Tsabi terpekur di kamar pengantin dengan harap-harap cemas. Gadis itu duduk sembari memanjatkan doa kebaikan untuk pernikahannya. Walaupun pernikahan itu tidak diharapkan, ia tetap berharap ada keajaiban yang membawanya dalam kedamaian.
Orang-orang tengah sibuk mempersiapkan acara inti. Ijab qobul yang sebentar lagi akan diikrarkan oleh kedua pria berbeda profesi itu.Shaka yang pagi itu didampingi orang-orang pentingnya, sudah siap di depan meja akad. Begitupun dengan Iqbal, menatap dingin pria di sampingnya yang telah merampas calon istrinya hingga berakhir harus menikahi bocah. Andai saja ada kesempatan mengobrol antara dirinya Tsabi, Iqbal akan mempertimbangkannya mengingat dirinya sudah lebih dulu menaruh harapan dan jatuh hati pada putri sulung Pak Kiai."Astaghfirullah ...," batin Iqbal memfokuskan diri. Lebih kepada berserah atas takdir di luar ekspektasi ini.Baik Iqbal dan juga Shaka sama-sama mempersiapkan performa terbaik mereka di hadapan para saksi dan semua orang yang datang.Sementara Tsabi dan juga Amena, sama-sama berada di bilik lain. Amena di ruang sebelahnya sedang Tsabi di kamarnya. Mereka menanti saat detik-detik ijab qobul diikrarkan oleh calon suami mereka.Shaka lebih dulu mengawali dengan bismillah. Pria itu nampak begitu siap menjabat tangan Pak Aka. Di detik yang sama, Iqbal memejam saat pria itu mengikrarkan akad dengan nama Tsabi yang seharusnya diucapkan dirinya. Ada sisi hati yang tidak rela, walau raut wajahnya menyamarkan senyuman dengan batin sesak.Rasanya hati itu mencelos lara, saat kata 'SAH' itu menggema di seluruh ruangan. Mengubah status keduanya detik itu juga. Berat, dan terasa tak mampu untuk berganti mengucapkan ikrar untuk dirinya. Sampai-sampai Iqbal salah beberapa kali hampir menyebut nama Tsabi."Pelan-pelan saja Iqbal, kamu pasti bisa Nak," bisik Ustadz Zubair menguatkan. Demi nama baik keluarga, pria itu menangguhkan hidupnya.Iqbal mengangguk, ia kembali mengosongkan rongga dadanya untuk memasok oksigen banyak-banyak agar lebih rileks. Baru mencoba lagi dengan segenap perasaannya. Diniati bismillah dan keikhlasan, akhirnya sampai juga kata sah dari para saksi menggema seantero bumi Al Hasan.Ada gurat kesedihan di sana, sama persis dengan apa yang dirasakan Tsabi saat ini. Ia harus menerima kenyataan kalau pria yang selama ini didambakan menjadi imamnya, telah sah menjadi suami adiknya.Manusia hanya bisa berencana, selebihnya takdir Tuhan yang bekerja."Maaf, kalau kak Iqbal berat, tidak harus melakukan serangkaian acara setelah akad," ucap Amena seakan tahu kesedihan mantan calon kakak iparnya."Maaf Dek, kalau sikapku membuatmu tidak nyaman," ucap Iqbal mencoba setenang mungkin.Amena dan Iqbal yang menempati kursi pelaminan. Mereka menyambut tamu-tamu yang datang memberi doa restunya. Gadis belia itu pun berhias memakai cadar. Sengaja agar tidak menimbulkan banyak pertanyaan kenapa calon mempelainya diganti.Sementara Tsabi sama sekali tidak keluar dari kamar. Ia hampir tidak punya muka hanya untuk sekadar menampakkan diri di depan keluarga. Semua orang bahkan mungkin saat ini tengah menggunjingkan dirinya."Percumah nangis, tidak akan merubah apa pun." Shaka yang sudah diperbolehkan menemui istrinya di kamarnya menyodorkan tisu.Tsabi hanya diam, seharusnya hari ini adalah hari yang paling membahagiakan untuk dia, tetapi malah air mata yang justru mewarnainya sejak semalam.Perempuan itu seakan menulikan cibiran Shaka yang membujuknya untuk diam."Bukankah ini malam pengantin kita? Seharusnya kamu bersiap menyenangkan suamimu," kata Shaka terang-terangan.DegJantung Tsabi mendadak berdebar kencang, ia baru saja tersadar kalau kini statusnya telah berbeda. Halal untuk pria di depannya. Namun, mengapa ia seakan tidak rela mengiyakan. Terlebih pria itu datang begitu tiba-tiba dengan segala problematika yang ada."Kalau benar aku