Beranda / Rumah Tangga / Hadiah Madu Untuk Suamiku / Bab5 - Santriwati itu bernama Naya

Share

Bab5 - Santriwati itu bernama Naya

Penulis: Junatha Rome
last update Terakhir Diperbarui: 2022-06-22 16:02:36

Di rumah umi, di meja makan, beberapa menu makan malam sudah lengkap tersaji. Hanya ada Jiddan, umi dan adik bungsunya di rumah megah itu. Ia kini tinggal bersama ibundanya, jika sebelumnya ia mengontrak bersama Inda di kawasan tak jauh dari pesantren.

“Ayo makan dulu Nang, Sofia,” seru umi Rukoyyah pada Jiddan yang duduk di sofa ruang tamu sedang membaca buku, dan adiknya yang sedang bersantai dengan ponselnya.

Mereka bergegas ke meja makan. Suasana terasa amat ganjil karena tidak adanya kyai Nur juga Inda yang sudah menjadi keluarga ini, kedua adik laki-lakinya pun tengah merantau di Jogja sejak 2 tahun lalu.

“Pondok putri bagaimana Nang? Semua baik-baik saja?” tanya umi di sela-sela makan.

“Aman Mi, Jiddan mendapat bimbingan penuh dari Pakde Khairul,” jawabnya diiringi suapan nasi ke mulutnya.

“Besok pagi mereka mengadakan acara pentas seni, dihadiri oleh beberapa guru,” jelasnya.

“Inda bagaimana? sudah menghubunginya belum?” tanya umi ingin mengetahui kabar menantunya.

“Belum ada balasan mi, tidak tau kenapa, terakhir mengabari saat transit di Dubai,” jawabnya kebingungan.

“Loh ko kamu diam saja Nang, hubungi temanmu yang di Mesir Nang, Istrimu sudah sampai rumahnya belum,” protes uminya.

“Mungkin HPnya lowbet Mi atau mereka memperbaharui nomor Mesirnya dulu,” ia mencoba berfikir positif, mendengar kekhawatiran uminya, ia pun ikut khawatir, namun ditepisnya perasaan itu.

***

Pentas seni.

Panggung acara yang telah didesain dengan beground lukisan abstrak berwarna-warni karya santriwati sudah terpampang di halaman sekolah. Begitu juga dengan bangku-bangku untuk para tamu undangan, telah tertata rapi beberapa meter dari depan panggung.

Di sela-sela acara yang sudah berlangsung setengah jam  sejak pukul 08:00, terhenti sejenak menyambut kedatangan sang kyai muda.

Ternyata Jiddan terlambat setengah jam dalam acara ini. Semua santriwati berbaris hendak menyalami Jiddan yang merupakan kyai baru mereka.

Dadanya berdegup kencang, ini adalah pertama kalinya ia menghadiri acara santri, bukan hanya ikut-ikutan dengan abinya seperti dulu. Namun, sekarang ia yang menjadi pusat perhatian, menggantikan posisi abinya, disalami oleh ratusan santri.

“Assalamu’alaikum pak Yai,” ucap beberapa santri saat bersalaman.

“W*’alaikumussalam,” ucapan-ucapan itu ia jawab dengan berwibawa, dengan senyum yang selalu ia tampilkan dihadapan santri-santrinya.

 Pandangannya terhenti pada satu santri yang berbeda cara bersalamannya dengan santriwati lain.

Ia memilih bersalaman dengan mengatupkan tangan tanpa bersentuhan sedikitpun dengan sang kyai, ia menundukkan pandangannya dan berlalu dari hadapan Jiddan.

‘Berbeda sekali!’ gumamnya takjub melihat satu santriwati itu, wajahnya bersih, alisnya tebal, manis sekali.

Deg!

Iya sudah berada di sofa panjang nan empuk berwarna cream ditemani oleh dua orang kepercayaan abinya. Sofa kehormatan yang dulu diduduki khusus untuk abinya, kali ini ia yang berada di posisi tersebut.

Tidak menyangka, ternyata bukan hanya duduk, namun membawa segenap tanggung jawab yang amat besar di sana. Membawa nama baik abinya sebagai sang kyai.

“Permisi pak Kyai, Ustadz. Silahkan diminum tehnya,” ujar santriwati yang sedang menyediakan teh di meja mereka.

