共有

Opera

作者: Ismi Kawai
last update 最終更新日: 2025-03-16 16:51:15

Seperti biasa, Eva bersiap untuk pulang setelah menyelesaikan tugas. Ia memilih t-shirt dengan celana joger sebagai pakaian ganti. Sementara Steve sedang merokok di balkon kamar hotel. Eva mendekat hendak pamit. 

"Terima kasih, Eva," kata Steve dengan nada sombong sambil menghembuskan asap rokok. Maniknya menelisik penampilan Eva yang selalu tampak memukau dengan berbagai busana, bahkan dengan pakaian santai sekalipun. "Kau selalu bisa diandalkan untuk membuat malamku lebih menyenangkan."

Eva tersenyum tipis. "Ya, tentu saja, Tuan Steve. Ini tugas saya." 

Sebuah kata biasa yang seharusnya tidak mengganggu untuk Steve yang notabene memandang rendah para wanita penghibur, namun entah mengapa kali ini sedikit menyentil sanubarinya.

Steve mengangguk menutupi perasaannya itu, lalu Eva menambahkan, “Saya harus pulang sekarang, sampai jumpa.”

Wanita itu memutar tubuhnya berniat untuk segera pergi hingga ucapan Steve menghentikan langkah Eva. 

"Apa kau punya rencana untuk besok?"

Eva menoleh sambil mengernyitkan dahi, tidak yakin apa yang ingin dia dengar dari pria ini. "Saya belum yakin, Tuan Steve. Mengapa?"

"Aku … memiliki dua tiket untuk opera besok malam di Benaroya Hall," ucap Steve dengan nada seakan-akan semua orang pasti ingin menerima undangannya. "Kebetulan partnerku yang biasanya menemani sedang berhalangan. Aku pikir mungkin kau bisa menemaniku. Tentunya kamu tahu seberapa mahal harga tiket itu."

Eva sempat ragu. Dia tidak pernah menduga Steve akan mengajaknya melakukan sesuatu di luar pekerjaan mereka. Namun, setelah pertimbangan sejenak, dia menjawab dengan sopan, "Saya akan pikirkan, Tuan Steve."

Steve diam-diam melengkungkan bibirnya. "Bagus. Kutunggu keputusanmu, Eva."

Setelah Eva pergi, Steve menghela nafas dalam-dalam. “Aku hanya bersikap baik. Pasti dia tidak pernah menghadiri opera kelas atas karena profesinya itu,” gumam Steve masih saja mencemooh. Tanpa sadar ia akan termakan oleh kesombongannya. Hal itu disadari oleh Eva. 

“Sedikit lagi, dia akan terperangkap.” Eva mengulum senyum disepanjang perjalanan pulang. Eva meraih ponselnya dan mulai mencari informasi tentang opera yang akan mereka tonton besok malam.

***

BlackRiver

Keesokan harinya Steve mengatur jadwal sedemikian rupa agar nanti malam ia bisa menonton opera bersama Eva. Pria itu juga menyiapkan pakaian couple untuk mereka berdua. 

“Paul, tolong pesankan armani dan gaun untuk nanti malam lalu kirimkan gaun itu ke apartemen Eva.” perintah Steve seraya membaca berkas. 

“Baik Tuan,” sahut Paul patuh. Pria itu segera pergi untuk melaksanakan tugas.

Singkat cerita, malam pun tiba. Steve sudah siap dengan jas armani senada dengan gaun Eva. Pria itu meniti diri di depan cermin kamarnya sebelum keluar untuk menjemput Eva, namun belum ia keluar dari mansion suara ponsel terdengar. Sebuah notif dari Eva. 

[Maaf, Tuan Steve. Saya tidak bisa datang ke opera malam ini, sejak sore tubuh saya terasa sakit. Maaf sudah mengecewakan, Tuan. Dan gaunnya akan saya kembalikan.]

Steve tampak terkejut serta gusar. Sikapnya itu membuat Paul bertanya. 

“Ada apa, Tuan?”

“Kapan kau mengantar gaun ke apartemen Eva?”

“Tadi siang, Tuan. Pukul 13.00.”

“Dia tidak bisa datang, katanya sakit.”

“Sakit?” Paul mengerutkan kening berusaha mengingat penampilan Eva tadi siang. Paul merasa tidak ada yang aneh, Eva terlihat baik-baik saja. 

Steve menimbang-nimbang sejenak hingga akhirnya memutuskan untuk menelpon Eva. Bersamaan itu Paul mendekat hendak menyampaikan sesuatu, Steve memberikan isyarat agar Paul diam. 

[Halo?] suara Eva di seberang sana menerima panggilan. 

[Halo, Eva? Kau sakit?]

