MasukBisik-bisik pagi itu memenuhi koridor Rumah Sakit Gloria Medika. Para perawat, baik laki-laki maupun perempuan, sibuk membicarakan kabar terbaru—anak direktur rumah sakit itu dikabarkan telah kembali ke Indonesia dan akan aktif bertugas di rumah sakit keluarganya.
Namanya Isandro San Atticus. Sosok yang dikenal tegas, kompeten, ambisius, dan sedingin es. Tatapan matanya tajam, seolah mampu menelanjangi siapa pun yang berani menatap balik. Pria itu bukan hanya dokter bedah saraf, tapi juga pewaris tunggal Rumah Sakit Gloria Medika—posisi yang membuat namanya dibicarakan lebih banyak daripada pasien hari itu, karena akan menjadi penanggung jawab di masa yang akan mendatang. “Kenapa gak menetap aja sih jadi dokter di Singapura, kenapa masih balik ke sini lagi?” keluh salah satu perawat yang dulunya sudah pernah kena tegur Isandro karena datang terlambat. “Bener, mana katanya lebih galak dari bapaknya,” yang lain menyahut sambil bergidik ngeri membayangkan Isandro ikut andil mulai dari sekarang terhadap ketertiban rumah sakit. Yessa yang sejak tadi diam dan hanya mendengarkan rekan kerjanya bergosip, akhirnya membuka suara. “Kalau aku, justru lebih suka dengan dokter yang kompeten, ambisius, pekerja keras—ya, seperti dokter Isa itu. Galak. Aku lebih suka senior yang galak, supaya aku gak enteng,” sahutnya santai membuat rekan kerjanya mendengus pelan. “Mohon maaf ya, Yes. Di sini diantara kita bertiga, itu kamu yang paling suka telat datengnya,” imbuh Laras, salah satu teman baik Yessa. Sementara Ana, teman Yessa juga hanya menggeleng pelan. Ana cukup banyak tahu soal kehidupan Yessa di rumahnya, ia tahu kalau suami Yessa itu kelakuannya spek dakjal—maka dari itu dia tidak berkomentar lebih. “Bener, sih,” sahut Yessa sambil terkekeh pelan, “Semoga setelah ini aku gak enteng lagi, apalagi kalau dokter Isa bener-bener ambil alih rumah sakit dari direktur.” Laras memutar bola matanya malas dan melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya, “Aku ada jadwal kontrol pasien sekarang, aku ke sana dulu, ya? Nanti kalau mau makan siang jangan lupa hubungin aku.” “Oke,” sahut Ana singkat, lalu ikut duduk di sebelah Yessa yang terlihat kelelahan. “Gimana sama kaki kamu yang kena paku itu, udah sembuh?” Yessa menghela napas ringan. “Udah, kan udah dua minggu yang lalu.” “Ya siapa tahu kan, belum. Takut ada infeksi, soalnya kata kamu kemasukan pasir juga, kan?” Yessa hanya mengangguk pelan. “Gimana sama suami kamu, apa dia masih gak kerja?” tanya Ana lagi, penasaran. Yessa hanya mengembuskan napas pelan. Kaveer sudah mengatakan kalau dia tidak akan bekerja, dan menjadikan dirinya sendiri sebagai tulang punggung. “Kalau kayak gini, mending kamu tunda dulu buat punya anak. Kamu pikirin gimana caranya buat cerai dari dia. Terus nanti cari laki-laki yang lebih baik dari suami kamu itu, Yes,” Tak pernah ada habisnya Ana memberikan saran pada Yessa, namun itu tak semudah yang Ana bayangkan. Mengucap itu memang hal paling mudah, tapi ketika mengalami sendiri dia akan tahu betapa sulitnya. “Dulu dia gak gini, An. Aku yakin, suatu saat suami aku pasti berubah. Dia itu baik, baik banget malah. Tapi, aku juga gak tahu apa yang bisa bikin dia begini.” “Maaf, apa suami kamu main judol?” tanya Ana dengan suara berbisik agar tidak terdengar ke orang luar. “Judol? Judi online?” gumam Yessa dengan kening mengernyit, “Setahu aku