Share

Sangkar Emas

Author: Ismi Kawai
last update Last Updated: 2025-05-30 00:09:01

Sebuah ruangan sunyi dan luas, dipenuhi cahaya temaram dari lampu dinding berwarna kuning keemasan. Tirai beludru gelap ditutup rapat, menutupi panorama kota New York dari lantai atas apartemen mewah itu. Di tengah ranjang king size berseprai satin abu-abu gelap, Eva terbaring dengan napas teratur, tubuhnya masih telanjang di balik selimut tipis yang nyaris tidak menutupi apapun.

Ia terbangun perlahan. Kelopak matanya terasa berat, dan otot-otot tubuhnya nyeri setelah pergelutan hasrat yang begitu panjang, hari yang penuh permainan, penaklukan, dan gairah yang melelahkan.

Namun yang paling mengejutkan bukan rasa lelah itu. Melainkan... tempat ini.

Eva menyipitkan mata, mengamati ruangan asing ini. Ini bukan ruangan khusus di kantor Steve. Ini jauh lebih personal. Lebih... intim.

“Ini apartemen?” gumamnya pelan.

Rasa panik seketika menjalari tubuhnya. Kabarnya selama ini, tidak ada satu pun wanita yang berhasil menembus tempat ini, tempat paling privat milik Steve Arnault. Semua interaksi ‘profesional’-nya dengan wanita selalu terbatas di hotel mewah miliknya, atau ruang tersembunyi di kantornya. Tapi kini... Eva berada di tempat yang seharusnya tak bisa ia masuki.

Saat mencoba bangkit dari tempat tidur, tubuhnya limbung. Kakinya terasa lemas. Ia hampir jatuh kembali ke atas ranjang ketika sebuah suara terdengar dari arah kamar mandi.

“Kau sudah bangun,” ujar Steve, berdiri hanya dengan handuk putih melingkar di pinggangnya. Rambutnya masih basah, meneteskan air ke dada dan perutnya yang berotot. Sorot matanya berbeda, lebih lembut, tapi juga menyimpan sesuatu yang tidak terucapkan.

Eva menahan napas sesaat, lalu buru-buru menunduk. Rasa canggung menyelimutinya. Biasanya, ia tidak pernah merasa begini setelah tidur dengan pria. Tapi Steve... pria ini membuatnya merasa seperti sedang melanggar aturan yang tak tertulis.

Steve berjalan perlahan ke arah ranjang. “Kau kelelahan,” katanya datar, meski matanya menyapu tubuh Eva dengan penuh perhatian.

Eva mendesah pelan, menahan malu. “Aku... bisa pinjam kamar mandimu?”

Steve mengangkat satu alis. “Kau bahkan tidak bisa berdiri.”

Eva mengatupkan bibirnya. Ia tidak suka terlihat lemah, apalagi di hadapan pria seperti Steve. Tapi memang benar, tubuhnya belum sepenuhnya pulih. Ia tidak akan mampu berjalan sendiri.

“Kalau begitu, bantu aku,” katanya, lirih.

Tanpa berkata apa-apa, Steve mendekat dan dengan gerakan ringan, mengangkat Eva dalam gendongannya. Tubuh telanjang Eva bersentuhan dengan dada hangat Steve. Eva menahan napas, wajahnya memerah.

“Kurasa ini bukan yang pertama kali,” gumam Steve, namun nada suaranya terdengar terlalu lembut untuk disebut sarkas.

Eva melirik wajah pria itu dari jarak dekat. Ini bukan sekadar permainan kekuasaan lagi. Ada yang berubah. Entah perasaan, obsesi, atau... luka lama yang terbuka kembali. Eva tahu, dia sedang masuk terlalu dalam.

Steve membawa Eva masuk ke kamar mandi luas yang dipenuhi marmer hitam dan emas. Ia meletakkannya perlahan di dudukan toilet, lalu berdiri membelakangi Eva untuk memberinya privasi.

Eva menatap punggung Steve, lalu menunduk dalam diam. Ketika semuanya selesai, Steve kembali mengangkatnya tanpa diminta.

“Kau bisa istirahat lagi. Aku akan buatkan teh panas untukmu.”

