Kegiatan kantor yang cenderung memuakkan terjadi sepanjang hari secara berulang, tidak melewatkan walau hanya satu pekerjaan dan tidak melupakan satu pun kebiasaan selama bekerja. Andai manusia memiliki remot kontrol otomatis berdasar pada aktivitas harian, Rana yakin basis data pada remot kontrolnya pun muak dengan ini semua.
Berjalan santai namun penuh ketegasan dalam setiap langkahnya, sesekali tersenyum simpul membalas sapaan sesama karyawan perusahaan. Kenal atau tidak kenal bukan lagi menjadi prioritas bagi Rana saat berada di lingkungan kerjanya, dalam pikir Rana hanya jika orang itu baik maka harus membalasnya dengan perilaku baik dan berlaku untuk hal sebaliknya. "Berkas sudah dibawa semua?" tanya Rana setelah berada di dalam lif menuju lantai bawah tanah untuk ke parkiran. Selepas makan siang, sisa hari yang seringkali menjadi waktu bermalasan bagi sebagian pekerja. Begitu pula dengan seorang wanita cantik yang berdiri di samping Rana, "sudah," jawab wanita yang akrab disapa Nifa. Wanita cantik yang bisa dikatakan menjadi satu-satunya rekan kerja Rana, namun juga yang dapat diandalkan dari divisi humas untuk bertugas keluar kantor. Bukan sebagai wakil, tapi hanya untuk menemani dan membantu Rana, seperti sekarang ini. "Sudah hubungi yang bersangkutan?" tanya Rana lagi sambil melangkah keluar dari lif, kembali berjalan cepat tanpa memikirkan temannya yang ia anggap pasti dapat mengikuti. Memeriksa ulang persiapan contoh produk yang akan dibagikan sebelum perilisan produk secara resmi, bekerja sebagai humas yang memerlukan jiwa sosial tinggi jelas berbanding terbalik dengan kepribadian Rana. Meski begitu, Rana menikmati kesengsaraannya, demi sesuatu yang memiliki nominal tinggi untuk mengisi rekening setiap bulan. "Sudah," jawab Nifa tetap mengikuti langkah Rana yang penuh kepercayaan diri, terlihat jelas dari setiap sentakan langkahnya yang tegas dan berani. "Ya sudah ayo," tukas Rana mendapat dehaman singkat dari Nifa sebagai tanda setuju. Ada kalanya pertemanan di kantor harus pada batas tertentu, profesional bekerja tidak memiliki alasan untuk memaklumi apapun, namun pasti memiliki segala alasan untuk konsekuensi yang terjadi. Sungguh suatu hal yang cukup melelahkan, "ah!" keluh seseorang terdengar menggema di parkiran bawah tanah yang sepi. Membuat langkah kaki Rana sontak terhenti dengan tangan kanannya terangkat, mengisyaratkan Nifa untuk berhenti melangkah dan diam. Menyipit mata kepala humas itu ke segala arah dengan bibir yang terkatup rapat, "bonyokin saja dulu bonyokin." Mengernyit Rana kala mendengar suara menggema itu lagi, yang kali ini tidak terdengar samar berkat kesiapan dirinya untuk mendengar segala suara di parkiran bawah tanah. Sekarang bukan jam istirahat makan siang dan sekarang juga bukan jeda bekerja, sepinya parkiran bawah tanah membuat suara itu terdengar jelas. "Kamu duluan saja ke mobil saya," ucap Rana menyerahkan kunci mobilnya ke Nifa, memberi perintah kecil pada rekan kerja yang kini ia posisikan sebagai asistennya. "Suamimu, ya?" bisik Nifa justru mendapatkan lirikan tajam dari Rana, membuat Nifa spontan tersenyum canggung lalu bergegas menuju mobil Rana. Terhela napas wanita muda itu melihat perilaku dasar manusia yang memiliki rasa ingin tahu pada segala hal, seringkali rasa ingin tahu yang melewati batas dan berakhir dengan kritisnya nilai kesopanan pada diri seseorang. Kembali melangkah pelan Rana menuju sumber suara yang berada di tangga darurat, titik yang menjadi salah satu akses keluar dari parkiran bawah tanah, suara menggerutu yang menyebalkan semakin