Dengan semangat Nadia menarik tangan El dan membawnya duduk di samping Alia. Alia sedikit membuang muka dan kembali melanjutkan makannya.
“Ngomong-ngomong minggu depan kalian bertiga ujian kan ?” tanya mama Sasa memulai obrolan. Mereka bertiga mengangguk kompak sebagai jawaban untuk mama Sasa.
“Kalian bertiga mulai nati malam tidur di rumah mama aja, buat mantau belajar kalian. Buat Alia jangan khawatir, biar mama yang bilang ke mami kamu nanti.” Keputusan sudah di ambil paksa sama mama Sasa, kami bertiga tidak akan berani protes sama sekali.
Alia POV
Sebenarnya aku sedikit kurang setuju saat mama Sasa mengambil keputusan ini, tapi mau bagaimana lagi, menurut kami titah 3 mama sudah seperti titah ibu ratu yang harus kami patuhi.
“Alia.” Aku sedikit tersentak saat mama memanggil ku. Entah sejak kapan aku mulai melamun dan tidak fokus seperti ini.
“Ada apa sayang ?” lanjutnya dengan wajah khawatir.
“Nggak pp ma.” Jawabku dan tersenyum manis kepadanya.
“Kamu masih mikirin masalah kemarin ya sayang?”
“Enggak kog ma, kata papi orang nya udah ketemu dan udah di masukin penjara.”
“Makannya jadi orang tu jangan asal tuduh aja.” Sindirian bang El mampu membuatku terdiam seribu bahasa.
“El.” Mama Sasa sedikit geram melihat tingkah putranya yang terlalu dingin ini.
Aku sedikit menundukkan kepala saat meminta maaf ke bang El, “Maaf bang.” Cicitku dengan rasa takut yang semakin melanda.
“Tau nggak kemarin papa di kantor dapat bunga.” Ucap papa yahya mengganti topik pembicaraan dan membanggakan dirinya yang mempunyai fans.
Dan setelah itu kami makan sambil bertukar cerita. Aku sesekaali mencuri pandang kearah bang El yang asik bercanda dengan kak Nadia. Ada rasa cemburu namun mau bagaimana lagi, aku ini hanya remahan kacang yang kebetulan berada di toples yang berkilaukan berlian.
Setelah selesai makan, aku lalu berpamitan untuk pulang ke rumah, mengemasi barang-barangku untuk pindah ke rumah mama Sasa, yang berarti harus pindah ke rumah bang El.
Ting
Aku mengambil ponsel yang berada di atas naskah samping tempat tidurku. Satu pesandari Sheza
Shezaaaaaa
[Lama banget si Al, rumahlu di Afrika ye.]
Azalia R
[Tau aja sih kalau rumah gue di antar tika]
Aku dudu di samping tempat tidur kesayanganku sambil berbalas pesan dengan Sheza, sampai kedatangan Alham tidak aku hiraukan.
“Gitu ya, gue panggil dari tadi kagak di jawab tahu nya asik sendiri.” sindri Alham dari depan pintu. “Siapa sih?” lanjutnya dan merampas ponsel di tanganku.
“Gue kira siapa tahunya nenek sihir.” cibirnya dan mengembalika ponselku.
“Jangan gitu, entar jodoh tau rasa lu.”
“Bosen gue sama kalian berdua, mau cari pemandangan lain.”
“Kaya bisa jauh dari kita aja lu.” Ejeku dan beranjak dari tempat tidur.
Alham membantu membawa koperku ke bawah, sedangkan aku hanya membawa bonek kesayanganku. Aku tidak bisa tidur nyenyak jika tanpa boneka sapi kesayangan aku ini.
“Ngomong-ngomong, papi sama mami kapan pulangnya Al ?”
Sambil membuka pintu bagasi mobil alham “Nggak tah gue, paling kalau opa sudah benar-benar sembuh mereka pulang.” Aku bersandar di samping pintu penumpang, menunggu Alham membereskan barang yang di masukkan kedalam bagasi.
