"Calon suami kamu," jawab Shaka dengan percaya diri. Tersenyum manis menatapnya lekat.
"Calon suami? Sebenarnya apa maumu, kenapa saya bisa ada di sini?" tanya Tsabi langsung turun dari ranjang memberi jarak. Menatap sekitar yang terasa asing."Tentu saja tidak becanda, sebelum pagi aku akan mengantarmu, ayo pulang! Kedua orang tuamu cemas," ujar Shaka sudah siap mengganti pakaian tidurnya.Tsabi baru ingat kalau dirinya malam tadi hendak kabur dari rumah daripada dinikahkan dengan pria yang tidak dikenal. Terlebih mengaku-ngaku tentang kehamilannya yang Tsabi sendiri masih belum yakin kalau dirinya hamil."Nggak, Anda harus menjelaskan padaku apa yang sebenarnya terjadi? Maksud Anda apa? Kenapa memfitnah aku, tolong jelaskan sebelum pernikahan besok dimulai atau aku tidak akan pernah mau datang besok!" ancam Tsabi menatap waspada."Kamu mengancamku? Tenangkan dirimu, setelah kita menikah,akan kujelaskan semuanya. Bersiaplah ... besok kita akan menikah.""Konyol, bagaimana mungkin kita menikah? Sedang kita tidak mengenal satu sama lain," tolak Tsabi jelas tidak mau."Kamu tidak tapi aku mengenalmu dan keluargamu. Sudah cukup bagiku dan juga restu kedua orang tua kita," kata Shaka tenang.Sejak kejadian itu, Shaka langsung mencari tahu siapa perempuan yang telah menjadi salah sasaran benih dirinya. Ia tidak mau anaknya tumbuh di rahim orang tanpa pengawasannya.Tsabi terdiam, sebenarnya pria misterius itu siapa? Benarkah keluarganya mengenal dengan baik? Lalu bagaimana ceritanya Tsabi hamil, kenapa orang ini tiba-tiba mau tanggung jawab."Aku tidak percaya denganmu. Apakah Anda menculik saya? Lalu membuat drama?" tanya Tsabi waspada.Shaka ngakak mendengar penuturannya. Sejak kapan ia menjadi pecinta drama, kenapa hidupnya drama sekali sejak berhubung dengannya.Pria itu terdiam begitu saja dengan raut dinginnya. Menatap tajam dan lekat."Saya tidak banyak waktu untuk becanda, silahkan keluar lebih dulu biar kuantar," kata Shaka dingin.Melihat aura pria itu yang cukup serius, membuat Tsabi langsung melangkah keluar kamar dengan penuh pertanyaan bersarang di otaknya.Pria itu menuju mobilnya, duduk bersahaja di bagian jok belakang. Terlihat sang driver membukakan pintunya."Silahkan masuk Nona, sudah ditunggu Tuan Shaka di dalam," ujar pria itu mempersilahkan.Tsabi tertegun, dirinya semakin bingung. Apa yang terjadi dengan hidupnya. Kenapa harus bertemu dengan pria asing ini. Gadis itu masuk dengan ragu, memasrahkan diri pada Sang Pemilik Kehidupan. Benarkah dirinya akan dibawa pulang?Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Hening di antara ketiga manusia di dalamnya. Baik pria itu maupun Tsabi tidak ada yang membuka suara. Perempuan itu duduk cukup berjarak menghimpit pintu mobil. Sementara Shaka duduk tenang tanpa banyak bicara."Sudah sampai Tuan," kata sang driver menginterupsi.Tsabi benar-benar dipulangkan ke kediamannya. Pria itu juga ikut turun mengantarnya sampai depan rumah."Selamat beristirahat, sampai ketemu nanti di kursi pelaminan," ucap Shaka gamblang.Pria itu langsung undur diri begitu menyerahkan Tsabi pada keluarganya. Terlihat Ustadz Aka begitu murka menyambut kedatangannya."Memalukan! Masuk dan gunakan waktu yang tersisa untuk beristirahat. Kamu tidak boleh keluar sebelum akad nanti," kata pria itu serius.Tsabi langsung masuk dengan bingung. Sepertinya takdir tengah mempermainkan dirinya hingga terjebak ke dalam sarang masalah yang bahkan dirinya tidak tahu menahu dari mana asalnya."Tsabi sudah pulang?" tanya Ummi Shali menghadap suaminya."Sudah di kamar," jawab Ustadz Aka tak bisa tidur lagi. Sebentar lagi waktu subuh, dia memutuskan mengambil wudhu lalu sholat sunah dan murajaah sambil menunggu waktu subuh."Astaghfirullah ...," ucap Ustadz Aka beristighfar