Memang benar kata orang, kalau kita melakukan hal yang benar-benar ingin kita lakukan, rasanya sungguh luar biasa. Sejak awal aku memang ingin pergi ke kafe rooptop. Terwujud sudah keinginan itu berkat keberanian diri.
Aku ditemani Kiki hari ini. Tentu saja dengan perdebatan kecil sebelum pergi. Dia bilang takut ketahuan Mas Bayu kalau aku pergi tanpa memberinya kabar. Itu tidak akan mungkin. Aku tahu Mas Bayu tidak akan pulang malam ini.
Tadi pagi Mas Bayu bilang akan pulang larut lantaran semalam dia pulang lebih awal. Jadi, aku yakin dia tidak akan pulang ke rumah hari ini.
Kami sudah di dalam lift. Tadi Kiki sudah memesan meja untuk kami berdua. Katanya kalau tidak dipesan, bisa dapat di tengah ruangan, bukannya di pinggir agar bisa melihat pemandangan. Tidak seru, karena sulit untuk melihat Jakarta dari ketinggian lantai 25. Aku juga jadi tidak bisa foto dengan latar langit tanpa bangunan.
Dentingan lift sudah terdengar, pintu terbuka dan menamp
Baru pertama kali aku menemukan orang yang ingin bunuh diri di depan mata. Selama ini hanya pernah mendengarnya saja. Ternyata benar, orang seperti itu menakutkan. Untung aku bersama Kiki, kalau sendirian mungkin hanya bisa berteriak meminta pertolongan sementara orang itu sudah lompat lebih dulu.Kami masih menenangkan perempuan itu. Dari tadi dia asyik memandang meja tanpa ada niat untuk berbicara. Aku dan Kiki saling melempar tatapan, kemudian mengedikkan bahu.“Rumahnya di mana, Mba?” Aku memulai pembicaraan. Bisa gawat kalau sepi begini, aku jadi semakin serba salah. Padahal steak yang tadi dipesan sudah datang.“Mba udah makan? Kalau belum, kami pesenin makan,” kata Kiki.Perempuan itu menggeleng. Tatapan matanya kosong. Aku jadi semakin takut kalau dia masih memikirkan bunuh diri.Aku mulai memotong daging tenderloin, kemudian memakannya perlahan-lahan. Kiki terkikih di tempatnya, pasti dia mengira aku kelaparan lantaran tidak bisa menah
"Makanya gue nolak, Ki! Belum kenal deket, udah minta numpang tidur di rumah gue."Kami berdua tidak habis pikir dengan Luna. Dia sudah ingin menumpang di rumahku karena takut pikiran bunuh diri datang kembali. Padahal, kami baru saja mengenalnya. Tentu saja aku menolaknya."Lagian, kalau dia emang udah mutusin untuk nggak bunuh diri, harus konsisten, dong. Ngapain dia pake alesan takut ide gila itu muncul lagi?" sahut Kiki dengan wajah memberungut.Sekarang kami sudah di depan gerbang rumahku."Nggak ngerti, deh. Masalahnya gue cuma sendirian di rumah. Bukan pikiran buruk, tapi jaga-jaga aja, sih," timpalku.Kiki mengangguk. "Paham, kok." Aku tersenyum karena dia paham maksudku. Dia mengarahkan pandangan ke area parkiran dengan mata membelalak. "Itu mobil Bayu?"Aku menoleh. Ya, itu mobil Mas Bayu. "Iya, Ki.""Lo mending buruan masuk, Cit! Takut si Bayu marah, nih!" kata Kiki.Aku mengangguk menanggapinya. Setelah pamit,
"Terserah! Kamu mau pulang setiap hari atau nggak pulang sekali pun itu bukan urusanku!"Aku pikir dia sudah jera karena pertengkaran semalam, rupanya dia masih terus meminta maaf pada agar sikapku berubah. Tidak mungkin terjadi, aku sudah mengetahui kebusukan yang selama ini dia perbuat."Citra, aku benar-benar minta maaf atas kejadian semalam. Itu semua murni aku yang kelelahan dan nggak dengerin semua ucapan kamu, Dek," jawab Mas Bayu.Tidak mau pusing memikirkan Mas Bayu, aku beralih mengambil tas selempang di kursi belakang mobil. Hari ini aku akan menemui Kiki. Dia sudah berjanji untuk membantuku menghilangkan rasa kesal pada Mas Bayu. "Apa aku harus mendeklarasikan kata maaf itu?""Cit, Mas Bayu salah apa sampai kamu begini ke Mas?" tanya Mas Bayu.Geram sekali mendengar jawaban itu. Dia pura-pura tidak tahu, lupa, atau memang sengaja berbohong? Rasanya ingin sekali melempar semua bukti yang aku lihat ke wajahnya. "Cukup! Nggak ada yan