“Bunda juga mau ke bandung.” Aku melirik Alham yang tiba-tiba nada bicaranya berubah menadi sedih.
“Deket woyy, ngapain lu pakai acara sedih segala.” Teriakku sedikit sebal dengan tingkah Alham.
“Jadi ni Al, andai saja mama Sasa yang liburan ke luar kota, pasti kita kagak bakal kaya gini.” Bahuku seketika jatuh saat mengethaui jika kita belajar dan mama Sasa yang menjadi pembimbingnya.
Kami berdua cukup lama di dalam mobil seakan belum ikhlas untuk pindah ke rumah mama Sasa. Jika menyangkut pendidikan mama Sasa lah yang paling tegas, selain itu mama Sasa adalah salah satu dosen terkenal di indonesia.
Setelah cukup puas merenungi nasib, Alham lalu menjalankan mobil ke rumah mama Sasa, padahal jarak rumah kita tidak terlalu jauh, namun malas saja kalau harus jalan kaki. Hanya butuh dua minit kami sudah sampai di rumah mewah itu.
“Assalammualaikum mama” teriak kami berdua saat memasuki rumah. Persis anak tk yang baru saja pulang sekolah.
“Waalaikumsalam ...”
“Beriski banget sih kalian.” Omel Sheza memotong omongan mama, mama Sasa menggelengkan kepala melihat tingkah putrinya itu.
“Rumah kita kan jauh Za” Alham menyunggingkan senyum seolah mengejek Sheza yang sedang berdiri dengan sekotak es krim di tangannnya. Sheza yang melihat senyum mengejek Alham sedikit mencibir mencibir dan kembali pergi ke dapur dengan wajah sebal.
Kami mengikutiny dari belakang, sesampainya kami di dapur, kami lalu duduk manis di meja makan. Mama Sasa memberi kami masing-masing satu kotak es krim ke sukaan kami. Sedangkan mama Sasa kembali sibuk membuat kue untuk cemilan kita nanti.
Tangan mama sasa begitu lincah mencampur semua adonan, aku sempat terpukau dengan kelincahan mama, selain menjadi dosen, mama Sasa juga seorang pembisnis. Dia mempnyai toko kue yang sangat terkenal di kota ini.
“El pergi dulu ma.” Hampir saja aku tersedak, saat tiba-tiba bang El masuk ke dapur.
Jantungku kembali berdetak kenang saat melihat bang El yang begitu tampan hari ini. Dengan celana pendek selutut dan kaos polos yang di padukan dengan kemeja yang tidak di kancingkan semua. Membuat bang El terlihat seperti seorang remaja.
“Bang El mau kemana ?” langkah bang El terhenti saat mendengar pertanyaanku.
Bang El sedikit mengangkat sedikit sudut bibirnya, dan berucap sombong. “Ngapel lah, kenapa mau ikut ?” wajah bang El terlihat menyebalkan.
Aku sedikit menekku wajahku saat mendengar jawaban bang El “Abang ini udah di apelin Cecan masih aja ngapel.” Aku menatap bang El dengan wajah sedih, seolah tidak inggin di tinggalkan.
“Drama sekali kalian.”
“Membuatku hampir muntah.” Aku hanya tertawa kecil saat mendengar sindiran protes dari Alham dan Sheza.
“Nggak boleh sirik.” Aku terkekeh saat mereka berdua membuang muka seolah ingin muntah.
“Dasar cewek kagak punya malu, udah di tolak masih aja nejar-ngejar.”
“El ! tolong omongannya di filter.” Tegur mama Sasa saat bang El berucap sarkas di depanku.
“Mulutnya nggak pernah sekolah ya bang.” Sheza menatap sinis abangnya yang berada di ujung meja makan.
Aku tersenyum lebar melihat bang El terpojokan seperti ini, ekspresi wajahnya terlihat seperti mengatakan, ingin membantah tapi takut di kutuk. Merka adalah dua wanita yang akan El jaga walau harus mengorbankan nyawanya.
