Share

Bab 5. Bertukar Akad

Tsabi terpekur di kamar pengantin dengan harap-harap cemas. Gadis itu duduk sembari memanjatkan doa kebaikan untuk pernikahannya. Walaupun pernikahan itu tidak diharapkan, ia tetap berharap ada keajaiban yang membawanya dalam kedamaian.

Orang-orang tengah sibuk mempersiapkan acara inti. Ijab qobul yang sebentar lagi akan diikrarkan oleh kedua pria berbeda profesi itu.

Shaka yang pagi itu didampingi orang-orang pentingnya, sudah siap di depan meja akad. Begitupun dengan Iqbal, menatap dingin pria di sampingnya yang telah merampas calon istrinya hingga berakhir harus menikahi bocah. Andai saja ada kesempatan mengobrol antara dirinya Tsabi, Iqbal akan mempertimbangkannya mengingat dirinya sudah lebih dulu menaruh harapan dan jatuh hati pada putri sulung Pak Kiai.

"Astaghfirullah ...," batin Iqbal memfokuskan diri. Lebih kepada berserah atas takdir di luar ekspektasi ini.

Baik Iqbal dan juga Shaka sama-sama mempersiapkan performa terbaik mereka di hadapan para saksi dan semua orang yang datang.

Sementara Tsabi dan juga Amena, sama-sama berada di bilik lain. Amena di ruang sebelahnya sedang Tsabi di kamarnya. Mereka menanti saat detik-detik ijab qobul diikrarkan oleh calon suami mereka.

Shaka lebih dulu mengawali dengan bismillah. Pria itu nampak begitu siap menjabat tangan Pak Aka. Di detik yang sama, Iqbal memejam saat pria itu mengikrarkan akad dengan nama Tsabi yang seharusnya diucapkan dirinya. Ada sisi hati yang tidak rela, walau raut wajahnya menyamarkan senyuman dengan batin sesak.

Rasanya hati itu mencelos lara, saat kata 'SAH' itu menggema di seluruh ruangan. Mengubah status keduanya detik itu juga. Berat, dan terasa tak mampu untuk berganti mengucapkan ikrar untuk dirinya. Sampai-sampai Iqbal salah beberapa kali hampir menyebut nama Tsabi.

"Pelan-pelan saja Iqbal, kamu pasti bisa Nak," bisik Ustadz Zubair menguatkan. Demi nama baik keluarga, pria itu menangguhkan hidupnya.

Iqbal mengangguk, ia kembali mengosongkan rongga dadanya untuk memasok oksigen banyak-banyak agar lebih rileks. Baru mencoba lagi dengan segenap perasaannya. Diniati bismillah dan keikhlasan, akhirnya sampai juga kata sah dari para saksi menggema seantero bumi Al Hasan.

Ada gurat kesedihan di sana, sama persis dengan apa yang dirasakan Tsabi saat ini. Ia harus menerima kenyataan kalau pria yang selama ini didambakan menjadi imamnya, telah sah menjadi suami adiknya.

Manusia hanya bisa berencana, selebihnya takdir Tuhan yang bekerja.

"Maaf, kalau kak Iqbal berat, tidak harus melakukan serangkaian acara setelah akad," ucap Amena seakan tahu kesedihan mantan calon kakak iparnya.

"Maaf Dek, kalau sikapku membuatmu tidak nyaman," ucap Iqbal mencoba setenang mungkin.

Amena dan Iqbal yang menempati kursi pelaminan. Mereka menyambut tamu-tamu yang datang memberi doa restunya. Gadis belia itu pun berhias memakai cadar. Sengaja agar tidak menimbulkan banyak pertanyaan kenapa calon mempelainya diganti.

Sementara Tsabi sama sekali tidak keluar dari kamar. Ia hampir tidak punya muka hanya untuk sekadar menampakkan diri di depan keluarga. Semua orang bahkan mungkin saat ini tengah menggunjingkan dirinya.

"Percumah nangis, tidak akan merubah apa pun." Shaka yang sudah diperbolehkan menemui istrinya di kamarnya menyodorkan tisu.

Tsabi hanya diam, seharusnya hari ini adalah hari yang paling membahagiakan untuk dia, tetapi malah air mata yang justru mewarnainya sejak semalam.

Perempuan itu seakan menulikan cibiran Shaka yang membujuknya untuk diam.

"Bukankah ini malam pengantin kita? Seharusnya kamu bersiap menyenangkan suamimu," kata Shaka terang-terangan.

Deg

Jantung Tsabi mendadak berdebar kencang, ia baru saja tersadar kalau kini statusnya telah berbeda. Halal untuk pria di depannya. Namun, mengapa ia seakan tidak rela mengiyakan. Terlebih pria itu datang begitu tiba-tiba dengan segala problematika yang ada.

"Kalau benar aku sedang hamil, harusnya kamu tidak mencampuriku. Karena aku juga tidak tahu, anak siapa yang aku kandung," ucap Tsabi sesak di hati.