nggak, An.” “Masa, sih? Tapi aku kok curiganya ke situ, ya?” Yessa hanya tersenyum kecil, menopang dagunya dengan telapak tangan sambil menatap tumbler hitam miliknya dengan tatapan kosong. Tiba-tiba tangan Ana terulur meraih tumbler hitam itu, “Ini tumbler kamu, kan?” “Iya, kenapa?” jawab Yessa sambil melirik Ana yang dengan santai meraih tumblernya. “Bagi air minumnya ya, tumbler aku ada di ruangan sebelah. Males mau ambil.” Ujar Ana seraya membuka sedotan yang sudah tersdia di tutupnya. “Eh, nggak!” Yessa langsung menariknya kuat, dan menjauhkannya dari jangkauan Ana. Ana tercengang, tak biasanya Yessa pelit pada air minumnya. "Lho, kenapa, Yes?" “Isinya bukan air mineral kayak biasanya, Yes. Tapi ini ada vitaminnya juga, vitamin B6. Maaf, ya?” balasnya sambil menyengir kuda. “Oh ...," Ana mengangguk paham. "Kamu masih kepengen hamil ya, Yes?" tanyanya penasaran. Yessa terdiam, lalu menghela napas ringan. "Ya, mau gimana lagi, An? Mamaku sama Mama mertuaku kepengen banget gendong cucu," ucapnya beralibi. Ana mengangguk paham dan tetap mengulas senyum tulus, "Semangat ya, Yes. Semoga kamu segera hamil, dan suami kamu segera bekerja dan ... berubah sikapnya." “Amin," balas Yessa cepat. "Kalau gitu, aku duluan ya, An.” Yessa langsung bangkit dari duduknya dan meninggalkan Ana seorang diri di dalam ruangan. Ana membalas dengan anggukan singkat, dan tersenyum miris. “Malangnya nasib kamu, Yes.” Sementara di luar sana, Yessa berjalan menyusuri koridor sepi sambil melirik sekitar dan buru-buru membuka tumblernya dan meneguk semua isi di dalamnya sampai tandas. Ia kemudian mendongakan kepala, memejamkan mata sejenak seolah ingin menghilangkan beban berat dalam hidupnya walau hanya sesaat. “Yessa!” “Hah?” Yessa terlonjak kaget begitu suara berat dan serak menyebut namanya dari belakang punggung. Ia buru-buru menoleh, bola matanya membulat ketika melihat Isandro—sosok yang menjadi bahan gosip pagi tadi sekarang ada di depan matanya. Pria tampan dengan jas putih itu menyeringai miring, “Ternyata benar kamu, saya kira salah orang.” Yessa hanya mengunggingkan senyum kecil, gugup. “A-ada apa, dok?” Isandro melipat kedua tangannya di dada dengan gerakan santai, “Mau tanya soal suami kamu. Bagaimana keadaannya sekarang? Sehat?” “Ba-baik, dok, sehat,” balasnya sambil mengulas senyum manis meski gelagapan. Sementara sepasang netra Isandro menyipit, menatapnya lekat-lekat dan membaca gerak-gerik Yessa yang seolah menyembunyikan sesuatu. “Ada masalah, Yes? Saya dengar, Kaveer tidak kerja sudah satu tahun? Berarti ... sejak saya berangkat ke Singapura, dia tidak kerja sampai sekarang, ya?” Yessa terhenyak. Ia tahu ini bukan sekadar basa-basi, ada hal lain yang ingin Isandro sampaikan padanya selaku sahabat sang suami yang sangat mengerti karakter Kaveer. “Belum dapat aja, dok. Dia kerja kok selama ini, apapun bakal dia kerjain selagi halal,” jawab Yessa berusaha tetap menjaga marwah suaminya meski dia sudah sering disakiti. Senyum tipis tersungging di wajah tampan Isandro, perlahan dia melangkah lebih dekat lagi membuat Yessa refleks mundur sampai punggungnya mentok di dinding. “Dok ....” serunya sambil menahan dada bidang Isandro. “Kamu kenapa?” tanya Isandro dengan suara beratnya, matanya tertuju pada manik mata wanita di hadapannya. “A-apanya, dok?” jawab Yessa gelagapan. Jarak ini sangat dekat, bahkan terlalu dekat sampai