Share

3. Lagi dan Lagi

Author: NARA
last update Last Updated: 2025-05-08 09:38:06

Lili terkejut. Dua miliar, Jumlah yang sangat besar, dimana baru saja keluar dari mulut Lio. Dan itu cukup untuk melunasi sebagaian hutang Zian sang suami. Namun, ia tahu betul maksud dari tawaran itu. Lio tak menyatakannya secara gamblang, tapi nada bicaranya, sorot matanya, dan senyum tipis di bibir lelaki itu mengisyaratkan untuk dirinya harus tidur dengannya, dan itu imbalan dari dua miliar rupiah yang baru disebutnya.

Lili menatap sahabat suaminya itu dengan jijik, sekaligus bingung harus berbuat apa.

"Jawab saja, mau. Gampang, bukan?" kata Lio tenang, menyandarkan tubuhnya ke jok taksi. "Kapan lagi ada orang yang mau minjemin uang sebanyak itu tanpa jaminan. Tidak ada, Lili. Hanya aku. Jadi terima saja tawaranku." Lio masih tersenyum, dengan tatapan tertuju pada istri dari sahabatnya tersebut.

Lili mengepalkan tangan di pangkuannya, menahan rasa muak. "Aku memang butuh uang," ucapnya pelan, "api tidak dengan menggadaikan harga diriku!" tegasnya.

Nada tegasnya membuat Lio menaikkan alis. Bukannya tersinggung, lelaki itu justru tertawa pelan.

"Jangan bicara tentang harga diri, kalau suamimu sendiri bahkan tidak menghargaimu."

Ucapan itu membuat dada Lili terasa sesak. Ia menautkan kening, menatap tajam ke arah Lio. "Jaga bicaramu!" katanya dengan suara bergetar. Ia tahu Zian memang berubah sejak terlilit utang. Pria itu jadi sering pulang larut, jarang bicara, dan bahkan kadang bersikap kasar. Tapi Lili tetap percaya, Zian hanya sedang tertekan. Ia masih yakin, suaminya tetap mencintainya.

Lio tidak menanggapi lebih lanjut. Ia hanya tersenyum tenang, lalu menyelipkan sebuah kartu nama ke pangkuan Lili.

"Tawaranku masih berlaku. Kalau kamu berubah pikiran, telepon saja nomor itu," ucapnya, lalu meminta supir taksi tersebut untuk menghentikan mobilnya. "Pak, berhenti di depan."

"Baik," sahut sopir.

Begitu taksi berhenti, Lio turun dengan santai. Sebelum menutup pintu, ia sempat menoleh dan melambaikan tangan ke arah Lili, masih dengan senyumannya yang membuat perut Lili terasa mual.

Taksi kembali melaju, bersamaan dengan Lili yang terdiam dengan pandangan tertuju ke kartu nama di pangkuannya. Jemarinya bergetar saat menyentuhnya. Hatinya berperang, antara harga diri dan juga hutang sang suami yang harus cepat di lunasi.

Beberapa saat kemudian, taksi berhenti di depan rumah sederhana Lili. Lili turun sambil memasukkan kartu nama itu ke dalam tas, tak berniat membuangnya tapi juga enggan mengakuinya.

Alisnya langsung berkerut ketika melihat mobil milik Zian terparkir di halaman rumahnya.

"Kenapa Zian tidak bilang kalau mau ke rumah?" gumamnya pelan. Ia bergegas menuju pintu rumah, dadanya dipenuhi rasa penasaran kenapa suaminya itu datang tanpa memberi tahunya.

Zian duduk dengan gelisah di salah satu sofa ruang tamu, matanya menatap tajam ke arah papa dan mama mertuanya. Ruangan itu terasa sunyi, seolah menunggu denting ketegangan pecah kapan saja.

Di depannya, Papa Renan dan Mama Rina saling pandang, saling membaca isi hati masing-masing setelah mendengar permintaan mengejutkan dari menantu mereka.

