewat jam pulang kantor? Ingat, pulang kantor nanti jangan keluyuran, langsung balik apartemen.” Seperti biasa, Ansell memberinya warning. Entah untuk apa.“Itu apartemen aku by the way. Aku mau pulang malam pun, nggak ada yang ber hak ngelarang.”“Ada. Saya.”Bola mata Tanisha berputar kesal. Ingin sekali menjawab ‘memangnya kamu siapa?’, tapi itu hanya akan memperpanjang pembicaraan. Buang-buang waktu.“Kamu mendengar saya, Tanisha?”“Lo kira gue budek?”“In Indonesia, Miss,” tegus Ansell dengan tegas. Maksudnya kalau bicara itu pakai bahasa Indonesia yang baik dan benar. Ingat ‘kan kalau dia tidak terlalu paham bahasa gaul?“Iya, bentar lagi aku pulang!”“Good girl.”Setelah mengucapkan itu, Ansell memutuskan sambungan telepon. Tanisha mencelos pelan. Sampai kapan coba dia membiarkan laki-laki aneh itu memerintah ini dan itu? Saudara bukan, pacar juga bukan. Tapi posesifnya minta ampun. Iya kalau berduit. Ini kere level dewa. Huh!!“Nisha, ayo.” Tiba-tiba Hana sudah ada di belakangnya. Gadis itu sempat terlihat kaget. Sejak kapan Hana di sana? Semoga dia tidak mendengar apa-apa. Karena tidak ada yang tau soal Ansell.“Udah? Asiikk! Yuk!” Tanisha bergegas menyimpan ponselnya lagi dan menggandeng Hana yang sudah menunggu.“Kamu barusan nelfon siapa, Beb?”“Hm?”“Kok bahas-bahas pulang malam dan apartemen? Kamu ... udah ada pacar?”Ehh?***Kedua bola mata Tanisha membesar kala menyadari Ansell sudah menyadap ponselnya. Sejak kapan? Dan bagaimana caranya dia memasang penyadap di barang yang ... akh! Pasti saat Nisha mabuk malam-malam kemarin![Kau! Menyadap ponselku?!][Sejak aku tinggal di apartemenmu, Sayang.]“Hahhh?!” Tanisha tanpa sadar memekik di kursinya. Dia semakin shock! Sejak dia masih di apartemen?! Sinting!!“Kenapa, Beb?” Hana tentu saja ikut kaget. Soalnya suara Tanisha terdengar cukup kencang.“E—eh. Enggak kok.” Nisha cepat-cepat menutup layar ponselnya, sebelum Hana nekat mengintip karena penasaran dengan siapa dia sedang berkirim pesan. Untungnya gadis itu tidak seantusias itu. Hana kembali fokus ke gadget yang ada di tangannya sendiri.Hufftt, jadi selama ini Ansell mengawasinya?? Apa saja yang sudah dia dengar? Berarti, malam dimana dia lembur karena diamuk Kenendy, Ansell tau penyebab yang sebenarnya? Oh God. Apa lagi? Apa Tanisha pernah membahas yang tidak-tidak dengan yang lain? Apa ada aib yang t
Tanisha masih bengong mendengar apa yang Ansell ucapkan barusan. Bukan karena kata-kata itu terdengar kurang jelas, melainkan karena dia tidak percaya kalimat seperti itu bisa keluar dari mulut direkturnya sendiri. Menikahi Tanisha secepatnya? Dia sedang kerasukan jin apa kah?“Dan itu akan lebih berbahaya dari pada memecat Kennedy,” jawab perempuan itu akhirnya. Tatapan matanya kembali tegas seperti setiap kali dia marah pada Ansell di apartemen. “Apa pun rencanamu terhadap Kennedy, bisa tolong jangan bawa-bawa aku? Aku sudah dipecat hari ini dan aku sudah memutuskan akan keluar.”“Coba saja. Aku ingin lihat sejauh apa kau berhasil pergi dari aku.”Senyum miring di wajah Ansell sempat membuat Tanisha ragu. Apa lagi rencana laki-laki ini? Sebenarnya dia sangat penasaran, tapi memilih untuk tidak mau mau tau. Semuanya masih terlalu membingungkan. Gadis itu butuh waktu.“Aku mau keluar. Buka pintunya.”Ansel mengangguk. Tidak berencana menahan Tanisha lagi walau sejujurnya dia sangat in