Yessa bisa mencium aroma mint yang menguar dari mulut Isandro. Napas hangat pria itu menyapu wajah cantiknya yang pucat karena gugup dengan posisi mereka saat ini. Isandro mengangkat satu tangannya, mencapit dagu Yessa dan mendekatkan hidung mancungnya yang mentereng itu ke mulut Yessa yang langsung ditutup rapat. “Buka mulut kamu, Yessa,” perintah Isandro dengan suara beratnya yang tegas. Yessa menggeleng pelan, mengatupkan bibirnya rapat. Sambil tangannya mendorong dada bidang Isandro dengan sangat kuat, tapi sayangnya tenaganya kalah. “Saya bilang buka, ini perintah senior kamu.” Isandro kembali memberi perintah, lebih tegas. Yessa merasa tak bisa lagi mengelak, ia akhirnya membuka mulutnya dan memejamkan matanya. Isandro mendekatkan hidungnya lagi ke mulut Yessa lalu bergumam pelan, “Alkohol.”“Si-siapa, El?” suara Shofia terbata, ingin memastikan kalau dirinya tidak salah dengar. Yessa. Nama itu, bukankah itu nama wanita yang menjadi selingkuhan Isandro? Seorang perawat di rumah sakit milik keluarga suaminya, dan sudah di-blacklist. “Yessa, tante,” ulang Ella lagi. “Intinya, Isandro bilang sama aku buat gak berharap sama hubungan yang ingin tante bangun antara aku sama dia.” “San bilang kalau dia udah punya pengganti Aurora. Dan wanita perawat itu, Yessa—kebetulan dia ada di sana.” “Waktu aku bahas soal aku sama San kedepannya, di hadapan Yessa. Tante tahu ...?” mata Ella kembali berkaca-kaca. Shofia hanya diam, menunggu kelanjutan ucapan Ella. “San marah sama aku, tante. San bilang ke aku, suruh aku jagat mulut—jaga bicara di depan Yessa. Siapa lagi kalau bukan dia?” suaranya bergetar karena kecewa. Kedua tangan Shofia meremat pakaian mahal yang dia kenakan. Jantungnya masih berdetak cepat, karena ternyata selama ini dia sudah bertemu dengan Yessa. Wanita y
“Jaga mulut kamu di depan Yessa,” Ella mengerutkan kening, matanya melirik antara Isandro dan sosok perempuan di belakang. “Kenapa dengan perawat itu?” tanyanya sinis. “Apa masalahnya? Sekarang urusannya aku sama kamu, bukan sama dia.” Udara di dalam mobil tiba-tiba terasa menegang. “Kamu harus tahu, kalau Yessa—“ Isandro hendak membuka suara, bibirnya sudah bergerak untuk mengatakan sesuatu yang jelas bukan untuk telinga Ella. Namun sebelum kata itu keluar, Yessa buru-buru menimpali, suaranya sedikit bergetar. “Dok, jangan berantem, ya? Mending mobilnya jalan dulu, nanti kita bisa telat ke klinik.” Isandro menatap Yessa sekilas lewat kaca spion tengah. Tatapan itu seperti sebuah pesan diam, tak ingin Isandro memberitahu hubungan mereka di masa lalu. Ia menarik napas panjang, menahan semua yang ingin diucapkan. Tangan kirinya kembali ke kemudi, dan tanpa kata lagi, mobil itu melaju perlahan di jalanan desa yang berdebu, meninggalkan suasana hening yang menyesakkan di antara
“Calon istri?” gumam Fika dengan kening mengernyit. Bukannya Isandro sudah punya istri? Dan istrinya melahirkan anak prematur? Tapi wanita di hadapannya ini mengaku sebagai calon istrinya. Apa Isandro sudah bercerai karena kehilangan sang anak, pikirnya. “Iya,” balas Ella cepat, penuh percaya diri. “Di mana kamar Isandro?” Fika langsung membawa pandangannya ke kamar Isandro yang terletak di sebelah kanan kamar Yessa. “Itu dia. Sepertinya dokter Isa lagi sarapan.” Ella mengangguk paham. “Saya ke sana dulu, ya? Terima kasih sudah memberitahu.” “Sama-sama,” balas Fika masih heran, seharusnya sebagai calon istri—Ella tahu di mana letak kamar sang calon suami. Begitu Ella berjalan meninggalkan Fika, dan hendak menuju kamar kos Isandro. Tepat saat itu juga, Isandro keluar dari kamarnya dan terkejut menemukan Ella di sana. “Ngapain kamu ke sini?” suaranya masih terdengar dingin dan menusuk. “Kita berangkat bareng ke klinik.” “Aku udah janjian dengan orang lain,” balas Isandro datar,
