Pagi ini, akhirnya Feleesha menuruti permintaan sang ayah untuk jalan-jalan sekeluarga. Sebenarnya dia enggan bersama ibu dan saudara tirinya, tapi demi merayakan kesembuhan ayahnya, dia setuju. Hingga sekarang pun Fahaz tidak tahu jika obat yang dia minum sebelum Faleesha menghentikannya adalah racun untuk melemahkan syaraf penglihatan. “Makasih ya, Sayang. Papa seneng banget kita seperti keluarga utuh seperti ini.” Tak hentinya bibir pria paruh baya itu tersenyum lebar. Faleesha hanya mengangguk samar. “Kita harus sering-sering jalan sama-sama gini, Pa,” timpal sang istri. “Iya nih, Angel ikut bahagia lihat Papa full senyum,” godanya tak mau kalah. “Ah, kamu sayang, bisa aja,” jawab Fahaz. “Ck, dasar serigala,” batin Faleesha. Gadis itu mencebik merasai Angela semakin pandai berpura-pura. “Kenapa kamu diam saja, Faleesha?” tanya sang ayah. “Oh, tidak apa-apa, Pa,” balasnya cepat. Fahaz kembali tersenyum dan menatap satu persatu keluarganya. Seandainya gad
"Eh, bukan begitu, Pa. Jangan salah paham terus dong.” Kini Ervina mulai kesal. Namun, dia tahan sebisa mungkin. “Terus kenapa kamu melarangku?” “Namanya orang hilang ‘kan harus 24 jam dulu baru lapor, nah ini belum ada satu jam, Pa. Lebih baik kita tunggu dulu deh.”Fahaz menggeleng keras. “Tidak, Mi. Aku tidak bisa diam saja. Anakku tidak kembali, dan Papa curiga ada seseorang yang sengaja menjebaknya.” “Hah? Siapa, Pa? Jangan asal tuduh loh, bisa bahaya,” jelas Ervina mengingatkan. “Kamu tunggu sini, aku mau cek bagian CCTV.” Pria itu segera melangkah menjauh tanpa menunggu jawaban sang istri. “Pa! Tunggu!” teriak Ervina. Namun tidak dihiraukan oleh Fahaz. Dia tidak ingin sang istri menghambat langkahnya. “Huh, dasar tua bangka,” gerutu Ervina. “Semoga saja putrimu tidak ditemukan, sampai kau mati sekalipun,” sungutnya. Senyum tersungging di bibirnya yang merah oleh polesan lipstik. Wanita itu pun mengeluarkan ponselnya guna mengecek. “Halo, bagaimana? Berhasil?” tany
Setelah memperhatikan CCTV selama beberapa detik, Sanders yakin istrinya dibawa oleh orang tak dikenal. Dia menghilang setelah bersama wanita tambun itu. “Faleesha, kenapa kau ceroboh sekali,” gumamnya. Bahkan berselang lama, pria itu memperhatikan CCTV tidak ada jejak sang istri keluar lagi dari pintu toilet. “Apa ada jalan lain yang tidak terekam CCTV?” tanya Sanders pada pengelola mall. “Saya rasa tidak ada, Tuan. Satu-satunya jalan tebusan yang cepat mengarah ke basement dan itupun yang bisa mengaksesnya hanya para pegawai saja,” jelas orang itu. “Tuan, sepertinya ada ikut campur orang dalam,” sela Nick menyadari. “Kau benar, kita harus hati-hati,” balas Sanders. Netranya berubah redup, rahangnya mengeras. “Beraninya mereka mengusik milikku,” gumamnya yang masih bisa didengar oleh Nick. Pria muda itu hanya tertunduk. Dia tahu sang majikan sedang meredam amarahSanders pergi meninggalkan lokasi dengan perasaan campur aduk. Siapa kira-kira yang berani menculik istrinya?B
Faleesha menepis tangan Anita dengan kasar. Dia kesal wanita ini terus menghalanginya sejak tadi. “Maaf,” ujarnya lirih. Saat menyadari dirinya bersikap tak sopan. “Aku hanya tidak ingin kau terkena masalah,” jawab Anita. “Apa peduli anda, Bu?” Faleesha menyorot tajam. “Terserah, aku hanya mengingatkan,” balasnya. Sikap gadis ini mengingatkan Anita pada putri kesayangannya. Keras kepala. Dengan gerak cepat Faleesha mengambil ponselnya yang terselip di bawah kaki. Ah, lowbat. “Jadi kau bawa ponsel kemari?” Suara madam Soraya mengagetkan Faleesha. Wanita itu berdiri diambang pintu. Berganti dengan pakaian yang lebih terbuka. Namun tidak dengan Anita, wajahnya masih terlihat acuh. “Sini kembalikan ponselku, masih muda berani sekali kau ambil barang milik orang lain,” sela Anita. Dengan sigap dia meraih ponsel Faleesha dan mengantonginya. Tentu saja gadis itu melotot tak senang. “Ck, bagaimana kau bisa kecolongan. Sama anak bau kencur saja kau bisa kemalingan!” hardik san
