Malam pertama setelah pesta pernikahan itu terasa seperti neraka bagi Aisyah. Ia duduk di depan cermin besar, berusaha melepas konde yang terasa seperti belenggu di kepalanya. Gerakannya lambat, hampir tanpa tenaga. Wajahnya memucat, menahan rasa lelah dan kehinaan yang menghimpit.
Sulistyo berdiri di sudut ruangan, tangan terlipat di dada, matanya mengawasi Aisyah seperti seekor elang. Tatapannya tajam, dipenuhi kebencian yang tak berusaha ia sembunyikan. Aisyah tahu, pria itu tidak berniat menyembunyikan rasa muaknya terhadap dirinya. Namun, ia hanya bisa diam, tangannya gemetar saat mencoba membuka sanggul yang sudah membuat kepalanya nyeri. "Apalagi yang dia mau dariku?" batinnya, tapi ia tak punya keberanian untuk berkata sepatah kata pun. Sulistyo akhirnya angkat bicara, suaranya tajam menusuk. "Ini semua salahmu. Jangan bertingkah seperti korban." Aisyah terhenti sejenak, tapi tak berani berbalik. Ia hanya memejamkan matanya rapat-rapat. "Korban? Aku memang korban... Semua orang yang tahu tentang kejadian waktu itu juga pasti akan memihakku sebagai korban! Kenapa aku tetap disalahkan?" pikirnya, air matanya hampir jatuh. "Jangan pura-pura tidak tahu apa yang kau lakukan," lanjut Sulistyo dengan nada penuh cemooh. Ia mendekat, langkahnya berat dan mengintimidasi. "Bukan salahku jika aku hamil! Salahkan dirimu sendiri! Aku tidak akan hamil kalau kau tidak memerkosaku!" seru Aisyah dengan suara bergetar. Air mata terus mengalir dari matanya, membasahi pipinya yang mulai memerah karena kelelahan dan emosi. Sulistyo mendengus, wajahnya berubah kelam. "Ini salahmu! Kenapa kau ada di hadapanku saat aku mabuk?" tatapannya tajam, menusuk, seakan mencari cara untuk membenarkan tindakannya. Aisyah terdiam sejenak, lalu mendongak dengan tatapan penuh kebencian. "Tch! Negara Dwipantara memang selalu begini! Jika ada korban pemerkosaan, yang disalahkan selalu korbannya. Padahal, korban tidak akan pernah jadi korban tanpa pelaku! Seorang pelaku tidak pantas merasa dirinya korban!" Plak! Tamparan keras mendarat di pipi Aisyah, membuat tubuhnya terhuyung ke belakang. Sulistyo menatapnya dengan amarah yang membara. "Dan pelaku tidak akan berbuat jahat jika tidak ada yang memancing! Kau tahu, kan? Kucing yang diberi ikan tidak akan menolak? Begitu juga pria. Mereka tidak akan tergoda kalau tidak ada yang menggoda." Aisyah tertawa kecil, sinis, meski pipinya berdenyut nyeri. "Miris! Begitu pikir calon wakil presiden bangsa ini? Ini bukan hanya pemikiran yang salah, tapi juga bukti kalau kau sama sekali tidak bisa berpikir! Otakmu isinya hanya nafsu! Tidak ada pemikiran rasional dan empati sama sekali! Bagaimana orang sepertimu bisa memimpin negara nanti?" Tamparan kedua mendarat lebih keras dari sebelumnya. "Diam!" raung Sulistyo, wajahnya memerah karena amarah. Napasnya memburu, seperti mencoba menahan diri. "Sekali lagi kau berani melawanku, aku akan melakukan sesuatu yang jauh lebih buruk daripada sekadar menamparmu!" Aisyah memalingkan wajahnya, menahan air mata yang semakin deras. Hatinya bergemuruh, campuran rasa sakit, marah, dan ketidakberdayaan menghantamnya seperti gelombang besar. Namun, di balik itu semua, ia tidak berniat menyerah. "Kalau begitu, lakukan