"Bagaimana, Pa, Ma? Apa boleh aku menjual rumah ini?" tanya Zian, berusaha terdengar tenang meski nada suaranya getir. "Rumah ini milik istriku, bukan? Dan ini satu-satunya jalan keluar untuk membayar hutang-hutangku." Jelas Zian, karena kedatangannya ke rumah kedua mertuanya tersebut, ialah ingin meminta papa Renan dan juga mama Rina menjual rumah tersebut, saat Zian tidak tahu lagi harus mencari pinjaman ke mana.

Papa Renan menarik napas panjang, lalu menatap wajah menantunya yang tampak kusut. "Apa tidak ada cara lain, Zi?" Tanya papa Renan, dirinya benar-benar harus berpikir matang untuk menjual aset satu-satunya yang bisa ia warisan pada sang putri.

Zian mengusap wajahnya yang lelah, lalu mengacak rambutnya dengan frustasi. "Tidak ada cara lain, Pa. Aku sudah mencoba pinjam ke teman, saudara, bahkan menjual mobil. Tapi tetap saja kurang."

Mama Rina menggenggam tangan suaminya, mencoba menyusun kalimat yang tepat. "Sahabat dan keluargamu banyak, Zi. Apa tidak ada satu pun yang bisa kamu mintai bantuan?" tanya mama Rina, dirinya merasa tidak setuju dengan permintaan sang menantu, untuk menjual rumah tersebut.

"Ya ampun! Kalian ini sebenarnya mau bantu aku atau tidak, hah?" suaranya meninggi, membuat suasana berubah mencekam.

Papa Renan terkejut dengan nada suara Zian, namun memilih untuk diam.

Kemudian Zian beranjak dari duduknya. "Kalian lupa, jika aku tidak menikahi putri kalian. Putri kalian jadi apa sekarang hah!" serunya emosinya tidak terbendung. "Di suruh menjual rumah saja perhitungan, apa kalian buta dengan apa yang sudah aku lakukan hah!" teriak Zian.

Belum sempat Papa Renan menjawab, suara langkah pelan terdengar dari arah pintu. Lili berdiri di ambang pintu ruang tamu, wajahnya pucat, menyaksikan semua percakapan tanpa sengaja. Ia menggenggam ujung bajunya dengan gemetar, mencoba menahan detak jantung yang berdegup kencang.

Dengan segera Ia berjalan mendekat, berusaha tenang. "Sayang, kenapa kamu bicara kasar sama mama dan papa?" tanyanya dengan suara pelan.

Zian melirik tajam pada sang istri. Bibirnya menyeringai sinis. "Si pembawa sial datang," ucapnya dengan penuh hinaan.

Lili terkejut, hatinya seperti ditampar keras karena lagi dan lagi, Zian mengatakan hal yang menyakitkan untuknya. "Sayang, kenapa kamu berkata seperti itu lagi padaku?" matanya mulai berkaca-kaca. "Aku tahu kamu sedang kesulitan, tapi tidak sepantasnya kamu melampiaskan semuanya padaku, atau orang tuaku."

Zian tertawa pendek, tapi tanpa kehangatan. "Kamu pikir aku nggak boleh marah? Aku sedang jatuh, dan kalian semua cuma melihat dari jauh. Kamu juga! Apa yang kamu lakukan buat bantu aku? Hah? Tidak ada, kan?!"

Lili mencoba menahan air matanya. "Aku sudah mencari bantuan, tapi semuanya nihil."

"Sudahlah!" potong Zian tajam. "Kamu dan keluargamu hanya beban. Hidupku hancur sejak menikahimu!"

Seruan itu menggema di ruangan, menyisakan keheningan yang menyayat. Lili hanya bisa berdiri terpaku, air matanya kini mengalir pelan.