Netra Anita membeliak seketika melihat foto yang tak asing baginya. Sebuah keluarga yang hangat. Seorang gadis kecil yang cantik dengan kedua orang tua yang kompak memeluknya. Tubuh wanita itu seketika lemas. Lututnya gemetar. Bertahun lamanya dia tidak pernah merasakan perasaan ini. Naluri keibuannya tidak pernah salah. Tampak Fahaz dan Meera saat masih muda menggendong gadis berusia dua tahun. Dia masih mengingat jelas momen itu. Lidahnya terasa kelu. Air matanya tak dapat ia tahan lagi. “Faleesha? Apa itu kamu, nak?” lirihnya sembari memukul-mukul dadanya pelan. Anita masih menatap foto itu dengan nanar. “Apa yang terjadi sampai-sampai kamu terjebak di sini, Sayang?” ucapnya lagi membelai foto dalam liontin. Tak mau dipenuhi dengan berbagai pertanyaan. Dia harus segera bertanya langsung pada gadis itu. Apalagi jika memang dia putrinya, Anita tidak boleh tinggal diam. Dia tidak akan membiarkan Faleesha disakiti. Wanita itu menyeka air matanya dengan kasar. Bergegas ban
“Ma-ma?” ulang faleesha masih tak percaya. Pantas saja dia merasa pernah mengenalnya. Dia menggeleng pelan. Tidak mungkin. Wajahnya sedikit berbeda. Wanita ini memang cantik, tapi terlampau kurus, dia seperti orang tidak terawat. “Nggak, anda pasti salah orang. Nama saya memang Faleesha, tapi bukan putri yang anda cari.” Gadis itu tidak bisa mempercayai begitu saja ucapan sang ibu. “Mama tahu, pasti kamu tidak akan percaya. Maafkan Mama, Nak. Mama menjalani kehidupan yang sulit selama dua belas tahun ini-” “Setiap malam Mama tidak bisa tidur karena rasa bersalah. Mama seperti mayat hidup." Anita menangis pilu. Dia mengeluarkan kalung yang dia temukan. “Lihat, ini kalung yang Mama berikan padamu, tepat sebelum Mama pergi. Saat ulang tahun kamu yang ke delapan.” Deg. Tubuh Faleesha membeku. Benar, kalung itu dia dapatkan dari ibunya saat berulang tahun. “Kamu menjatuhkannya tadi, kamu selalu memakainya, Sayang?” “Kamu rindu ‘kan dengan kebersamaan kita?” Anita memberanika
“Aku tidak bicara dengan siapa pun, kau salah dengar mungkin,” ucapnya tenang. “Ck, kau pikir aku tuli,” balasnya sengit. “Minggir!” Mimi masuk tanpa permisi. Bahkan dia menyenggol bahu Anita. “Aku kemari karena disuruh madam bersih-bersih,” lanjut Anita. Mimi masih mengawasi ruangan sekitar, memang sedikit kotor, dan debu ada di mana-mana. “Jangan bohong.” Anita hanya menggendikkan bahu. “Terserah kau percaya atau tidak, seperti yang kau tahu, madam selalu mempercayakan urusan apa pun padaku,” jawab Anita mengompori. “Ck, sombong sekali kau,” decak Mimi. Wanita itu memperhatikan satu-satunya lemari yang ada dalam ruangan tersebut. Hampir saja tangannya meraih gagang lemari, namun segera dicegah oleh Anita. “Cepat keluar dari sini sebelum kulaporkan pada madam.” “Memangnya kenapa? Kau takut sekali jika aku membuka lemari ini?” “Apa ada orang di dalam yang kau sembunyikan?” tanya Mimi masih tak beranjak pergi. Wanita itu menaruh kecurigaan yang besar terhadap Anita. “Ja
“Sanders,” lirih Faleesha tertahan. Dia hampir saja menangis kalau pria itu tidak datang tepat waktu. “Berani kau menggores sedikit saja tubuhnya, aku pastikan kalian membusuk di penjara,” ujar Sanders dengan tatapan nyalang. Soraya tak kalah terkejutnya, kenapa keberadaan Sanders bisa kebetulan. Sebenarnya apa hubungannya dengan gadis ini. “Oh Tuan Sanders, aku pikir ada kesalahpahaman di sini,” balasnya lembut. Soraya tahu, dia tidak bisa mencari gara-gara dengan pria ini jika keberlangsungan hidupnya masih ingin berlanjut. “Lepaskan Faleesha!” titahnya. Sanders memberi arahan pada Nick dan kedua orang yang bersamanya agar meringkus dua pria yang menahan istrinya. “Tunggu dulu!” tahan madam Soraya. “Saya rasa ini hanya kesalahpahaman, gadis ini milik saya sejak awal, Tuan. Jadi, saya harap anda tidak ikut campur dengan urusan saya.” Wanita bergaya nyentrik itu berbicara sehalus mungkin. Namun, tatapan Sanders makin terasa menakutkan. Dia siap menerkam musuh. Hanya denga