banyak-banyak. Ia memohon ampun atas kelalaiannya terhadap putrinya sampai Tsabi mengalami musibah seperti ini. Ustadz Aka merasa gagal menjadi orang tua. Terlihat sangat begitu sedih.Hal yang sama dilakukan oleh Tsabi, bagaimana ia bisa istirahat dengan tenang, sedang ia seperti tengah di sebuah lingkaran kobaran api yang menyala-nyala. Tidak bisa melangkah memadamkannya atau dirinya akan terbakar oleh panas magmanya.Gadis itu duduk bersimpuh di atas sajadah. Memohon pengampunan dan berserah diri atas apa yang terjadi besok.Sementara di bilik kamar yang berbeda, seorang gadis belia juga nampak sibuk memikirkan nasib dirinya yang mau tidak mau besok harus menjadi pengantin pengganti."Ini konyol namanya, kenapa Kak Tsabi bisa seceroboh ini sih!" Amena menggerutu kesal.Gadis itu tidak begitu mengenal Gus Iqbal. Walaupun yang Amena tahu pria itu orang baik pilihan Abi, tetap saja menikah di usia belia dengan modal dadakan sama sekali tidak ada dalam daftar list hidupnya. Terlebih pria itu calon suami kakaknya."Duh ... kenapa tidak dibatalin saja sih, masa aku harus nikah besok. Gimana dengan sekolahku," gumam Amena bingung. Ia mondar-mandir di kamarnya. Karena tidak tenang, Amena sampai mampir ke kamar kakaknya."Kak Tsabi sudah bangun? Atau tidak tidur?" tanya Amena dengan wajah masam."Belum tidur, kakak tidak bisa tidur Dek," jawab Tsabi dengan beban pikiran ganda. Menikah dengan pria asing, hamil dengan jalan pintas tanpa tahu prosesnya."Sebenarnya apa yang terjadi? Bisa tidak kalau besok Kak Tsabi tetap menikah dengan Gus Iqbal, Amena belum mau menikah, Amena masih mau sekolah." Gadis itu menangis tersedu."Maaf Menna, Kak Tsabi tidak tahu," jawab Tsabi dengan hati sesak.Dia sudah bermimpi menjadi istri dari pemuda yang sudah melamarnya sejak dua tahun lalu. Walaupun jarang bertemu, komunikasi mereka sehat dan juga baik. Sangat disayangkan bila akhirnya nanti bukan nama dirinya yang diikrarkan di meja akad. Miris, dan tentunya lara hati.Kedua kakak beradik itu saling memeluk dalam tangis. Entahlah waktu beberapa jam lagi benar-benar akan mengubah semuanya."Ikuti kata Abi, mungkin yang terbaik begitu. Kakak tidak mungkin melanjutkan dengan Mas Iqbal," kata Tsabi sendu.Sakit sebenarnya mengatakan itu, tetapi tidak ada pilihan lain baginya. Iqbal tidak mungkin akan sudi mempersunting dirinya jika tahu kalau kini tengah berbadan dua dengan pria lain. Walaupun demi langit dan bumi Tsabi tidak pernah melakukan itu, semesta telah membuktikan kalau dirinya positif. Entahlah, itu ujian yang harus Tsabi Terima atas takdir dirinya.Waktu terus bergulir, detik dan menit berjalan cepat. Menjemput dua perempuan yang sama-sama tengah galau dengan nasibnya. Berharap semuanya akan menjadi baik. Walau Tsabi ragu akan pernikahannya.Perasaan perempuan itu makin tidak karuan saat menjelang siang. Ia bahkan berkali-kali mengusap bulir bening di matanya yang menghalangi rasanya. Mungkin beberapa kali membuat MUA kesal lantaran harus membenahi kekacauan calon mempelai wanita."Ning, jangan nangis terus, ini make up-nya rusak," tegur seorang penata rias kewalahan.Tsabi tidak menyahut, dia tidak minat lagi melanjutkan acara. Namun, apa daya pernikahan itu tetap akan berlanjut. Walau dengan orang yang beda.Tsabi terpekur di kamar pengantin dengan harap-harap cemas. Gadis itu duduk sembari memanjatkan doa kebaikan untuk pernikahannya. Walaupun pernikahan itu tidak diharapkan, ia tetap berharap ada keajaiban yang membawanya dalam kedamaian.Orang-orang tengah sibuk mempersiapkan acara inti. Ijab qobul yang sebentar lagi akan diikrarkan oleh kedua pria berbeda profesi itu.Shaka yang pagi itu didampingi orang-orang pentingnya, sudah siap di depan meja akad. Begitupun dengan Iqbal, menatap dingin pria di sampingnya yang telah merampas calon istrinya hingga berakhir harus menikahi bocah. Andai saja ada kesempatan mengobrol antara dirinya Tsabi, Iqbal akan mempertimbangkannya mengingat dirinya sudah lebih dulu menaruh harapan dan jatuh hati pada putri sulung Pak Kiai."Astaghfirullah ...," batin Iqbal memfokuskan diri. Lebih kepada berserah atas takdir di luar ekspektasi ini.Baik Iqbal dan juga Shaka sama-sama mempersiapkan performa terbaik mereka di hadapan para saksi dan semua orang yang da