Eva hampir tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. ‘Teh panas?’ Steve Arnault, pria yang tidak pernah mempedulikan kenyamanan siapa pun selain dirinya sendiri... ingin membuatkan teh?

“Apa ini semacam jebakan?” gumam Eva, lebih pada dirinya sendiri.

Steve tidak menjawab. Ia hanya meletakkan Eva kembali ke atas ranjang, lalu menarik selimut menutupi tubuh wanita itu. Sebelum pergi, tangannya menyentuh pipi Eva sebentar, jari-jarinya terasa hangat.

“Satu hal yang perlu kau tahu, Eva,” ujarnya, pelan namun tajam, “aku tidak pernah membawa wanita ke apartemen ini. Tidak satu pun. Kau... satu-satunya.”

Eva terdiam. Kata-kata itu menggema dalam benaknya.

Apakah ini bagian dari permainan? Atau... apakah Steve benar-benar mulai terikat secara emosional?

Eva tidak tahu jawabannya.

Tapi ia sadar, rencananya untuk membalaskan dendam dengan cara menggiring dua pria ini agar saling menghancurkan mulai terancam oleh perasaan yang tidak seharusnya tumbuh, baik dari Bryan... maupun dari Steve.

Dan jika ia tidak hati-hati, ia bisa saja ikut hancur bersama mereka.

***

Sebuah gaun hitam sederhana namun elegan tergantung di balik pintu lemari terbuka, berdampingan dengan sepasang sepatu berhak tinggi berwarna senada. Di atas meja rias, terletak kotak perhiasan kecil dengan logo sebuah brand internasional terkenal.

Steve telah menyiapkan segalanya.

Eva berjalan pelan, masih membungkus tubuhnya dengan selimut, lalu mulai berganti pakaian. Gaun itu pas sempurna di tubuhnya, seolah dibuat khusus untuknya. Ia mematut diri sejenak di cermin. Cantik. Terlalu cantik untuk sekadar makan malam biasa.

Ketika ia keluar dari kamar, Steve sudah menunggunya di ruang makan. Ia tampak santai dalam kemeja putih yang dilipat di lengan, dan celana bahan gelap. Di depannya, hidangan makan malam ala fine dining telah disusun rapi di atas meja panjang marmer hitam.

Steve berdiri. “Akhirnya bangun juga, Sleeping Beauty.”

Eva tersenyum tipis. “Sepertinya saya terlalu lelah… melayani Tuan.”

Steve menarik kursi untuknya, sopan dan tenang. “Aku suka melihatmu dalam pakaian itu.”

Eva duduk, menyilangkan kaki dengan anggun. “Kau selalu suka mendandani mainanmu?”

Steve tertawa ringan, tapi matanya tajam menatap Eva. “Tidak. Hanya yang special saja.”

Pelayan datang membawa anggur dan menu utama. Malam terasa lebih seperti kencan daripada transaksi.

Selama beberapa menit, mereka makan dalam keheningan. Steve tampak menikmati makanannya, sementara Eva mencuri pandang, mencoba membaca maksud tersembunyi di balik semua perlakuan istimewa ini.

Hingga akhirnya, Steve membuka suara. “Kau tahu, Eva… kupikir kita bisa membuat peraturan baru.”

Eva meletakkan garpunya perlahan. “Pengaturan seperti apa, Tuan?”

Steve menatapnya lurus. “Tinggalah di sini.”

Senyap.

Eva mengerutkan alis, berpura-pura tidak mengerti. “Maksud Anda?”

“Di apartemen ini. Pindah saja kemari. Aku akan mengatur semuanya. Tidak perlu kembali ke tempat tinggalmu sekarang. Anggap ini… perpanjangan kontrak dari layananmu. Tapi dengan fasilitas penuh, tanpa batas waktu.”

Eva mengedip pelan, mencoba menelaah sejauh apa pria itu serius.

“Dan tentu saja,” tambah Steve, suaranya sedikit lebih dalam, “aku akan membayar ekstra. Dua kali lipat dari yang biasa kau terima.”

Eva terdiam sejenak.

Ia tahu ini bukan permintaan biasa. Steve bukan hanya ingin tubuhnya. Pria itu menginginkan keberadaannya. Mungkin juga perhatiannya. Kendalinya.

