“Cepat katakan, mumpung semua orang udah tidur.” Rini melirik Clara menghabiskan teh dicangkirnya. Dalam hatinya dia merasa sedikit geli. Clara mengoceh panjang lebar padahal hanya meminum secangkir teh.
"Aku akan menceritakannya dari awal. Roy muda yang kutemui di Salvador adalah sosok yang sangat putus asa. Wajahnya tampan, tubuhnya bagus, dan semangat hidupnya berapi-api. Sayangnya semangat hidup itu dia curahkan sepenuhnya pada keluarga Spencer. Dia datang ke Salvador untuk mencari pamannya. Salvador adalah kota kecil di mana persahabatan Tuan Smith dan Tuan Spencer bermula. Mereka teman yang sangat dekat sejak kecil. Roy menginap di sebuah penginapan yang tak jauh dari restoran kecilku. Setiap hari mengamati luka lebam di wajahku, hasil buah tangan seorang suami pemabuk dan suka menyiksa. Suami yang aku usir berkali-kali, namun selalu kembali dalam keadaan miskin. Untungnya laki-laki itu sudah lenyap—maaf, aku selalu terbawa emosi tiap menceritakan soal b
“Dad … aku tak mengerti apa yang kau bicarakan. Aku sedang tak ingin bercanda sekarang.” Thomas berdiri dengan wajah memucat. Dia baru saja menyelesaikan pendidikannya dengan nilai terbaik. Dia juga baru melasik matanya yang rabun jauh dan mencampakkan kacamata agar tak terlihat tolol di mata teman-temannya. Dia baru saja akan memulai hidup sebagai pengusaha yang sebenarnya. Dan kini dia, Thomas si anak patuh, harus menjadi anak seorang narapidana? “Thomas, kau anak baik. Kau pasti mengerti maksudku. Aku tidak berbohong,” ucap Lucio Spencer. “Sepertinya aku perlu duduk,” ujar Thomas, menoleh ke belakang dan menarik kursi yang berada di depan meja kerja ayahnya. “Aku akan mendengarmu dengan seksama. Ceritakan tanpa menyembunyikan apa pun. Aku berjanji akan menjadi anak yang bijaksana.” Thomas duduk di depan ayahnya, berpakaian rapi bersiap mau ke kantor. Beberapa saat lamanya, Lucio Spencer menatap putranya yang tam
Thomas terlihat menarik napas sedalam-dalamnya. Dia menenangkan dirinya sendiri agar tak meraup taplak meja dan menghempaskan seluruh benda di atasnya ke lantai. Dokter sudah mengajarinya untuk mengatur emosi. Menghitung 1 sampai 20 sampai IQ-nya turun menjadi 0 agar dia merasa tenang dan kosong. Sudah lama Thomas tak melakukan ritual itu. Tapi berita yang baru saja disampaikan oleh ayahnya membuat Thomas kembali menjadi sosok gila. “Ternyata Ayah menyimpan rahasia selama ini. Dia menikah di Indonesia dan memiliki seorang putri yang sekarang berusia lima tahun. Istrinya di sana baru saja mati.” Napas Thomas kembali tersengal-sengal. “Dan Ayah baru saja mengakui bahwa dia membunuh sahabatnya secara tak sengaja di sana. Dia meninggalkan negara itu sebagai seorang pelarian. Dan kita dikelabuinya selama lima tahun. Kau dengar apa yang kukatakan, Bu? Suamimu menipumu selama lima tahun.” Suara Thomas bergetar dan tangannya kembali mencengkram
Seperti dengan yang diperintahkan oleh ibunya, Thomas pergi ke Indonesia bersama dengan Edward. Pertama kali yang didatanginya adalah alamat yang tertera di selembar amplop. Thomas menyusuri alamat tempat tinggal seorang wanita yang bernama Misrawati. Sialnya, kedatangan orang asing ke desa itu masih sangat aneh. Sekejab saja desa itu heboh dan semua orang hendak menyambut dan meladeni kedatangan Thomas dan Edward. Sehari usai kehebohan itu, Thomas berhasil menemukan rumah yang tepat. Sayangnya, rumah itu sudah kosong saat mereka tiba di sana. Tetangga di sekitar kediaman rumah itu tak ada yang mengetahui penghuni rumah kosong. Mereka hanya mengatakan kalau wanita bernama Misrawati itu bukan penduduk asli desa. Dan sehari yang lalu, wanita itu pergi membawa seorang gadis kecil yang sangat cantik. “Wanita itu sepertinya sudah tahu kalau gadis itu sedang dicari,” ujar Edward. “Siapa yang memberitahu informasi s
“Hari ini kau adalah budak dan aku adalah majikanmu. Kau membuat kesalahan—kau membuatku menunggu terlalu lama,” lirih Thomas, menunduk di atas tubuh Danielle yang baru saja ditelungkupkannya ke atas ranjang. Tangan Danielle sudah terikat dan Thomas mulai kembali memukul bokongnya dengan keras. Percikan rasa sakit seketika menjalar dan berubah menjadi gairah. “Aku tak sabar menunggu hukumanmu,” rintih Danielle. Thomas mencengkeram ikat pinggang yang melingkari tangan Danielle, mengangkatnya hingga tubuh mereka berhimpitan. “Kau boleh pilih. Mau pakai alat yang mana dulu,” bisik Thomas lalu menyusurkan lidahnya di leher wanita itu. Tangan kirinya mencengkeram tali tipis yang merupakan bagian dari celana dalam Danielle dengan sekuat tenaganya. Membuat tubuh wanita itu setengah terangkat dan mulutnya meringis. “Duduk di sini,” pinta Thomas, memutar tubuh Danielle dan mendudukkannya ke tepi ranjang.
