(Warning 21+) Annelise Fischer, seorang wanita berusia 28 tahun, terjebak dalam tekanan utang dan kesulitan menemukan pekerjaan di Jakarta. Ketika undangan pernikahan mantan kekasihnya, Anthony, tiba, luka lama kembali terbuka, mengingatkan Annelise pada kisah cinta yang pernah menghancurkannya. Enam bulan sebelumnya, dalam upaya mengubah nasib, Annelise melakukan perjalanan ke Surabaya untuk wawancara kerja di sebuah perusahaan hiburan besar. Namun, hidupnya berubah sejak insiden di bandara, di mana dia tanpa sengaja menumpahkan jus jambu merah ke celana seorang pria asing, Logan Blackwood. Takdir mempertemukan mereka kembali di pesawat, dan setelah malam penuh turbulensi—baik di udara maupun di hati—mereka terlibat dalam hubungan one-night stand. Semua berubah ketika Annelise diterima bekerja di perusahaan besar milik Logan, yang ternyata adalah CEO sekaligus pria yang mengisi malam tak terlupakannya. Hubungan profesional mereka yang canggung perlahan berubah menjadi hubungan rahasia yang penuh gairah. Logan, yang selalu tampil dingin dan arogan, mulai menunjukkan sisi protektif dan perhatiannya pada Annelise, sementara Annelise berjuang menahan perasaannya di bawah tekanan pekerjaan. Perlahan, Annelise pun menyerah pada godaan yang semakin sulit diabaikan. Setiap interaksi mereka, baik di ruang rapat maupun setelah jam kerja, penuh dengan ketegangan sensual. Di balik tembok kaca kantor, di sela jadwal kerja yang padat, hasrat terpendam mereka meledak dalam pertemuan-pertemuan rahasia. Namun, di tengah gairah yang membara, dunia korporat yang kejam dan gosip tak terelakkan mulai mengancam hubungan mereka. Note : Follow akun goodnovel Biebiefenimmm. Instagram author biebiefenim_author 🌹 FB: Biebiefenim Author untuk info lebih lanjut agar tahu ilustrasi seluruh karakter dan kisi-kisi update terbaru. Thanks reader, Salam Sayangg dari Author 😘
View More"Ya Tuhan!"
Mata Jennifer menatapku tajam, seolah ingin membakar lubang di tengkorakku. Ekspresi terkejut terpampang di wajahnya "Salah satu dari kalian mau jelasin ini, atau gue harus nebak sendiri?" Chloe nggak berkata apa-apa. Ia hanya menghabiskan sisa anggurnya dalam satu tegukan, lalu berdiri, mengaduk-aduk tasnya. Setelah beberapa saat, ia mengeluarkan dua amplop merah muda identik. Keduanya dihiasi dengan tulisan cantik yang mirip dengan yang ada di amplop Jennifer sebelumnya. Aku sudah menghabiskan tiga gelas wiski sambil mengamati gerak-geriknya sebelum akhirnya ia menyodorkan amplop merah muda itu padaku. Tanganku sedikit gemetar saat mengambilnya, menyadari bahwa kedua pasang mata– milik Chloe dan Jennifer – menatapku tanpa berkedip. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu merobek pinggirannya dengan hati-hati. Begitu isinya keluar, amplop cantik itu segera terabaikan. Didalamnya terdapat kertas dengan aksen bunga merah muda lembut yang melingkari tepinya, sangat indah, namun membawa rasa takut yang tak terlukiskan. Kehadiran Anda diharapkan Untuk merayakan persatuan Mataku melompat melewati kalimat pembuka itu, langsung mencari dua nama yang jelas-jelas menjadi pusat perhatian di atas kertas. Bianca Putri & Anthony Prasetyoadi Aku berkedip sekali. Lalu dua kali. Seolah berharap kata-kata itu akan berubah jika aku melihatnya lebih lama. Tetapi tidak, kata-kata itu tetap di sana. Sama seperti detak jantungku yang tiba-tiba melambat, hampir berhenti di dadaku. Sementara mataku terus menyusuri halaman, telingaku terasa berdengung. Sebelum aku selesai membaca, aku sudah meneguk habis gelas wiski keempatku. Chloe dan Jennifer, yang rupanya telah memesan botol baru, kini menatapku dengan ekspresi ingin tahu sambil memutar-mutar gelas mereka. Sabtu, 24 Mei, 2024 Pukul enam sore Di Riviera