“Terimakasih,” ucap Jiddan yang terkesima dengan wanita pemilik alis tebal itu. Sekilas pandang mereka bertemu.

“Santriwati itu Naya namanya, dia sudah 2 tahun mengabdi sebagai ketua pondok putri di sini,” celetuk pakde Khairul yang menyadari Jiddan memandangi wanita yang sudah meninggalkan meja mereka itu.

“Oh... itu ketua putrinya, selama ini saya hanya tau nama saja Pakde, belum pernah terjun langsung ke pondok putri,” beber Jiddan sambil menyeruput teh buatan santriwati itu.

“Manis,” celetuknya.

“Dia memang manis, tapi Pakde tidak punya anak laki-laki seumuran dia,” terkekeh memalingkan pernyataan Jiddan yang sebenarnya memuji teh yang ia minum.

“Eh? Maksud saya tehnya Pakde,” Jiddan langsung tertawa mendengar candaan Pakdenya, ustadz Hanan yang berada di sebelah kirinya pun ikut tertawa.

***

Di kamar yang cukup luas, sang kyai muda merebahkan dirinya di bad ranjang, bersantai sambil menunggu balasan dari sang istri. Matanya memandang ke arah jendela yang terletak di sebelah ranjangnya tersebut. Memandangi pepohonan yang menari seiring hembusan angin yang menerpa.

Kamar itu adalah kamar mereka berdua sebelum mereka mengontrak, meja rias  yang terletak di sudut kamar mengingatkan ia akan istrinya tercinta.

Menuliskan sebuah prinsip dan tujuan hidupnya di meja serbaguna itu, istrinya memang sangat perfectionis dalam menjalani hidup, bahkan jadwal hariannya pun ia tulis sedemikian rapi. Baginya, tanpa ada buku journal kehidupannya itu, hari-harinya akan terasa berantakan bagai orang yang berjalan tak tau arah.

Bayangan ia tengah memeluk istrinya dari belakang pun muncul seketika, kala istrinya sedang memandangi pepohonan di seberang jendela sana. Dengan rambut ikal panjang sepinggang mengenakan blous pink berbahan ringan nan lembut.

‘aku amat merinduimu Nda, juga harum lembut parfum ana sui dream yang selalu membalut tubuhmu, menebar di setiap pelosok kamar ini hingga aku melayang bersama ke indahan dirimu’ gumamnya membayangkan betapa indahnya kala bersama sang istri di kamar itu.

 Di ambillah botol parfum bulat berwarna pink di atas meja rias sang istri dan menyemprotkannya di udara.

‘lembut sekali, seperti dirimu, namun sangat berani’ gumamnya lagi dalam hati

Kling... Kling... Kling...

Pandangannya terarah kepada ponselnya yang berbunyi, tanda panggilan dari sang istri melalui messanger.

“Assalamu’alaikum Mas,” ucap Inda dari balik telpon.

“W*’alaikumussalam Nda, bagaimana keadaannya di sana? kenapa lama sekali mengabari?” pertanyaannya menandakan kekhawatiran pada sang istri tercinta.

“Maaf ya Mas. Setelah tiba di Mesir, banyak sekali masalah yang berdatangan Mas,” keluhnya.

“Masalah? ada apa? kamu baik-baik saja kan?” tanya Jiddan penasaran diiringi dengan rasa khawatir.

“Iya Mas, sejak di bandara...” Inda menceritakan kejadian-kejadian yang menimpanya pada perjalanannya kali ini.

“Astaghfirullahal ‘adzim,” Jiddan tertegun, merasa iba mendengar cerita sang istri di balik telpon tersebut.

‘apa semua itu terjadi karena ke tidak ridhoanku sejak dia berangkat ke sana? bahkan masalah itu bermulai sejak kami terkena macet di jalan menuju bandara?’ ia mulai merasakan bahwa penyebab kesulitan istri tercintanya itu karena perasaan tidak yakinnya pada Inda.

“Maaf kan aku Inda, sejak hari keberangkatanmu, hatiku selalu menolak seakan ingin berkata jangan, namun, di sisi lain, aku tidak ingin mengecewakanmu,” sesalnya karena telah membuat istrinya berada dalam bahaya.

“Mas, aku telah berjanji padamu, aku akan selalu mencintaimu, dan akan kembali padamu, yakinlah itu Mas,” kembali Inda meyakinkan sang suami.

