“Loh, Kai? Kok udah di kantor jam segini?” Suara itu, renyah dan penuh goda, melengkapi sensasi yang sudah menguasai ruangan.
Fiona.
Bahkan namanya saja terasa sensual di lidah, dia adalah Sales Development Manager di perusahaan kami, namun bagi sebagian besar pria di kantor, dia adalah definisi hidup dari sebuah fantasi. Ia memiliki kecantikan yang memabukkan, perpaduan garis keturunan Arab, Cina, dan Betawi. Kulitnya yang terang memancarkan kilau sehat, hidungnya mancung, dan bibirnya yang penuh, merona alami, selalu terlihat memukau. Tubuhnya tinggi semampai, dada penuhnya terlihat jelas di balik blus yang sedikit ketat, naik turun seiring napasnya, dan lekuk pantatnya yang padat membuat setiap gerakan pinggulnya membuat para pria menahan napas dan menelan ludah.
Fiona sudah menikah, dan memiliki seorang anak. Suaminya, seorang eksekutif di perusahaan swasta, jarang ia sebut. Namun, ada sesuatu tentang Fiona yang membuat semua orang di kantor, terutama para pria, terpikat. Semacam magnet yang tak terlihat, daya tarik yang tak bisa dijelaskan.
Selain cantik dan cerdas, Fiona juga terkenal tegas, terutama dalam menjaga pergaulannya dengan kaum pria. Berbeda dengan beberapa rekan perempuan lain yang suka nimbrung dalam candaan berbau dewasa, Fiona selalu menjaga jaraknya. Dia tidak suka bercanda berlebihan, apalagi jika melibatkan sentuhan fisik. Dan jangan pernah, sekali pun, meremehkan ketegasannya.
Ingatan tentang Badrun masih segar di kepala kami. Si Badrun, seorang rekan kerja yang terkenal cabul dan senang mencari gara-gara, pernah mencoba mencolek pantat Fiona di pantry kantor. Detik itu juga, neraka seolah tumpah. Fiona tidak hanya memaki Badrun habis-habisan di depan semua orang, tetapi juga tanpa ragu mengajukan laporan resmi ke Pak Desmond. Setelah investigasi singkat, Badrun langsung dimutasi ke kantor cabang di pulau terpencil. Sejak hari itu, tak ada satu pun pria yang berani bermain-main dengan Fiona.
Aku mengamati Fiona yang kini berdiri di hadapanku, menyilangkan tangan di depan dada, menungggu jawabanku. Blusnya yang ketat sedikit tertarik, menonjolkan belahan dadanya yang menggiurkan. Sebuah pemandangan yang seharusnya kuabaikan, tapi entah mengapa, mataku terpaku sejenak, merasakan riak kecil di bawah sana.
“Aku memang sering datang lebih awal, Fi. Kamu tahu kan, kerjaan numpuk,” jawabku, mencoba mengendalikan nada suaraku agar tetap terdengar santai, sambil menyandarkan tubuh ke kursi.
Fiona tersenyum kecil, seringai licik tersungging di bibir penuhnya. Ia mengangkat alisnya dengan nada yang menggoda. “Oh ya? Kerjaan numpuk atau nggak dikasih jatah sama yang di rumah?” Tanyanya sambil menatapku dengan sudut matanya yang tajam.
“Emangnya kenapa?” balasku santai, mencoba menyembunyikan getaran gugup yang tiba-tiba menjalari tubuhku.
“Yah, beda aja. Jam kerja kamu sekarang sama waktu awal-awal nikah, kan kelihatan berubah. Dulu suka telat, sekarang malah datang kepagian.” Fiona melangkah mendekat, mendekati mejaku.
Fiona menyandarkan tangannya di tepi mejaku. Posturnya santai, namun ada kesengajaan dalam gerakannya. Saat dia sedikit membungkuk mataku tak sengaja meluncur, terjebak pada belahan dadanya yang mengintip genit dari balik kemeja putihnya.
“Kok jadi penasaran sama jadwal aku sekarang?” balasku, parau. Tenggorokanku terasa kering.
Dia menatapku dengan sudut matanya. “Yah, pengen tahu aja, Kai. Aku kan cuma perhatiin,” katanya ringan sambil merapikan rambutnya yang panjang ke belakang telinga.
“Jadi, apa sebenarnya alasan kamu ke sini pagi-pagi? Enggak mungkin cuma mau perhatiin aku, kan?” tanyaku, akhirnya mencoba membawa percakapan kembali ke jalur yang lebih aman.
“Oh, iya,” jawab Fiona, seolah baru teringat. Ia meluruskan tubuhnya sedikit, tetapi tetap berdiri dekat meja kerjaku. “Aku mau tanya soal laporan buat presentasi nanti. Udah selesai belum? Soalnya timku lagi keteteran ngejar deadline, dan aku takut ada yang miss.”