Satu bagian dari Eva ingin menolak, menjaga jarak dari pria berbahaya ini. Tapi bagian lain, bagian yang lebih dingin, lebih penuh rencana. Eva tahu bahwa inilah celah masuk ke pusat kekuasaan Steve. Jika ia tinggal di sini, ia akan lebih dekat. Lebih mudah mengamati. Lebih mudah… menjatuhkan.

“Baik,” jawab Eva pelan. “Jika itu yang Tuan inginkan.”

Steve menatapnya lama, lalu mengangguk puas. “Kau tahu, aku selalu mendapatkan apa yang kuinginkan.”

Eva tersenyum kecil, menyembunyikan gejolak di balik matanya.

‘Kita lihat, Steve. Sampai sejauh mana kau pikir bisa mengendalikan aku?’

Tbc.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Godaan Kupu2 Malam   Sangkar Emas

    Sebuah ruangan sunyi dan luas, dipenuhi cahaya temaram dari lampu dinding berwarna kuning keemasan. Tirai beludru gelap ditutup rapat, menutupi panorama kota New York dari lantai atas apartemen mewah itu. Di tengah ranjang king size berseprai satin abu-abu gelap, Eva terbaring dengan napas teratur, tubuhnya masih telanjang di balik selimut tipis yang nyaris tidak menutupi apapun.Ia terbangun perlahan. Kelopak matanya terasa berat, dan otot-otot tubuhnya nyeri setelah pergelutan hasrat yang begitu panjang, hari yang penuh permainan, penaklukan, dan gairah yang melelahkan.Namun yang paling mengejutkan bukan rasa lelah itu. Melainkan... tempat ini.Eva menyipitkan mata, mengamati ruangan asing ini. Ini bukan ruangan khusus di kantor Steve. Ini jauh lebih personal. Lebih... intim.“Ini apartemen?” gumamnya pelan.Rasa panik seketika menjalari tubuhnya. Kabarnya selama ini, tidak ada satu pun wanita yang berhasil menembus tempat ini, tempat paling privat milik Steve Arnault. Semua intera

  • Godaan Kupu2 Malam   Obsesi yang Tak Disadari

    Hari sudah siang saat Eva bersiap untuk pulang. Ia berdiri di depan cermin di kamar Bryan, mengikat rambutnya, lalu merapikan kemeja pria yang ia pinjam. Bryan, yang bersandar di pintu, memperhatikannya dengan tatapan yang sulit diartikan.“Kau benar-benar cantik, bahkan dalam bajuku,” gumam Bryan dengan suara rendah.Eva meliriknya melalui pantulan cermin, lalu tersenyum tipis. “Dan kau benar-benar klise.”Bryan tertawa pelan, melangkah mendekat dan menyentuh pinggang Eva dengan lembut.“Aku serius. Aku rasa… aku mulai menyukaimu lebih dari yang seharusnya.” Diam-diam membaui aroma khas Eva yang memabukkan.Eva membalikkan badan, menatap Bryan sejenak. “Itu bukan ide yang bagus.”Bryan menghela napas, lalu mengangguk. “Ya, aku tahu. Tapi perasaan tidak bisa selalu dikendalikan, bukan?”Eva tidak menjawab. Ia hanya menyentuh wajah Bryan sekilas, lalu beranjak pergi.***Sementara itu…Steve duduk di dalam mobilnya, mengetuk-ngetukkan jarinya ke setir dengan gelisah. Setelah menerima pe

  • Godaan Kupu2 Malam   Opera

    Seperti biasa, Eva bersiap untuk pulang setelah menyelesaikan tugas. Ia memilih t-shirt dengan celana joger sebagai pakaian ganti. Sementara Steve sedang merokok di balkon kamar hotel. Eva mendekat hendak pamit. "Terima kasih, Eva," kata Steve dengan nada sombong sambil menghembuskan asap rokok. Maniknya menelisik penampilan Eva yang selalu tampak memukau dengan berbagai busana, bahkan dengan pakaian santai sekalipun. "Kau selalu bisa diandalkan untuk membuat malamku lebih menyenangkan."Eva tersenyum tipis. "Ya, tentu saja, Tuan Steve. Ini tugas saya." Sebuah kata biasa yang seharusnya tidak mengganggu untuk Steve yang notabene memandang rendah para wanita penghibur, namun entah mengapa kali ini sedikit menyentil sanubarinya.Steve mengangguk menutupi perasaannya itu, lalu Eva menambahkan, “Saya harus pulang sekarang, sampai jumpa.”Wanita itu memutar tubuhnya berniat untuk segera pergi hingga ucapan Steve menghentikan langkah Eva. "Apa kau punya rencana untuk besok?"Eva menoleh

