Hi guys, maaf ya updatenya lama. Belakangan kondisi author kurang baik, jadi tidak bisa update. Sekarang sudah mulai membaik, jadi akan diusahakan untuk rutin update lagi ya. Cheers!
“Baik, aku mengerti. Terima kasih atas informasinya.” Bhadrika tampak mematikan ponsel dan memasukkannya ke dalam kantong. Dia menatap sosok yang sedang terduduk di kursi dengan kepala tertunduk. “Tuan Adikara telah tiba bersama dengan Adipati Agung dan Pangeran Maheswara di kediaman tamu, Tuan Putri,” lapor Bhadrika kepada sosok yang tak lain dan tak bukan ialah Rena. “Dia terlihat baik-baik saja.” Sembari mengangkat kepala dan tersenyum tipis, Rena pun berucap, “Terima kasih, Jenderal Bhadrika.” Bhadrika membalas ucapan itu dengan senyuman. “Bukan masalah.” Bhadrika sudah mendengar informasi terbaru yang Rena dapatkan dari Elric, dan dia paham bahwa situasi Adikara tidak begitu baik dengan kenyataan Yaksa adalah pihak yang menginginkan takhta. Akan tetapi, Bhadrika yakin bahwa Yaksa tidak akan berani melakukan apa pun kepada Adikara tepat setelah pengumuman pernikahan dilakukan. “Tuan Putri, apa rencanamu selanjutnya?” “Kalau aku memberi tahu rencanaku, apa Jenderal akan membe
Suara air yang dituangkan ke dalam gelas menghiasi suasana tenang di saung kecil taman istana.Saat air itu selesai dituangkan, Rena pun berkata, “Terima kasih, Mana.”Ucapan tuan putri itu dibalas anggukan kecil Mana yang kemudian undur diri, meninggalkan Rena duduk berhadapan dengan Adikara di tempat tersebut.“Sudah tidak ada orang,” ucap Adikara secara tiba-tiba, membuat Rena mengalihkan pandangan padanya. “Harusnya sekarang Tuan Putri bisa mengatakan yang sebenarnya, bukan?”Setelah kedatangan Adikara yang tiba-tiba, Rena yang sempat dikejutkan oleh pertanyaan pria itu pun memutuskan untuk membawa putra angkat adipati agung itu ke tengah taman. Bukan hanya untuk menghindari orang lain untuk mendengarkan pembicaraan mereka, tapi juga untuk mempertontonkan kepada semua orang bahwa mereka sungguh tengah berusaha membangun hubungan yang baik sebelum menikah.Rena meraih cangkir tehnya dan meneguk isinya sedikit. “Aku tidak mengerti maksudmu. Aku sama sekali tidak memerintahkan apa pu
Di bawah remang lampu tidur, sepasang manik hijau Rena menatap kosong ke langit-langit kamarnya.“Hei …,” panggil gadis itu dengan wajah datar.“Ya,” balas suara dalam yang terdengar familier itu.Rena menoleh ke kanan, pada sosok Adikara yang terbaring di sisinya dengan mata tertutup.“Kamu yakin melakukan ini bisa membantu membangkitkan ingatanmu?” tanya gadis tersebut dengan wajah tidak terhibur.Rena melihat bulu mata Adikara bergetar seiring kelopaknya terbuka, memamerkan sepasang netra hitam segelap malam yang menenggelamkan.Mata Adikara menatap lurus Rena selagi berkata, “Tidak ada salahnya mencoba.” Pria itu menambahkan, “Lagi pula, Tuan Putri sendiri berkata bersedia membantuku mengembalikan ingatanku.”Mendengar ucapan Adikara, Rena mendecakkan lidah.Itu benar. Alasan dirinya sekarang berbaring berdampingan di tempat tidur bersama Adikara dikarenakan permintaan pria itu siang tadi!Di saung taman istana, Adikara mengajukan permintaan gila untuk tidur bersama dengan Rena. H
Pertanyaan Dominic membuat Rena membeku. Dia memutar ingatannya. Memang benar, sedari awal, tidak pernah sekali pun Adikara mengatakan apa pun perihal dirinya yang hilang ingatan. Selalu orang lain yang menyatakan hal tersebut, seperti Yaksa yang menjelaskan perihal latar belakang pria itu di hadapan publik untuk mengubah keputusan Yarena. Mengingat hal itu, Rena melemparkan tatapan mematikan kepada Dominic. “Apa yang sebenarnya kamu rencanakan …?” Pandangan terhibur terlukis di wajah Dominic. “Seperti yang kuduga dari seorang Yarena Wijaya, kamu begitu tenang bahkan saat menyadari dirimu salah langkah,” goda Dominic dengan seringai penuh kemenangan. Sebuah dengusan terdengar dari sisi Rena. “Dominic Grey, aku tidak sedang bercanda.” Ucapan Rena membuat pandangan Dominic menggelap. “Lalu, kamu pikir aku sedang bercanda?” tanyanya dengan nada bicara dingin. “Kalau memang kamu tidak bercanda, maka katakan padaku apa yang sebenarnya dirimu rencanakan!?” bentak Rena dengan wajah me