Zian mengambil jaketnya, lalu melangkah keluar rumah tanpa menoleh lagi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (4)
goodnovel comment avatar
Putri Fashion
bodoh banget jd istri sdh tau di hina msh juga bertahan
goodnovel comment avatar
semi ati
tinggalkan saja suami kayak gitu punya banyak hutang juga
goodnovel comment avatar
Lina Wati
aduuh lili udah d katain kaya gitu msh aja manggil sayang2 greget jadinya,ada ya mantu kaya gitu,,
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Gairah Sahabat Suamiku   259. Babak Belur

    Leo benar-benar merasa tenang, berada di tempat yang jauh dari keramaian kota. Heningnya udara pagi, hembusan angin yang begitu lembut, dan aroma tanah yang masih basah sehabis hujan semalam membuat dadanya terasa lebih lapang. Betapa tidak, setelah selama ini hidup di tengah hiruk pikuk kota, penuh tekanan, penuh kenangan buruk tentang James, kini Leo merasakan sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan, yaitu kedamaian dan ketenangan.Setelah begitu lama berada di luar rumah kayu itu, Leo duduk di sebuah bangku dekat danau, menatap hamparan bunga-bunga yang berwarna-warni, kupu-kupu berterbangan bebas, dan pegunungan hijau yang menjulang seperti lukisan alam yang terlalu indah untuk diabaikan. Semuanya terasa seperti dunia lain yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Leo bahkan merasa seolah tempat ini adalah pelarian yang diberikan semesta hanya untuknya.Namun, matahari kini sudah berada tinggi di atas kepala, pertanda waktu terus berjalan. Leo bangkit, kemudian melangkah masuk

  • Gairah Sahabat Suamiku   258. Resiko

    Rubby yang pernah melihat Damian dan tahu jika dia adalah sahabat dari James, kini menghampirinya, apalagi melihat gelagat Damian yang menurut Rubby perlu dicurigai."Om, dia sahabat James," Rubby memberitahu Lio. Suaranya memecah ketegangan yang sedang terjadi, setelah Damian mengatakan pada Lio tentang putrinya.Lio yang awalnya hanya menatap tajam tanpa ekspresi kini langsung menautkan keningnya menatap pada Damian. Nama James saja sudah cukup membuat Lio marah, apalagi mendengar pria yang berdiri di hadapannya adalah sahabat dari pria yang sudah menghancurkan hati putrinya.Damian sempat membuka mulut, bersiap mengatakan sesuatu, namun Lio langsung mengangkat tangan dan mengibaskannya seolah menepis keberadaan lelaki itu."Pergi dari sini!" bentaknya keras.Damian tidak berkutik. Ia tetap berdiri tegap, tidak menunjukkan tanda-tanda akan pergi. "Om, aku ingin memberitahu di mana Leo." Kata Damian, karena memang tujuannya pergi menemui kedua orang tua Leo memang untuk dimana gadis

  • Gairah Sahabat Suamiku   257. Memperkenalkan Diri

    Semua orang dipenuhi kecemasan. Suasana yang sebelumnya sudah tegang semakin menjadi tegang dan suram. Waktu terus berputar, namun tidak ada satu pun kabar dari Leo yang bisa meredakan kekhawatiran mereka. Nomor ponselnya tidak bisa dihubungi, membuat semuanya semakin cemas, tidak terkecuali dengan James.James berdiri tidak tenang, tangannya mengepal kuat hingga buku jarinya memutih. Pikirannya dipenuhi ketakutan. Bukan hanya karena ia telah mengkhianati Leo, tapi lebih karena ia tahu begitu rapuhnya Leo setelah kejadian itu. Dalam hati kecilnya, James takut Leo melakukan sesuatu yang nekat. Rasa bersalah kini terasa menyesakkan dadanya hingga James hampir sulit bernapas.Tidak jauh dari James, Lio berjalan mondar-mandir sambil sesekali mencoba menghubungi ponsel Leo lagi. Namun, jawaban yang ia dapat tetap sama. Nomor yang Anda tuju sedang tidak dapat dihubungi.Tatapan Lio kemudian beralih pada James, tajam, marah, dan penuh ancaman."Jika terjadi sesuatu pada Leo, kamu akan tahu