  • Godaan Kupu2 Malam   Perselisihan

    Terlahir sebagai pemegang sendok emas serta dikarunia wajah bagai pahatan patung yunani membuat Steve selalu dikelilingi oleh wanita cantik. Hal itu pun membuat standarnya menjadi setinggi langit. Dari model, aktris hollywod hingga anak pejabat sudah sering menghangatkan ranjangnya. Tidak sedikit yang terus mengejar Steve agar bisa mengulang malam panas mereka. Sayangnya, Steve kurang antusias jika melakukan kembali dengan 1 orang yg sama. Tapi entah mengapa Eva menjadi pengecualian. Sejak pertemuan pertama, wanita itu berhasil mengambil perhatian Steve hingga ia tidak rela jika Eva melayani pria hidung belang lain. Mungkin ada sisi manusiawi yang mengakui jika pria sejenis dirinya adalah makhluk brengsek. Jadi, cukup dia yang brengsek serta Bryan sebagai anteknya. Manik biru itu menyusuri penampakan sosok yang tertidur pulas di atas sofa. Penampilannya sangat sederhana, hanya dengan kemeja kebesaran tanpa bawahan. Justru itu membuat Eva semakin menggoda. "Wanita ini, bukankah aku

  • Godaan Kupu2 Malam   Perasaan Aneh

    Terdengar suara pintu terbuka, bersamaan dengan itu tampak sesosok manusia yang berjalan gontai memasuki ruangan. Seolah tidak bertenaga ia ambruk begitu saja ke atas ranjang. Matanya terpejam menikmati lembutnya sprai yang baru diganti dengan harum lavender. Tidak lama tubuhnya bergetar pelan, samar kemudian terhenti. Seraya menghirup udara dalam lalu membuka mata, menatap langit-langit kamar. Entah apa yang ada dipikirannya, tersirat rautnya yang penuh beban.“Bertahanlah sedikit lagi, Eva,” gumamnya menguatkan diri. Sosok itu tidak lain adalah Eva yang baru saja pulang dari hotel tempatnya menghabiskan malam bersama Steve dan Bryan. Perjanjian sialan itu telah mengikatnya, tapi dengan perjanjian itu pula tujuannya mulai berjalan. Ia akan membuat 2 bajingan itu mendapatkan ganjaran atas apa yang telah mereka perbuat.Flashback OnMalam itu di bulan Januari salju turun menutupi setiap jalan di Seattle. Terlihat seorang wanita baru selesai bekerja paruh waktu di sebuah restoran cepat

  • Godaan Kupu2 Malam   Main Bertiga

    Sejenak Steve terdiam dengan paras Eva yang bisa dibilang unik. Cantik, tapi tidak pasaran. Cantik yang tidak membosankan. Tidak hanya itu, warna kulit Eva yang kuning langsat memberikan nilai plus untuknya. Eva menjadi semakin stunning dan menjadi pusat perhatian.Steve memindai sambil mencari celah cacat pada Eva, tapi tidak kunjung ditemukan. Sialnya, Eva malah terlihat eksotik di mata Steve. Pria itu lalu berkata, “Campuran Asia?”“Indonesia, lebih tepatnya.”“Di mana itu?” tanya Steve mulai tertarik. Samar-samar terhirup wangi yang cukup asing untuknya. Harum yang belum pernah ia temukan sebelumnya. Dan aroma itu menguar dari tubuh Eva.“Masih di belahan bumi, tentunya Anda pasti menaruh saham di sana,” jawabnya santai.Eva tidak memungkiri banyak penduduk USA yang tidak mengenal tanah kelahiran Ibunya. Eva pun hanya 1 kali menginjakkan kakinya ke tanah itu saat usianya 5 tahun. Ketika sang Ibu menghembuskan napas terakhir dan meminta untuk dikuburkan di sana sebagai pesan terakh

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status