[Ya, sedikit tidak enak badan. Seluruh tubuh saya terasa lemas.]

[Apa … apa kau sudah makan? Kau menginginkan sesuatu? Sudah ke dokter?]

[Saya hanya butuh istirahat. Terima kasih atas perhatian Anda, Tuan.] Eva menolak perhatian Steve secara halus dan itu sedikit merendahkan harga diri Steve. 

[Aku hanya tidak ingin golden serviceku menjadi sia-sia.] Steve menggigit lidahnya karena hanya perkataan kasar yang terus keluar dari mulutnya. [Maksudku-]

[Saya mengerti Tuan Steve, saya pastikan besok saya sudah sehat kembali. Terima kasih dan selamat malam.] Eva menyela dan memutuskan panggilan. 

Steve mencengkeram ponselnya, menahan amarah yang dia bingung karena apa. Mungkin kecewa karena rencananya gagal begitu saja.

“Damn it!”

***

The Pink Door

Di malam yang sama, Eva menemui Bryan di restoran yang indah di pusat kota seattle. Dia tersenyum lebar begitu melihat Bryan, dan mereka berdua saling berpelukan singkat sebelum masuk ke dalam restoran. Ternyata, alasan Eva sakit hanyalah isapan jempol semata. Eva memang sengaja membatalkan undangan Steve untuk memberikan pria itu pelajaran sekaligus mempermainkan pria yang selalu menghinanya. 

"Terima kasih mau makan malam bersamaku," ucap Bryan sambil menarik kursi untuk Eva.

"Tentu saja," jawab Eva, tersenyum mempesona. "Kebetulan aku sedang lapar."

Mereka menghabiskan malam dengan percakapan yang menyenangkan dan makanan yang lezat. Setelah makan malam, mereka berjalan-jalan di sekitar kota, menikmati pemandangan malam yang indah.

"Aku tidak percaya Nona Eva lebih memilih makan malam bersamaku daripada pergi ke opera dengan Steve," goda Bryan sambil memandang Eva dengan tatapan penuh arti.

Eva tertawa kecil. "Aku hanya sedang malas dan … penasaran mengapa kemarin malam kamu tidak ikut bersenang-senang bersama kami?"

“Steve yang memutuskannya sendiri, memangnya Nona Eva tidak lihat waktu aku diusir?”

“Kenapa kamu mau diusir?” pancing Eva.

Mereka berdua saling bertatapan sejenak. Steve membuang muka lebih dulu dan melangkah ke depan. 

“Aku hanya menghormatinya sebagai orang yang lebih tua. Aku sudah menganggapnya sebagai Kakakku,” terang Bryan.

Eva menyeringai mengejek di belakang Bryan. “Begitukah, tapi apa dia menganggapmu sebagai adiknya? Atau hanya sebagai bawahannya yang rendah?”

Bryan mengepalkan tangan, hal itu tidak luput dari perhatian Eva. Eva menyentuh punggung Bryan dengan lembut. “Sejujurnya aku lebih suka kamu. Kamu lebih bisa menghargai wanita, bahkan wanita seperti aku.”

“Memangnya apa yang salah dengan Nona Eva?" tanya Bryan sedikit sentimen. 

“Panggil aku Eva. Ya … aku hanyalah seorang wanita penghibur yang mungkin kotor di mata kalian,” jawab Eva dengan senyuman miris. 

Bryan menggeleng cepat “Aku tidak pernah berpikir seperti itu terhadapmu. Aku menyukai … Eva. Aku belum pernah bertemu dengan wanita sepertimu sebelumnya.”

Eva menyipitkan mata dengan bibir yang terangkat. “Meski itu sebuah klise, tapi aku senang mendengarnya. Terima kasih, Bryan.”

Bryan menggenggam tangan Eva, menatap lamat wanita itu. “Aku bersungguh-sungguh. Aku ingin kita bisa menjadi lebih dekat diluar dari kontrak.”

“Apakah mungkin?” tanya Eva dengan matanya yang berbinar.

“Mungkin saja, kita lakukan perlahan-lahan.” Bryan meyakinkan.

“Ya, karena malam pun masih panjang.” sahut Eva mengiyakan.

Setelah percakapan mereka yang semakin mendalam, Bryan mengajak Eva ke apartemennya. Tidak ada paksaan di antara mereka, hanya kebersamaan yang mengalir begitu saja.

Di apartemen Bryan, mereka menghabiskan waktu dengan berbincang, menonton film, hingga larut dalam suasana yang nyaman. Tidak seperti malam-malam sebelumnya di mana Eva berusaha menjadi "Golden Service," kali ini ia merasa lebih bebas, tanpa tekanan.