sedang hamil, harusnya kamu tidak mencampuriku. Karena aku juga tidak tahu, anak siapa yang aku kandung," ucap Tsabi sesak di hati."Sudah kubilang itu anakku, harus aku katakan berapa puluh kata lagi.""Tapi aku tidak pernah merasa berbuat sesuatu denganmu, bagaimana bisa?" tandas Tsabi jelas masih tidak paham dengan keadaan dirinya. Andai saja pria itu tidak datang mengacaukan semuanya, mungkin saat ini dia sedang menikmati malam pengantin indah bersama suami tercinta."Tentu saja bisa, biar nanti kujelasan padamu. Hari ini aku sangat lelah, mari kita berdamai dan tidak menanyakan satu dua hal dulu."Shaka merasa begitu lega saat akhirnya bisa dekat dengan calon anaknya. Bahkan bisa menggenggam ibunya sekaligus, walau jujur, awalnya dia ragu akan bisa melakukan semuanya.Kemarin pria itu dilanda stress berkepanjangan hanya untuk menyelesaikan masalah ini. Terlebih setelah tahu benih yang ditanamnya dengan alat canggih itu bersarang di rahim yang salah. Biar bagaimanapun itu sebuah kelalaian rumah sakit, dan pihaknya yang awalnya merasa sangat dirugikan hampir menuntut. Beruntung pria itu merasa klik saat melihat gadis malang itu yang dinyatakan sebagai objek salah sasaran.Sekarang, ia seperti melepas ribuan hormon kortisol yang sebelumnya membelenggu dirinya. Perasaan lega untuk sementara waktu setidaknya telah menyelamatkan pria itu.Shaka berbaring di ranjang Tsabi, tepat di sebelah perempuan itu duduk masih berbalut pakaian pengantin."Ada apa? Kenapa melihatku begitu?" tanya Shaka santai.Tsabi tidak menyahut, sebenarnya dia dinikahi jenis pria macam apa. Bukanya bersiap untuk sholat isya lebih dulu sebelum tidur, dia malah langsung berbaring begitu saja masih dengan style yang sama."Kenapa berbaring di waktu maghrib, tidakkah seharusnya kamu sholat lebih dulu," kata Tsabi serius."Biarlah menjadi urusan aku dan Tuhanku. Kamu duluan saja," ucap Shaka dengan entengnya.Tsabi tertegun, inikah pria pilihan Abi yang disebut bertanggung jawab. Bukan hanya sebatas menikahi karena sudah terlanjur dihamili, tapi ada harga yang harus dibayar untuk sebuah pertanggungjawaban setelah menjadi imam dalam keluarga. Tsabi tidak melihat tanda-tanda itu padanya."Jangan mengguruiku, tunaikan saja kewajibanmu sebagaimana mestinya. Begitupun denganku tanpa harus melapor apa pun yang harus aku lakukan." Shaka urung untuk merebah, dia memilih keluar kamar dan bersiap-siap untuk pulang ke rumahnya."Siapkan semua barang-barangmu, malam ini juga kita akan pindah ke rumahku," titah Shaka dingin.Tsabi kebingungan sendiri, ia merasa belum siap untuk mengikuti pria itu. Terlebih ia benar-benar buta tentang pria itu. Sebenarnya dari belahan bumi mana dan mempunyai pekerjaan apa. Sangat misterius dan tak terbaca."Pastikan saat aku kembali ke kamar ini dalam waktu sepuluh menit, kamu sudah siap semuanya," pesan Shaka lalu beranjak.Pria itu sengaja menemui Ustadz Aka untuk pamitan. Setelah menunaikan sholat berjamaah, Shaka langsung mengutarakan keinginannya.Pak Aka selaku orang tua memberikan banyak pesan dan harapan. Walaupun keduanya diawali dengan sebuah kesalahan, Pak Aka berharap pernikahan mereka langgeng sampai maut memisahkan. Bisa membawa putrinya ke jalan yang lebih baik lagi."Sebenarnya siapa dirimu? Kenapa datang mengaku atas kehamilanku?" tanya Tsabi saat pria itu kembali masuk ke kamarnya untuk berkemas pulang."Arshaka Kenandra, suamimu, sah secara agama dan negara. Mulai saat ini, kamu hanya menurut perkataan aku saja, paham," ucap Shaka mengikis jarak. Membuat Tsabi sampai mundur teratur karena kaget."Kemasi pakaianmu Tsabi, atau kamu tidak akan membawa apa pun dari sini?" bisik pria itu tepat di dekat telinganya. Hembusan napasnya hangat menyapu pipi, membuat bulu kuduk Tsabi meremang seketika. Gadis itu menoleh dengan wajah memanas dan tubuh deg degan. Takut sekali kalau tiba-tiba suami