“Tuan Putri, apa Anda baik-baik saja?” Pertanyaan Mana menyentak Rena yang tenggelam dalam lamunannya. Wanita itu pun mengangkat pandangan ke arah kaca dan memaksakan sebuah senyuman. “Aku baik-baik saja, Mana.” Setelah mendapati Adikara adalah Dominic tadi malam, Rena tidak bisa tidur dengan nyenyak. Ada begitu banyak pertanyaan dalam benaknya, dan salah satunya adalah mengenai apa rencana Dominic yang sebenarnya. Seharian, Rena dengan sabar menunggu kabar kedatangan Dominic. Akan tetapi, pria itu tidak kian muncul. Alhasil, setengah hari pun berlalu dengan Rena yang mengurus beberapa hal terkait pemerintahan bersama dengan Yara. Tepat setelah dirinya selesai makan siang bersama sang nenek, Rena sedang berjalan berdampingan dengan Yara menuju aula utama. Namun, dia dihentikan oleh salah seorang pelayan yang menghampiri. “Tuan Putri, Putri Saraswati meminta izin untuk bertemu,” ucap pelayan itu sembari membungkuk. Rena cukup terkejut dengan permintaan itu, tapi dia membalas, “Ba
“Rena! Syukurlah!” Pelukan hangat bisa Rena rasakan menyelimuti dirinya. Darah yang mengalir dari setiap luka yang menghiasi tubuhnya membuat kesadaran Rena perlahan-lahan menghilang. Pandangan buyar Rena mengarah ke dalam ruangan, samar-samar memerhatikan sosok yang telah bersimbah darah dan tak lagi bernyawa digotong keluar oleh sejumlah pengawal. Hal tersebut membuat air mata mengalir turun dari pelupuk matanya. Di dalam hatinya, Rena hanya bisa terus mengulang satu hal, ‘Maafkan aku … maafkan aku ….’ Terus seperti itu sampai akhirnya kesadarannya menghilang. *Beberapa saat yang lalu* “Selamat datang, Putri Mahkota.” Rentetan pelayan yang membungkuk hormat melihat kedatangan Rena dengan serempak memberi salam. Dengan anggukan kecil, Rena bertitah, “Tegapkan tubuh kalian.” Setelah melewati sambutan para pelayan, Rena pun mengikuti Saraswati menyusuri lorong kediamannya. Kediaman tuan putri kedua Nusantara itu tidak semegah yang Rena bayangkan. Mengira bahwa sikap angkuh Adh
“Suamimu dalangnya …,” ujar Rena dengan sedikit menggeram, berusaha keras menahan amarahnya agar tidak meledak. “Dan, kamu masih berkata pembunuhnya tidak di Nusantara?” Dengan hati-hati, Adhisti menjawab, “Dia memang dalangnya, tapi yang kamu cari adalah pembunuhnya, bukan?” BRAK! PRANG! Suara meja yang terbalik dan gelas yang pecah bergema di ruangan itu. Tampak Rena tak bisa menahan emosinya dan berakhir melemparkan meja teh Adhisti sampai menabrak tembok di samping ruangan, menyebabkan gelas dan teko di atasnya pecah kala menyentuh lantai. “Jangan bersilat lidah di hadapanku!” seru Rena dengan mata membara dengan amarah. “Suamimu mengirimkan pembunuh itu dan harus bertanggung jawab atas dosanya!” Adhisti tampak sedikit terkejut dengan tindakan Rena dan juga tenaganya. Namun, reaksi gadis itu telah kurang-lebih diperkirakan olehnya. Demikian, tidak butuh waktu lama sebelum Adhisti kembali tenang. “Dia memang bersalah, aku tidak akan membelanya. Akan tetapi, aku tidak memberita
Mendengar kalimat Adhisti, selama beberapa waktu dunia Rena terasa seperti berhenti. Ada dengung nyaring di telinga kala benaknya berusaha memproses informasi yang baru saja dia dapatkan.Melihat keterkejutan Rena, Adhisti menjulurkan tangannya, berusaha menyentuh tangan gadis tersebut.“Jangan sentuh aku,” ujar Rena dengan ketenangan yang begitu mematikan. Dia pun mengangkat pandangannya untuk kembali menatap Adhisti. “Selain dirimu, siapa yang tahu bahwa Eli Black adalah ayah angkatku.”Adhisti menggelengkan kepala. “Tidak ada.”“Adinasya tahu kamu menyelidikiku, apa yang dia ketahui?”“Hanya bahwa dirimu tumbuh besar di Nusantara dalam keluarga angkat biasa.”Perlahan, Rena pun membungkukkan tubuhnya, menyejajarkan pandangan dengan sosok Adhisti yang masih terduduk di kursinya. Mata gadis tersebut memancarkan aura membunuh seiring dirinya menatap Adhisti dalam-dalam.Adhisti tahu makna pancaran mata gadis itu.Rena … masih mewaspadainya.“Eli Black membunuh ayahku, atas dasar apa a