Bryan memeluk Eva saat wanita itu mulai ketakutan menonton adegan seram dalam film. “Kau bisa menginap di sini,” ucapnya pelan.

Eva memandang, lalu tersenyum. “Baiklah. Tapi hanya tidur, tidak lebih,” ujarnya setengah menggoda.

Bryan terkekeh. “Tentu saja, aku bukan pria yang tidak tahu diri.”

Malam itu, Eva tertidur di kamar Bryan, sementara pria itu memilih tidur di sofa. Namun, sepanjang malam, pikiran dipenuhi oleh Eva. Wanita itu berbeda dari semua wanita yang pernah ia temui.

Keesokan harinya, sinar matahari bersinar melalui jendela besar apartemen Bryan. Aroma kopi dan roti panggang memenuhi ruangan. Eva melangkah keluar dari kamar dengan pakaian Bryan yang kebesaran, rambutnya sedikit berantakan, tapi tetap terlihat mempesona.

“Pagi,” sapanya sambil duduk di kursi bar dapur.

“Pagi, Eva,” jawab Bryan dengan senyum manis. “Atau… haruskah aku memanggil kekasihku pagi ini?”

Eva tertawa kecil. “Jangan terlalu berharap, Bryan.”

Mereka sarapan bersama, layaknya sepasang kekasih. Percakapan ringan, mengulangi penuh arti, dan tawa kecil yang membuat suasana semakin hangat. Bryan merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya, keinginan untuk memiliki Eva lebih dari sekadar fantasi satu malam.

Tbc.

この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード

最新チャプター

  • Godaan Kupu2 Malam   Sangkar Emas

    Sebuah ruangan sunyi dan luas, dipenuhi cahaya temaram dari lampu dinding berwarna kuning keemasan. Tirai beludru gelap ditutup rapat, menutupi panorama kota New York dari lantai atas apartemen mewah itu. Di tengah ranjang king size berseprai satin abu-abu gelap, Eva terbaring dengan napas teratur, tubuhnya masih telanjang di balik selimut tipis yang nyaris tidak menutupi apapun.Ia terbangun perlahan. Kelopak matanya terasa berat, dan otot-otot tubuhnya nyeri setelah pergelutan hasrat yang begitu panjang, hari yang penuh permainan, penaklukan, dan gairah yang melelahkan.Namun yang paling mengejutkan bukan rasa lelah itu. Melainkan... tempat ini.Eva menyipitkan mata, mengamati ruangan asing ini. Ini bukan ruangan khusus di kantor Steve. Ini jauh lebih personal. Lebih... intim.“Ini apartemen?” gumamnya pelan.Rasa panik seketika menjalari tubuhnya. Kabarnya selama ini, tidak ada satu pun wanita yang berhasil menembus tempat ini, tempat paling privat milik Steve Arnault. Semua intera

  • Godaan Kupu2 Malam   Obsesi yang Tak Disadari

    Hari sudah siang saat Eva bersiap untuk pulang. Ia berdiri di depan cermin di kamar Bryan, mengikat rambutnya, lalu merapikan kemeja pria yang ia pinjam. Bryan, yang bersandar di pintu, memperhatikannya dengan tatapan yang sulit diartikan.“Kau benar-benar cantik, bahkan dalam bajuku,” gumam Bryan dengan suara rendah.Eva meliriknya melalui pantulan cermin, lalu tersenyum tipis. “Dan kau benar-benar klise.”Bryan tertawa pelan, melangkah mendekat dan menyentuh pinggang Eva dengan lembut.“Aku serius. Aku rasa… aku mulai menyukaimu lebih dari yang seharusnya.” Diam-diam membaui aroma khas Eva yang memabukkan.Eva membalikkan badan, menatap Bryan sejenak. “Itu bukan ide yang bagus.”Bryan menghela napas, lalu mengangguk. “Ya, aku tahu. Tapi perasaan tidak bisa selalu dikendalikan, bukan?”Eva tidak menjawab. Ia hanya menyentuh wajah Bryan sekilas, lalu beranjak pergi.***Sementara itu…Steve duduk di dalam mobilnya, mengetuk-ngetukkan jarinya ke setir dengan gelisah. Setelah menerima pe