“Laporanku sudah selesai dari kemarin,” jawabku sambil kembali mengetik di layar laptop, pura-pura sibuk.
“Kalau gitu, nanti sore kamu tolong cek laporanku gimana?” tanyanya dengan nada setengah merayu.
Aku menoleh, mendapati matanya yang penuh harapan, memohon. “Ya sudah, nanti sore kamu bawa aja mentahannya. Biar kita cek bareng-bareng di sini,” jawabku akhirnya.
“Thanks banget ya, Kai. Pokoknya kamu selalu the best buatku.” Dia mengedipkan mata dengan gaya khasnya lalu menambahkan, “Soalnya kalau sampai ada kesalahan di presentasi besok, yang disemprot pasti aku duluan.”
Aku tertawa kecil, menggelengkan kepala. “Santai saja, Fi. Kalau kita kerjain sama-sama, harusnya enggak ada yang salah. Aku bantu sebisa mungkin.”
“Oke deh, kalau gitu aku balik ke ruangan dulu ya. Nanti sore aku mampir ke sini lagi,” katanya sambil melangkah ke arah pintu.
Saat Fiona melangkah keluar, aroma parfumnya yang lembut tertinggal, memenuhi ruangan. Aku menghela napas, kembali menatap layar laptop di depanku. Namun, untuk beberapa alasan, entah disengaja atau tidak, tapi aku merasa percakapan barusan lebih dari sekadar urusan pekerjaan.
Aku kembali bekerja, mencoba menyingkirkan pikiran tentang Fiona. Meski begitu, aku tak bisa memungkiri bahwa percakapan tadi sedikit mengalihkan pikiranku dari masalah yang lebih besar: pengkhianatan Tanika dan rencana apa yang harus kulakukan selanjutnya. Setidaknya, untuk beberapa saat, aku bisa melupakan rasa sakit itu.
Jam di dinding menunjukkan pukul sepuluh pagi ketika telepon kantorku berdering. Aku mengangkatnya dengan satu tangan, masih memandangi layar komputer. Suara dari ujung telepon membuatku tertegun, seolah disambar petir.
“Kai, ke ruangan saya sekarang,” suara berat Pak Desmond terdengar tegas, tanpa basa-basi.
Aku menutup telepon, menegakkan tubuh, dan menghembuskan napas panjang. Rasanya aneh, dia jarang memanggilku secara langsung seperti ini, apalagi tanpa memberi penjelasan sebelumnya.
Setibanya di depan pintu, aku mengetuk pelan. Dari dalam, terdengar suaranya yang menyuruhku masuk.
Ketika aku membuka pintu, dia sudah duduk di belakang meja kerjanya yang besar, mengenakan setelan formal lengkap seperti biasa. Tapi ada yang berbeda hari ini.
“Tutup pintunya,” katanya dengan nada datar, tanpa mengalihkan pandangan dari dokumen yang sedang dibacanya.
Aku menutup pintu dan berdiri di hadapannya. “Ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanyaku, mencoba menjaga nada suaraku tetap netral.
Pak Desmond akhirnya mendongak, menatapku lurus dengan ekspresi yang sulit kubaca. Dia menyandarkan tubuhnya ke kursi, melipat kedua tangan di depan dada.
“Santai saja, Kai,” katanya, meskipun nadanya masih terdengar serius, berat, dan penuh tekanan. “Papa enggak lagi mau ngomongin kerjaan.”
Aku mengerutkan dahi, bingung. “Oh? Kalau begitu, ada apa, Pa?”
“Tadi pagi papa mampir ke rumah. Pembantu bilang kamu sudah berangkat kerja dari pagi sekali. Ada apa? Kamu ada masalah sama Tanika? Kalian… kalian ribut lagi?”
Pertanyaan itu terasa seperti pukulan telak, aku terdiam sejenak, mencoba mencari jawaban yang tepat.
“Aku memanggil kalian ke sini,” lanjut Tanika, “bukan untuk meminta maaf atau meminta belas kasihan. Aku memanggil kalian ke sini untuk memberikan restuku.”Dia memberi isyarat pada Serenity untuk mendekat. Serenity, yang biasanya begitu liar dan percaya diri, melangkah maju dengan ragu, seperti anak kecil yang dipanggil oleh kepala sekolah. Dia berlutut di samping kursi roda Tanika.“Serenity,” kata Tanika lembut. “Kau adalah apinya. Gairah yang murni dan tak terkendali. Di dalam dirimu, tumbuh seorang pejuang. Jangan biarkan dunia memadamkan api itu. Ajari dia untuk menjadi kuat dan berani.”Tanika meletakkan tangannya yang kurus di atas perut Serenity. Serenity terkesiap, lalu menangis tersedu-sedu, membenamkan wajahnya di pangkuan Tanika.