Thomas memang bajingan dalam urusan menjadi partner dominan. Awalnya Danielle hanya sedikit menginginkan, tapi lama kelamaan, teknik bercinta ini semakin dinikmatinya. Pemberian Thomas padanya pun tidak sedikit. Walau selalu babak belur tiap kali habis bercinta, Danielle bisa mencairkan cek dalam jumlah besar keesokan harinya.Dalam setiap percintaan, Danielle selalu kalah telak dari Thomas. Entah berapa dosis obat kuat yang diminum pria itu. Yang jelas, Thomas bisa menyiksanya dari sore hingga tengah malam.“Oh, lihat! Lututmu bergetar!” pekik Thomas kesenangan.Payudara Danielle begitu bengkak sehingga dia bisa merasakan denyut nadinya di sana.Putingnya menegang dan terasa sakit. Ingin mendapat perhatian lebih. Dan bagian kewanitaannya terasa lebih parah lagi. Berdenyut hebat, namun Thomas menghunjamnya di bagian lain. Lututnya menghantam tepi ranjang berkali-kali. Danielle ingin mengusap inti tubuhny
“Ngapain, sih, tidur di sini?” ucap Sahara, menatap wajah Roy lekat-lekat. Cahaya lampu kamar masih terang-benderang. Tak ada yang terpikir untuk menyetelnya ke lampu tidur sebelum berbaring nyenyak di ranjang kemarin malam.Melihat Roy tak bereaksi dengan kata-katanya, Sahara menyelipkan satu tangan menjadi bantal dan melanjutkan pengamatannya. “Dia kira dengan tidur di dekatku, itu bakal buat aku berubah pikiran. Jangan harap,” dengus Sahara.Roy bergeming dan berusaha untuk tak membuka mata. Dia ingin mendengar gadis itu mengomelinya beberapa saat.“Siang ini aku akan membereskan semua pakaianku dan pergi dari sini. Tunggu aja surat gugatan cerai yang bakal aku layangkan. Mmmm … tapi kayanya aku perlu cek dulu. Apa pernikahan itu pernah ada atau enggak. Bisa aja itu cuma akal-akalan kalian menipuku. Aku—”Roy membuka mata dan menarik pinggang Sahara
Gadis itu berkali-kali menyiratkan perkataan soal rumah tangga sebenarnya. Soal perasaannya yang kemarin baru dimulai dan sekarang dihentikannya kembali. Awal memikirkan soal memperistri Sahara, Roy menyangka akan bertemu dengan gadis yang keras kepala namun mudah diluluhkan. Dan nyatanya … benar. Sahara mudah diluluhkan, tapi juga mudah kembali keras membeku. Ciri khas remaja yang sedang mencari jati dirinya. “Kamu tunggu sampai aku selesai rapat investor. Tak akan lama,” ucap Roy. Sahara menekuk wajahnya memandang keluar jendela mobil. “Aku pasti bosen,” sahut Sahara dengan nada tak bersemangat. “Tunggu di ruanganku. Hari ini biarkan Rini mengerjakan pekerjaan kantornya yang menumpuk. Dia sudah digaji mahal,” tambah Roy. Di jok depan, Rini mendengus saat mendengar hal itu. Itu kali pertama Sahara memasuki kantor The Smith’s Project. Selama ini,
Roy melepaskan ciumannya dari Sahara. Menatap mata gadis itu, seraya mengusap bagian bawah bibirnya sendiri. “Oke, aku keluar dulu.”Ciuman itu cukup membuat Roy meremang. Beberapa saat yang lalu, ingin rasanya dia mengangkat Sahara dan mendudukkannya ke atas meja. Menuntaskan satu quickie mungkin bisa mendongkrak mood-nya pagi itu. Roy keluar ruangan dengan senyuman nakal atas pikirannya tersebut.“Pak,” sapa Irma di luar pintu.“Oh, kamu masih menunggu. Kupikir kamu langsung menuju ruang rapat,” ucap Roy melanjutkan langkahnya.“Saya mau menyampaikan ini.” Irma menjajari langkah Roy sambil menyodorkan kertas.Roy membaca kertas itu dengan teliti, lalu tersenyum. “Panggil legal staff ke ruang rapat. Minta mereka mengurus pendirian empat perusahaan baru. Aku semakin tak sabar,” ujar Roy, menuju ruang ra