  • Godaan Kupu2 Malam   Opera

    Seperti biasa, Eva bersiap untuk pulang setelah menyelesaikan tugas. Ia memilih t-shirt dengan celana joger sebagai pakaian ganti. Sementara Steve sedang merokok di balkon kamar hotel. Eva mendekat hendak pamit. "Terima kasih, Eva," kata Steve dengan nada sombong sambil menghembuskan asap rokok. Maniknya menelisik penampilan Eva yang selalu tampak memukau dengan berbagai busana, bahkan dengan pakaian santai sekalipun. "Kau selalu bisa diandalkan untuk membuat malamku lebih menyenangkan."Eva tersenyum tipis. "Ya, tentu saja, Tuan Steve. Ini tugas saya." Sebuah kata biasa yang seharusnya tidak mengganggu untuk Steve yang notabene memandang rendah para wanita penghibur, namun entah mengapa kali ini sedikit menyentil sanubarinya.Steve mengangguk menutupi perasaannya itu, lalu Eva menambahkan, “Saya harus pulang sekarang, sampai jumpa.”Wanita itu memutar tubuhnya berniat untuk segera pergi hingga ucapan Steve menghentikan langkah Eva. "Apa kau punya rencana untuk besok?"Eva menoleh

  • Godaan Kupu2 Malam   Perselisihan

    Terlahir sebagai pemegang sendok emas serta dikarunia wajah bagai pahatan patung yunani membuat Steve selalu dikelilingi oleh wanita cantik. Hal itu pun membuat standarnya menjadi setinggi langit. Dari model, aktris hollywod hingga anak pejabat sudah sering menghangatkan ranjangnya. Tidak sedikit yang terus mengejar Steve agar bisa mengulang malam panas mereka. Sayangnya, Steve kurang antusias jika melakukan kembali dengan 1 orang yg sama. Tapi entah mengapa Eva menjadi pengecualian. Sejak pertemuan pertama, wanita itu berhasil mengambil perhatian Steve hingga ia tidak rela jika Eva melayani pria hidung belang lain. Mungkin ada sisi manusiawi yang mengakui jika pria sejenis dirinya adalah makhluk brengsek. Jadi, cukup dia yang brengsek serta Bryan sebagai anteknya. Manik biru itu menyusuri penampakan sosok yang tertidur pulas di atas sofa. Penampilannya sangat sederhana, hanya dengan kemeja kebesaran tanpa bawahan. Justru itu membuat Eva semakin menggoda. "Wanita ini, bukankah aku

  • Godaan Kupu2 Malam   Perasaan Aneh

    Terdengar suara pintu terbuka, bersamaan dengan itu tampak sesosok manusia yang berjalan gontai memasuki ruangan. Seolah tidak bertenaga ia ambruk begitu saja ke atas ranjang. Matanya terpejam menikmati lembutnya sprai yang baru diganti dengan harum lavender. Tidak lama tubuhnya bergetar pelan, samar kemudian terhenti. Seraya menghirup udara dalam lalu membuka mata, menatap langit-langit kamar. Entah apa yang ada dipikirannya, tersirat rautnya yang penuh beban.“Bertahanlah sedikit lagi, Eva,” gumamnya menguatkan diri. Sosok itu tidak lain adalah Eva yang baru saja pulang dari hotel tempatnya menghabiskan malam bersama Steve dan Bryan. Perjanjian sialan itu telah mengikatnya, tapi dengan perjanjian itu pula tujuannya mulai berjalan. Ia akan membuat 2 bajingan itu mendapatkan ganjaran atas apa yang telah mereka perbuat.Flashback OnMalam itu di bulan Januari salju turun menutupi setiap jalan di Seattle. Terlihat seorang wanita baru selesai bekerja paruh waktu di sebuah restoran cepat

  • Godaan Kupu2 Malam   Main Bertiga

    Sejenak Steve terdiam dengan paras Eva yang bisa dibilang unik. Cantik, tapi tidak pasaran. Cantik yang tidak membosankan. Tidak hanya itu, warna kulit Eva yang kuning langsat memberikan nilai plus untuknya. Eva menjadi semakin stunning dan menjadi pusat perhatian.Steve memindai sambil mencari celah cacat pada Eva, tapi tidak kunjung ditemukan. Sialnya, Eva malah terlihat eksotik di mata Steve. Pria itu lalu berkata, “Campuran Asia?”“Indonesia, lebih tepatnya.”“Di mana itu?” tanya Steve mulai tertarik. Samar-samar terhirup wangi yang cukup asing untuknya. Harum yang belum pernah ia temukan sebelumnya. Dan aroma itu menguar dari tubuh Eva.“Masih di belahan bumi, tentunya Anda pasti menaruh saham di sana,” jawabnya santai.Eva tidak memungkiri banyak penduduk USA yang tidak mengenal tanah kelahiran Ibunya. Eva pun hanya 1 kali menginjakkan kakinya ke tanah itu saat usianya 5 tahun. Ketika sang Ibu menghembuskan napas terakhir dan meminta untuk dikuburkan di sana sebagai pesan terakh

続きを読む
無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status