Share

Bab 03

Author: kodav
last update Last Updated: 2025-06-29 07:10:40

“Loh, Kai? Kok udah di kantor jam segini?” Suara itu, renyah dan penuh goda, melengkapi sensasi yang sudah menguasai ruangan. 

Fiona. 

Bahkan namanya saja terasa sensual di lidah, dia adalah Sales Development Manager di perusahaan kami, namun bagi sebagian besar pria di kantor, dia adalah definisi hidup dari sebuah fantasi. Ia memiliki kecantikan yang memabukkan, perpaduan garis keturunan Arab, Cina, dan Betawi. Kulitnya yang terang memancarkan kilau sehat, hidungnya mancung, dan bibirnya yang penuh, merona alami, selalu terlihat memukau. Tubuhnya tinggi semampai, dada penuhnya terlihat jelas di balik blus yang sedikit ketat, naik turun seiring napasnya, dan lekuk pantatnya yang padat membuat setiap gerakan pinggulnya membuat para pria menahan napas dan menelan ludah.

Fiona sudah menikah, dan memiliki seorang anak. Suaminya, seorang eksekutif di perusahaan swasta, jarang ia sebut. Namun, ada sesuatu tentang Fiona yang membuat semua orang di kantor, terutama para pria, terpikat. Semacam magnet yang tak terlihat, daya tarik yang tak bisa dijelaskan.

Selain cantik dan cerdas, Fiona juga terkenal tegas, terutama dalam menjaga pergaulannya dengan kaum pria. Berbeda dengan beberapa rekan perempuan lain yang suka nimbrung dalam candaan berbau dewasa, Fiona selalu menjaga jaraknya. Dia tidak suka bercanda berlebihan, apalagi jika melibatkan sentuhan fisik. Dan jangan pernah, sekali pun, meremehkan ketegasannya.

Ingatan tentang Badrun masih segar di kepala kami. Si Badrun, seorang rekan kerja yang terkenal cabul dan senang mencari gara-gara, pernah mencoba mencolek pantat Fiona di pantry kantor. Detik itu juga, neraka seolah tumpah. Fiona tidak hanya memaki Badrun habis-habisan di depan semua orang, tetapi juga tanpa ragu mengajukan laporan resmi ke Pak Desmond. Setelah investigasi singkat, Badrun langsung dimutasi ke kantor cabang di pulau terpencil. Sejak hari itu, tak ada satu pun pria yang berani bermain-main dengan Fiona.

Aku mengamati Fiona yang kini berdiri di hadapanku, menyilangkan tangan di depan dada, menungggu jawabanku. Blusnya yang ketat sedikit tertarik, menonjolkan belahan dadanya yang menggiurkan. Sebuah pemandangan yang seharusnya kuabaikan, tapi entah mengapa, mataku terpaku sejenak, merasakan riak kecil di bawah sana.

“Aku memang sering datang lebih awal, Fi. Kamu tahu kan, kerjaan numpuk,” jawabku, mencoba mengendalikan nada suaraku agar tetap terdengar santai, sambil menyandarkan tubuh ke kursi. 

Fiona tersenyum kecil, seringai licik tersungging di bibir penuhnya. Ia mengangkat alisnya dengan nada yang menggoda. “Oh ya? Kerjaan numpuk atau nggak dikasih jatah sama yang di rumah?” Tanyanya sambil menatapku dengan sudut matanya yang tajam.

“Emangnya kenapa?” balasku santai, mencoba menyembunyikan getaran gugup yang tiba-tiba menjalari tubuhku.

“Yah, beda aja. Jam kerja kamu sekarang sama waktu awal-awal nikah, kan kelihatan berubah. Dulu suka telat, sekarang malah datang kepagian.” Fiona melangkah mendekat, mendekati mejaku. 