"Sudah kubilang itu anakku, harus aku katakan berapa puluh kata lagi."

"Tapi aku tidak pernah merasa berbuat sesuatu denganmu, bagaimana bisa?" tandas Tsabi jelas masih tidak paham dengan keadaan dirinya. Andai saja pria itu tidak datang mengacaukan semuanya, mungkin saat ini dia sedang menikmati malam pengantin indah bersama suami tercinta.

"Tentu saja bisa, biar nanti kujelasan padamu. Hari ini aku sangat lelah, mari kita berdamai dan tidak menanyakan satu dua hal dulu."

Shaka merasa begitu lega saat akhirnya bisa dekat dengan calon anaknya. Bahkan bisa menggenggam ibunya sekaligus, walau jujur, awalnya dia ragu akan bisa melakukan semuanya.

Kemarin pria itu dilanda stress berkepanjangan hanya untuk menyelesaikan masalah ini. Terlebih setelah tahu benih yang ditanamnya dengan alat canggih itu bersarang di rahim yang salah. Biar bagaimanapun itu sebuah kelalaian rumah sakit, dan pihaknya yang awalnya merasa sangat dirugikan hampir menuntut. Beruntung pria itu merasa klik saat melihat gadis malang itu yang dinyatakan sebagai objek salah sasaran.

Sekarang, ia seperti melepas ribuan hormon kortisol yang sebelumnya membelenggu dirinya. Perasaan lega untuk sementara waktu setidaknya telah menyelamatkan pria itu.

Shaka berbaring di ranjang Tsabi, tepat di sebelah perempuan itu duduk masih berbalut pakaian pengantin.

"Ada apa? Kenapa melihatku begitu?" tanya Shaka santai.

Tsabi tidak menyahut, sebenarnya dia dinikahi jenis pria macam apa. Bukanya bersiap untuk sholat isya lebih dulu sebelum tidur, dia malah langsung berbaring begitu saja masih dengan style yang sama.

"Kenapa berbaring di waktu maghrib, tidakkah seharusnya kamu sholat lebih dulu," kata Tsabi serius.

"Biarlah menjadi urusan aku dan Tuhanku. Kamu duluan saja," ucap Shaka dengan entengnya.

Tsabi tertegun, inikah pria pilihan Abi yang disebut bertanggung jawab. Bukan hanya sebatas menikahi karena sudah terlanjur dihamili, tapi ada harga yang harus dibayar untuk sebuah pertanggungjawaban setelah menjadi imam dalam keluarga. Tsabi tidak melihat tanda-tanda itu padanya.

"Jangan mengguruiku, tunaikan saja kewajibanmu sebagaimana mestinya. Begitupun denganku tanpa harus melapor apa pun yang harus aku lakukan." Shaka urung untuk merebah, dia memilih keluar kamar dan bersiap-siap untuk pulang ke rumahnya.

"Siapkan semua barang-barangmu, malam ini juga kita akan pindah ke rumahku," titah Shaka dingin.

Tsabi kebingungan sendiri, ia merasa belum siap untuk mengikuti pria itu. Terlebih ia benar-benar buta tentang pria itu. Sebenarnya dari belahan bumi mana dan mempunyai pekerjaan apa. Sangat misterius dan tak terbaca.

"Pastikan saat aku kembali ke kamar ini dalam waktu sepuluh menit, kamu sudah siap semuanya," pesan Shaka lalu beranjak.

Pria itu sengaja menemui Ustadz Aka untuk pamitan. Setelah menunaikan sholat berjamaah, Shaka langsung mengutarakan keinginannya.

Pak Aka selaku orang tua memberikan banyak pesan dan harapan. Walaupun keduanya diawali dengan sebuah kesalahan, Pak Aka berharap pernikahan mereka langgeng sampai maut memisahkan. Bisa membawa putrinya ke jalan yang lebih baik lagi.

"Sebenarnya siapa dirimu? Kenapa datang mengaku atas kehamilanku?" tanya Tsabi saat pria itu kembali masuk ke kamarnya untuk berkemas pulang.

"Arshaka Kenandra, suamimu, sah secara agama dan negara. Mulai saat ini, kamu hanya menurut perkataan aku saja, paham," ucap Shaka mengikis jarak. Membuat Tsabi sampai mundur teratur karena kaget.

Komen (9)
goodnovel comment avatar
Ida Nur
siapa sih sebenarnya Shaka ini kak Asri kok kayaknya.gak ada akhlak. mudah mudahan Shabi diperlakukan baik
goodnovel comment avatar
mamafahnan
aku kok malah kasihan sama Ameena ya...masih kecil tapi harus menikah dan jadi pengantin pengganti yg tidak dicintai oleh suaminya...
goodnovel comment avatar
salina90
seharusnya sishaka nanam tuh embrio di rahim siapa siih... ko bs pihak rmh sakit salah sasaran?dan knp hrs shabi yg jd korban..!apa shabi lg jd pasien rmh sakit itu juga......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status