Share

Bab5 - Santriwati itu bernama Naya

Di rumah umi, di meja makan, beberapa menu makan malam sudah lengkap tersaji. Hanya ada Jiddan, umi dan adik bungsunya di rumah megah itu. Ia kini tinggal bersama ibundanya, jika sebelumnya ia mengontrak bersama Inda di kawasan tak jauh dari pesantren.

“Ayo makan dulu Nang, Sofia,” seru umi Rukoyyah pada Jiddan yang duduk di sofa ruang tamu sedang membaca buku, dan adiknya yang sedang bersantai dengan ponselnya.

Mereka bergegas ke meja makan. Suasana terasa amat ganjil karena tidak adanya kyai Nur juga Inda yang sudah menjadi keluarga ini, kedua adik laki-lakinya pun tengah merantau di Jogja sejak 2 tahun lalu.

“Pondok putri bagaimana Nang? Semua baik-baik saja?” tanya umi di sela-sela makan.

“Aman Mi, Jiddan mendapat bimbingan penuh dari Pakde Khairul,” jawabnya diiringi suapan nasi ke mulutnya.

“Besok pagi mereka mengadakan acara pentas seni, dihadiri oleh beberapa guru,” jelasnya.

“Inda bagaimana? sudah menghubunginya belum?” tanya umi ingin mengetahui kabar menantunya.

“Belum ada balasan mi, tidak tau kenapa, terakhir mengabari saat transit di Dubai,” jawabnya kebingungan.

“Loh ko kamu diam saja Nang, hubungi temanmu yang di Mesir Nang, Istrimu sudah sampai rumahnya belum,” protes uminya.

“Mungkin HPnya lowbet Mi atau mereka memperbaharui nomor Mesirnya dulu,” ia mencoba berfikir positif, mendengar kekhawatiran uminya, ia pun ikut khawatir, namun ditepisnya perasaan itu.

***

Pentas seni.

Panggung acara yang telah didesain dengan beground lukisan abstrak berwarna-warni karya santriwati sudah terpampang di halaman sekolah. Begitu juga dengan bangku-bangku untuk para tamu undangan, telah tertata rapi beberapa meter dari depan panggung.

Di sela-sela acara yang sudah berlangsung setengah jam  sejak pukul 08:00, terhenti sejenak menyambut kedatangan sang kyai muda.

Ternyata Jiddan terlambat setengah jam dalam acara ini. Semua santriwati berbaris hendak menyalami Jiddan yang merupakan kyai baru mereka.

Dadanya berdegup kencang, ini adalah pertama kalinya ia menghadiri acara santri, bukan hanya ikut-ikutan dengan abinya seperti dulu. Namun, sekarang ia yang menjadi pusat perhatian, menggantikan posisi abinya, disalami oleh ratusan santri.

“Assalamu’alaikum pak Yai,” ucap beberapa santri saat bersalaman.

“W*’alaikumussalam,” ucapan-ucapan itu ia jawab dengan berwibawa, dengan senyum yang selalu ia tampilkan dihadapan santri-santrinya.

 Pandangannya terhenti pada satu santri yang berbeda cara bersalamannya dengan santriwati lain.

Ia memilih bersalaman dengan mengatupkan tangan tanpa bersentuhan sedikitpun dengan sang kyai, ia menundukkan pandangannya dan berlalu dari hadapan Jiddan.

‘Berbeda sekali!’ gumamnya takjub melihat satu santriwati itu, wajahnya bersih, alisnya tebal, manis sekali.

Deg!

Iya sudah berada di sofa panjang nan empuk berwarna cream ditemani oleh dua orang kepercayaan abinya. Sofa kehormatan yang dulu diduduki khusus untuk abinya, kali ini ia yang berada di posisi tersebut.

Tidak menyangka, ternyata bukan hanya duduk, namun membawa segenap tanggung jawab yang amat besar di sana. Membawa nama baik abinya sebagai sang kyai.

“Permisi pak Kyai, Ustadz. Silahkan diminum tehnya,” ujar santriwati yang sedang menyediakan teh di meja mereka.

“Terimakasih,” ucap Jiddan yang terkesima dengan wanita pemilik alis tebal itu. Sekilas pandang mereka bertemu.

“Santriwati itu Naya namanya, dia sudah 2 tahun mengabdi sebagai ketua pondok putri di sini,” celetuk pakde Khairul yang menyadari Jiddan memandangi wanita yang sudah meninggalkan meja mereka itu.