"Kemasi pakaianmu Tsabi, atau kamu tidak akan membawa apa pun dari sini?" bisik pria itu tepat di dekat telinganya. Hembusan napasnya hangat menyapu pipi, membuat bulu kuduk Tsabi meremang seketika. Gadis itu menoleh dengan wajah memanas dan tubuh deg degan. Takut sekali kalau tiba-tiba suami dadakannya itu mengambil haknya dengan paksa. Pergerakannya yang tiba-tiba benar-benar hampir membuatnya jantungan. "Aku sedang menunggumu, bisa bergerak sekarang?" ucap Shaka gemas lama-lama melihat Tsabi hanya diam. "Aku mau pamit dulu dengan abi dan ummi," ucap Tsabi melangkah keluar dari kamar. Jantung masih berdetak tak beraturan. Biar bagaimanapun dirinya seorang perempuan normal, didekati pria berstatus halal tentu membuatnya berpikir macam-macam. Shaka menghela napas kasar. Baginya waktunya sangat berharga. Dia adalah orang yang hampir tidak pernah sabar menunggu, mengapa berurusan dengan perempuan itu membuatnya seperti tertahan dengan waktu. Kesal, membuat pria itu tak tahan lalu ik
"Tolong ambilkan aku handuk, dan siapkan gantinya," pinta Shaka setengah berbisik. Rasanya jantung Tsabi seperti berhenti berdetak dan mau lompat dari tempatnya, bulu kuduknya merinding semua saat sapuan hangat napas suaminya menyerbu pipi. Tsabi bahkan hanya mampu mengangguk tanpa kata. Pria itu menarik diri memberi jarak, beranjak tanpa dosa. Masuk ke kamar mandi begitu saja. "Huh ... astaghfirullah ...," ucap Tsabi langsung beristighfar begitu punggung suaminya menghilang dibalik pintu. Merasa begitu lega sejenak. "Handuk? Di mana handuk?" Tsabi masuk ke ruang ganti. Mencari-cari kain yang diminta suami misteriusnya itu. Jelas kesulitan mengingat dia belum tahu betul letak barang-barang di rumah ini. Ia pun membuka satu persatu lemari yang memungkinkan kain itu ada di sana. "Di mana sih!" Tsabi menggerutu kesal terus mencari. Ia menemukan setumpukan handuk bersih yang tertata rapih. Langsung menarik satu dari lipatan. Membawanya keluar, dan setelahnya bingung cara memberikan pad
Kenapa perintah Shaka terdengar cukup menakutkan, bukankah suami istri hal yang wajar tidur satu ranjang. Tsabi menatap tempat tidur dengan perasaan bimbang. Sementara Shaka sudah menempati tempat itu lebih dulu. Menatap datar setengah berbaring menyenderkan punggungnya di papan headboard. "Kamu mau berdiri di situ sampai kapan?" tanya pria itu sembari menyambar macbook di nakas. Sibuk dengan sendirinya. Tsabi tidak menjawab, tetapi berjalan mendekat dengan perasaan deg degan. Berharap malam ini tidak ada adegan yang menyebabkan guncangan ranjang. Pikirannya sudah nethink duluan mengingat ini malam pertama mereka. Bukan tidak mungkin pria yang tengah serius dengan gawainya itu tiba-tiba meminta haknya sebagai pasangan halalnya. Pelan gadis itu duduk, mengangkat kedua kakinya menempati ranjang, lalu menarik selimut dengan tubuh mulai merebah. Sekelebat bayangan manis tentang mantan calon imam yang gagal di meja akad. Seharusnya dia kini tengah berbahagia andai saja menikah dengan ma