Fiona menyandarkan tangannya di tepi mejaku. Posturnya santai, namun ada kesengajaan dalam gerakannya. Saat dia sedikit membungkuk mataku tak sengaja meluncur, terjebak pada belahan dadanya yang mengintip genit dari balik kemeja putihnya.

“Kok jadi penasaran sama jadwal aku sekarang?” balasku, parau. Tenggorokanku terasa kering.

Dia menatapku dengan sudut matanya. “Yah, pengen tahu aja, Kai. Aku kan cuma perhatiin,” katanya ringan sambil merapikan rambutnya yang panjang ke belakang telinga. 

“Jadi, apa sebenarnya alasan kamu ke sini pagi-pagi? Enggak mungkin cuma mau perhatiin aku, kan?” tanyaku, akhirnya mencoba membawa percakapan kembali ke jalur yang lebih aman.

“Oh, iya,” jawab Fiona, seolah baru teringat. Ia meluruskan tubuhnya sedikit, tetapi tetap berdiri dekat meja kerjaku. “Aku mau tanya soal laporan buat presentasi nanti. Udah selesai belum? Soalnya timku lagi keteteran ngejar deadline, dan aku takut ada yang miss.”

“Laporanku sudah selesai dari kemarin,” jawabku sambil kembali mengetik di layar laptop, pura-pura sibuk.

“Kalau gitu, nanti sore kamu tolong cek laporanku gimana?” tanyanya dengan nada setengah merayu.

Aku menoleh, mendapati matanya yang penuh harapan, memohon. “Ya sudah, nanti sore kamu bawa aja mentahannya. Biar kita cek bareng-bareng di sini,” jawabku akhirnya.

“Thanks banget ya, Kai. Pokoknya kamu selalu the best buatku.” Dia mengedipkan mata dengan gaya khasnya lalu menambahkan, “Soalnya kalau sampai ada kesalahan di presentasi besok, yang disemprot pasti aku duluan.”

Aku tertawa kecil, menggelengkan kepala. “Santai saja, Fi. Kalau kita kerjain sama-sama, harusnya enggak ada yang salah. Aku bantu sebisa mungkin.”

“Oke deh, kalau gitu aku balik ke ruangan dulu ya. Nanti sore aku mampir ke sini lagi,” katanya sambil melangkah ke arah pintu.

Saat Fiona melangkah keluar, aroma parfumnya yang lembut tertinggal, memenuhi ruangan. Aku menghela napas, kembali menatap layar laptop di depanku. Namun, untuk beberapa alasan, entah disengaja atau tidak, tapi aku merasa percakapan barusan lebih dari sekadar urusan pekerjaan. 

Aku kembali bekerja, mencoba menyingkirkan pikiran tentang Fiona. Meski begitu, aku tak bisa memungkiri bahwa percakapan tadi sedikit mengalihkan pikiranku dari masalah yang lebih besar: pengkhianatan Tanika dan rencana apa yang harus kulakukan selanjutnya. Setidaknya, untuk beberapa saat, aku bisa melupakan rasa sakit itu. 

Jam di dinding menunjukkan pukul sepuluh pagi ketika telepon kantorku berdering. Aku mengangkatnya dengan satu tangan, masih memandangi layar komputer. Suara dari ujung telepon membuatku tertegun, seolah disambar petir.

“Kai, ke ruangan saya sekarang,” suara berat Pak Desmond terdengar tegas, tanpa basa-basi. 

Aku menutup telepon, menegakkan tubuh, dan menghembuskan napas panjang. Rasanya aneh, dia jarang memanggilku secara langsung seperti ini, apalagi tanpa memberi penjelasan sebelumnya. 

Setibanya di depan pintu, aku mengetuk pelan. Dari dalam, terdengar suaranya yang menyuruhku masuk.

Ketika aku membuka pintu, dia sudah duduk di belakang meja kerjanya yang besar, mengenakan setelan formal lengkap seperti biasa. Tapi ada yang berbeda hari ini.

“Tutup pintunya,” katanya dengan nada datar, tanpa mengalihkan pandangan dari dokumen yang sedang dibacanya.

