Dengan gelas berisi Hennessy VSOP di tangan kanan, aku duduk di ruang tamu yang hanya diterangi oleh nyala kecil lampu bar. Cahaya remang-remang itu memantulkan bayangan aneh di dinding, membuat suasana semakin suram. Rumah kami besar, megah, tetapi malam itu terasa seperti gua kosong yang dingin. Pikiranku kacau, berkecamuk. Bayangan Tanika bersama pria itu di hotel terus berputar seperti rekaman rusak di kepala. Aku tidak tahu harus marah, kecewa, atau justru menertawakan diriku sendiri.
Setelah beberapa saat, suara mesin mobil terdengar dari luar, diikuti bunyi pintu pagar otomatis yang terbuka. Mobil Tanika akhirnya tiba di rumah. Aku meletakkan gelas di meja dan menatap pintu masuk dengan napas tertahan, menunggu langkahnya memasuki ruang tamu.
Pintu terbuka. Tanika melangkah masuk, masih mengenakan dress hitam selutut yang tampak terlalu rapi untuk sekadar hangout bersama teman-temannya. Sepatu hak tingginya mengetuk lantai marmer, dan dia tertegun sejenak saat melihatku duduk dalam kegelapan.
“Kai!” serunya, nada suaranya sedikit kaget, tapi dengan cepat dia memulihkan ekspresinya. “Kamu ngapain sih? Malam-malam begini duduk di ruang tamu, lampu dimatiin segala. Kaya hantu aja, tau!”
Aku mengamati wajahnya dalam cahaya redup. Sekilas, dia tampak sempurna seperti biasanya—rambutnya tersisir rapi, makeupnya masih utuh. Tapi aku tahu di balik semua itu ada rahasia kotor yang sedang dia sembunyikan.
“Tan,” aku mulai, suaraku terdengar lebih dingin dari yang kuharapkan. “Kamu dari mana? Udah jam segini baru pulang.”
Tanika mendengus sambil melepaskan sepatunya. “Sejak kapan kamu nanya-nanya kayak gini?” jawabnya dengan nada sedikit menyindir. Dia melangkah menuju meja bar, menuang segelas anggur merah untuk dirinya sendiri. “Udah jelas kan, Kai? Aku kalau keluar rumah ya pasti sama teman-teman. Masa kamu nggak tau sih kebiasaan aku? Ngapain juga usil nanya-nanya segala?”
Aku menegakkan punggung, menatapnya tajam. “Aku cuma nanya, Tan. Apa susahnya kasih tahu aku kamu habis dari mana?”
Dia menoleh, meletakkan gelasnya di meja, dan menatapku dengan alis terangkat. “Denger ya, Kai. Jangan mulai deh ribut nggak jelas. Aku paling nggak suka dicurigain atau diinterogasi kayak gini.”
Aku menghela napas panjang, mencoba menahan amarah yang mendidih di dada. “Bukan maksudku interogasi. Aku cuma pengen tau, itu aja.”
Tanika mendekat, menyilangkan tangan di dadanya. “Kamu kenapa sih? Lagi stres ya? Kerjaan beres kan? Jangan sampe bikin papi marah-marah lagi kalau kamu nggak becus kerja di kantor!” katanya, suaranya tajam seperti pisau.
Aku menelan ludah, menahan diri untuk tidak meledak. Dia melangkah masuk ke kamar tanpa menunggu jawabanku, meninggalkan aroma parfum mahal yang terasa terlalu manis di udara.
Aku tetap duduk di sana, menatap pintu kamar yang kini tertutup rapat. Suara langkahnya terdengar di lantai kayu kamar, diikuti bunyi air mengalir dari kamar mandi. Aku menyesap sisa Hennessy di gelas, mencoba membungkam suara-suara di kepalaku.
Pikiranku berputar, memutar ulang semua yang kulihat di hotel tadi. Setiap tatapan, setiap sentuhan, setiap hal yang tak bisa kuhapus dari ingatan. Tanika tidak berubah sedikit pun, bahkan setelah aku melihat dengan mata kepala sendiri betapa kotornya dia mengkhianatiku.
Malam itu tidurku tidak nyenyak. Setiap kali aku mencoba memejamkan mata, bayangan Tanika di hotel itu terus menghantui pikiranku. Aku memaksa diriku untuk beristirahat, tapi hanya sesekali terlelap sebelum akhirnya terbangun lagi. Ketika aku melirik ke sisi ranjang, Tanika masih tertidur pulas.
Aku memutuskan untuk bangun lebih awal. Rasa dingin lantai marmer menyentuh kakiku saat aku berjalan ke kamar mandi, mencuci wajah, dan menatap cermin dengan pandangan kosong. Wajahku terlihat lelah, lingkar hitam di bawah mataku mulai terlihat jelas. Tidak ada gunanya memikirkan ini lebih lama. Aku harus tetap melanjutkan hidup, setidaknya di depan orang lain, aku tidak boleh terlihat rapuh.