Skyline Hall, Jakarta City Aku menatap kertas itu tanpa ekspresi. Undangan pernikahan yang sempurna. Dengan alamat salah satu pemandangan terbaik di ibu kota. Dan bulan Mei, bulan sialan itu. Anthony Prasetyoadi akan menikah. "Gila sih, ini bener-bener di luar ekspektasi," Chloe tiba-tiba ngomong, memecah keheningan. "Ya jelas aja dia pilih tempat kayak gini. Klasik Anthony banget." Jenny nyandar di kursinya, matanya menyorot kepadaku sambil mengangkat alis. "Lo nggak apa-apa?" Aku menghembuskan napas panjang, memutar gelas kosong di tangan. "Gue baik-baik aja... Mantan gue nikah, gue masih setia sama kasur. Dia punya pasangan hidup, gue punya cicilan hidup." "Aduh beb…" Chloe nyengir kecil, lalu mengangkat gelasnya. "Selamat datang di klub patah hati." *** "Anna, tolong serahin botolnya sama HP lo," suara Jennifer terdengar tegas, tapi tetap ada simpati di sana. Aku makin mendekap botol wiski itu ke dada, nggak mau nyerah. Bahkan minuman ini pun udah nggak cukup buat nenangin panas di dadaku. Mataku tetap fokus ke layar HP, ke halaman I*******m Anthony yang baru aja aku stalking. Foto-foto pertunangannya sama Bianca penuh di feed. Sial… Mereka kelihatan sempurna. Semuanya terlihat terlalu sempurna. Persis kayak undangan mereka yang cantik banget dan pernikahan yang sebentar lagi bakal terjadi. Aku menatap foto Bianca dengan perasaan campur aduk. Rambut merahnya tergerai indah, wajah ovalnya benar-benar simetris dengan cara yang bikin iri. Cewek itu manis. Dan dia… adalah orang yang Anthony pilih buat menggantikan aku. Aku mengangkat botol ke bibir lagi, pura-pura nggak dengerin Jennifer yang udah berdiri di dekatku dengan tangan terulur, siap merampas botolnya. "Gue nggak percaya ini." Suaraku serak, hampir pecah. Wiski itu panas di tenggorokan, tapi kehangatannya sedikit bikin tenang. "Anna, udah cukup. Lo nggak bisa terus nyakitin diri sendiri kayak gini." Aku ketawa pahit, mataku masih terpaku di layar HP. "Dua tahun, Jen. Dua tahun sejak dia pergi ninggalin gue, dan lihat dia sekarang." Aku mengacungkan HP ke arahnya sebelum aku minum lagi. "Dia bertunangan. Dia mau nikah. Sedangkan gue?" Aku menunjuk diri sendiri pakai botol wiski. "Selama dua tahun ini, gue kerja mati-matian. Berusaha ngerapiin hidup gue. Berusaha move on. Tapi lo tahu? Nggak ada yang ngasih tahu kalau hal paling nyakitin dari putus cinta itu adalah ngelihat orang yang dulu sayang sama lo, sekarang sayang sama orang lain." Jennifer mengeluarkan napas berat. "Anna, ini bukan soal—" "Dia udah lupain gue, Jen," aku motong, suaraku tajam. "Sementara gue masih di sini, ngerasain semua yang nggak seharusnya gue rasain. Berusaha keras buat percaya kalau gue pantas dapetin yang lebih baik." Tiba-tiba, Chloe menyambar HPku dengan gerakan cepat. "Udah, cukup!" Dia membanting HP itu ke meja, bikin aku langsung melotot ke arahnya. "Masalah lo apa sih, Chloe?!" "Lo tahu kenapa," jawabnya tegas, menyilangkan tangan di dada. "Anthony udah ninggalin lo dari lama. Tapi lo tetep aja stuck di dia. Sekarang? Lo malah nyiksa diri sendiri buat orang yang jelas-jelas nggak pantes buat lo." Aku membuang pandangan, rasa bersalah mulai menyerangku seperti ombak. Tapi yang muncul di kepalaku hanya satu—malam waktu dia mutusin hubungan kita. *** -2 Tahun yang Lalu- "Gue tahu gue bakal mengakhiri hubungan ini," suaraku hampir cuma bisikan pas kita berdiri di trotoar yang sepi. "Tapi… ini udah berakhir dari lama, kan?" Anthony nyilangkan tangannya, matanya nggak pernah benar-benar melihat padaku. "Lo yang mutusin duluan, Na. Jadi, ya, ini keputusan lo. Bukan gue." Nadanya datar, tapi aku bisa denger sakit di baliknya. Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantung yang nggak karuan. "Anthony… lo nggak boleh marah sama gue. Semua berubah sejak lo pindah ke Bandung. Lo udah nggak lagi ngeperlakuin gue kayak orang yang lo sayang. Dan gue nggak bisa terus duduk diam, nungguin lo mutusin apakah gue cukup penting buat lo atau enggak." Dia natap mataku dengan mata cokelat gelapnya—mata yang dulu bikin aku merasa dunia ini cuma milik kita berdua. "Gue nggak pernah berniat nyakitin lo," suaranya pelan. "Gue cuma… nggak tahu gimana caranya ngelepasin lo. Lo tuh bagian terbesar dalam hidup gue." Aku ketawa kecil, tapi itu pahit, kering, penuh luka. "Maksud lo, lo nggak tahu gimana caranya ninggalin rasa nyaman. Itu gue buat lo, kan Ton? Nyaman." Dia diem, rahangnya ngenceng, tapi gue tahu dia nggak bakal ngebantah. Dia nggak bisa. "Gue sayang sama lo, Na. Selalu. Dari sejak kita masih bocah sekolahan, lewatin jalanan ini bareng-bareng. Tapi kita bukan anak-anak itu lagi." Aku ketawa getir, menatap jalan di bawah kakiku. "Dan gue nggak akan jadi orang yang terus berharap buat dicintai balik. Nggak lagi." Aku pengen dengar dia bilang buat tetap bertahan, buat coba sekali lagi. Tapi dia nggak ngelakuin itu. Dan di detik itu, aku tahu… kita benar-benar sudah selesai. Aku ulurin tangan, mencoba senyum walaupun hatiku rasanya kayak dihancurin palu. "Temenan?" Dia paksain senyum kecil, mencoba nutupin sedihnya. "Oke. Temenan." Tapi kita berdua tahu itu bohong. Kita nggak akan pernah benar-benar ngobrol lagi. Dan dengan itu, aku berbalik, pergi meninggalkan cinta pertamaku, membawa luka yang mungkin butuh bertahun-tahun buat sembuh.Semua kepingan yang hilang itu langsung nyatu saat ngelihat dia duduk di tengah kerumunan. Dia kelihatan beda banget dari sebelumnya. Pertama, di pesawat—dan di kamar hotel. Kedua, di foto lama yang sering banget dibawa-bawa Anthony. Foto burik, tapi cukup buat bikin aku penasaran. Aku otomatis menoleh saat Anthony dan Bianca jalan ke area resepsi buat foto-foto. Mereka berpegangan tangan, kelihatan bahagia banget. Si fotografer nyuruh ini-itu, dan rombongan pengantin cuma berdiri di pinggir sambil nonton. Di belakang mereka, jendela besar nunjukin gedung-gedung Jakarta yang sudah menyala—malam mulai turun. Annelise. Satu-satunya hal yang bisa aku fokuskan malam ini cuma dia. Cewek cerewet yang duduk di sebelahku di pesawat bulan Januari lalu. Cewek yang juga jadi one night stand pertama dan terakhirku—sampai sekarang. Aku udah berkali-kali nyoba cari tahu kenapa dia kelihatan familiar banget beberapa bulan terakhir ini. Akhirnya, aku tau sekarang. Dia adalah mantan
Bagaimana aku bisa melupakan malam ini? Gimana caranya gue aku-pura semua ini nggak pernah kejadian? Aku merem sebentar, menahan rasa nyesek campur jijik sama diri sendiri. Inilah kenapa aku nggak pernah mau yang namanya one-night stand. Aku nggak cocok buat cinta-cintaan tanpa ikatan. Bukan tipeku. Dan semua ini gara-gara cokelat afrodisiak sialan yang kita makan di pesawat kemarin. Aku duduk di ujung ranjang, narik napas dalam-dalam. “Sebenarnya… gue punya syal di koper. Lo mau?” “Boleh,” katanya, suaranya udah lebih tenang sekarang. Kayaknya efek afrodisiak itu udah bener-bener hilang. Yang tersisa cuma dua orang asing yang lagi bingung sama perasaan mereka sendiri. Tiba-tiba, ponselkh bergetar kencang di meja kecil di samping tempat tidur. Aku meraihnya dan lihat ada lima pesan dari Chloe. Chloe: Lo masih hidup? Kapan balik? Jangan lupa makan. Gue masakin buat makan siang. Lo akan diinterogasi kalau gak jawab. Aku mendesah, berdiri dari ranjang dan mulai ng