  • Gairah Sahabat Suamiku   256. Cemas

    Leo menatap pada Damian yang kini mengangkat telepon dan masuk ke dalam rumah kayu tersebut.Setelahnya Leo merebahkan tubuh kembali di rerumputan, lalu menatap bintang-bintang di langit yang berkilau indah. Udara malam yang sejuk dan segar dengan pemandangan yang mamanjakan mata sejauh Leo memandang. Membuatnya benar-benar merasa tenang. Ingin rasanya Leo terus berada di tempat tersebut yang jauh dari kebisingan kendaraan.Perlahan, kedua mata Leo terpejam, kantuk tiba-tiba datang menyerangnya, dan akhirnya ia tertidur pulas di bawah sinar bulan yang begitu terang.Damian yang baru kembali menghampiri Leo, mengukir senyum melihat gadis tersebut telah tertidur lelap.Tentu saja, Damian tidak membiarkan Leo tidur di ruang terbuka. Apalagi tiba-tiba awan gelap menutupi bulan, sepertinya hujan akan turun. Membuat Damian kini mengangkat tubuh Leo, dan membawanya masuk ke dalam rumah kayu tersebut.Baru juga Damian ingin merebahkan tubuh Leo diatas kasur, tiba-tiba gadis tersebut membuka

  • Gairah Sahabat Suamiku   255. Takjub

    Leo pasrah di bawa Damian entah ke mana. Intinya malam ini ia ingin melupakan masalahnya. Masalah terbesar yang ia alami selama hidupnya.Di sepanjang perjalanan, Leo sama sekali tidak menimpali apapun yang Damian katakan, meskipun Damian coba untuk mencairkan suasana. Leo tetap diam duduk di kursinya, sambil menatap jalanan yang di lewati mobil Damian.Sampai akhirnya, setelah mengendarai mobil cukup lama. Mobil yang Damian kendarai berhenti di sebuah halaman rumah kayu yang begitu khas."Kita sudah sampai, Leo." Kata Damian.Loe kini menatap pada Damian, karena pria itu membawanya entah ke mana. Yang Leo tahu, Damian menghentikan mobilnya di tempat yang begitu asing, hanya ada satu rumah kayu di tempat tersebut, yang di kelilingi pohon-pohon besar."Dimana ini?" tanya Leo ingin tahu.Damian tersenyum lalu menjawab. "Ini tempat yang akan membuat hati kamu tenang, Leo. Ayo kita turun," Ajak Damian."Tidak!" tolak Leo. "Aku ingin pergi ke tempat yang bisa menenangkan hatiku," kata Leo.

  • Gairah Sahabat Suamiku   254. Ikut Denganku

    Dengan kesal, Leo mengumpulkan semua foto James yang terpasang di setiap sudut kamarnya, tidak terkecuali foto pertunanganya dengan satu satunya pria yang Leo cintai.Air mata kembali mengaliri kedua pipi Leo yang mulus, kenangan indah bersama James selama ini, benar-benar ternoda setelah Leo menyaksikan sendiri pengkhianatan kekasihnya itu."Aku benci kamu, James. Benci!" Leo melempar foto James yang ada di tangannya. Hingga bingkai foto tersebut hancur berantakan.Setelahnya, Leo mengacak rambut dengan kasar. "Mbak!" teriak Leo sekeras mungkin memanggil asisten rumah tangganya. "Cepat kesini!" Teriaknya lagi sambil menghapus air matanya.Tidak berselang lama, salah satu asisten rumah tangga Leo masuk ke dalam kamar."Iya Nona, ada yang bisa saya bantu?" tanya asisten rumah tangga tersebut, sambil menautkan kening, melihat bingkai foto berserakan di dalam kamar majikannya tersebut."Buang semua foto ini!" perintah Leo menunjuk tumpukan bingkai foto yang berserakan."Kenapa di buang N

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status