Share

Gara-gara Uang Arisan Mertua
Gara-gara Uang Arisan Mertua
Author: Dwi Nella Mustika

Bab 1. Minta Lagi

"Mas, aku minta uang belanja dong. Stok lauk sudah abis di kulkas, hari ini aku mau beli ayam, kasihan anak-anak kalau sama telur terus makannya," ujarku pada Mas Dennis yang tengah mematut diri di depan cermin.

"Aku nggak ada uang, Han. Bukannya kamu sudah kukasih kemarin lima puluh ribu, dikemanain tu duit. Jadi istri jangan boros lah, sadar dikit kerja suamimu apa," protes Mas Dennis dengan raut wajah masam, aku bisa melihat gurat wajahnya yang masam dari pantulan cermin.

"Mas, kemarin aku nggak ada minta duit sama kamu. Kamu ngasihnya lima hari yang lalu, Mas. Itupun sudah kubelikan telur, kelengkapan bumbu, tahu, tempe, sayur, dan token listrik," protesku, tapi memang begitu kenyataannya.

"Halah ... udah pandai berbohong ya kamu sekarang. Yaudah goreng aja telurnya." Mas Dennis mengibas angin saat melewatiku. "Udah ah ... aku mau berangkat kerja. Lagian sok makan ayam segala, makannya pakai telur aja, lebih hemat. Aku yang kerja, malah kamu yang makan enak, 'kan lucu. Huuuh."

Dia berlalu tanpa memikirkan perasaanku. Dia mungkin tidak sadar jika aku sering mendapati struck pembelian makanan siap saji di dalam saku celana Mas Dennis ketika hendak mencucinya. Dan, makanan siap saji itu tidak pernah sekalipun nampak wujudnya dimataku. Mas Dennis juga tidak pernah makan malam di rumah sekitar sebulan ini, dia selalu beralasan sudah makan di rumah ibu selepas pulang kerja.

"Tapi, Mas ... " sergahku. Aku berusaha untuk menjelaskan, sisi lain juga ingin kedua anakku mendapatkan makanan yang lebih layak dan berganti menu makanan, belum selesai mengutarakan isi hati, Mas Dennis sudah lebih dulu memotongnya.

"Apalagi?! Bosan aku lihat kamu yang nggak pernah hemat. Selalu protes dan mengeluh!" Suara Mas Dennis mulai meninggi.

Detik kemudian, terdengar derap langkah seseorang. Aku sudah tahu siapa yang datang.

"Assalamu'alaikum, Dennis," salamnya. Aku sangat hafal suara itu. Siapa lagi kalau bukan ibu mertua. Dia pasti sudah melenggang masuk ke dalam rumah karena setiap pagi aku memang membukakan pintu biar udara sejuk di pagi hari lebih leluasa masuk ke dalam rumah.

"Waalaikumsalam, Bu," sahutku.

Ibu dan Mas Dennis berpapasan di ruang depan, langkahku pun ikut terhenti.

"Den, ibu minta uang untuk arisan 200rb yah, uangnya harus disetor nanti siang." pinta ibu sambil menengadahkan tangan ke arah Mas Dennis, anehnya dia menyunggingkan bibirnya ke arahku.

"Lho, Bu. Bukannya baru kemarin aku kasih uang arisan sama ibu, kok minta lagi?" protes Mas Dennis.

"Itu lain lagi arisannya, Den. Sekarang arisan gang komplek, cepatan sini uangnya. Kamu nggak mau 'kan jadi anak durhaka cuma gara-gara nggak ngasih ibu uang arisan. Ingat lho, surga kamu di bawah kaki ibu, bukan istrimu apalagi anak-anakmu.

Seperti terhipnotis, Mas Dennis pun dengan lancar mengeruk sakunya dan memberikan dua lembar uang seratus ribu pada ibu. Hatiku bagai disayat sembilu melihat kejadian ini. Bukan aku merasa iri dan dengki pada ibu, tapi dalam seminggu ini sudah tiga kali ibu meminta uang pada Mas Dennis untuk uang arisan.

"Udah ya, Bu. Dennis berangkat kerja dulu, doakan rezekiku semakin lancar." Mas Dennis pun meraih tangan ibu lalu mencium punggung tangannya dengan takzim.

"Iya lah, berkat doa ibu juga kamu sesukses sekarang, Den. Harusnya kamu banyak-banyak bakti sama ibu. Jangan kayak istrimu yang bisanya cuma nampung aja. Suruh kerja kek daripada di rumah terus," celetuk ibu.

"Iya, Bu. Dennis tahu itu."

Mas Dennis berlalu tak lama kemudian terdengar deru mesin motornya dan perlahan hilang dari pendengaranku.

"Heh, menantu nggak tahu diri. Jangan harap kamu bisa menguasai uang Dennis. Ingat ya, kalau tidak karena jerih payah ibu membanting tulang dulunya, tidak akan mungkin Dennis sesukses sekarang," celetuknya, aku hanya diam tertunduk. Mau dilawan bagaimanapun dia tetap mertuaku. Ibu tidak pernah mengajariku untuk melawan apalagi menjawab dengan kasar orang lebih tua.

Ibu mertua pun berlalu meninggalkan rumah dengan tampak sumringah. Daripada larut dalam kekecewaan aku pun bertolak ke dapur untuk memasak. Kebetulan kedua anakku masih tidur dengan lelap di kamar satu lagi.