dadakannya itu mengambil haknya dengan paksa. Pergerakannya yang tiba-tiba benar-benar hampir membuatnya jantungan. "Aku sedang menunggumu, bisa bergerak sekarang?" ucap Shaka gemas lama-lama melihat Tsabi hanya diam. "Aku mau pamit dulu dengan abi dan ummi," ucap Tsabi melangkah keluar dari kamar. Jantung masih berdetak tak beraturan. Biar bagaimanapun dirinya seorang perempuan normal, didekati pria berstatus halal tentu membuatnya berpikir macam-macam. Shaka menghela napas kasar. Baginya waktunya sangat berharga. Dia adalah orang yang hampir tidak pernah sabar menunggu, mengapa berurusan dengan perempuan itu membuatnya seperti tertahan dengan waktu. Kesal, membuat pria itu tak tahan lalu ik
"Tolong ambilkan aku handuk, dan siapkan gantinya," pinta Shaka setengah berbisik. Rasanya jantung Tsabi seperti berhenti berdetak dan mau lompat dari tempatnya, bulu kuduknya merinding semua saat sapuan hangat napas suaminya menyerbu pipi. Tsabi bahkan hanya mampu mengangguk tanpa kata. Pria itu menarik diri memberi jarak, beranjak tanpa dosa. Masuk ke kamar mandi begitu saja. "Huh ... astaghfirullah ...," ucap Tsabi langsung beristighfar begitu punggung suaminya menghilang dibalik pintu. Merasa begitu lega sejenak. "Handuk? Di mana handuk?" Tsabi masuk ke ruang ganti. Mencari-cari kain yang diminta suami misteriusnya itu. Jelas kesulitan mengingat dia belum tahu betul letak barang-barang di rumah ini. Ia pun membuka satu persatu lemari yang memungkinkan kain itu ada di sana. "Di mana sih!" Tsabi menggerutu kesal terus mencari. Ia menemukan setumpukan handuk bersih yang tertata rapih. Langsung menarik satu dari lipatan. Membawanya keluar, dan setelahnya bingung cara memberikan pad
Kenapa perintah Shaka terdengar cukup menakutkan, bukankah suami istri hal yang wajar tidur satu ranjang. Tsabi menatap tempat tidur dengan perasaan bimbang. Sementara Shaka sudah menempati tempat itu lebih dulu. Menatap datar setengah berbaring menyenderkan punggungnya di papan headboard. "Kamu mau berdiri di situ sampai kapan?" tanya pria itu sembari menyambar macbook di nakas. Sibuk dengan sendirinya. Tsabi tidak menjawab, tetapi berjalan mendekat dengan perasaan deg degan. Berharap malam ini tidak ada adegan yang menyebabkan guncangan ranjang. Pikirannya sudah nethink duluan mengingat ini malam pertama mereka. Bukan tidak mungkin pria yang tengah serius dengan gawainya itu tiba-tiba meminta haknya sebagai pasangan halalnya. Pelan gadis itu duduk, mengangkat kedua kakinya menempati ranjang, lalu menarik selimut dengan tubuh mulai merebah. Sekelebat bayangan manis tentang mantan calon imam yang gagal di meja akad. Seharusnya dia kini tengah berbahagia andai saja menikah dengan ma
Tsabi langsung ke kamar mandi, mencari baju kotor Shaka yang baru saja dilepas. Gadis itu benar-benar penasaran apa yang baru saja terjadi. Memungutnya kembali dari ranjang kotor, lalu menelitinya dengan seksama. "Mana sih, kok nggak ada. Jelas sekali tadi pria itu seperti ada darah. Apakah Shaka sudah menguceknya?" gumam Tsabi bertanya-tanya dengan rasa penasaran akut. Ia benar-benar tidak paham, jenis pria seperti apa yang menikahinya. Apa pekerjaannya, apa profesinya dan kenapa terkesan begitu tertutup. Perempuan itu memikirkan hal pagi tadi sampai membawanya di meja makan. Masih begitu sulit dipahami. Semuanya serba mendadak dan sangat misterius. Kehamilan dirinya saja ia masih setengah percaya. Sepertinya Tsabi harus memeriksa langsung ke rumah sakit agar benar-benar yakin. Benarkah di dalam perutnya ada janin? Janin siapa? "Tsabi! Kosongkan piringmu, dan pastikan kamu memenuhi semua nutrisi untuk kandunganmu!" kata pria itu menatap sembari menikmati kunyahan di mulutnya. Merek