Aku menutup pintu dan berdiri di hadapannya. “Ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanyaku, mencoba menjaga nada suaraku tetap netral.

Pak Desmond akhirnya mendongak, menatapku lurus dengan ekspresi yang sulit kubaca. Dia menyandarkan tubuhnya ke kursi, melipat kedua tangan di depan dada. 

“Santai saja, Kai,” katanya, meskipun nadanya masih terdengar serius, berat, dan penuh tekanan. “Papa enggak lagi mau ngomongin kerjaan.”

Aku mengerutkan dahi, bingung. “Oh? Kalau begitu, ada apa, Pa?”

“Tadi pagi papa mampir ke rumah. Pembantu bilang kamu sudah berangkat kerja dari pagi sekali. Ada apa? Kamu ada masalah sama Tanika? Kalian… kalian ribut lagi?”

Pertanyaan itu terasa seperti pukulan telak, aku terdiam sejenak, mencoba mencari jawaban yang tepat.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gairah Liar Perselingkuhan   Bab 65

    "Sudah siap untuk presentasi, Kai?" tanyanya, suaranya terdengar renyah, seperti keripik yang baru saja diremas, dan nada suaranya itu seakan mengandung pertanyaan lain, pertanyaan yang hanya kami berdua tahu jawabannya. Aku tahu senyumnya itu, senyum yang pernah membuatku lengah dan jatuh dalam pelukannya beberapa tahun lalu. Senyum yang menyimpan janji kenikmatan terlarang.Aku menegakkan tubuh, berusaha mengusir bayangan kenangan itu, dan kenangan Serenity yang masih hangat di benakku, kembali ke mode profesional. "Sudah. Laporan tim sales development?" tanyaku, mencoba terdengar datar.Fiona melangkah masuk lebih dalam, aura parfumnya yang elegan dan sedikit manis mulai mengisi ruangan. Dia meletakkan sebuah map di meja kerjaku. "Siap. Semua data penjualan proyek sebelumnya dan estimasi untuk FA15 sudah ada di sini. Tim sudah menganalisis tren pasar, dan prediksinya sangat menjanjikan."Aku mengangguk, membuka map itu, berpura-pura fokus pada angka-angka, padahal yang kulihat hany

  • Gairah Liar Perselingkuhan   Bab 64

    Napas kami berdua masih memburu, menyatu dalam keheningan yang baru saja lahir dari badai gairah. Detik-detik itu terasa abadi, dipenuhi aroma panas tubuh kami yang bercampur, aroma keringat, dan jejak cinta yang baru saja meledak. Kulitku masih menyentuh kulit Serenity yang lembut, napasnya yang mulai teratur membelai dadaku. Ruangan kamar ini terasa lembap dan memabukkan, seolah udara pun ikut terlarut dalam sisa-sisa kenikmatan kami. Aku memejamkan mata, memeluknya erat, merasakan degup jantungnya yang tenang di bawah telapak tanganku…DRRRTTTT! DRRRTTTT! DRRRTTTT!Ponselku berdering lagi. Suaranya memekakkan, memecah keheningan yang sakral itu dengan brutal. Tidak berhenti, terus-menerus, seolah tak sabar menghancurkan momen yang baru saja kami ukir.Serenity sontak bergerak, tubuhnya menegang menjauh dariku. Mata indahnya yang tadi berkabut kenikmatan, kini menyala dengan nyala api kecurigaan. Bibir penuhnya yang barusan mengerang puas kini mengeras. "Siapa yang nelpon sampai ten