saja," desisnya pelan tapi tajam, tanpa memandang Sulistyo. "Setidaknya itu akan membuktikan betapa menjijikkannya dirimu. Aku sudah tidak punya harga diri di matamu. Apa lagi yang bisa kau ambil dariku?" Kata-kata itu membuat Sulistyo terdiam. Ia menatap Aisyah dengan sorot mata gelap, seperti sedang menimbang langkah berikutnya. Detik-detik terasa begitu panjang, udara di antara mereka terasa berat, seperti memenjarakan. Aisyah menunduk, tubuhnya gemetar. Diamnya Sulistyo membuat hatinya semakin menciut. Ia tahu, diam pria itu lebih berbahaya daripada ledakan amarahnya. Apa yang akan dia lakukan? Pertanyaan itu berputar di benaknya, menciptakan rasa takut yang makin dalam. Tiba-tiba, Sulistyo mendekat dan merengkuhnya dalam pelukan yang dingin. Aisyah terperanjat, bingung dengan perubahan sikap yang tiba-tiba ini. Tubuhnya membeku, dadanya bergemuruh, sementara otaknya mencoba memahami apa yang akan terjadi selanjutnya. Sulistyo menunduk, mendekatkan wajahnya ke telinga Aisyah. Napasnya terasa panas di kulitnya, dan dengan nada yang tajam seperti pisau, dia berbisik pelan tapi mengintimidasi, "Diam. Jangan melawan suamimu. Sadarlah tempatmu. Sampai kapanpun, kau tidak akan pernah bisa melawanku." Kata-kata itu menyelinap ke telinga Aisyah seperti racun. Tubuhnya semakin kaku, merinding mendengar nada rendah penuh ancaman itu. Ia ingin melawan, ingin meneriakkan rasa jijiknya, tapi seakan tubuhnya kehilangan kekuatan. Matanya berkaca-kaca, menatap ke lantai dengan kosong. Tanpa sadar, kepalanya mengangguk pelan. Sebuah gerakan kecil yang nyaris tidak disadarinya sendiri, seperti tanda menyerah yang terpaksa. Aisyah tidak tahu apa yang membuatnya melakukan itu—apakah rasa takut yang menguasai, atau ancaman Sulistyo yang seolah menenggelamkannya. Dalam hati, ia berteriak pada dirinya sendiri. "Tidak! Jangan setuju! Jangan tunduk! Lawan! Lawan! Kau harus melawan, Aisyah!" Namun, suara itu tenggelam di tengah rasa takut yang membelenggunya. Sulistyo menyeringai, puas melihat kepatuhan yang mulai tumbuh dari rasa takut Aisyah. Bibirnya melengkung dalam senyum dingin, sementara tangannya menepuk bahu Aisyah dengan cara yang membuatnya semakin meringis. "Bagus," gumamnya, penuh kemenangan. "Kita akan lihat seberapa lama kau bisa bertahan." Aisyah mengepalkan tangannya diam-diam, memaksa dirinya untuk tetap tenang meski amarah dan rasa takut bercampur menjadi satu. Dalam hatinya, ia bersumpah, "Aku akan menemukan jalan keluar. Kau tidak akan menang selamanya." Sulistyo berdiri di depan Aisyah, melepas kemejanya dengan gerakan yang penuh dominasi. "Sudah cukup drama ini," katanya dingin, senyum licik menghiasi wajahnya. Langkahnya mendekat, seperti predator yang mengintai mangsa, membuat napas Aisyah tercekat. Dengan mudah, tubuhnya yang besar mendorong Aisyah hingga terjatuh di atas ranjang. Aisyah meronta, kedua tangannya terangkat, mencoba mendorong tubuh pria itu. Tapi kekuatannya tak sebanding. Tangan kecilnya seperti melawan dinding baja. Sulistyo menatap gerakan putus asa itu dengan seringai menghina. Ia meraih pergelangan tangan Aisyah dengan cengkeraman kuat, menghentikan perjuangan kecilnya. "Diam," bisiknya tajam, suaranya dingin menusuk. Tiba-tiba, ia