Aku meninggalkan rumah tanpa membangunkan Tanika, langsung menuju kantor. Jalanan masih sepi, lampu-lampu jalan perlahan mulai redup digantikan oleh sinar matahari pagi yang mengintip dari balik gedung-gedung tinggi.
Tiba di kantor, suasananya masih lengang. Aku memarkir mobil di tempat biasa, melangkah masuk dengan langkah mantap melewati meja resepsionis yang kosong. Jam di dinding menunjukkan pukul 6.45—masih terlalu pagi untuk jam kantor resmi, tetapi aku sering datang lebih awal untuk mempersiapkan segalanya sebelum staf lain tiba.
Aku berjalan menuju ruanganku, sebuah kantor kecil tapi rapi dengan jendela besar yang menghadap ke pusat kota. Di pintu, papan nama dengan tulisan Kaindra Wicaksana – Business Development tergantung dengan elegan. Aku membuka pintu dan masuk ke dalam, meletakkan tas di meja kerja.
Posisiku sebagai Business Development Manager di perusahaan farmasi milik Pak Desmond bukanlah sesuatu yang kudapatkan begitu saja hanya karena menikahi Tanika. Sebelum pernikahan kami, aku bekerja keras, membuktikan diriku layak mendapatkan kepercayaan di perusahaan ini. Namun, setelah pernikahan, banyak yang menganggap posisiku ini hanya pemberian mertuaku.
Aku tahu betul gosip itu. Setelah menikah, Pak Desmond pernah menawarkan jabatan General Manager. Tapi aku menolaknya dengan halus. Aku khawatir, jika aku menerima posisi itu, orang-orang akan semakin meremehkan kemampuanku. Mereka tidak akan melihatku sebagai profesional, tetapi hanya sebagai pria yang mendapat posisi karena hubungan keluarga.
Namun, kenyataannya, meskipun hanya menyandang jabatan sebagai Business Development Manager, aku mengurus hampir semua pekerjaan inti perusahaan ini. Aku menangani proyek besar, menjalin hubungan dengan mitra bisnis, bahkan memutuskan strategi yang menentukan arah perusahaan. Meski begitu, aku tetap menjaga agar setiap langkahku terlihat seperti bagian dari rutinitas, bukan seperti seseorang yang mengambil alih segalanya.
Aku duduk di kursi kerja, menyalakan laptop, dan mulai memeriksa dokumen yang menumpuk di mejaku. Rutinitas ini selalu membuatku merasa sibuk, tetapi di balik kesibukan ini, pikiranku tetap melayang ke rumah. Ke Tanika. Ke hotel itu. Ke rencana-rencana yang perlahan terbentuk di kepalaku.
Tiba-tiba, suara pintu ruanganku terbuka pelan, membuatku menoleh. Wanita itu berdiri di sana, mengenakan blus putih yang kancing atasnya belum tertutup. Bagian atas blus itu sedikit terbuka, memperlihatkan belahan dadanya yang menggoda. Tatapannya seakan campuran antara terkejut karena melihatku sudah di kantor sepagi ini, tapi juga terselip sesuatu yang... menggoda.
"Sudah siap untuk presentasi, Kai?" tanyanya, suaranya terdengar renyah, seperti keripik yang baru saja diremas, dan nada suaranya itu seakan mengandung pertanyaan lain, pertanyaan yang hanya kami berdua tahu jawabannya. Aku tahu senyumnya itu, senyum yang pernah membuatku lengah dan jatuh dalam pelukannya beberapa tahun lalu. Senyum yang menyimpan janji kenikmatan terlarang.Aku menegakkan tubuh, berusaha mengusir bayangan kenangan itu, dan kenangan Serenity yang masih hangat di benakku, kembali ke mode profesional. "Sudah. Laporan tim sales development?" tanyaku, mencoba terdengar datar.Fiona melangkah masuk lebih dalam, aura parfumnya yang elegan dan sedikit manis mulai mengisi ruangan. Dia meletakkan sebuah map di meja kerjaku. "Siap. Semua data penjualan proyek sebelumnya dan estimasi untuk FA15 sudah ada di sini. Tim sudah menganalisis tren pasar, dan prediksinya sangat menjanjikan."Aku mengangguk, membuka map itu, berpura-pura fokus pada angka-angka, padahal yang kulihat hany