"Tapi aku tidak yakin kalau ini anakmu, sampai sekarang saja aku tidak mengerti kenapa aku bisa hamil," terang Tsabi dengan pendapatnya. Dia jelas menolak ajakan Shaka walaupun itu suaminya sendiri. "Apa perlu kita melakukan USG, lalu test DNA?" ucap Shaka gemas. Dia tidak suka hubungan yang memaksa, terlibat hubungan karena memang sudah terlanjur ada ikatan. Cinta, Shaka bahkan hampir tak punya cinta di sepanjang hidupnya. Hatinya dikuasai ambisi dengan segala hidup dan problematika yang ada. "Iya, aku butuh bukti yang real untuk menyakinkan semuanya," jawab Tsabi lugas. "Baik, bagaimana kalau hasilnya sesuai apa yang aku ucapkan?" kata pria itu yakin. Seyakin sikapnya yang begitu tiba-tiba datang mengacaukan acara pentingnya. Sungguh Tsabi tidak akan pernah lupa dengan kejadian yang membuat hidupnya rumit begini. "Aku akan menunaikan kewajibanku setelah aku benar-benar yakin dan memang janin ini anakmu. Ambillah hakmu hari itu juga," ucap Tsabi membuat pernyataan. Biar bagaimanap
Tsabi memanjatkan banyak doa di atas sajadahnya. Selepas subuh, ia tidak langsung beranjak, mengadukan banyak hal pada Tuhan-nya yang mengatur seluruh alam dan isinya. Lebih kepada berserah diri dan mencoba menerima takdir atas dirinya. Tiba-tiba perempuan itu merasa perutnya begitu sakit. Ia meringis tertahan sembari mendesis lara. Melihat mimik wajah istrinya yang tak biasa, Shaka yang nampak anteng memperhatikan dengan seksama langsung turun dari pembaringan. "Kenapa? Perutmu sakit?" tanya pria itu menghampiri dengan raut panik. Tsabi hanya mengangguk tanpa kata. Merasakan perutnya sakit, nyeri dan seperti kencang. "Sakit Mas," desis Tsabi memejam. Tanpa banyak bertanya, Shaka langsung menggendongnya keluar. Pria itu berteriak menggegerkan orang-orang agar segera menyiapkan mobil untuk membawanya ke rumah sakit. Wajah pria itu terlihat sangat panik. Tentu saja takut terjadi apa-apa dengan calon anaknya. Orang Shaka langsung menyiapkan mobil dan membukakan untuk Tuan-nya. "Ke
"Astaghfirullah .... " Tsabi berjingkat resah mendapati Shaka sudah di depan pintu belakang. Bukankah pria itu sudah berangkat ke kantor beberapa menit yang lalu. Raganya memang sudah melaju dari tempat itu, tetapi semua kawasan itu dalam genggaman Shaka. Pria berperawakan tegap itu bisa dengan muda memantau aktivitas Tsabi dari layar ponselnya yang terhubung dengan CCTV rumah. Jadi, sudah pasti pergerakan Tsabi terbaca secara jelas. Pria itu menatap penuh selidik, mata elangnya membisukan bibir Tsabi yang tetiba susah untuk menjawab. "Susah ya nurut apa kata suamimu. Bukankah agamamu mengajarkan itu, harusnya kamu patuhi apa yang sudah kupesankan tadi," kata Shaka dingin. "A-aku hanya ingin keluar sebentar. Aku mendadak ingin es krim, sepertinya calon anak kita mulai nyidam," jawab Tsabi cukup beralasan. Walaupun kadang ia sendiri merasa lupa kalau tengah hamil. "Biar nanti aku belikan sepuas yang kamu mau, masuk, dan kembali ke kamarmu!" titah Shaka serius. "Tapi aku maunya se
Shaka menghampiri meja dengan wajah datar. Membuat Tsabi bertanya-tanya dalam hati. Pria itu bahkan tak melanjutkan makan es krim di depannya. Sibuk dengan gawai di tangannya. Menyebalkan sekali memang. "Sudah?" tanya pria itu melihat Tsabi menghentikan suapannya. "Punya Mas masih banyak, nggak dihabisin?" sahut perempuan itu kembali menyuap ke mulutnya. "Buat kamu saja," jawab Shaka sedingi es di depannya. Sabar, itu yang harus dilakukan agar tetap waras membersamai suaminya yang kaku. Pria itu terus menatap jam di tangannya, seakan menghitung berapa waktu yang tersisa bersamanya. Membuat Tsabi paham akan ketidaknyamanan suaminya. "Mas ada acara lain? Kalau sibuk, tinggalkan aku sendiri. Biar aku pulang dengan taksi," kata Tsabi tak ingin merepotkan. Shaka tidak menjawab, hanya menatap dengan tatapan tanpa ekspresi. Membuat Tsabi serba salah sendiri. Seharusnya kalau repot tidak usah sok mengantar begini. Jadi akan membuatnya tidak nyaman. Tidak mendapat respon dari Shaka membua