Dia tersenyum lebar saat dia jatuh terlentang, menarikku ke atasnya, dan menyeret wajahku ke wajahnya. "Lo harus genjot gue lebih dulu," bisiknya di bibirku, "Nanti gue yang akan genjot milik lo saat lo udah basah." Aku tersenyum di bibirnya. "Big boy.." "Gue cuma bercinta sekali sayang, gak lama paling gue ketiduran." Dia memberikan senyum yang lambat dan seksi. Aku mengangkangi tubuhnya yang besar saat ciuman kami menjadi putus asa. Penisnya yang tebal menempel di perutnya, dan dia mengangkatnya ke udara dan mengarahkan pinggulku ke bawah di atasnya. "Oh, panasnya—lo gede banget. Mhhhhhh" "Aduh," rintihku. "Tidak apa-apa," bisiknya. "Bergoyanglah dari satu sisi ke sisi lain." Dia menangkup payudaraku di tangannya saat dia menatapku seperti sesuatu yang tampak seperti kekaguman. Aku tersenyum padanya. "Apa?" "Sejak pertama kali lo tumpahin jus merah ke celana gue di lounge hari ini, gue pengen badan lo tunggangi penis gue." Aku terkekeh padanya. "Apa lo
Apa yang aku lakuin di sini? Aku adalah cewek baik-baik.. dan cewek baik-baik nggak seharusnya ngelakuin hal kayak gini sama cowok kayak dia! Aku dan dia nggak kenal siapa-siapa yang sama, kita tinggal di kota yang beda, dan mungkin setelah ini, aku nggak akan pernah ketemu dia lagi. Dan anehnya... ada rasa bebas yang nggak aku sangka-sangka dari situ. Aku bisa jadi siapa pun yang dia mau. Tatapan matanya tajam, rahangnya mengunci, keliatan serius dan gelap. "Sini... gue mau lo nyenengin gue. Hisap penis gue gadis nakal," gumamnya pelan, suaranya membakarku. Ya Tuhan. Aku beneran mikir dia nggak bakal pernah ngomong itu. Tanpa mikir lama, aku langsung berjongkok. Rasanya kayak aku bener-bener pengin nyenengin dia sekarang juga. Aku nggak tahu banyak soal dia, tapi yang jelas, sekarang ini... aku cuma pengin jadi pengalaman paling gila yang pernah dia punya. Aku mulai bergerak, sok-sokan kayak jagoan nyepong. Tanganku maju mundur melawan gerak bibir, dan maki
Satu jam kemudian, kami duduk di dalam bus menuju Manchester. Lampu jalan terlihat kabur dari jendela yang berembun. Aku duduk di sebelah jendela, dia di sampingku, duduk dengan posisi santai kayak udah punya hak milik atas seluruh baris kursi. “Ngantuk?” tanyanya, matanya setengah merem. “Enggak,” jawabku cepat. Padahal kenyataannya, kepalaku udah nyender ke kaca dari tadi, dan mulai kebablasan. Dia memberikan jaketnya dan tanpa bilang apa-apa, menaruhnya di bahuku. “Gue tahu lo gak bakal minta, jadi gue inisiatif aja.” “Gue gak butuh ini.” “Tapi lo juga gak nolak.” Dia tersenyum miring, tapi kali ini nggak ada nada menggoda yang kelewat. Hangat. Ringan. Aku mendesah pelan, lalu membiarkan jaketnya tetap di bahuku. Sesampainya kami di hotel, kami diarahkan ke lobby dan dikasih kunci kamar. “Gue dapet kamar 308,” aku menggumam, membaca kartunya. Dia melirik kartunya sendiri, lalu mengangkat alis. “Lo gak akan percaya... kamar gue 310.” “Serius?” Gue melotot. “
Begitu roda pesawat menyentuh landasan, kepalaku masih terasa ringan, dan tubuhku menghangat dengan cara yang aneh. Aku berusaha fokus, tapi setiap gerakan terasa terlalu lambat, terlalu sensual. Dia bersandar dengan napas sedikit berat. Matanya menatap lurus ke depan, tapi rahangnya mengatup seolah lagi nahan sesuatu. Aku tahu dia juga ngerasain hal yang sama. "Lo nggak apa-apa?" Dia melirikku, lalu menutup matanya sebentar sebelum menjawab. “Gue harusnya curiga pas lo nawarin coklat itu.” Aku tertawa. Dia menghela napas panjang, jari-jarinya mengepal di atas paha celananya. Dia melotot. “Jadi lo tahu itu afrodisiak(*)?” Aku mengangkat bahu, pipiku mulai memanas. “Ya… gue kira itu cuma mitos.” Dia menatapku dengan tatapan tajam, lalu mengusap wajahnya sendiri seolah nyoba buat sadar sepenuhnya. “Gue butuh keluar dari sini sebelum sesuatu yang nggak seharusnya terjadi.” Tapi masalahnya, sensasi ini nggak gampang ilang. Setiap gesekan kecil antara kulitku dan kul
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments