Mereka sudah sampai pada permukaan pukul 09: 45. Suasana airport selalu ramai, mereka berdiri di area masjid hendak memesan uber. Namun belum berhasil mereka memesan uber, datang laki-laki paruh baya menawarkan tumpangan.
“Assalamu’alaikum,” bapak itu mengucapkan salam, dengan logat penduduk Mesir pada umumnya.
“W*'alaikumussalam,” jawab mereka sambil memandangi laki-laki paruh baya itu.
“Apa kalian mau naik taxi saya? Hanya 30 pound saja untuk kalian,” lanjut bapak itu menawarkan taxinya dengan bayaran yang kurang masuk akal, karena hanya separuh yang diminta dari harga biasa yang ditarifkan oleh supir taxi lain.
Inda dan Rena saling berpandangan, tidak yakin dengan bapak itu, mereka hanya tersenyum dan menolak halus tawaran laki-laki yang bertubuh tegap dan masih segar bugar itu.
“tenang, kalian jangan takut, saya Amu Isom, saya biasa memberikan tumpangan pada orang asing seperti kalian ko,” bapak itu meyakinkan mereka karena bukan hanya mereka yang pernah menolaknya, kebanyakan alasannya adalah takut dibohongi, diculik, diperkosa, lalu dibunuh, atau hal-hal buruk lainnya.
“Ini saya ada tulisan dari seorang bisnismen orang Indonesia, bisa kalian membacanya?” lanjut amu Isom sambil menyodorkan kertas kecil yang tertuliskan pujian dengan bahasa Arab dan bahasa Indonesia di kalimat ke dua yang berisi peringatan.
‘masyaallah Amu Isom orang yang sangat baik, hati-hati kalau dimintai pasport jangan mau’
Pesan yang tertuliskan di kertas kecil itu sedikit membuat mereka kebingungan. orang itu memuji, namun juga memberikan isyarat untuk berhati-hati.
Dibacalah tulisan itu berulang-ulang oleh Inda, memperhatikannya lamat-lamat, dan berdiskusi kecil dengan sahabatnya. Malam semakin larut, tidak mungkin mereka memesan uber sedangkan bapak itu masih berdiri di hadapan mereka, sudah menawarkannya beberapa kali pula.
“Oke Amu, kami naik taxi Amu,” akhirnya mereka memutuskan untuk mempercayai amu Isom tersebut.
“Mari ikuti saya,” langkah amu Isom pun diikuti oleh mereka. Tangan mereka saling menggenggam erat, mulut berkomat-kamit berdoa, karena keputusan mereka sungguh terlihat ceroboh.
Taxi yang mereka tumpangi mulai melesak meninggalkan wilayah airport, perjalanan malam memang indah seharusnya, namun perasaan mereka masih dibalut rasa takut pada supir taxi itu.
“Kalian ada pasport?” tanya sang supir memecah hening, dengan melirik kaca spion depan yang mengarah ke arah penumpang.
Inda dan Rena seketika tertegun, inilah aksi amu Isom yang tertulis di kertas kecil itu.
“Untuk apa Amu? Pasport kami susah diambil, karena disimpan di koper,” jawab Inda berbohong.
“Saya mau membeli rokok, dengan pasport harganya bisa diskon 50%,” beber amu Isom.
Namun Inda gagal mempercayai bapak itu, mengingat pesan di atas kertas kecil sana yang juga diperkuat dengan tanda tangan seorang bisnismen Indonesia tersebut di bawah catatannya.
“Maaf Amu, tidak bisa, kami sulit mengambilnya,” tolak Inda.
“Iya Amu, pasport kami ada di antara baju-baju di dalam sana,” sahut Enay membenarkan Inda.
“Kalau kalian tidak mau meminjamkan pasport, kalian turun dari mobil ini!” bentak supir paruh baya itu.
Mereka tersentak, pundak terguncang otomatis ke atas berbarengan, karena gebrakan sang supir pada setir di hadapannya. Sepertinya pengalaman amu Isom mendapati penumpang yang berbohong seperti mereka sudah terlalu sering.
Rena mulai menangis, tangannya dingin menggenggam tangan Inda, sangat ketakutan, Inda pun melakukan hal yang sama, ketakutan.
Perjalanan masih jauh setengah jam ke depan. Tidak mungkin mereka berdua turun di sana, daerah rawan kecelakaan karena kencangnya kendaraan melaju, tidak mungkin mereka mendapatkan tumpangan atau menunggu uber malam-malam hanya berdua. Terlebih mereka adalah wanita. Sangat berbahaya.
“I-ini Amu,” ucap Enay terisak sambil menyodorkan pasport miliknya.
Mobil yang mereka tumpangi kembali melaju. Hingga beberapa menit berjalan, bapak itu membelokkan setir ke suatu gang lalu berhenti di samping hotel besar.
Suasana yang sungguh sunyi, hanya beberapa mobil yang melintas di daerah sana. Ditambah lagi malam sudah larut. Kedua tubuh wanita itu mulai gemetar melihat aksi si supir yang mencurigakan, mulut mereka terkunci oleh rasa takut, tidak bisa berteriak bahkan berucap sepatah kata pun mereka sulit.
“Jangan takut, saya orang baik, kalian juga orang baik. Tolong percayai saya,” sang supir membuka pintu mobil dan mulai meninggalkan mereka.
Mereka pandangi kemana arah supir itu pergi.
“Buka kaca mobil Nay, hubungi PPMI!” dalam situasi seperti ini Inda mencoba untuk tetap tenang dan mulai mencari pertolongan pertama.
Dengan tangan bergetar, mereka masing-masing membuka ponsel dan menghubungi orang-orang terdekat. Mata Inda tidak lolos dari memandangi si supir yang ternyata memasuki sebuah supermarket yang hanya seling 2 rumah setelah hotel.
Beberapa menit berlalu, akhirnya supir itu kembali dengan membawa pasport milik Rena dan kantung plastik putih pekat tidak terlalu besar. Inda sudah berhasil membagikan lokasi terkininya kepada anggota keamanan PPMI melalui w******p sebelum akhirnya supir itu masuk ke dalam mobil
“Terimakasih,” ucap amu Isom santai mengembalikan pasport Rena dan meletakkan plastik putih itu di samping kirinya hingga memudahkan Inda untuk melongok ke dalam plastik yang memang tidak diikat sang supir.
‘hah? Obat? Kenapa membeli obat sampai harus memakai pasport segala?’ batinnya terheran melihat isi kantung plastik tersebut.
Dengan sengaja Inda menyenggol tangan Rena, memberi tahu apa yang ia lihat.
“Obat!” bisik Inda.
“Amu tadi beli apa?” tanya Rena pada sang supir yang sudah tidak tahan dengan situasi ini.
“Berhenti di mana kalian? Sudah hampir sampai nih,” Supir paruh baya itu terdiam sejenak tak menghiraukan pertanyaan Rena , yang padahal rumah mereka masih ada sekitar 10 menit.
DRRRRRTTTTTT... DRRRRRRRTTTTTT...
Ponsel Inda bergetar, seseorang menghubunginya melalui w******p. Sudah pasti itu adalah salah satu anggota keamanan PPMI yang merespon laporan mereka.
“Halo... Kasih tau info terkait mobil dan supir yang kalian tumpangi sedetil mungkin, kami sudah di dekat tempat kalian berada!”
DEG !
Suara itu...
Jum’at, 13 maret 2023. Acara akad dan walimatul ‘ursy akan dilaksanakan. Semua persiapan selama tiga minggu lalu telah berbuah pada hari ini.Koordinasi pengurus yang sangat solit hingga terlihat begitu memuaskan. Mulai dari pengaturan para santri, tata letak dekorasi, serta sususan acara telah siap dimulai pada detik ini.Acara sakral, yaitu pengucapan janji suci, akan segera dimulai. Para tamu agung mulai berbondong menuju masjid dengan pelataran yang sangan indah. Dikhiasi bunga-bunga cantik bernuansa putih hijau, kursi-kursi yang berjejer rapi berselimutkan putih, karpet merah yang terbentang Panjang hingga tangga masjid yang sudah di dekor lengkungan bunga di depannya sebagai tempat penjemputan mempelai wanita saat ijab qabul telah dilantunkan. Semua tersusun rapi dan sangat khidmat.“Jidan sudah siap?” tanya penghulu.“Insyallah siap,” jawabnya mantap.“Ankahtuka wazawwajtuka Inayatu Shalihah binti H. Hasan Asy-Syadzuli bi mahril madzkur haaaalan,”“Qobiltu nikahaha wa tazwijaha
“Sofi,” panggil Inda yang sangat mengerti apa yang sedang terjadi pada Sofia.“Ya Ka,” Sofia menoleh masih dengan wajah lesunya.“Dengarlah apa yang dikatakan oleh hatimu,” titah Inda tiba-tiba.Sofia hanya mengangguk lalu kembali berlalu.“Banyak yang menderita hatinya di rumah ini karena aku,” ucap Inda menyesal.“Kalau saja Ustadzah Inda saat itu tidak berterus terang memberitahu perasaan Kana pada Pak Kyai. Mungkin sampai kapanpun Kana akan terjerat oleh rasa yang membingungkan itu, dan menjadi benalu di rumah tangga Ustadzah. Karena untuk pergi dari pesantren ini pun Kana tidak mampu. Ternyata, cinta Kana pada pesantren ini, ketulusan Kana pada Umi dan Abi lebih besar dari apapun,”Inda terdiam, tertegun mendengar ucapan Kana.“Hingga akhirnya, Kana menemukan hikmah saat Kana berada di kampung. Seorang pria yang selama ini hanya sibuk dalam mempertaruhkan nyawa seseorang datang untuk menyatakan perasaannya dan telah berhasil membuka fikiran Kana dan memberi ruang padanya,”“Janga
“Tapi…”“Kenapa?”“Naya malu Pak Kyai,”“Malu pada siapa?”“Anak santri. Mereka belum mengetahui acara ini. Dengan pergi berdua seperti ini, Naya khawatir ini akan menjadi fitnah,”Jidan menghela napas memperbaiki posisi duduknya berhadapan dengan Naya.“Kana,” panggil Jidan.“Baik Pak Kyai,” sahut Kana yang muncul dari ruang keluarga.“Tolong kumpulkan semua pengurus disini sekarang,”“Sekarang Pak Kyai?” tanya Kana memastikan.“Ya,”“Nggeh Pak Kyai,” angguk Kana lalu bergegas keluar mengerjakan perintah Jidan.Naya terbelalak mendengar ucapan Jidan yang tiba-tiba memanggil semua pengurus untuk berkumpul disini. Keputusan itu, pasti karena ucapannya barusan yang merasa malu karena para santri belum ada yang tahu.“Pak Kyai?” suaranya lirih tak percaya.“Kita cukup memberitahu pengurus saja kan?”“Kenapa tiba-tiba begini Pak Kyai? Pak Kyai semakin membuat Naya malu,” ujarnya mengerucutkan bibir manisnya.“Siap-siap saja dengan tanggapan mereka nanti,”Mendengar kalimat itu, wajah Naya
Dua hari kemudian, kondisi bayi dalam kandungan Inda dinyatakan normal, dan sudah diperbolehkan pulang.Sore hari, Inda dan Jidan sudah sampai di halaman pesantren. Suasana yang tenang, beberapa kegiatan masih berlangsung. Ada yang sedang menghafal di gazebo, ada yang sedang gotong royong membersihkan kamar masing-masing, dan ada juga yang sedang mengikuti ekstrakulikuler karena hari ini adalah hari minggu, dimana kegiatan kesenian dijadwalkan pada hari itu sebagai waktu refreshing bagi para santri.Juga, di area lahan kosong yang terletak di samping rumah pengasuh terlihat Pak Maman sedang mengkordinasi para pegawai yang mulai merancang Pembangunan sebuah rumah yang akan dihadiahkan untuk Naya nanti.“Apa Naya sudah memilih desain interiornya Mas?” tanya Inda yang melihat-lihat area tersebut.“Dia masih melihat-lihat katalog yang diberikan arsitek kemarin Sayang,” jawab Jidan santai.“Assalamu’alaikum Ustadzah?” sapa para santri yang berlalu didekatnya dan tak lupa mereka menyalami J
Sungguh ingin ia mempertahankan sang mantan agar dapat kembali padanya. Sudah sejauh ini ia memperjuangkan sang kekasih, berharap masih ada ruang baginya untuk mendapat cinta yang selama ini telah ia pupuk hanya untuk wanita pemilik wajah anggun nan cantik, yang matanya mampu meluluh lantakkan hati yang memandangnya, yang senyumnya mampu meruntuhkan benteng pertahanan.‘In, siapa yang akan menutup luka yang tergores dalam di hati ini In? Aku masih menyayangimu bahkan entah sampai kapan. Bisakah kamu melihat itu In? aku akan selalu menunggumu’ Pemandangan di balik jendela bus menuju kota Jakarta terasa sedang mengiba ikut merasakan pilunya cinta seorang pria yang baru saja menerobos masuk dalam kehidupan sang mantan. Dengan penuh resiko dan bahaya.KLING KLINGPonsel Zein berbunyi. Panggilan dari Firhan sang wakil keamanan.“Halo assalamu’alaikum Han,”“wa’alaikumussalam Zein,” jawab Firhan tergesa. “Zein gawat Zein. Ada pengeroyokan antar kekeluargaan di distrik 10 Zein,”Zein terteg
TAK TAK TAKLangkah kaki terdengar gagah mendekat memasuki ruang tunggu.“Sofi. Bagaimana keadaan Kakak?” panik Jidan.“Kak Inda masih harus istirahat Kak,” jawab Sofia.Zein hanya melirik sinis pada Jidan dan Naya yang baru saja sampai di ruangan itu. Jidan melangkah sampai di depan Zein yang hanya duduk tak menghiraukan kedatangan Jidan.“Silahkan tinggalkan ruangan ini,” perintah Jidan pada Zein.Zein beranjak dari kursinya dan memandang tajam pada lawan bicaranya.“Jika kamu tidak bisa membahagiakannya. Lepaskan dia dari jerat hidupmu yang rumit itu!” ucapannya penuh penekanan dan mengintimidasi.“Apa hak kamu berbicara seperti itu hah?” cecar Jidan.“Aku. Tidak akan pernah menyerah untuk ini! Ingat itu!”“CUKUP!” teriak Sofia menghentikan perdebatan keduanya. “Jika masih ada yang belum selesai antara kalian, kenapa kamu meminta aku untuk memulai suatu hubungan Kak Zein? Kenapa?” derai air mata tak sanggup untuk dibendung. Kenyataan itu cukup menyakitkan bagi Sofia yang hanya menj