"Cit, kayaknya emang lagi ada masalah di kantor Bayu."Aku menatap Kiki penuh selidik. "Seriously?""Ini cuma pikiran gue doang, sih. Mau denger?" tanya Kiki."Ngomong aja, Ki."Kiki menghela napasnya. "Waktu itu Bayu sempet bilang kalau beberapa divisi di kantornya ada yang korupsi, kan?"Sepertinya aku lupa. "Mungkin, tapi apa hubungannya?""Ya, bisa aja dia butuh pengaman, Cit. Jadi, semua orang yang dateng dan mencurigakan akan diperlakukan seperti kita tadi.”Masuk akal, memang tadi kami agak sedikit mencurigakan lantaran langsung menanyakan keberadaan Mas Bayu. Namun, memangnya dia tidak bisa membedakan yang mana orang bodoh yang tidak mengerti urusan kantor dengan orang yang pintar dalam urusan kantor?“Gue mau ke apartemen Mas Bayu, Ki.”Kiki membelalakkan matanya. Dia sempat menepuk lenganku dengan keras. Mungkin dia tidak percaya. “Kenapa?” tanyaku heran.“Lo yakin, Cit?”Sudah seharusny
Malam ini, aku sudah menantapkan pikiran untuk menyelidiki semua kebohongan Mas Bayu. Nanti aku akan ke apartemen dan memergokinya. Mudah-mudahan saja tidak ada gangguan.Tadinya aku ingin mengajak Kiki. Namun, sepertinya akan terlalu larut. Dia tidak mungkin pulang malam karena aku, pasti melelahkan. Akhirnya, aku memutuskan untuk pergi sendirian."Kamu di mana, Cit?" Mas Bayu meneleponku. Dia menghubungi berkali-kali akhir ini. Pasti dia takut kalau aku datang menemuinya di apartemen."Di rumah," sahutku. Padahal aku sudah ada di parkiran apartemen."Boleh video call? Aku cuma mau mastiin aja, Dek."Sudah kuduga dia akan meminta panggilan video. Aku menghela napas kasar, semoga dia mendengarnya. "Nggak boleh!"Mas Bayu terdengar merungut di sana. Pasti dia kecewa, biarkan saja dia. Kalau aku turuti, nanti akan gagal rencananya."Kalau gitu, boleh kasih foto kamu sekarang aja?" tanya Mas Bayu.Aku tersenyum senang di dalam
Hari ini aku tidak ingin memikirkan kejadian kemarin. Yang sudah biarlah berlalu. Percuma juga kalau aku pikirkan, semua tidak akan selesai begitu saja. Aku hanya harus bersabar, itu yang harus dilakukan.Entah kenapa, sejak beberapa kejadian belakangan, Mas Bayu jadi sering pulang ke rumah. Menurutku itu aneh, biasanya dia tidak peduli kepadaku.Seperti semalam, dia pulang walaupun hampir jam sembilan malam. Aku sudah hampir terlelap saat itu. Jadi, aku biarkan saja dia. Tiba-tiba dia tidur di samping dan memeluk tubuhku dari belakang.Mas, aku rindu kemesraan kita dulu. Mengapa sekarang begitu sulit merasakan kemesraan akhir-akhir ini? Setiap kali kamu mencoba untuk melakukan hal yang mesra, bayangan perempuan itu selalu datang di benakku.Aku tahu ini semua salahku. Kalau saja aku tidak pergi membuntuti Mas Bayu hari itu, mungkin tidak akan pernah terbesit kalau ada perempuan lain di hidup Mas Bayu. Namun, kalau aku tidak melakukannya, mungkin
Sesuai dugaan awal, mereka sudah menyembunyikan semua barang bukti. Sebenarnya aku sudah mengetahui hal itu sejak awal. Karena rasa penasaranku yang terlalu tinggi, akhirnya aku memutuskan untuk mencari tahu sendiri. Sial.Omong-omong, aku sudah seperti detektif yang menyelidiki kasus saja. Alih-alih membuktikan kasus pembunuhan, aku justru membuktikan kasus perselingkuhan. Lebih sialnya lagi, kasus perselingkuhan yang dilakukan oleh suamiku sendiri.Setelah beres merapikan apartemen, aku memutuskan untuk pergi. Mas Bayu sudah memerintahkanku untuk berkabar kalau ingin pulang. Merepotkan, aku tidak perlu bantuan dia untuk pulang ke rumah. Memangnya aku masih anak SD yang membutuhkan tumpangan? Mungkin dulu aku butuh, sekarang aku sudah muak berada di dekatnya.Lagi pula, aku belum mau pulang sekarang. Aku ingin pergi ke bioskop dulu. Ada satu film yang ingin sekali aku tonton. Film komedi yang katanya banyak ditonton orang.Taksi yang kutumpangi sudah men
Kejadian kemarin membuatku semakin yakin kalau Mas Bayu memang ada niat lain di balik sikap manisnya. Bisa jadi dia akan melepasku ketika sudah mendapatkan sesuatu yang dia harapkan. Namun, aku masih tidak tahu apa yang dia harap. Selama ini dia tidak pernah meminta apa-apa. Aku tidak bisa menebaknya. Pokoknya, apa pun yang dia pinta nanti, aku sudah harus siap memberikannya. "Sayang," sapa Mas Bayu. Tumben, biasanya dia memanggil namaku. Pasti ada maunya. "Kenapa?" Aku harus memberikan apresiasi pada diriku sendiri. Selama ini aku mampu menyembunyikan kecurigaanku pada Mas Bayu. Dia tidak tahu sama sekali kalau aku melihatnya di mal. "Aku mau tanya sesuatu," sahutnya. Dia menghampiriku yang sedang duduk di taman rumah dan merebahkan kepalanya di bahuku. Tuhan, bisakah aku melepas Mas Bayu? Aku takut kalau tidak bisa melepasnya suatu saat nanti. Lalu, aku harus berkata apa saat itu? "Apa, Mas?"