membawa tangan Aisyah ke dekat wajahnya, menggigit ringan jarinya dengan senyuman jahat yang menakutkan. "Kau tahu ini sia-sia, bukan? Kau tidak akan pernah menang melawan aku." Aisyah menggigit bibirnya sendiri, menahan air mata yang hampir tumpah. Kepalanya berputar, mencari celah, mencari cara untuk melarikan diri. Tapi tak ada apa pun di sekitarnya—hanya dinding dingin dan pria di depannya yang kini tertawa rendah. Sulistyo menunduk lebih dekat, napasnya terasa panas di sisi wajah Aisyah. "Seperti di aula waktu itu..." katanya, dengan nada yang penuh ejekan. Aisyah memejamkan mata, tubuhnya bergetar hebat. Dalam hati ia berteriak, memohon kepada Tuhan, berharap ada keajaiban yang menghentikan mimpi buruk ini. Air matanya mengalir, membawa serta rasa sakit, ketakutan, dan kehancuran yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata.Sulistyo melangkah masuk ke kamar dengan wajah penuh percaya diri. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat Aisyah duduk meringkuk di sudut ranjang, tubuhnya gemetar hebat. Wajahnya tersembunyi di balik bantal yang ia tekan erat-erat ke kepalanya, seolah mencoba memblokir sesuatu yang tak terlihat. Sesekali, isakan kecil terdengar dari balik bantal itu. Matanya menyipit, bingung dan sedikit terganggu. Dalam hitungan detik, dia berlari menghampiri Aisyah, lututnya berlutut di samping ranjang. Dengan lembut, tangannya menarik bantal dari wajah istrinya. "Ada apa, sayang? Kenapa menangis?" Wajah Aisyah basah oleh air mata, matanya sembab dan penuh ketakutan. Suaranya bergetar saat ia berbicara. "Dari tadi… Aku terus mendengar suara tembakan dan teriakan orang-orang." Ia menggigit bibir bawahnya, suaranya semakin lirih. "Aku tidak berani melihat ke jendela. Apa yang terjadi di luar sana?" Sulistyo terdiam sejenak, menyusun kata-kata dalam pikirannya. Kemudian, dengan suara yang mene
Sulistyo berdiri angkuh di atas balkon istana negara, tubuhnya dibalut setelan formal yang memancarkan kekuasaan. Matanya menatap ke bawah dengan pandangan tajam penuh kepuasan, seolah dunia ini adalah panggung kecil yang ia kendalikan sepenuhnya. Udara malam yang dingin menyapu wajahnya, namun tak mampu mengusir kehangatan memabukkan dari rasa kemenangan yang memenuhi dirinya."Damai sekali…" gumamnya pelan, tapi penuh arogansi. Sebuah senyum licik mengembang di wajahnya. "Memang tidak ada yang tidak bisa diselesaikan dengan uang."Ia berbalik, langkahnya perlahan namun penuh wibawa. Namun, saat punggungnya baru saja meninggalkan pandangan dari balkon, suara kerumunan mulai terdengar dari kejauhan. Raungan protes yang membakar udara malam bergema seperti guntur. Sulistyo berhenti di tengah langkah, mendengarkan dengan tenang, lalu kembali ke tepi balkon, kali ini dengan alis sedikit mengernyit.Di bawah sana, gelombang manusia mulai berkumpul di gerbang i