Apa? Ke ruangan Ansell?Ngapain?Nggak! Tanisha nggak mau!Ansell berbalik. Perintahnya tadi seperti tidak untuk diulang dua atau tiga kali. Keempat bodyguard-nya juga sudah ikut berbalik. Namun Hans dan para dewan direksi masih menunggu Tanisha bergerak.“Ibu Tanisha? Ayo?” Hans menekankan suaranya. “Saya ...” Tanisha berpikir keras untuk mencari alasan. Ngapain coba harus ke ruangan Ansell? Di sini saja ‘kan bisa?“Sebelum beliau mengulangi instruksinya lagi,” desak Hans. Jangan sampai Ansell marah karena perempuan ini.Duhh. Tanisha harus bagaimana? Dia menoleh ke kiri dan kanan, seperti ingin meminta pendapat teman-temannya. “Pergi aja, Beb, siapa tau nggak jadi dikeluarin.” Hana mendukung seratus persen. “Iya. Jujur aja kalau kamu nggak salah!” Jill juga ikut mengompori. Diliriknya Kennedy yang sudah diam tak berkutik. Mampus aja dia! Ketar-ketir nggak tuh?Tanisha menarik napas ragu. Diam-diam dia melirik atasannya. Apakah dia akan aman kalau membongkar kejahatan pria ini? Ja
Tanisha merasa hidupnya seperti sedang dipermainkan oleh takdir. Dua hari ini dia uring-uringan karena kehilangan seseorang yang baru dia sadari ternyata cukup berarti dalam hidupannya. Orang asing yang dia temui di trotoar apartemen, yang sudah menyusahkan hidup Tanisha selama satu bulan terakhir. Yang kemudian pergi begitu saja tanpa itikad baik sebagaimana seseorang yang sudah menumpang di apartemen orang lain sampai se-lama itu.Dia mengenal laki-laki itu dengan nama ‘Ansell’. Ansell saja. Tidak ada embel-embel Arthur Benedict seperti nama pria yang saat ini menjadi pusat perhatian semua anak divisi marketing. Tapi ... Tanisha tidak buta. Mereka adalah orang yang sama. Bedanya, Ansell yang dia kenal memelihara banyak rambut tipis di area wajahnya. Kumis, jambang, janggut. Sedangkan wajah Ansell yang ini bersih. Klimis. Bahkan model sisiran rambutnya pun berbeda. Ansell yang kemarin lebih urakan. Yang ini benar-benar rapi, hingga menunjukkan jidatnya yang lebar.Sejak nama itu diu
Hana, Jill, Keisha dan Fransiska menoleh ke arah kubikel Tanisha. Ada apa lagi?“B—Baik, Pak.” Gadis itu berdiri meninggalkan kursinya. Tidak sempat berpikir apa-apa karena itu akan mengulur waktu lagi. Dia juga tidak sempat membalas tatapan teman-temannya dengan tersenyum agar mereka tidak khawatir.Mengetuk pelan pintu ruangan Kennedy, Tanisha mendengar suara khas yang mengijinkannya untuk masuk.“Selamat pagi, Pak.” Dia menyapa dengan sopan.“Kamu tadi datang terlambat?” Kennedy to the point. Tanisha meneguk ludah. Ternyata dosa-dosanya tidak pernah luput dari pantauan atasannya ini.“Absen jam sembilan kurang tiga menit, Pak,” tuturnya. Secara administrasi, itu tidak bisa dikatakan terlambat. Karena kantor ini masuknya memang jam sembilan teng.“Menurut kamu itu sudah terlambat atau tidak?”Tapi kalau ditodong pertanyaan seperti ini, Tanisha tentu tidak berani menjawab sesuai dengan kebenarannya. Kennedy pasti akan punya segudang teori lain yang bisa mematahkan peraturan itu.“Ka
Rasa nyeri di area selangkangannya membuat Tanisha lagi-lagi tidak bisa berdiri dari atas kasur. Kali ini lebih nyeri dari hari pertama kemarin. Apakah karena tidak memakai pengaman sehingga dia dan pria asing itu kebablasan sampai pagi? Sepertinya iya. Seluruh tubuh Tanisha seakan remuk tak berbentuk. “Mhhhh ...” Dia menggeliat di bawah selimut tebal yang begitu hangat dan nyaman. Tubuhnya masih naked, tanpa sehelai benang pun. Bagaimana ceritanya dia bisa kembali ke kamar ini? Gadis itu mencoba mengingat-ingat kejadian tadi malam. Kalau dia kembali ke kamar president suites yang ada di club kemarin lusa, siapa orang yang sudah membawanya? Seingatnya dia dan Hana tidak datang ke club ini. Apakah ...?Ck! Pantas saja mereka mabuk! Sepertinya minuman mereka sudah disabotase oleh orang yang sangat terobsesi akan dirinya. Siapa lagi kalau bukan si ‘Tuan Besar’? Tanisha sangat ingat, di surat kecil kemarin, orang itu memang bilang ingin bertemu dengannya lagi. Tapi Nisha tidak tau kalau