  • Gairah Liar Perselingkuhan   Bab 63

    Aku menarik tubuhku keluar perlahan, meninggalkan Serenity yang terbaring lemas dengan napas terengah-engah dan mata yang masih berkaca-kaca. Sensasi saat aku keluar darinya hampir sama nikmatnya dengan saat aku masuk. Aku menatapnya, benar-benar menatapnya. Wajahnya yang biasa terlihat tegas dan penuh kontrol, kini begitu rentan, begitu terbuka. Rambutnya berantakan, bibirnya sedikit bengkak, dan ada rona merah yang menjalar dari dada hingga pipinya. Dia adalah sebuah mahakarya kekacauan yang indah, dan aku pelukisnya.Perkataannya menggantung di udara panas kamar ini. "Gue gak yakin bisa balik normal lagi habis ini."Itu bukan sekadar pujian. Itu adalah sebuah pengakuan, sebuah penyerahan diri. Dan di matanya, aku melihat kebenaran dari kata-kata itu. Aku melihat kilatan panik bercampur dengan gairah yang belum padam. Dia baru saja membuka sebuah pintu dalam dirinya yang tidak ia ketahui ada, dan sekarang ia takut, sekaligus terobsesi dengan apa yang ada di baliknya. Sesuatu yang be

  • Gairah Liar Perselingkuhan   Bab 62

    Dia tidak menjawab, hanya menggigit bibir bawahnya sendiri, matanya turun ke bagian bawah tubuhku yang sudah keras dan siap menuntut. Aku bisa melihat sedikit keterkejutan di matanya, mungkin menyadari ukuran yang dia lihat. Aku menyadari tatapannya dan sengaja bergerak sedikit, menunjukkan kejantananku yang sudah berdiri sempurna, menantang.Serenity menarik napas tajam. “Gila…” gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Ekspresinya campuran antara takut, penasaran, dan… gairah yang meluap-luap. Ini dia. Momen yang kutunggu. Momen saat dia menyadari perbedaan yang drastis.Aku tidak memberinya waktu untuk berpikir terlalu lama. Aku menunduk, menciumnya lagi dengan lembut kali ini, mengalirkan semua gairah yang ada di urat nadiku ke dalam ciuman itu. Sementara bibirku meraup bibirnya, tanganku turun ke bawah, meraba pahanya yang mas

  • Gairah Liar Perselingkuhan   Bab 61

    Hening sejenak, lalu terdengar suara Serenity dari dalam, sedikit terburu-buru. “Kai?”“Iya….” jawabku, suaraku terdengar sedikit tegang di telingaku sendiri.“Kok cepet amat sih… sebentar…” Terdengar hiruk-pikuk kecil di dalam, suara benda-benda bergeser, seperti dia sedang membereskan sesuatu dengan panik. Senyum geli muncul di bibirku.“Cepetan,” pancingku, menambahkan drama pada alasanku, “Kebelet nih tadi di pabrik gak sempet ke toilet…”“Duhhh sebentar Kai….” Ada nada tertahan dalam suaranya, mungkin menahan tawa atau rasa malu karena ketahuan sedang panik.Tak berapa lama, kenop pintu berputar. Pintu terbuka sedik

  • Gairah Liar Perselingkuhan   Bab 60

    “Dasar nakal….” bisik Serenity, suaranya lembut, tapi ada nada pasrah dan sayang yang terselip di sana. Tangan kanannya yang tadi membelai pipiku, kini perlahan turun ke leherku, ibu jari mengusap lembut rahangku. Aku menikmati sentuhannya, kelembutan kulitnya yang masih terasa hangat di bawah sentuhan jari-jariku beberapa saat yang lalu. Aku balas memeluknya lebih erat, merasakan betapa pas tubuhnya di pangkuanku. Aroma khasnya kembali memenuhi indra penciumanku, membangkitkan lagi gelombang gairah yang tadi sempat terhenti.“Nggak bisa nggak nakal kalau sama kamu,” balasku, suaraku agak serak. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menghirup wangi tubuhnya seolah itu adalah oksigen yang paling kuperlukan saat ini. Ciuman singkat tadi, meskipun hanya sekilas, meninggalkan jejak manis yang membuatku ingin lebih.Dia terkekeh pelan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status