jelas terdengar. "Mau objektif, kagak? Oi, mau objektif kag ...." "Kalil Nayaka," panggil Rana bersedekap dada tepat di belakang seorang pria, yang sedang bersandar di kerangka tangga besi seraya memainkan ponselnya. Spontan berhenti mulut pria itu berucap secara acak, namun tidak dengan jemarinya yang terus bergerak aktif, bahkan kepalanya pun tidak menoleh untuk menjawab panggilan, "Kalil Nayaka," panggil Rana sekali lagi sambil memejamkan matanya sejenak. Begitu muak, sangat muak rasanya menghadapi seorang pria dewasa yang tiba-tiba mengenal gim daring. Wajarkah untuk usianya sekarang? Atau normalkah seorang pria bersetelan formal memainkan gim daring, sambil duduk bersandar di besi kerangka untuk tangga darurat parkiran bawah tanah kantornya? Jelas tidak! "Apaan? Jangan ganggu dulu, gue lagi mabar," pungkas Kal menjawab pemilik suara yang sedari tadi memanggilnya, yang mungkin bahkan tidak ia ketahui, "perangin saja perangin," lanjutnya berbicara seorang diri tanpa sedikitpun mengalihkan pandangannya dari ponsel. "Entar kamu kena SP lagi, Kal," tegur Rana menahan kekesalannya menghadapi pria berstatus sebagai suaminya sejak enam bulan lalu. "Shh ... sudah diam saja, kerjaan gue di atas sudah ada yang urus," sahut Kal acuh tak acuh pada teguran Rana, sahutan yang tentu membuat Rana terpaku sesaat dengan segala kebingungannya. Hanya kebingungan sederhana, bagaimana bisa ada seorang pria dewasa kecanduan gim daring sampai ke lingkungan kantor? Dimana letak profesionalnya sebagai pekerja, bahkan sebagai kepala arsip seperti Kal? "Ya sudah terserah kamu," tukas Rana meninggalkan Kal lalu bergegas menuju mobilnya, dan melanjutkan pekerjaan yang lebih penting untuk dilakukan. Terus menghela napas sepanjang langkah menuju mobil, sesekali mengulum senyum untuk menyamarkan raut kekesalan yang mungkin ada. Sampai ia melihat mobilnya yang sudah menyala, bagi Rana kini sudah cukup rasa dan pikiran personal di lingkungan kerja, harus kembali pada jiwa profesional sebagai pekerja. Bruk! Pintu mobil tertutup kasar, mengejutkan seorang wanita yang sedang memainkan ponsel di jok penumpang sebelah pengemudi, "kaget aku, Ran," ucap Nifa pada rekan kerjanya yang hanya mengulum senyum masam dalam sekejap mata, "mau langsung, kah?" lanjutnya bertanya saat melihat Rana mengenakan sabuk pengaman. "Iya-lah. Taruh ponselnya, balik kerja," titah Rana menjawab, jawaban yang sangat memperlihatkan betapa hancurnya suasana hati seorang Kirana Zendaya. "Hm," deham Nifa justru mengulurkan ponselnya, menunjukkan percakapan grup tentang Rana dan Kal. Sontak, Rana mengambil alih ponsel Nifa dan membiarkan sang pemilik gawai kembali terkejut akan perilakunya. Membaca tiap pesan dari berbagai orang dengan nama kontak maupun yang tidak tersimpan kontaknya oleh Nifa, berbagai pendapat dan pemikiran tentang Rana menikah dengan Kal terus bergulir, sampai Rana menggerakkan jemarinya untuk menyusuri pesan terdahulu. Sebuah pesan rekaman suara ditekan Rana untuk diputar, celotehan dan tawa pria menjadi pembuka sampai suara Kal terdengar jelas, "baru juga SP-1. Gue yakin sih, entar bini gue pasti tolong karir gue. Cewek kayak Rana, gengsinya tinggi cuy, enggak mungkin dia mau punya suami pengangguran." Terdiam Rana memegang ponsel Nifa dengan pandangan lurus ke area parkir bawah tanah, sorot mata tajamnya dengan tangan hampir mengepal pada ponsel hingga mengkhawatirkan sang pemilik gawai. Walau banyak yang membicarakan sikap individualis Rana, banyak juga orang yang Rana tidak kenal, tapi di percakapan grup itu hampir semua membelanya. Apa