LOGIN“Dek, Mama mau keluar sebentar. Jagain kasir, dan jangan bikin ulah!”
“Pergi ke mana, Ma?” “Lihat lokasi buat cabang cafe yang baru.” “Sendirian?” “Nggak, nanti sama Papa. Beliau langsung berangkat dari kantor.” “Oke, titip bungkus siomay di sebelah kampus ya, Ma.” “Iya, Mama pergi dulu. Ingat pesan Mama!” “Siap, Ma!” Begitu Mama meninggalkan kafe, aku langsung memanggil Safa yang sedang serius menatap laptop, sibuk menyusun makalah untuk presentasi minggu depan. “Safa!” panggilku sambil melongok dari balik meja kasir. Safa menoleh sebentar tanpa melepas pandangannya dari layar laptop. “Sini, Bee. Aku lagi males gerak. Kamu aja yang ke sini.” “Nggak bisa!” seruku cepat. “Aku lagi dipantau CCTV, Sa. Mama bisa lihat dari HP-nya, tahu!” Safa menatap ke arah kamera kecil di atas meja kasir. “Astaga, kamu diawasi kayak tahanan rumah, Bee.” “Ya makanya jangan suruh aku ninggalin meja kasir. Kalau ketahuan, aku bisa kena omel sampai besok pagi,” ujarku. Safa menghela napas panjang, lalu menutup laptopnya. “Oke, oke, Binar si kasir kece. Aku yang ke sana.” Aku tersenyum puas. “Nah, gitu dong. Sekali-sekali kamu yang jalan, biar kalorimu kebakar.” Safa berdiri sambil meraih gelas minumannya yang hampir kosong, lalu berjalan malas-malasan ke arah meja kasir. Langkahnya pelan seperti belum makan seharian. Begitu sampai di depanku, dia meletakkan gelasnya di meja dengan gaya sok misterius. “Oke, Bee. Siap-siap ya.” Aku mengerjap, menatapnya curiga. “Kenapa emang? Mukamu kayak mau ngumumin hasil ujian.” Safa mencondongkan tubuh sedikit, suaranya diturunkan setengah nada. “Pokoknya, jangan kaget dengar ceritaku.” Aku langsung berdiri tegak, refleks melirik kamera CCTV—takut suara Mama tiba-tiba terdengar. “Apaan, Sa? Jangan bikin deg-degan duluan, deh.” Safa menatap kanan-kiri dulu, memastikan tak ada pengunjung cafe di sekitar kami. Lalu dia bersandar di meja kasir dengan memasang ekspresi mirip host gosip. “Jadi gini, Bee,” bisiknya pelan. “Ternyata hubungan Dokter Naufal dan Alya itu nggak seindah yang dikabarkan di kampus.” Aku langsung mengerutkan dahi. “Maksudnya? Bukannya mereka pasangan paling heboh se-fakultas? Tiap minggu update foto couple di medsos?” Safa menggeleng pelan, bibirnya membentuk senyum miring. “Itu semua cuma pencitraan, Bee. Dari orang dalam, aku dengar kabar kalau justru Alya yang ngotot banget pengen nikah sama Dokter Naufal. Sampai-sampai dia minta bantuan ayahnya—yang notabene-nya adalah senior Dokter Naufal di rumah sakit Arfamed.” Aku membulatkan mata. “Serius?” “Iya,” jawab Safa, nada suaranya semakin rendah tapi makin semangat. “Awalnya Dokter Naufal menolak. Katanya dia belum mau menikah dan sudah jatuh cinta sama gadis lain.” “Gadis lain? Siapa?” tanyaku penasaran. Safa mengangkat bahu. “Belum tahu. Tapi yang jelas, nggak lama setelah itu, entah apa yang Alya perbuat—tiba-tiba Dokter Naufal setuju menikah.” Aku terdiam beberapa detik, menatap meja kasir yang kini terasa seperti arena pembongkaran rahasia besar. “Kamu pikir Alya ngancam dokter Naufal?” tanyaku pelan. Safa menatapku dengan tatapan penuh makna. “Kalau bukan ancaman, mungkin jebakan. Intinya, pernikahan mereka nggak diawali cinta.” Aku menelan ludah. “Astaga, berarti gosip yang selama ini kita dengan itu cuma topeng?” “Yup.” Safa menyesap minumannya lagi, lalu berbisik sambil menatapku lekat. “Dan aku curiga, gadis yang dulu disukai Dokter