“Bagaimana untuk aku yakin, sedangkan istriku tidak dalam penjagaanku,” ratapnya kembali menyesali perpisahan itu.

“Dalam do’a Mas, tolong jaga aku dalam do’amu, ridhoilah aku, maka segala langkah yang kutuju akan semakin mudah Mas,” pinta Inda yang juga menyadari kesulitannya karena tulah sang suami.

“Baiklah sayang, aku mencintaimu, jaga hatimu dan dirimu selalu,” memejamkan mata dan mengecup kening dalam bayangan. Dilakukan secara bersamaan dibalik benda pipih dalam genggaman tanpa disadari oleh ke duanya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Hadiah Madu Untuk Suamiku   Bab 90: TAMAT

    Jum’at, 13 maret 2023. Acara akad dan walimatul ‘ursy akan dilaksanakan. Semua persiapan selama tiga minggu lalu telah berbuah pada hari ini.Koordinasi pengurus yang sangat solit hingga terlihat begitu memuaskan. Mulai dari pengaturan para santri, tata letak dekorasi, serta sususan acara telah siap dimulai pada detik ini.Acara sakral, yaitu pengucapan janji suci, akan segera dimulai. Para tamu agung mulai berbondong menuju masjid dengan pelataran yang sangan indah. Dikhiasi bunga-bunga cantik bernuansa putih hijau, kursi-kursi yang berjejer rapi berselimutkan putih, karpet merah yang terbentang Panjang hingga tangga masjid yang sudah di dekor lengkungan bunga di depannya sebagai tempat penjemputan mempelai wanita saat ijab qabul telah dilantunkan. Semua tersusun rapi dan sangat khidmat.“Jidan sudah siap?” tanya penghulu.“Insyallah siap,” jawabnya mantap.“Ankahtuka wazawwajtuka Inayatu Shalihah binti H. Hasan Asy-Syadzuli bi mahril madzkur haaaalan,”“Qobiltu nikahaha wa tazwijaha

  • Hadiah Madu Untuk Suamiku   Bab 89: Harmonis

    “Sofi,” panggil Inda yang sangat mengerti apa yang sedang terjadi pada Sofia.“Ya Ka,” Sofia menoleh masih dengan wajah lesunya.“Dengarlah apa yang dikatakan oleh hatimu,” titah Inda tiba-tiba.Sofia hanya mengangguk lalu kembali berlalu.“Banyak yang menderita hatinya di rumah ini karena aku,” ucap Inda menyesal.“Kalau saja Ustadzah Inda saat itu tidak berterus terang memberitahu perasaan Kana pada Pak Kyai. Mungkin sampai kapanpun Kana akan terjerat oleh rasa yang membingungkan itu, dan menjadi benalu di rumah tangga Ustadzah. Karena untuk pergi dari pesantren ini pun Kana tidak mampu. Ternyata, cinta Kana pada pesantren ini, ketulusan Kana pada Umi dan Abi lebih besar dari apapun,”Inda terdiam, tertegun mendengar ucapan Kana.“Hingga akhirnya, Kana menemukan hikmah saat Kana berada di kampung. Seorang pria yang selama ini hanya sibuk dalam mempertaruhkan nyawa seseorang datang untuk menyatakan perasaannya dan telah berhasil membuka fikiran Kana dan memberi ruang padanya,”“Janga

  • Hadiah Madu Untuk Suamiku   Bab 88: kabar bahagia

    “Tapi…”“Kenapa?”“Naya malu Pak Kyai,”“Malu pada siapa?”“Anak santri. Mereka belum mengetahui acara ini. Dengan pergi berdua seperti ini, Naya khawatir ini akan menjadi fitnah,”Jidan menghela napas memperbaiki posisi duduknya berhadapan dengan Naya.“Kana,” panggil Jidan.“Baik Pak Kyai,” sahut Kana yang muncul dari ruang keluarga.“Tolong kumpulkan semua pengurus disini sekarang,”“Sekarang Pak Kyai?” tanya Kana memastikan.“Ya,”“Nggeh Pak Kyai,” angguk Kana lalu bergegas keluar mengerjakan perintah Jidan.Naya terbelalak mendengar ucapan Jidan yang tiba-tiba memanggil semua pengurus untuk berkumpul disini. Keputusan itu, pasti karena ucapannya barusan yang merasa malu karena para santri belum ada yang tahu.“Pak Kyai?” suaranya lirih tak percaya.“Kita cukup memberitahu pengurus saja kan?”“Kenapa tiba-tiba begini Pak Kyai? Pak Kyai semakin membuat Naya malu,” ujarnya mengerucutkan bibir manisnya.“Siap-siap saja dengan tanggapan mereka nanti,”Mendengar kalimat itu, wajah Naya