Malam itu, suasana di rumah Anisa sangat sunyi. Angin malam bertiup lembut, menggoyangkan tirai jendela di ruang tamu tempat ia duduk sendiri, hanya ditemani oleh cahaya televisi yang menampilkan berita nasional. Adik-adiknya sudah terlelap di ranjang, tubuh kecil mereka bersandar dengan damai, tidak menyadari betapa resah hati kakak mereka.Anisa memeluk lututnya, matanya menatap layar televisi dengan raut penuh kebencian yang ia coba tahan agar tidak meledak. Lagi-lagi, layar kaca itu dipenuhi dengan berita selebriti yang sama sekali tidak penting. Perdebatan soal drama percintaan artis yang dipoles sedemikian rupa memenuhi setiap segmen, menggantikan pemberitaan luar negeri yang sebelumnya sempat membahas kebobrokan sistem pemerintahan di Dwipantara.Pemberitaan itu hanya bertahan sejenak, seperti embun pagi yang menguap sebelum sempat menyentuh tanah. Anisa tahu alasannya. "Tch! Pasti televisi sudah disogok pemerintah lagi!" gumamnya dengan suara pelan, meluapk
Keesokan harinya, layar-layar televisi di seluruh penjuru negeri dipenuhi berita yang sama: "GDP Dwipantara Mengalami Penurunan Tajam, Negara Terancam Krisis Ekonomi." Gambar-gambar grafik ekonomi yang menukik tajam ke bawah terpampang jelas, diselingi laporan dari para analis ekonomi lokal dan internasional."Rendahnya daya beli masyarakat akibat kenaikan pajak yang melambung tinggi telah melumpuhkan perekonomian nasional," ucap salah satu pembawa berita dengan nada serius. "UMKM yang menjadi tulang punggung ekonomi rakyat kini bertumbangan satu per satu, tak mampu bertahan di tengah himpitan ekonomi."Rekaman jalanan yang sepi dari aktivitas jual beli ditampilkan, diikuti visual mall-mall besar yang kosong melompong, dengan hanya segelintir orang yang terlihat berjalan cepat, sekadar untuk membeli kebutuhan pokok."Masyarakat Dwipantara kini bekerja tanpa henti, bagaikan kuda, hanya untuk mengisi perut mereka sendiri," lanjut pembawa berita, suaranya pen
Aisyah berbaring di ranjang dengan tubuh yang terasa seolah terkunci. Di sebelahnya, Sulistyo bersandar santai, dengan senyum puas menghiasi wajahnya. Cahaya dari televisi menerangi kamar yang megah namun terasa sesak bagi Aisyah. Film romantis yang sedang diputar menambah ironi dalam hatinya, karena adegan-adegan penuh cinta itu jauh dari apa yang ia rasakan sekarang."Aku kurang suka film romantis," ucap Aisyah akhirnya, mencoba terdengar selembut mungkin agar tidak memicu amarah suaminya. Ia menyandarkan kepalanya di lengan Sulistyo, memasang senyum kecil yang dipaksakan. "Boleh ganti dengan film action atau thriller?" nada manjanya terasa aneh di telinganya sendiri, tetapi ia harus terus memainkan peran ini.Sulistyo menoleh ke arahnya, matanya yang tajam memerhatikan Aisyah seolah sedang membaca pikirannya. Ia terdiam beberapa detik, membuat suasana di antara mereka menjadi tegang. "Tapi, film seperti itu temanya berat," katanya akhirnya, suaranya rendah namun
Aisyah duduk di atas ranjangnya yang dingin, memegangi kepala dengan kedua tangannya. Napasnya berat, penuh rasa frustrasi yang sulit ia tahan. Matanya berkaca-kaca saat kata-kata itu akhirnya keluar dari bibirnya dalam bisikan getir. "Bagaimana ini? Aku sudah hamil… Aku benar-benar mengandung anak dari tirani itu."Dengan gemetar, ia menyandarkan tubuhnya pada sandaran ranjang, kedua tangannya perlahan bergerak mengusap perutnya yang masih rata. Sentuhan itu terasa asing, seperti menghubungkan dirinya dengan sesuatu yang sekaligus membangkitkan cinta sekaligus kebencian. "Aku harus melahirkannya," gumamnya pelan. "Harus tetap melahirkannya, meskipun kemungkinan besar dia akan mewarisi tahta ayahnya sebagai presiden KKN."Aisyah mendongak, menatap kosong ke langit-langit kamar. "Tapi aku berjanji… sebagai ibunya, aku akan mendidiknya dengan benar. Kalau bisa… aku akan membuatnya menjadi senjata untuk melawan ayahnya sendiri." Matanya menyipit, penuh tekad. Ia menga