Tsabi langsung ke kamar mandi, mencari baju kotor Shaka yang baru saja dilepas. Gadis itu benar-benar penasaran apa yang baru saja terjadi. Memungutnya kembali dari ranjang kotor, lalu menelitinya dengan seksama. "Mana sih, kok nggak ada. Jelas sekali tadi pria itu seperti ada darah. Apakah Shaka sudah menguceknya?" gumam Tsabi bertanya-tanya dengan rasa penasaran akut. Ia benar-benar tidak paham, jenis pria seperti apa yang menikahinya. Apa pekerjaannya, apa profesinya dan kenapa terkesan begitu tertutup. Perempuan itu memikirkan hal pagi tadi sampai membawanya di meja makan. Masih begitu sulit dipahami. Semuanya serba mendadak dan sangat misterius. Kehamilan dirinya saja ia masih setengah percaya. Sepertinya Tsabi harus memeriksa langsung ke rumah sakit agar benar-benar yakin. Benarkah di dalam perutnya ada janin? Janin siapa? "Tsabi! Kosongkan piringmu, dan pastikan kamu memenuhi semua nutrisi untuk kandunganmu!" kata pria itu menatap sembari menikmati kunyahan di mulutnya. Merek
"Tapi aku tidak yakin kalau ini anakmu, sampai sekarang saja aku tidak mengerti kenapa aku bisa hamil," terang Tsabi dengan pendapatnya. Dia jelas menolak ajakan Shaka walaupun itu suaminya sendiri. "Apa perlu kita melakukan USG, lalu test DNA?" ucap Shaka gemas. Dia tidak suka hubungan yang memaksa, terlibat hubungan karena memang sudah terlanjur ada ikatan. Cinta, Shaka bahkan hampir tak punya cinta di sepanjang hidupnya. Hatinya dikuasai ambisi dengan segala hidup dan problematika yang ada. "Iya, aku butuh bukti yang real untuk menyakinkan semuanya," jawab Tsabi lugas. "Baik, bagaimana kalau hasilnya sesuai apa yang aku ucapkan?" kata pria itu yakin. Seyakin sikapnya yang begitu tiba-tiba datang mengacaukan acara pentingnya. Sungguh Tsabi tidak akan pernah lupa dengan kejadian yang membuat hidupnya rumit begini. "Aku akan menunaikan kewajibanku setelah aku benar-benar yakin dan memang janin ini anakmu. Ambillah hakmu hari itu juga," ucap Tsabi membuat pernyataan. Biar bagaimanap
Tsabi memanjatkan banyak doa di atas sajadahnya. Selepas subuh, ia tidak langsung beranjak, mengadukan banyak hal pada Tuhan-nya yang mengatur seluruh alam dan isinya. Lebih kepada berserah diri dan mencoba menerima takdir atas dirinya. Tiba-tiba perempuan itu merasa perutnya begitu sakit. Ia meringis tertahan sembari mendesis lara. Melihat mimik wajah istrinya yang tak biasa, Shaka yang nampak anteng memperhatikan dengan seksama langsung turun dari pembaringan. "Kenapa? Perutmu sakit?" tanya pria itu menghampiri dengan raut panik. Tsabi hanya mengangguk tanpa kata. Merasakan perutnya sakit, nyeri dan seperti kencang. "Sakit Mas," desis Tsabi memejam. Tanpa banyak bertanya, Shaka langsung menggendongnya keluar. Pria itu berteriak menggegerkan orang-orang agar segera menyiapkan mobil untuk membawanya ke rumah sakit. Wajah pria itu terlihat sangat panik. Tentu saja takut terjadi apa-apa dengan calon anaknya. Orang Shaka langsung menyiapkan mobil dan membukakan untuk Tuan-nya. "Ke
"Astaghfirullah .... " Tsabi berjingkat resah mendapati Shaka sudah di depan pintu belakang. Bukankah pria itu sudah berangkat ke kantor beberapa menit yang lalu. Raganya memang sudah melaju dari tempat itu, tetapi semua kawasan itu dalam genggaman Shaka. Pria berperawakan tegap itu bisa dengan muda memantau aktivitas Tsabi dari layar ponselnya yang terhubung dengan CCTV rumah. Jadi, sudah pasti pergerakan Tsabi terbaca secara jelas. Pria itu menatap penuh selidik, mata elangnya membisukan bibir Tsabi yang tetiba susah untuk menjawab. "Susah ya nurut apa kata suamimu. Bukankah agamamu mengajarkan itu, harusnya kamu patuhi apa yang sudah kupesankan tadi," kata Shaka dingin. "A-aku hanya ingin keluar sebentar. Aku mendadak ingin es krim, sepertinya calon anak kita mulai nyidam," jawab Tsabi cukup beralasan. Walaupun kadang ia sendiri merasa lupa kalau tengah hamil. "Biar nanti aku belikan sepuas yang kamu mau, masuk, dan kembali ke kamarmu!" titah Shaka serius. "Tapi aku maunya se