Bukan aku yang tidak ingin bekerja, tapi keputusan resign bukan inginku pribadi. Mas Dennis yang menyuruhku resign agar fokus mengurus rumah tangga dan anak. Tapi nyatanya kini malah menjadi boomerang untukku. Sambil memanaskan minyak, tanpa permisi dan izinku bulir bening jatuh membasahi pipi. Teringat kejadian tadi pagi yang begitu memilukan. Aku bukan tidak mau bekerja, tetapi anak-anak dengan siapa sementara aku bekerja.

Selesai memasak aku meletakkan goreng telur dadar isi tahu dan sayur bening wortel di bawah tudung saji. Lalu kulanjutan berkutat dengan pekerjaan rumah lainnya, yaitu menyapu. Sembari menyapu ruang tamu tanpa sofa tamu ataupun karpet permadani, "Ma," panggil anak keduaku yang masih berusia 18 bulan namanya Almeer.

"Eh, adek udah bangun," sapaku, dia berjalan menghampiriku. Kusambut dia dengan berusaha senyum sumringah dibalik hatiku yang perih bagai disayat sembilu yang digoreskan oleh papanya anak-anak. Aku mengembangkan kedua tangan dengan posisi bertekuk lutut.

"Mandi yuk, Nak!" ajakku sembari terus menciuminya dan mengusap-usap bagian kepalanya.

"Iya," jawabnya dengan semangat hingga lesung pipi seperti ditusuk pena itu keliatan, dia mempunyai lesung pipi yang sama denganku. Hanya bedanya aku memiliki dua lesung pipi bulatan kecil kiri dan kanan. Sedangkan Almeer memiliki lesung pipi bulatan kecil sebelah kiri. Lainnya halnya dengan Haseena dia juga mempunyai dua lesung pipi tapi bulatannya lebih besar kurang lebih seperti Afgan Syahreza penyanyi terfavorit kaum hawa.

Setelah memandikan Almeer aku pun menyuapinya makan dengan telur dadar dan sayur bening wortel. Alhamdulillah, makannya sungguh lahap. Betapa tidak kami paling sering makan dengan telur ketimbang lauk yang lainnya.

Sebenarnya banyak kusyukuri ketika memilih fokus untuk mengurus rumah tangga dan terlebih anak. Usia Almeer memang masih 18 bulan tapi daya tangkap yang alhamdulillah bagus belum lagi dia bisa mengucapkannya secara langsung padahal aku melafalkannya satu ataupun cuma dua kali, meskipun hanya bagian belakang katanya saja.

Sebelum makan sudah kuajarkan berdoa sebelum makan, dengan sigap dia mengangkat kedua tangannya, meskipun hanya kata 'him' yang jelas dia ucapkan dari "bismillahirrahmanirrahim".

"Mama," suara panggilan berasal dari ambang pintu, putri sulungku bernama Haseena sudah bangun, dia berumur 3 tahun.

Ketika Haseena berumur 9 bulan aku positif hamil, padahal melahirkan Haseena melalui proses Cesar. Kenapa bisa hamil? Alasannya karena Mas Dennis melarangku untuk memakai KB, IUd dan sejenisnya sedangkan aku aku dia tidak bisa diajak kompromi bila urusan ranjang. Feelingku mengisyaratkan ini pasti 'jadi' dalam waktu dekat.

Dan ternyata memang benar, aku hamil mengandung Almeer, dengan perasaan campur aduk antara terima dan tidak. Mas Dennis cumanya hanya bisa menanam saham, tapi ketika urusan mengasuh anak ataupun bergantian tidur, jangan harap dia akan mau.

Setelah memandikan Haseena dan menyuapinya makan. Kini kedua anakku sudah asyik bermain, mengambil gawai pipih di bawah bantal tidur yang sedari tadi tak kusentuh sama sekali dari bangun tidur selepas Subuh tadi. Aku berselancar di aplikasi berinisial I*. Fees story yang muncul pertama kali adalah akun online shop milik Hafizah, seketika muncul ide yang cemerlang dibenakku.

"Assalamu'alaikum, Fizah lagi sibuk nggak?" tanyaku ketika telepon sudah tersambung.

"Enggak begitu sibuk, kenapa Han?"

"Mau nanya, boleh nggak aku jadi reseller usaha outer kamu?" tanyaku pelan.

"Wah, Masya Allah, boleh banget malah Han." Terdengar sambutan riang dari Hafizah.

"Alhamdulillah, makasih banyak yah. Tapi ... sistem jualnya gimana, Zah?" tanyaku penuh rasa penasaran. Ini hal baru bagiku.

Setelah menelepon kurang lebih setengah jam dengan Hafizah akhirnya aku mengerti bahkan sangat paham bagaimana sistem penjualannya. Allah itu memang baik, di saat seperti Allah memberi jawaban dengan cara lain.

Tanpa menunggu lama, Hafizah pun mengirim beberapa foto outernya yang ready stok, tanpa mikir panjang aku pun memasang lewat status WA tentu saja kusembunyikan dari Mas Dennis dan rentetan keluarganya yang berteman denganku, termasuk rekan kerjanya, Mas Danang. Aku tidak ingin dia tahu dengan usaha jualan online ku ini.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status