Napas kami berdua masih memburu, menyatu dalam keheningan yang baru saja lahir dari badai gairah. Detik-detik itu terasa abadi, dipenuhi aroma panas tubuh kami yang bercampur, aroma keringat, dan jejak cinta yang baru saja meledak. Kulitku masih menyentuh kulit Serenity yang lembut, napasnya yang mulai teratur membelai dadaku. Ruangan kamar ini terasa lembap dan memabukkan, seolah udara pun ikut terlarut dalam sisa-sisa kenikmatan kami. Aku memejamkan mata, memeluknya erat, merasakan degup jantungnya yang tenang di bawah telapak tanganku…DRRRTTTT! DRRRTTTT! DRRRTTTT!Ponselku berdering lagi. Suaranya memekakkan, memecah keheningan yang sakral itu dengan brutal. Tidak berhenti, terus-menerus, seolah tak sabar menghancurkan momen yang baru saja kami ukir.Serenity sontak bergerak, tubuhnya menegang menjauh dariku. Mata indahnya yang tadi berkabut kenikmatan, kini menyala dengan nyala api kecurigaan. Bibir penuhnya yang barusan mengerang puas kini mengeras. "Siapa yang nelpon sampai ten
Aku menarik tubuhku keluar perlahan, meninggalkan Serenity yang terbaring lemas dengan napas terengah-engah dan mata yang masih berkaca-kaca. Sensasi saat aku keluar darinya hampir sama nikmatnya dengan saat aku masuk. Aku menatapnya, benar-benar menatapnya. Wajahnya yang biasa terlihat tegas dan penuh kontrol, kini begitu rentan, begitu terbuka. Rambutnya berantakan, bibirnya sedikit bengkak, dan ada rona merah yang menjalar dari dada hingga pipinya. Dia adalah sebuah mahakarya kekacauan yang indah, dan aku pelukisnya.Perkataannya menggantung di udara panas kamar ini. "Gue gak yakin bisa balik normal lagi habis ini."Itu bukan sekadar pujian. Itu adalah sebuah pengakuan, sebuah penyerahan diri. Dan di matanya, aku melihat kebenaran dari kata-kata itu. Aku melihat kilatan panik bercampur dengan gairah yang belum padam. Dia baru saja membuka sebuah pintu dalam dirinya yang tidak ia ketahui ada, dan sekarang ia takut, sekaligus terobsesi dengan apa yang ada di baliknya. Sesuatu yang be
Dia tidak menjawab, hanya menggigit bibir bawahnya sendiri, matanya turun ke bagian bawah tubuhku yang sudah keras dan siap menuntut. Aku bisa melihat sedikit keterkejutan di matanya, mungkin menyadari ukuran yang dia lihat. Aku menyadari tatapannya dan sengaja bergerak sedikit, menunjukkan kejantananku yang sudah berdiri sempurna, menantang.Serenity menarik napas tajam. “Gila…” gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Ekspresinya campuran antara takut, penasaran, dan… gairah yang meluap-luap. Ini dia. Momen yang kutunggu. Momen saat dia menyadari perbedaan yang drastis.Aku tidak memberinya waktu untuk berpikir terlalu lama. Aku menunduk, menciumnya lagi dengan lembut kali ini, mengalirkan semua gairah yang ada di urat nadiku ke dalam ciuman itu. Sementara bibirku meraup bibirnya, tanganku turun ke bawah, meraba pahanya yang mas
Hening sejenak, lalu terdengar suara Serenity dari dalam, sedikit terburu-buru. “Kai?”“Iya….” jawabku, suaraku terdengar sedikit tegang di telingaku sendiri.“Kok cepet amat sih… sebentar…” Terdengar hiruk-pikuk kecil di dalam, suara benda-benda bergeser, seperti dia sedang membereskan sesuatu dengan panik. Senyum geli muncul di bibirku.“Cepetan,” pancingku, menambahkan drama pada alasanku, “Kebelet nih tadi di pabrik gak sempet ke toilet…”“Duhhh sebentar Kai….” Ada nada tertahan dalam suaranya, mungkin menahan tawa atau rasa malu karena ketahuan sedang panik.Tak berapa lama, kenop pintu berputar. Pintu terbuka sedik
“Dasar nakal….” bisik Serenity, suaranya lembut, tapi ada nada pasrah dan sayang yang terselip di sana. Tangan kanannya yang tadi membelai pipiku, kini perlahan turun ke leherku, ibu jari mengusap lembut rahangku. Aku menikmati sentuhannya, kelembutan kulitnya yang masih terasa hangat di bawah sentuhan jari-jariku beberapa saat yang lalu. Aku balas memeluknya lebih erat, merasakan betapa pas tubuhnya di pangkuanku. Aroma khasnya kembali memenuhi indra penciumanku, membangkitkan lagi gelombang gairah yang tadi sempat terhenti.“Nggak bisa nggak nakal kalau sama kamu,” balasku, suaraku agak serak. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menghirup wangi tubuhnya seolah itu adalah oksigen yang paling kuperlukan saat ini. Ciuman singkat tadi, meskipun hanya sekilas, meninggalkan jejak manis yang membuatku ingin lebih.Dia terkekeh pelan