  • Hadiah Madu Untuk Suamiku   Bab 87: Ruang bunga

    Dua hari kemudian, kondisi bayi dalam kandungan Inda dinyatakan normal, dan sudah diperbolehkan pulang.Sore hari, Inda dan Jidan sudah sampai di halaman pesantren. Suasana yang tenang, beberapa kegiatan masih berlangsung. Ada yang sedang menghafal di gazebo, ada yang sedang gotong royong membersihkan kamar masing-masing, dan ada juga yang sedang mengikuti ekstrakulikuler karena hari ini adalah hari minggu, dimana kegiatan kesenian dijadwalkan pada hari itu sebagai waktu refreshing bagi para santri.Juga, di area lahan kosong yang terletak di samping rumah pengasuh terlihat Pak Maman sedang mengkordinasi para pegawai yang mulai merancang Pembangunan sebuah rumah yang akan dihadiahkan untuk Naya nanti.“Apa Naya sudah memilih desain interiornya Mas?” tanya Inda yang melihat-lihat area tersebut.“Dia masih melihat-lihat katalog yang diberikan arsitek kemarin Sayang,” jawab Jidan santai.“Assalamu’alaikum Ustadzah?” sapa para santri yang berlalu didekatnya dan tak lupa mereka menyalami J

  • Hadiah Madu Untuk Suamiku   Bab 86: Titik terang

    Sungguh ingin ia mempertahankan sang mantan agar dapat kembali padanya. Sudah sejauh ini ia memperjuangkan sang kekasih, berharap masih ada ruang baginya untuk mendapat cinta yang selama ini telah ia pupuk hanya untuk wanita pemilik wajah anggun nan cantik, yang matanya mampu meluluh lantakkan hati yang memandangnya, yang senyumnya mampu meruntuhkan benteng pertahanan.‘In, siapa yang akan menutup luka yang tergores dalam di hati ini In? Aku masih menyayangimu bahkan entah sampai kapan. Bisakah kamu melihat itu In? aku akan selalu menunggumu’ Pemandangan di balik jendela bus menuju kota Jakarta terasa sedang mengiba ikut merasakan pilunya cinta seorang pria yang baru saja menerobos masuk dalam kehidupan sang mantan. Dengan penuh resiko dan bahaya.KLING KLINGPonsel Zein berbunyi. Panggilan dari Firhan sang wakil keamanan.“Halo assalamu’alaikum Han,”“wa’alaikumussalam Zein,” jawab Firhan tergesa. “Zein gawat Zein. Ada pengeroyokan antar kekeluargaan di distrik 10 Zein,”Zein terteg

  • Hadiah Madu Untuk Suamiku   Bab 85: Rancu

    TAK TAK TAKLangkah kaki terdengar gagah mendekat memasuki ruang tunggu.“Sofi. Bagaimana keadaan Kakak?” panik Jidan.“Kak Inda masih harus istirahat Kak,” jawab Sofia.Zein hanya melirik sinis pada Jidan dan Naya yang baru saja sampai di ruangan itu. Jidan melangkah sampai di depan Zein yang hanya duduk tak menghiraukan kedatangan Jidan.“Silahkan tinggalkan ruangan ini,” perintah Jidan pada Zein.Zein beranjak dari kursinya dan memandang tajam pada lawan bicaranya.“Jika kamu tidak bisa membahagiakannya. Lepaskan dia dari jerat hidupmu yang rumit itu!” ucapannya penuh penekanan dan mengintimidasi.“Apa hak kamu berbicara seperti itu hah?” cecar Jidan.“Aku. Tidak akan pernah menyerah untuk ini! Ingat itu!”“CUKUP!” teriak Sofia menghentikan perdebatan keduanya. “Jika masih ada yang belum selesai antara kalian, kenapa kamu meminta aku untuk memulai suatu hubungan Kak Zein? Kenapa?” derai air mata tak sanggup untuk dibendung. Kenyataan itu cukup menyakitkan bagi Sofia yang hanya menj

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status