MasukHujan baru saja reda ketika Arion menyalakan mesin mobilnya. Sisa air masih menetes dari atap parkiran, menimbulkan suara lembut seperti bisikan. Lampu dashboard menyala redup, menyoroti wajahnya yang tampak tenang dari luar — tapi di baliknya, pikirannya riuh, penuh suara yang saling bertabrakan. Ia menatap layar ponsel.Pesan dari Raka masih terbuka.“Kita harus ketemu. Hari ini. Cukup.”Arion memijat pelipisnya. Kata 'cukup' itu terasa seperti ancaman. Seperti sebuah alarm peringatan yang tak bisa ia matikan. Ia menutup mata sejenak, menghela napas yang panjang dan berat.“Capek…,” gumamnya lirih, nadanya hampir patah. “Capek jadi orang baik cuma di permukaan, seolah-olah sudah sembuh.”Ia membuka mata, menatap pantulan wajahnya di kaca depan, tampak rapi, dingin, teratur. Tapi ia tahu persis, di balik kerapihan itu, tersembunyi seseorang yang dulunya kacau. Seseorang yang sudah terlalu sering menipu, menaklukkan, lalu meninggalkan.Ketukan di jendela memecah lamunannya.Raka berdi
Dengungan mesin mobil seharusnya menenangkan. Setidaknya, seharusnya begitu. Tapi malam itu, suara halus di kabin justru terdengar seperti dengung yang terus-menerus mengingatkan Arion betapa bodohnya ia baru saja bertindak.Ia membiarkan pandangannya menyusuri jalanan kota yang sudah mulai lengang. Lampu-lampu jalan memantul di windshield mobil, berkelebat seperti kilatan-kilatan ingatan yang harusnya sudah ia kubur. Hawa dingin AC membuat kulitnya mati rasa, tapi batinnya justru terasa terbakar, panas sekali.Kenapa aku harus menuruti perasaan itu lagi? Kenapa aku gak bisa belajar?Tangan kirinya mencengkeram setir, sementara tangan kanan bertumpu di kusen jendela. Masih ada aroma tipis parfum Naya yang menempel di ujung kemejanya, sebuah sisa yang membuat dadanya sesak—mengingatkannya pada sesuatu yang seharusnya sudah ia tinggalkan jauh di belakang.Ia memejamkan mata sebentar. Dalam gelap yang singkat itu, wajah Shana langsung melintas. Wajah yang lembut, tenang, dengan sepasang
Lampu ruang tamu apartemen terasa terlalu terang, memaksakan keberadaannya saat malam sudah mencapai puncaknya. Jam di dinding menunjukkan pukul 00:15.Di meja kaca itu, uap dari cangkir kopi telah lama menghilang, meninggalkan sisa aroma pahit yang kini terasa menusuk hidung Shana, mengingatkannya pada kekosongan.Shana duduk bersandar di sofa, badannya lelah namun pikirannya terlalu bising untuk tidur. Ponsel di tangannya menampilkan layar pesan yang sama, yang telah ia buka dan tutup puluhan kali.“Kakak kapan pulang? Kopi buatan aku udah dingin.”Sudah dua jam sejak pesan itu terkirim, dan hanya ada centang satu, yang berarti pesan itu belum sampai, atau mungkin, ponsel Arion mati. Yang jelas, tidak ada balasan. Tidak ada tanda dibaca.Awalnya, ia bisa merasionalisasi. Arion mungkin lembur. Ia mungkin ketiduran di kantor setelah hari yang panjang. Tapi semakin larut, alasan itu terasa seperti selimut tipis yang gagal menutupi hawa dingin yang mulai menjalar di hatinya.Bukan karen
Cahaya kuning yang remang dari lampu di sisi ranjang memantul lembut pada dinding kamar hotel. Udara terasa hangat, sedikit membebani—seolah baru saja menahan terlalu banyak napas dan emosi.Arion masih duduk di tepi ranjang, dengan punggung yang sedikit membungkuk dan rambut yang tidak tertata. Di belakangnya, Naya berbaring, setengah tubuhnya diselimuti seprai putih.Keheningan merayap dan bertahan lama. Hanya terdengar suara detak jarum jam yang memecah kesunyian panjang di antara mereka.Naya akhirnya bersuara pelan, nyaris berupa gumaman."Apa sekarang kamu sudah plong?"Arion tidak langsung menjawab. Pandangannya kosong, tertuju ke jendela, di mana tirai bergoyang pelan tersentuh hembusan pendingin ruangan."Aku tidak tahu," jawabnya pada akhirnya. "Mungkin justru semakin kalut."Naya bangkit, duduk di belakangnya. Ujung jarinya menyentuh punggung Arion, sebuah sentuhan yang sangat perlahan—seolah ingin memastikan keberadaan sesuatu yang nyata."Kalut karena aku, atau karena dir
Uap hangat dari kamar mandi merayap keluar, memenuhi udara kamar hotel dengan aroma sabun dan lembap.Arion masih duduk di tepi ranjang, ponsel tergenggam di tangannya. Pesan dari Shana masih terpampang di layar — pendek, sederhana, tapi menohok di hati.“Kakak kapan pulang? Kopi buatan aku udah dingin.”Ia menatap kalimat itu lama. Setiap huruf terasa seperti beban yang menekan dada. Ada kehangatan di situ — kehangatan yang justru membuatnya semakin sulit bernapas.Pintu kamar mandi terbuka. Naya keluar, mengenakan jubah putih hotel, rambutnya masih basah meneteskan air.Ia berjalan perlahan ke arah Arion, tanpa bicara. Setiap langkahnya terdengar jelas di antara dengung pendingin ruangan.“Masih kepikiran, ya?” suara Naya tenang tapi menusuk.Arion menatapnya sekilas, lalu meletakkan ponselnya di meja. “Nggak, cuma… mikir sesuatu.”Naya tersenyum samar, tapi matanya tajam. “Sesuatu, atau seseorang?”Arion tidak menjawab. Ia tahu, dalam setiap jeda, dalam setiap diam, Naya bisa memba
Suara “bip” pelan terdengar saat kartu kunci disentuhkan ke pintu.Lampu indikator hijau menyala, diikuti suara mekanis kunci terbuka.Arion mendorong pintu dengan gerakan yang tidak hanya malas, tapi ragu-ragu. Tubuhnya terasa berat, seolah setiap otot menolak masuk ke ruangan itu.Kamar hotel itu tenang. Aroma pengharum ruangan yang lembut, khas hotel bintang empat, menyeruak, bercampur dengan udara dingin yang tajam dari pendingin ruangan yang sudah menyala.Naya masuk lebih dulu, bergerak cepat dan familiar. Ia melepas jaket kulitnya, melemparkannya ke sofa, dan meletakkan koper kecilnya dengan hentakan samar di sudut ruangan.Ia berputar, menatap Arion yang masih berdiri mematung di depan ambang pintu, seperti ada medan magnet yang menahannya di luar.“Masuklah, Rion. Kamu berdiri di situ kayak patung lilin yang takut mencair.”Arion menutup pintu pelan, sebuah penutupan yang terdengar final. Ia tidak menjawab. Matanya berkeliling panik, mencari objek netral untuk dijadikan fokus