artinya semua ini bagi nilai sosial? "Ran, aku dan semua orang di kantor ini sebenarnya penasaran. Kok bisa kamu yang enggak pernah bergaul, tiba-tiba nikah sama Kal yang dia memang sebanyak itu temannya?" ucap Nifa berhasil mengalihkan pandangan Rana ke arahnya perlahan, "terus juga ya kalau aku boleh berpendapat, kayaknya kamu memang harus bantu dia deh, Ran. Seorang kepala arsip yang jadi suami kepala humas judes dapat SP-1, itu sudah jadi gosip panas banget, jangan sampai dipanaskan lagi dengan kabar pemecatan Kal. Bisa habis kamu digoreng sama semua orang." "Kalau Kal memang enggak kompeten, biarlah perusahaan pecat dia. Dia memang suamiku, tapi bukan berarti aku harus nepotisme demi dia," sahut Rana sambil menyodorkan benda pipih di tangan untuk kembali ke pemiliknya, dan dengan acuh tak acuh pula ia bersiap untuk berkendara. "Tapi, Ran. Aku khawatir kam ...." "Sudahlah, jangan pusingkan urusan pribadiku," pungkas Rana memotong ucapan Nifa dan mulai melajukan mobilnya. Memangkas habis pembicaraan tentang Kal dan pernikahannya, bagi Rana kini biarlah urusan kantor memiliki tembok besar dan kokoh sebagai pembatas dengan urusan pribadinya.Bergegas Kalil menuju kamar mandi setelah memasang gembok pengaman di gerbang dan mengunci pintu utama, membuang air kecil, mencuci bersih tangan dan wajah sebelum tidur. Kebiasaan kecil Rana yang kini jadi bagian dari kebiasaan Kalil juga, berjalan ia ke kamar tidur dan menjumpai Rana yang sedang memegang botol susu Karsa yang sudah terlelap, "aku naik, ya?""Hm," deham Rana melihat suaminya yang bergegas menaiki ranjang perlahan, dan membaringkan diri di dalam selimut yang disingkap, "Bunda sudah pulang?""Sudah, naik mobil dari ojek daring."Mengangguk pelan Rana menanggapi suaminya, "tadi sore dia ke sini naik apa?""Diantar supir, tapi dia enggak mau telepon supir lagi buat jemput karena ini sudah malam." Mengernyit bingung Rana mendengarnya, aneh sekali mendengar sang Ibunda memahami arti kemanusiaan, "biar supirnya istirahat," tambah Kalil menduga Rana bingung dengan jawabannya."Hm," deham Rana lagi dan mengangguk acuh tak acuh, seraya berpikir kebenaran yang meragukan. Benark
Terdiam Angelica setelah berucap profesional sedemikian rupa di hadapan anak dan menantunya, begitu pula dengan Rana dan Kalil yang memilih tetap diam, semakin mempermudah hening yang memekakan telinga untuk menyelimuti dalam canggung dan bingung satu sama lain. Kalil dengan pekerjaan, Rana dengan persiapan diri untuk berhenti kerja dan hanya fokus pada keluarga, dan Angelica yang memikirkan pengganti Jessica, "Lagi pula, separah apa kondisi Kak Jess?""Kondisinya sangat berantakan," jawab Angelica usai terdiam sesaat untuk mempertimbangkan jawaban, haruskah menyembunyikan fakta dengan kebohongan demi menjaga kebaikan nama Jessica Danti? Ataukah lebih baik jujur demi ketenangan hati? Namun, apa yang harus dijaga dari sesuatu yang cepat atau lambat akan diketahui?"Berantakan gimana?" tanya Rana lagi menuntut penegasan dari jawaban Angelica.Bagi Rana, hubungan keluarga harus selalu terbuka dan jelas dalam hal apa pun, terutama kondisi kini kala Karsa dirawat Rana yang sedang hamil dan