“Alia nggak papa tenan aja, bang El kan Cuma bercanda.” Ucapku dengan senyum lebar.
Setelah itu bang El pergi begitu saja tanpa sepatah kata. Alham sedikit mencibirnya dan setelah itu kembali fokus ke es krim. Alhan dan es kirm adalah satu paket yang tidak boleh di ganggu gugat.
“Bosen” ucap alham lirih dan menaruh kepalanya di atas meja, kami berdua menganggu setuju dan mengikuti gaya Alham.
Es krim kami sudah habis beberapa menit yang lalu, sekarang kami hanya bengong melihat mama bekerja. Mama tidak bakal membolehkan kami ikut membuat kue, bukannya membantu, kami bakal membuat mama semakin repot.
“Kalian keatas dulu aja, atau nggak ke perpustakaan, baca-baca buku di sana.” Tanpa menghentkan pergerakan tanganya, mama Sasa mengusir kami secara halus dari dapur.
Benar saja setelah mendengar ucapan mama, kami bertiga pergi ke atas, tepatnya ke kamar Sheza. Sebelum pergi kami sempatkan mencim pipi mama Shesa secara bergantian, mungkin tingkah kami yang seperti anak-anak inilah yang membuat mereka semakin sayang.
El lalu menghampiri tubuh Alia yang berada di dalam pelukan umi Maria, mengambilnya lalu menggendongnya begitu saja. Dia tidak ingin gadis yang dalam gendongannya ini kenapa-napa apalagi saat melihat perut buncitnya. “Ambil mobil, Dam!” printah El sambil terus berjalan. Suaranya sedikit bergetar, bahkan air matanyanya kini sudah mengumpul di ujung mata. Damar berlari keluar dan ingin mengambil mobil mereka, namun saat sampai di depan pintu, dia melihat Adam yang sudah berada di dalam mobil. Damar membukakan pintu untuk El dan Alia yang berada di dalam gendongannya. Hujan sedikit reda dan terganti dengan grimis yang masih membasahi bumi. Mereka semua pergi ke rumah sakit terdekat, meninggalkan Zahra sendirian dirumah. Umi yang duduk berada di samping kemudi, terus menengok kebelakang dengan air mata yang semakin deras. Sedangakn El memeluk tubuh tak sadarkan diri Alia yang berada dalam panguannya. Kemejanya telah berubah memerah karena Darah yang terus
“Mas ini kelapanya.” Aku menengkok ke sana kemari mencari wanita yang berada di depanku tadi, tapi kemana perginya. “Mas.” Aku sedikit tersentak dengan tepukan di lenganku, “Terima kasih.” Ucapku lalu mengambil kelapa muda yang di sodorkan ke arahku. “Cari siapa mas ?” “Wanita yang di sini tadi.” Tunjukku ke arah kursi yang di duduki wanita tadi. “Oh, neng Sev mah udah pulang.” “Sev ?” “Iya, mas kenal ?” “Tidak ! Berapa kelapannya ?” setelah membayar semuanya aku langsung pergi meninggalkan pantai tersebut. aku kini kembali melangkah ke arah proyek, entah mengapa wajah wanita itu tidak mau hilang dari fikiranku. Wajahnya benar-benar mirip Alia, bukan mirip lagi mereka seperti pinang di belah dua. “Lu kenapa sih ?” tanya damar yang melihatku seperti orang bodoh. “Gue nggak papa, kita mulai rapat.” Titahku dah pergi begitu saja. Tidak ada kantor,
“Ada apa ?” raut bingung di wajah umi masih terlihat jelas melihat kami berdua.Dengan bangga aku memberikan selembar kertas itu kepada umi “SURAT IZIN USAHA” tulisa yang tertera di sana. Setelah berbulan-bulan mengajukan, dan harus bolak-balik mengurus karena orang yang kami percaya menghiyanati kami dan membawa semua uang kami.“Selamat sayang.” Umi lalu memeluk kami.Setelah mendengar kabar gembira itu, suasana rumah terlihat begitu lebih ceria. Berita itu sudah menyebar ke telinga abi dan mas Adam.***Dan pagi itu aku dan mas Adam mulai mengecek bangunan yang akan menjadi toko kami. Bangunan berlantai dua itu terletak tidak jauh dari pesantren, dan tempatnya cukup staregis. Apalagi jika dari lantai dua kita bisa melihat luasnya lautan biru, tempay yang begit adem, karena di apit perbukitan juga.“Mau kemana ?” tanya mas Adam saat melihatku turun dari lantai atas.