“Ah, maaf. Saya ... maksud saya, kalau kamu tidak suka tidak apa-apa. Em, mau saya cari nama lain?” tanya Isandro sedikit kikuk, karena menyarankan namanya mirip dengan nama Yessa. Fika sedikit tercengang, nama ‘Yessy’ yang direkomendasikan oleh Isandro sama sekali tidak buruk. Toh, aslinya kan ini memang anaknya Yessa. Isandro ingin mengumpat dirinya dalam hati, entah kenapa dia keceplosan memberikan nama Yessy karena membayangkan itu anak Yessa dan dirinya. Dia hampir gila rasanya. “Fika, mungkin ... panggil saja namanya Eci? Panggilan saja, kan? Kalau ayahnya suatu saat kembali, kamu bisa menggunakan nama pemberian ayah kandungnya.” Kata Isandro lagi. Fika langsung tersenyum lebar. “Gak, dok. Udah bagus kok. Yessy, terus panggilannya Eci, ya?” “Tapi ...,” Isandro menghela napas ringan, merasa tak enak. “Namanya sedikit mirip nama teman kamu, Yessa.” “Nggak apa-apa, ini kan juga anaknya Yessa. Kami berbagi. Anakku, anak Yessa juga, dan begitu juga sebaliknya,” balas Fika penu
“Mas Isa yang undang dokter Ella ke sini?” tanya Yessa sambil menatap wanita itu yang tampak mencari seseorang di klinik. Isandro menggeleng pelan, dia juga tidak tahu Ella datang dalam rangka apa. Tak ada pemberitahuan. Tapi setelah dipikir-pikir, ini pasti ada sangkutannya dengan sang ibu. “Buka kuncinya, Mas. Saya mau turun!” desis Yessa, suaranya dingin dan menusuk. “Mau turun ke mana?” “Saya mau pulang, saya capek dan butuh istirahat,” balas Yessa masih dengan nada dinginnya. Tapi lebih dari itu, dia ingin segera menemui anaknya dan menyusuinya. Tak mungkin dia terus membiarkan anaknya dirawat Fika yang sebenarnya masih butuh bimbingan psikologis. “Tunggu sebentar, biar saya turun dulu untuk menemui Ella,” kata Isandro sambil membuka pintu dan turun dari mobil. Namun dia tak tahu saja Yessa masih sama keras kepalanya. Saat Isandro menghampiri Ella, Yessa mengambil kesempatan untuk kabur. “El,” panggil Isandro pada mantan kekasihnya dulu itu. Ella menoleh ke sumber suara,
Ruang perawatan siang itu terasa lengang. Hanya suara detik jam dinding yang terdengar samar di antara aroma antiseptik dan cahaya putih dari lampu. Yessa duduk di kursi dekat meja administrasi, kedua tangannya menggenggam erat pulpen, tapi matanya kosong. Pandangannya tak benar-benar fokus pada berkas-berkas pasien yang tergeletak di hadapannya. Kata-kata Isandro terus bergema di kepalanya—‘Ada syaratnya.’ Nada suaranya terlalu tenang untuk diabaikan, tapi juga terlalu dingin untuk tidak membuat jantungnya berdegup cepat. Syarat? Apa yang dimaksud Isandro dengan, syarat? Yessa menggigit bibir bawahnya. Bayangan wajah pria itu terlintas jelas di benaknya—tatapan tajam, senyum miring yang seolah menyimpan sesuatu. Ia tahu, Isandro tidak akan pernah memberi sesuatu tanpa maksud tersembunyi. Entah kapan pria itu akan memberitahunya. “Yessa?” panggil salah satu perawat lain, membuatnya tersentak kecil. “Eh? Iya?” “Dari tadi kamu melamun. Ada pasien yang minta kamu ba