Mengangguk Rana menyambut ujaran ibunya yang tidak menyenangkan hati, "meski begitu, kami juga mempertimbangkan pemahaman Rana tentang perusahaan yang pasti tidak dikenal sepenuhnya, tapi kami juga mempertimbangkan kecerdasan Rana beradaptasi dan pengalamannya di perusahaan lain. Karena itu, kami memutuskan agar kalian menjadi pimpinan dari dewan pengawas internal perusahaan," ujar Angelica membuat Rana terbelalak, sedangkan Kalil sontak menunduk dan berdeham.Tanpa banyak kata, Angelica tahu bahwa sejoli ini terkejut dan cemas. Namun, hasil pertimbangannya dengan para investor hanya dua, antara Rana jadi bagian dewan pengawas atau mengisi jabatan yang pernah ditempati Jessica dan Tomi. Pertimbangan sangat tidak mudah tapi tidak bisa disebut sangat sulit, mengingat besarnya bisnis yang dikelola."Apa enggak ada posisi atau hal lain yang memungkinkan?" tanya Rana mengusap kepala Karsa yang berambut amat tipis, mencari penenang dari hati yang semakin gelisah."Ada," jawab Angelica singk
"Bungsuku sebentar lagi jadi ibu," goda wanita hampir paruh baya setelah berkunjung ke rumah putri bungsunya, godaan yang terlontar begitu saja sambil melihat si bungsu yang sedang membuka blazer, "kamu masih kerja atau Kalil masih betah jadi pengangguran?" tanya wanita hampir paruh baya bernama Angelica Audreylia."Beberapa hari lalu sudah mengajukan surat pengunduran diri, besok konfirmasi terakhir sekalian berpamitan sama tim," jawab si bungsu bernama Kirana Zendaya, si bungsu yang sikap dan cara berpikirnya hampir serupa dengan banyaknya para kakak perempuan pertama. Bukan karena keberanian atau pembentukan karakter yang didapat dari orang tua atau sekolah, tapi karena kenyataan pahit yang memaksa dan melatihnya untuk tetap bisa bertahan hidup, "Kalil mulai kerja nanti awal bulan," lanjutnya melirik Angelica dengan kesal, lirikan yang menjadi hasil dari kekesalan terpendam."Berarti sudah disetujui perusahaan kalau mau berhenti?" tanya wanita hampir paruh baya yang berstatus sebag
"Hai, cucu eyang!" seru Guntur menyambut kedatangan Kalil dan Rana yang menggendong anak dari Jessica, pagi hari yang terbilang cerah sejalan dengan suasana hati semua orang, walau jelas terlihat hampir tidak sejalan dengan Rana yang hanya senyum canggung penuh rasa terpaksa yang jelas terlihat."Ayo masuk," ajak Angelica, ibunda Rana yang hampir setengah hidupnya untuk bermusuhan dengan Rana, hanya karena Rana terlihat lebih mirip dengannya baik dari fisik hingga sikap."Iya, Bu," kata Kalil mewakili Rana yang memang hanya diam setelah memaksanya memakaikan baju pada bayi Jessica, "Ayo, Sayang.""Hm," deham Rana acuh tak acuh, berjalan lebih dulu bahkan melewati sang ayah dan bunda, "Kak Jess!" teriaknya tiba-tiba setelah berada di ruang tengah, menidurkan bayinya di sofa untuk satu orang dan kembali berteriak memanggil."Shh," desis Kalil merangkul istrinya erat, "kenapa, Sayang? Akhir-akhir ini kamu gampang emosi, ya.""Ck, lepas!" tukas Rana menepis tangan Kalil dari bahunya dan m
Rasa malas begitu kuat, fisik yang rasanya seperti patah pada setiap sendi hingga lunglai, dan pikiran tetap terasa berat meski beban terbesar yang berasal dari Tomi telah selesai. Terduduk Rana di atas toilet dan mengulurkan tangan sedikit ke bawah untuk menampung air seni, mengikuti instruksi tertulis dari kotak alat uji kehamilan lalu menyelesaikan hajat.Penuntasan hajat yang seringkali tidak membutuhkan waktu lama, tapi tak jarang juga menghabiskan banyak waktu yang tak terduga. Terhela napasnya seraya mencuci tangan di wastafel kecil, beralih pandangannya pada sebuah stik yang memiliki indikator, stik yang kini bersandar santai di gelas kecil berisikan air seni pertama di pagi hari, dan stik yang kini Rana ambil untuk melihat hasilnya.Terdiam ia melihat layar digital yang menunjukkan hasil, mematung hanya melihat stik di tangannya yang perlahan gemetar takut dan gelisah, "Kalil Nayaka!" teriaknya memanggil."Kenapa, Ran?" sahut Kalil bergegas mendekati pintu kamar mandi dan men