Sulistyo duduk di tepi ranjang, menatap perut Aisyah yang mulai membesar. Tangannya terulur, dengan lembut mengusap perut itu seolah mencari kehangatan dari kehidupan yang tumbuh di dalamnya."Jika sudah lahir, ingin diberi nama apa bayi kita?" tanyanya dengan suara yang terdengar tenang, namun mata tajamnya tetap memancarkan dominasi.Aisyah menoleh pelan, menatapnya dengan mata yang lelah. Air mukanya penuh kebingungan dan ketidakpastian. "Entahlah…" jawabnya, suaranya hampir seperti bisikan.Sulistyo tersenyum kecil, seolah menemukan sesuatu yang menghibur di balik sikap Aisyah yang bingung. "Bagaimana dengan nama seperti Kusumo?" tanyanya, suaranya terdengar penuh kebanggaan.Namun, Aisyah hanya menggeleng pelan. "Kita belum tahu yang lahir adalah anak perempuan atau anak laki-laki."Sejenak, suasana menjadi sunyi. Wajah Sulistyo yang sebelumnya terlihat tenang tiba-tiba menggelap. Matanya menyipit, dan rahangnya mengeras saat dia men
Sulistyo memandang Aisyah dengan cemas saat ia menggenggam tubuh istrinya yang terasa lemah di pelukannya. Dalam diam, ia membawa Aisyah menuju kamar mereka. Langkahnya mantap, namun di balik ekspresi dingin yang biasa terpancar, ada ketegangan yang sulit disembunyikan.Setelah membuka pintu kamar, Sulistyo membaringkan Aisyah di atas ranjang dengan hati-hati, seperti memegang barang paling rapuh di dunia. Pandangannya tidak lepas dari wajah Aisyah yang terlihat pucat, namun tetap memancarkan kelembutan. "Aisyah, apa kau baik-baik saja? Kau tidak merasa sakit hati dengan ucapan ibu kan?"Aisyah, yang tubuhnya masih terasa lelah, hanya menggeleng pelan. Suaranya terdengar kecil, nyaris berbisik. "Tidak masalah, aku sudah biasa."Namun bagi Sulistyo, jawaban itu justru menambah perih di hatinya. Wajahnya mengeras, tetapi jemarinya tetap lembut saat menggenggam tangan Aisyah. "Jangan terlalu dipikirkan!" katanya dengan nada tegas, nyaris seperti perintah. "Ka
Dua minggu berlalu sejak peristiwa terakhir, dan kini Aisyah duduk diam di atas ranjang, tangannya gemetar memegang test pack kecil di tangannya. Dua garis merah mencolok tertera di sana, menandakan sesuatu yang akan mengubah hidupnya selamanya. Kehamilan.Pandangannya kabur oleh air mata yang mulai menggenang, meski ia tak tahu apakah air mata itu lahir dari rasa senang, takut, atau bahkan keputusasaan. Ada kebahagiaan kecil yang menyelinap di sudut hatinya—setidaknya, Sulistyo tidak akan memaksanya lagi untuk segera hamil. Tapi di saat yang sama, ia merasa belenggu di hidupnya kini bertambah erat. Dengan kehamilan ini, kebebasan yang nyaris tak ada sebelumnya kini hilang sepenuhnya.Aisyah cepat-cepat menyembunyikan test pack itu di bawah bantal ketika mendengar langkah kaki mendekat dari luar kamar. Suara langkah itu, meski terdengar tenang, selalu membawa ketegangan di hatinya. Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan sosok Sulistyo yang tersenyum lebar sambil me