Matahari terbit di Maladewa terasa berbeda hari ini. Bukan lagi janji akan hari yang baru dan penuh harapan, melainkan pengingat yang kejam akan senja yang semakin dekat. Setiap kilau keemasan yang menari di permukaan laut yang tenang adalah sebutir pasir yang jatuh dari jam waktu Tanika, jam waktu kami.Aku terbangun sebelum dia. Aku tidak tidur semalaman. Aku hanya memandangnya, mencoba menghafal setiap detail wajahnya yang damai dalam tidurnya. Lekuk bibirnya, bulu matanya yang lentik, helai rambut yang jatuh di pipinya. Aku membelainya dengan ujung jariku, begitu lembut, takut sentuhanku akan membangunkannya, takut kehilangan satu detik pun dari kedamaian ini.Penolakannya atas pengorbananku tadi malam bukanlah sebuah akhir dari perdebatan. Itu adalah sebuah pernyataan. D
Maladewa, hari ketujuh. Sebuah lukisan melankolis yang diwarnai awan kelabu tipis, seolah langit itu sendiri ikut merasakan beban waktu kami yang hampir habis. Kami, kuas yang gemetar, sedang menggoreskan perpisahan di kanvas senja. Kami menghabiskan sepanjang hari di dalam vila, seolah ingin menghentikan waktu dengan menolak untuk keluar, terperangkap dalam gelembung keindahan yang rapuh.Tidak ada lagi gairah yang liar dan eksplosif seperti di awal minggu. Yang ada hanyalah keintiman yang lambat, putus asa, dan begitu dalam, setiap sentuhan adalah sebuah usaha untuk menunda ketiadaan. Kami bercinta seolah-olah itu adalah napas terakhir kami, setiap desahan adalah sebuah doa untuk waktu yang tak akan pernah kembali. Aku akan menatap mata Tanika selama berjam-jam, mencoba menghafal setiap binar, setiap helai bulu matanya yang lentik, seolah ingin memahatnya ke dalam ingatanku agar tak pernah pudar. Tangank
Dia menarikku ke lantai dansa yang ramai, di mana tubuh-tubuh berdesakan dan lampu-lampu strobo berkedip-kedip, menciptakan ilusi gerakan yang terputus-putus. Dia menekan tubuhnya ke tubuhku, pinggulnya yang lentur bergerak melingkar, menggesek selangkanganku dengan ritme musik yang menghentak. Panas tubuhnya menembus pakaian kami, dan aku bisa merasakan gesekan bokongnya yang montok di kejantananku yang masih menegang.“Semua orang melihat kita,” bisikku di telinganya, napasku memburu, tanganku melingkari pinggangnya erat.“Aku tahu,” balasnya, napasnya sama memburunya. Dia mendongak, matanya menatap mataku, penuh gairah yang membakar. “Aku ingin mereka melihatmu. Aku ingin mereka melihat bagaimana kau menginginkanku. Bagaimana aku menginginkanmu.”Di tengah kerumunan yang berden
Setelah malam pengakuan yang menguras jiwa aku pikir hari-hari kami di surga ini akan diisi dengan keheningan yang nyaman dan keintiman yang lembut. Aku salah. Aku telah membebaskan Tanika dari penjaranya, penjara yang ia bangun sendiri dari rasa takut dan ekspektasi. Tapi aku lupa, seekor burung yang terlalu lama dikurung, saat akhirnya terbang, tidak akan terbang dengan tenang. Dia akan terbang dengan liar, dengan sayap mengepak gila-gilaan, ingin merasakan setiap embusan angin yang selama ini terlarang.Pagi harinya, setelah sesi bercinta yang lambat dan penuh perasaan, yang membuat kami berdua terengah-engah dan berkeringat, Tanika menyandarkan kepalanya di dadaku. Jemarinya yang lentik memainkan bulu-bulu tipis di dadaku, sementara napasnya yang hangat meniup di kulitku. Setelah beberapa saat keheningan yang nyaman, dia mendongak, menatapku dengan mata berbinar, sebuah kilatan nakal yang belum pernah
Aku menatap payudaranya yang indah, membusung sempurna, dengan puting yang sudah menegang dan merona merah muda. Dengan napas tertahan, aku menghisap putingnya yang keras dengan rakus, lidahku memutar dan menariknya lembut, membuat Tanika mendesah namaku berulang kali, suaranya tercekat di tenggorokan. Jari-jariku memijat payudara sebelahnya, meremasnya lembut, memutar putingnya yang lain, memastikan sensasi yang sama mengalir di seluruh tubuhnya.Dia mengerang, punggungnya sedikit melengkung, pinggulnya terangkat dari daybed, mencari kontak yang lebih dalam. Tanganku bergerak turun, menjelajahi perutnya yang rata dan kencang. Aku mengecup pusarnya, merasakan panas dari sana, lalu semakin rendah, ke bawah pusar, mengelus bulu-bulu tipis di sana.Aku menatapnya, memastikan dia siap. Mata Tanika berkabut gairah, tatapannya memohon dan penuh kepercayaan. Aku memis