Naufal itu kamu.” “Isshhh, ngawur aja kamu, Sa!” seruku sambil menepuk lengannya pelan. Pipiku terasa panas entah karena malu atau karena tuduhannya terlalu berani. Safa malah terkekeh pelan. “Ah, kamu tuh emang nggak peka, Bee. Kamu kan cuek sama semua pria. Selama ini yang kamu lihat dan kejar cuma Om Kais. Jadi wajar aja kamu nggak sadar kalau ada yang diam-diam memperhatikanmu.” Aku mendengkus, tapi tak bisa langsung membantah. Kata-kata Safa pelan-pelan menggema di kepalaku. Benar juga, selama ini pikiranku memang penuh dengan satu nama: Om Kais. Setiap harapan, setiap rencana, bahkan setiap alasan buat tampil cantik aja—semuanya karena dia. Tapi… Dokter Naufal? Aku mencoba mengingat-ingat. Tatapan matanya yang tenang, senyum sopannya setiap mengajar, cara dia menanyakan kabar Mas Pandu ketika kami tak sengaja berpapasan di parkiran kampus… semuanya terasa biasa aja. Ramah, iya. Tapi tanda-tanda suka? Nggak ada. Aku menghela napas pelan sambil menatap Safa yang kini menatapku penuh arti. “Sa,” kataku lirih. “Kalau benar dokter Naufal suka sama aku, kenapa nggak pernah nunjukin apa-apa? Aku bahkan nggak ngerasa ada tanda sedikit pun.” Safa mengangkat bahu santai. “Mungkin dia sadar hatimu sudah penuh sama satu nama. Dan itu bukan dia.” “Terus, aku harus gimana dong, Sa? Aku nggak mau Alya nganggep aku saingannya. Aku nggak punya niat apa-apa sama Dokter Naufal, sumpah.” Safa langsung menatapku tajam. “Bee, kamu harus mengambil langkah strategis nih, sebelum dia bikin drama lebih parah.” “Apa maksudmu? Aku harus apa? Ngebela diri di depan semua orang?” tanyaku panik. Safa menggeleng cepat, lalu mendekat sedikit sambil berbisik. “Nggak, justru sebaliknya. Kamu harus bikin dia yakin kalau kamu nggak tertarik sama Dokter Naufal. Caranya cuma satu—” Aku menatapnya balik. “Apa?” Safa tersenyum jahil, matanya berkilat nakal. “Kamu rayu Om Kais biar mau jadi partner kondangan.” “Hah?! Aku udah ngajak Om Kais kondangan bareng, Sa. Tapi dia menolak. Nggak mungkin deh dia mau.” “Dengar dulu, Bee.” Safa mengangkat telapak tangan, menahan protesku. “Kondangan itu bakal jadi ajang paling pas buat memperjelas situasi. Begitu Alya lihat kamu datang bareng pria lain. Apalagi Om Kais yang elegan dan karismatik itu—dia bakal langsung menghapusmu dari daftar ‘rival cinta’ di kepalanya.” Aku masih tak yakin. “Sa, kamu tahu kan Om Kais kayak gimana kalau sama aku?” Safa menyenggol lenganku pelan. “Ayo lah, Bee. Kamu kan jago kalau soal ngeluluhin Om Kais. Kalau perlu kamu jelaskan saja masalah yang sedang kamu hadapi. Siapa tahu kan dia iba dan langsung menerima ajakanmu.” “Yah, mau gimana lagi? Baiklah, aku bakal coba rayu Om Kais biar mau jadi partner kondanganku,” putusku dengan nada setengah ragu. Safa langsung bersorak pelan dan mengangkat kedua jempolnya ke arahku. “Good job, partner in crime!” ujarnya penuh semangat. “Aku yakin kamu bisa bikin Om Kais luluh dalam lima menit.” Aku mendengkus, menatapnya datar. “Lima menit kepala kamu. Buat ngajak ngobrol aja kadang dia udah pasang mode dingin kayak kulkas dua pintu.” Safa terkekeh pelan. “Pokoknya, jangan menyerah! Aku lanjut ngerjain makalah dulu.” Dia melangkah kembali ke mejanya dengan wajah puas, seperti baru saja memenangkan taruhan besar. Begitu Safa duduk dan fokus lagi ke layar laptopnya, aku memijat pelipis sambil melirik kamera CCTV. Mama pasti masih mantengin dari ponselnya. Aku menghela napas panjang. Gimana caranya aku kabur dari sini tanpa ketahuan Mama, coba? Pandangan mataku menyapu seluruh kafe—dari meja kasir, dapur di belakang, sampai pintu samping yang biasanya cuma dipakai buat karyawan keluar buang sampah. Bibirku langsung menyunggingkan senyum tipis. Hmm… kalau aku pura-pura ngecek stok bahan ke gudang belakang, terus lewat pintu samping, mungkin bisa berhasil. Tapi belum sempat aku berdiri, ponselku bergetar. Notifikasi dari grup keluarga muncul. 📩Mama: “Adek, jangan kabur! Mama lihat kamu lagi nengok-nengok ke arah pintu belakang 😏” Aku langsung terlonjak kaget. Astaga! Mama, beneran memantau. Aku menghela napas berat. Tanganku menopang dagu, mataku menatap pintu keluar dengan tatapan penuh tekad. Entah bagaimana caranya, aku harus bisa keluar dari sini… dan ketemu Om Kais hari ini juga.Aku menatap Om Kais dengan mata membulat tak percaya. Bisa-bisanya dia menyebut cumi bunting kribo hasil karyaku itu siluman cumi!Dasar!Dia nggak tahu apa aku butuh perjuangan buat bikin ‘rambutnya’—motong tentakel satu-satu, tipis-tipis, biar tampilannya estetik. Eh, malah dikatai makhluk gaib!“Tuh kan! Makanya aku bilang jangan dibuka. Itu tuh sebenarnya buat aku sendiri, bukan buat Om!”Om Kais terkekeh, tampak sama sekali tidak menyesal. “Tapi kamu bawa ke sini.”“Ya karena… aku sayang hasil masakanku!” protesku cepat. “Aku pengen makan sendiri, bukan buat ditertawain kayak gini.”“Sayang hasil masakan?” godanya dengan nada geli. “Atau sayang pembuatnya?”Aku memutar bola mata. “Om, serius deh, itu cumi spesial. Aku udah bela mati-matian waktu Mama mau buang.”Om Kais menatap isi kotak bekal itu lagi, ekspresi takjub. “Bela mati-matian demi siluman cumi, ya?”“Bukan siluman!” seruku hampir meledak. “Itu seni kuliner! Konsepnya tuh avant-garde seafood—eksperimen visual yang belu
Srengggg! Aku langsung menjerit dan mundur terbirit-birit saat minyak panas dari wajan menyembur ke arah wajahku begitu potongan cumi masuk ke dalamnya. “Aw! Panas banget!” seruku panik sambil meniup punggung tangan yang ikut kena percikan. Bibi dan Mama yang baru masuk ke dapur langsung menjerit panik. Mereka bergegas memeriksa tubuhku, memastikan apakah ada bagian yang terkena minyak panas atau tidak. Heboh banget—padahal aku cuma mau menggoreng cumi bunting, tapi ujung-ujungnya dapur jadi kayak kapal pecah. “Astaga, Adek!” seru Mama cemas. “Untung wajah kamu nggak kenapa-napa,” lanjutnya dengan kesal. “Hehe, nggak apa-apa, Ma. Tadi cuma kaget aja,” jawabku sambil meringis. Sementara itu, Bibi langsung mengambil alih wajan, membalik cumi yang tadi aku goreng, lalu mengecilkan api kompor ketika melihat sayur di sebelahnya mulai mendidih terlalu kencang. “Lagian, ngapain sih sepagi ini udah bikin rusuh di dapur?” omel Mama sambil menatapku dari ujung kepala sampai kaki. “Biasa
“Tinggi banget sih, tapi kerempeng. Terus datar dan tepos, kurang menarik,” komentar Safa sambil menatap layar tablet dengan ekspresi menilai. Aku melirik sekilas ke arah layar, lalu menahan napas. Foto yang sedang kami lihat adalah akun media sosial milik mantan tunangan Om Kais—Rhea Adler. Perempuan blasteran Jerman-Indonesia yang dulu sempat jadi model majalah terkenal. “Kurang menarik apanya, Sa,” sahutku. “Dia cantik banget, kulitnya bening, matanya abu-abu. Model internasional, loh.” Safa mendengkus. “Iya, tapi kok vibe-nya dingin banget, ya? Lihat nih caption-nya—‘Elegance is when you make silence loud.’ Apaan sih? Kayak ngomong sama cermin.” Aku terkekeh pelan, tapi pandanganku masih terpaku pada foto-fotonya. Rhea terlihat sempurna di setiap jepretan—entah sedang di Paris, menghadiri pameran seni, atau sekadar duduk di cafe mahal dengan ekspresi datar tapi elegan. Safa mencondongkan tubuhnya. “Bee, kamu yakin nggak salah bersaing, nih? Mantan calon istrinya aja udah
