Share

Bab3 - Dalam ketegangan

Hari menunjukkan pukul 8:10, itu artinya kurang dari satu jam pesawat akan lepas landas. Tegang sekali, bukan hanya dirinya, tapi seisi mobil pun ikut dalam ketegangannya.

“Tenang Nda, waktu masih lama, paling sebentar lagi sudah tidak macet,” suara lirih Jiddan dari kursi depan menenangkan Inda yang gugup setengah mati.

“Memang ada apa sih di depan itu, ko sampai tidak bisa jalan sama sekali?” tanya mamah Inda yang duduk di sebelahnya. “Entah” lalu dijawab sama dengan supir dan umi Jiddan.

20 menit berada dalam kemacetan, akhirnya mereka terbebas dan melaju dengan cepat seperti anak burung yang di lepas dari sangkarnya.

“Oh ternyata truk angkutan barang yang mogok toh!” kata umi Jiddan, serempak sorot mata mereka tertuju pada truk yang di gerek dengan mobil lain di depannya.

***

Inda harus mempercepat langkahnya, ia hanya membawa 1 koper besar dan kecil untuk di bagasi dan 1 koper kecil lagi untuk di kabin, untuk mempermudah perjalanannya.

Lima orang tersisa yang mengantri di sana, syukurlah masih setengah jam lagi sebelum pesawat lepas landas, tapi dia harus cepat.

Ia berpamitan pada kedua ibunya, mencium tangan serta meminta ridho, juga kepada adik iparnya yang masih remaja. Terakhir, meminta ridho pada suaminya tersayang.

 Matanya mulai berkaca-kaca, ia cium punggung tangan suaminya dan memeluknya erat. Tidak ada kata-kata yang mewakili bahasa kasih mereka, yang ada hanya tatapan cinta serta kepercayaan yang mereka tanamkan dalam benak mereka masing-masing.

Ada rasa ragu dalam hati Jiddan untuk melepas sang istri, namun, cita-citanya pun harus tercapai, pernikahan bukanlah penghalang bagi diri mereka masing-masing. Karena itulah ia meyakinkan diri pada takdir, pada Sang Penentu jalan cerita.

“Do’akan aku ya mas? aku akan kembali untukmu, yakin itu mas!” desisnya lirih dengan terus menciumi bolak-balik tangan suaminya.

“Hati-hati sayang, do’a dan kasih sayangku akan terus menjadi pendampingmu,” balas lirih lelaki tampan nan bercahaya di hadapannya.

“Lekas berangkat, sisa dua antrian lagi di sana!” suruh Jiddan memecah kesedihan.

 Inda bergegas menuju boarding pass dengan senyuman termanis yang selalu ia tampilkan untuk orang-orang tercintanya, lalu melambaikan tangan pada mereka yang sudah berjarak jauh darinya.

***

Di balik jendela Fortuner yang menuju arah pulang, seseorang pemilik wajah bercahaya itu tengah memandangi pemandangan yang berjalan seiring mobil mereka melesak, ada rasa sesak karena telah merelakan istrinya pergi sendiri. Sementara amanah yang diberikan padanya, harus diemban sebagaimana abinya dulu memimpin.

‘Adakah suami yang seikhlas ini? Membiarkan istrinya pergi, bahkan untuk waktu yang lama, bukankah pernikahan harusnya telah menyatukannya?’ gumamnya dalam hati merutuki takdir juga keputusannya.

Ia pijat dahi dengan tangan kanannya, menyandarkan siku  ke arah jendela mobil sebagai sanggahan kepalanya. Ada rasa penyesalan yang membuncah dalam dadanya. Kini ia harus menghandle keduanya, antara amanah dan rumahtangga jarak jauhnya.

***

Chek in ke dua, bandara Soekarno Hatta.

“Mana bukti kamu masih jadi mahasiswa di universitas Mesir?” tanya sang petugas.

Inda terbelalak, melotot, sejak kapan ada pemeriksaan seperti ini?. Sambil ia mengobrak abrik koper kecilnya, mencari surat tasdik, bukti ia sebagai pascasarjana di sana.

“Tunggu sebentar ya pak?” sambil membuka ponselnya, ia akan mencari bentuk foto dari surat itu, karena ia meletakkan surat tasdik itu di koper bagasi.

Ia semakin panik, 20 menit lagi pesawat akan terbang.

“Bentuk foto bisa kan pak?” tanyanya mulai gemetaran.

“Memang tidak ada yang asli? Surat-surat penting seperti itu simpan di kabin, karena petugas berbeda-beda dalam memeriksa!” tegas sang petugas menasehati.

Orang-orang di sekitarnya memandanginya seksama, entah apa yang ada di benak mereka, mungkin kasihan, atau sebagiannya menggerutui kelalaiannya.

“Yang asli tidak ada pak, saya taruh di bagasi,” jawabnya melemah.

Sang petugaspun menuju meja chek in lain, menanyakan bisakah surat tasdik itu cukup diwakili dengan foto saja.

Inda semakin ketakutan, dadanya mulai berdegup cepat, jantungnya memompa tidak beraturan. Ia terus mengotak-atik ponselnya, karena ia lupa menaruh file tersebut di mana.

“Mana file fotonya?” pinta petugas berbadan tegap tinggi tersebut.

Pas berbarengan dengan pertanyaan tersebut Inda mendapatkan foto tasdiknya.

“I-ini pak!” jawab Inda tergugup sambil menyodorkan Iphonenya.

Helaan nafas panjang keluar dari mulut mungilnya, akhirnya ia terlepas dari ketegangan yang membuatnya masih bergetar sambil berjalan.

Diliriklah jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Kurang dari 15 menit lagi pintu pesawat akan ditutup.

‘Oh Allah... Tolonglah aku,' desisnya lirih sambil terus berlari kecil.

Lorong demi lorong sudah terlewati, chek in terakhir pun sudah ia labuhi. Akhirnya pintu pesawat itu ada di hadapannya, hanya beberapa orang yang belum masuk, termasuk dirinya dan orang-orang yang mengantri di belakangnya.

Penumpang telah memenuhi kursi-kursi pesawat, begitu juga dengan sahabatnya Rena yang sudah menunggu di sana sejak setengah jam lalu. Ia berjalan menghampiri kursi kosong di samping sahabatnya.

“Nda... Kenapa lama banget siiih! Pesawat sebentar lagi takeoff tau!” keluh temannya yang sudah duduk rapih di sana.

“Huuufff... Parah banget si emang kali ini,” Ia menghela nafas panjang sambil menaruh koper di  kabin pesawat. Kemudian ia menceritakan beberapa gangguan yang terjadi barusan.

13 jam lamanya mereka berada di atas awan, akhirnya burung besi raksasa itu akan landing tepat pada malam hari.

Pemandangan yang menakjubkan yang selalu disuguhkan oleh kota Cairo. Bangunan kotak yang dikhiasi pernik lampu terlihat dari ketinggian, bak ratusan kunang-kunang yang terhempas oleh angin lalu berhambur, beterbangan, mengerlipkan titik sinar yang mereka miliki. Sungguh sempurna.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status