“Oh... itu ketua putrinya, selama ini saya hanya tau nama saja Pakde, belum pernah terjun langsung ke pondok putri,” beber Jiddan sambil menyeruput teh buatan santriwati itu.

“Manis,” celetuknya.

“Dia memang manis, tapi Pakde tidak punya anak laki-laki seumuran dia,” terkekeh memalingkan pernyataan Jiddan yang sebenarnya memuji teh yang ia minum.

“Eh? Maksud saya tehnya Pakde,” Jiddan langsung tertawa mendengar candaan Pakdenya, ustadz Hanan yang berada di sebelah kirinya pun ikut tertawa.

***

Di kamar yang cukup luas, sang kyai muda merebahkan dirinya di bad ranjang, bersantai sambil menunggu balasan dari sang istri. Matanya memandang ke arah jendela yang terletak di sebelah ranjangnya tersebut. Memandangi pepohonan yang menari seiring hembusan angin yang menerpa.

Kamar itu adalah kamar mereka berdua sebelum mereka mengontrak, meja rias  yang terletak di sudut kamar mengingatkan ia akan istrinya tercinta.

Menuliskan sebuah prinsip dan tujuan hidupnya di meja serbaguna itu, istrinya memang sangat perfectionis dalam menjalani hidup, bahkan jadwal hariannya pun ia tulis sedemikian rapi. Baginya, tanpa ada buku journal kehidupannya itu, hari-harinya akan terasa berantakan bagai orang yang berjalan tak tau arah.

Bayangan ia tengah memeluk istrinya dari belakang pun muncul seketika, kala istrinya sedang memandangi pepohonan di seberang jendela sana. Dengan rambut ikal panjang sepinggang mengenakan blous pink berbahan ringan nan lembut.

‘aku amat merinduimu Nda, juga harum lembut parfum ana sui dream yang selalu membalut tubuhmu, menebar di setiap pelosok kamar ini hingga aku melayang bersama ke indahan dirimu’ gumamnya membayangkan betapa indahnya kala bersama sang istri di kamar itu.

 Di ambillah botol parfum bulat berwarna pink di atas meja rias sang istri dan menyemprotkannya di udara.

‘lembut sekali, seperti dirimu, namun sangat berani’ gumamnya lagi dalam hati

Kling... Kling... Kling...

Pandangannya terarah kepada ponselnya yang berbunyi, tanda panggilan dari sang istri melalui messanger.

“Assalamu’alaikum Mas,” ucap Inda dari balik telpon.

“W*’alaikumussalam Nda, bagaimana keadaannya di sana? kenapa lama sekali mengabari?” pertanyaannya menandakan kekhawatiran pada sang istri tercinta.

“Maaf ya Mas. Setelah tiba di Mesir, banyak sekali masalah yang berdatangan Mas,” keluhnya.

“Masalah? ada apa? kamu baik-baik saja kan?” tanya Jiddan penasaran diiringi dengan rasa khawatir.

“Iya Mas, sejak di bandara...” Inda menceritakan kejadian-kejadian yang menimpanya pada perjalanannya kali ini.

“Astaghfirullahal ‘adzim,” Jiddan tertegun, merasa iba mendengar cerita sang istri di balik telpon tersebut.

‘apa semua itu terjadi karena ke tidak ridhoanku sejak dia berangkat ke sana? bahkan masalah itu bermulai sejak kami terkena macet di jalan menuju bandara?’ ia mulai merasakan bahwa penyebab kesulitan istri tercintanya itu karena perasaan tidak yakinnya pada Inda.

“Maaf kan aku Inda, sejak hari keberangkatanmu, hatiku selalu menolak seakan ingin berkata jangan, namun, di sisi lain, aku tidak ingin mengecewakanmu,” sesalnya karena telah membuat istrinya berada dalam bahaya.

“Mas, aku telah berjanji padamu, aku akan selalu mencintaimu, dan akan kembali padamu, yakinlah itu Mas,” kembali Inda meyakinkan sang suami.

“Bagaimana untuk aku yakin, sedangkan istriku tidak dalam penjagaanku,” ratapnya kembali menyesali perpisahan itu.

“Dalam do’a Mas, tolong jaga aku dalam do’amu, ridhoilah aku, maka segala langkah yang kutuju akan semakin mudah Mas,” pinta Inda yang juga menyadari kesulitannya karena tulah sang suami.

“Baiklah sayang, aku mencintaimu, jaga hatimu dan dirimu selalu,” memejamkan mata dan mengecup kening dalam bayangan. Dilakukan secara bersamaan dibalik benda pipih dalam genggaman tanpa disadari oleh ke duanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status