Begitu mobil Om Kais keluar dari halaman, suasana rumah terasa sedikit lengang. Aku masih sempat melambaikan tangan sebelum akhirnya menutup pintu dan berbalik. Saat aku menoleh, Mas Pandu sudah berdiri di ruang tamu, menungguku untuk makan malam. Mas Pandu menepuk ringan bahuku. “Ayo, cepat ke ruang makan. Sebelum nasinya keburu dingin.” Aku mengangguk dan mengikutinya. Begitu duduk, aroma masakan langsung menyeruak. “Wah, wanginya bikin perut semakin keroncongan.” “Kamu tuh, kalau sudah urusan makan, semua masalah langsung beres aja, ya?” celetuk Mas Pandu sambil menuangkan jus melon ke dalam gelas. “Ya jelas,” jawabku santai sambil mengambil sendok. “Orang lapar nggak bisa mikir jernih, Mas.” “Dek—” panggilnya pelan. “Kamu tahu nggak, Mas Kais dulu sempat mau nikah?” Aku menoleh, sendok masih di tangan. “Serius? Baru tahu aku.” Mas Pandu mengangguk pelan. “Itu kejadian udah lama banget, mungkin hampir sepuluh tahun lalu. Waktu itu dia sudah tunangan, tinggal nunggu hari per
“Binar—”Baru saja aku hendak naik ke dalam bus, suara Om Kais terdengar dari belakang. Nada suaranya yang cukup tinggi membuat langkahku langsung terhenti di anak tangga pertama.Aku menoleh, dan di sana dia berdiri—dengan kedua tangan terlipat di dada, sorot matanya tajam.Aku turun lagi dan menghampirinya. “Ada apa, Om?”“Masuk mobil,” ujarnya singkat.“Lho, kenapa?”“Safa mana?” bukannya menjawab, Om Kais malah balik bertanya.“Tu, udah duduk manis di dalam bus,” jawabku sambil menunjuk ke arah sahabatku yang sedang mengintip dari jendela.Begitu sadar kami sedang membicarakannya, Safa langsung melambaikan tangan penuh semangat.“Suruh Safa turun. Kalian pulang bareng aku,” titah Om Kais.Selesai bicara, dia berbalik dan masuk ke dalam mobil lebih dulu. Bodyguard-nya segera bergerak, memasukkan carrier-ku ke bagasi mobil dengan sigap.Aku menatap punggungnya sejenak—sebelum akhirnya berlari kecil ke arah bus.“Safaaa!” panggilku sambil menepuk jendela bus. “Turun, cepat. Kita pula
Aku benar-benar tidak menyangka kalau Om Kais memutuskan ikut turun gunung dengan berjalan kaki. Soalnya, seingatku, dia belum pernah sekalipun mendaki—apalagi menuruni jalur seterjal ini. Jujur saja, aku sempat khawatir sesuatu bakal terjadi padanya.Bagaimanapun juga, Om Kais bukan orang sembarangan. Dia itu pemimpin besar—punya perusahaan, sekaligus direktur utama rumah sakit ternama. Bayangkan kalau sampai kakinya keseleo sedikit saja, bisa heboh satu kantor, bahkan satu kota!Aku memilih jalan di dekatnya, siap siaga setiap kali dia melangkah di medan berbatu.“Pelan-pelan, Om,” ucapku khawatir.Dia hanya menoleh sekilas dan tersenyum tipis. “Tenang aja, aku masih kuat.”“Iya, tapi kan Om mahal,” kataku cepat, membuatnya terkekeh pelan.“Mahalan kamu,” balasnya santai, menatapku sekilas dengan tatapan geli.Aku mencibir. “Ih, serius ini. Kalau Om kenapa-kenapa, aku bisa dimarahi seluruh tim medis rumah sakit.”“Tenang, Binar. Aku turun gunung bukan buat jatuh… tapi buat jaga kamu