Senyumku mengembang saat melangkah ke arah dapur, di sana umi dan abi saling membantu utuk menyiapkan makan siang. Aku jadi teringat dengan mami sama papi, apa kabar mereka, apa mereka sudah tahu jika aku tidak ada di rumah.“Umi.” Kedatanganku mencuri perhatian dari mereka berdua. Sepertinya rumah ini tidak ada seorang pembantu, aku tidak melihat orang lain selain keluarga ini.“Ada apa nak, umi kira kamu sedang tidur siang.” Umi menghapiriku dan menuntunku untuk duduk di salah satu kursi yang ada di meja makan.“Biar aku bantu memasak umi.” Aku mengambil alih pisau di tangan umi untuk mengupas bawang.“Sudah berapa bulan kandunganmu nak ?” tanya abi yang sedang membersihkan beberapa sayur yang akan di masak.Aku menundukkan kepalaku, malu sekali rasanya saat di tanya seputar kandungan, “Baru satu bulan, bi.” Elusan di lenganmu membuatku mendongakan kepal.Senyum umi yang meneduhka
Umi hanya tersenyum melihat putranya yang sunggu tidak percaya dengan wanita yang ada di depannya saat ini. “Sevim, kenalin dia Adam putra sulung umi.” Aku tersenyum dan mengangguk kepada bang Adam yang ada di depanku. “Maaf.” Ucap Adam lirih dan membuang mukannya. Dia mengusap cepat air mata yang jatuh di pipinya. Umi yang melihat putranya menangis langsung memeluknya dan menyemangatinya kembali, “Zafira sudah bahagia di atas sana mas, mas jangan nangis lagi.” “Mas kangen sama Afi, Umi” ucapnya lirih di dalam pelukan umi. Dengan lembut umi mengelus surai milik Adam, “Kita semua juga kangen sama Afi mas, namun kita nggak boleh lemah seperti ini.” Adam sedikit menjauhkan tubuhnya dari umi, dan tersenyum begitu manis. Setelah itu kami melanjutkan makan yang sempat tertunda, sebenernya buka kami, karena aku hanya minum teh hangat yang tadi di bawa umi. Melihat mas Adam yang begitu menikmati makanannya, membuat aku menelan liur den
ALIA POV Aku sampai di Jogja pagi buta, udara di sini terasa begitu sejuk walau berada di tengah kota. Semalam aku tidak jadi terbang dengan pesawat, saat aku sedang duduk menunggu, aku melihat sepasang kakek dan nenek yang telah kehabisa tiket. Mereka di paksa harus pisah penerbangan, karena aku tidak tega, aku memberikan tiket yang aku beli kepada mereka. Dan saat aku ingin mengantri tiket untuk penerbangan berikutnya, aku melihat El masuk ke dalam bandara. Aku berjalan santai berpapasan dengannya dan kabur dari bandara, bodoh sekali laki-laki itu. Aku langsung menghentikan taksi yang lewat di depanku, membiarkan mobilku berada di bandara, jika aku pergi dengan mobil pasti akan segera ketahuan jika aku pergi. “Mau kemana non ?” tanya supir taxsi dengan ramah. “Kesetasiun ya pak.” Dia tersenyum samar dan menganggukan kepala. Dan setelah itu tidak ada percakapan lagi di antara kami, sampai taxsi berhenti di depan stasiun. Kuberikan lim