Di dalam kamar yang hening, Anna berdiri kaku di depan cermin besar, membiarkan gaun satin putih gadingnya memantulkan cahaya. Ia memegang kotak kecil merah muda berisi pil pengaman, hatinya diliputi keraguan. Gaun pengantin yang seharusnya membuatnya bahagia justru terasa berat, seperti beban yang tak sanggup ia pikul.
"Aku tidak mau hamil dari pria lumpuh itu," gumamnya pada diri sendiri. Ini hanya pernikahan palsu, sebuah skenario balas dendam Vivienne Aldric, wanita yang mengadopsinya 15 tahun lalu. Tidak ada cinta, tidak seharusnya ada malam pertama.
Saat ia hendak membuka kotak itu, suara sepatu hak tinggi yang familiar memecah keheningan. Aroma parfum mawar yang selalu ia benci menguar, disusul kemunculan Vivienne. Wanita itu menatap tajam ke arah kotak yang coba Anna sembunyikan.
"Apa itu yang kau minta dari dokter pribadi kita pagi ini?" tanya Vivienne sinis.
Anna tak menjawab, hanya mencoba bersikap tegar. Vivienne mendekat, menyentuh bahunya, dan berbisik dingin, "Tidak mungkin kau hamil, Anna. Calon suamimu itu lumpuh. Badannya saja tak bisa berdiri sendiri, apalagi 'burungnya'?"
Wajah Anna memerah karena malu dan marah. Ia merasa seperti bidak dalam permainan kotor ini. "Tapi untuk berjaga-jaga tidak ada salahnya, Mom," bisik Anna.
Vivienne memotongnya, "Tidak ingin menuruti kata ibumu? Atau tidak ingin melihat wajah pria itu lebih dari satu malam?"
Anna menunduk karna tak punya jawaban.
"Kau harus mengingat satu hal, Anna," kata Vivienne, "keluarga Sinclair menghancurkan hidupku. Ayah Lucien meninggalkanku, dan sekarang, anaknya harus membayar perbuatan kedua orangtuanya."
Anna sudah muak mendengar cerita itu. Ia memejamkan mata, memikirkan Lucian, kakak angkat sekaligus kekasihnya yang berjanji akan menunggunya. "Lucien tahu, bukan? Tentang pernikahan ini?"
"Tentu saja," jawab Vivienne. "Dia yang menyuruhku jangan terlalu menekanmu. Anak itu terlalu bodoh." Ia mendekat lagi, berbisik di telinga Anna, "Aku yang menyelamatkanmu. Jangan lupakan siapa yang membesarkanmu jadi siapa dirimu hari ini."
Kata-kata itu bagai belenggu. Anna akhirnya menyerah. "Baik. Aku akan menikah dengannya. Tapi tolong... jangan bicarakan soal tubuhnya lagi. Itu... tidak pantas."
Vivienne tersenyum sinis dan keluar. Anna duduk di kursi, menatap bayangannya di cermin. Ia nyaris tak mengenali dirinya sendiri. Bibirnya bergetar, tapi air mata tak juga jatuh.
"Lucien, kau janji ini cuma sebentar. Kumohon... jangan buat aku menyesal. Kumohon sabarlah menungguku," bisiknya. Jauh di lubuk hatinya, ia merasa malam ini adalah awal dari kehancurannya sendiri.
***
Pernikahan Anna dan Damien Sinclair berlangsung di sebuah kapel tua. Dingin, kaku, tanpa bunga atau musik. Langkah Anna terasa berat menuju altar, di mana Damien sudah menunggu di kursi roda hitam. Tatapan mereka bertemu. Mata Damien tajam dan misterius juga tanpa senyuman.
Saat pendeta bertanya, Damien sempat terdiam beberapa lama, membuat semua orang cemas, sebelum akhirnya berucap, "Saya bersedia."
Giliran Anna. "Saya... bersedia," jawabnya, mengingat semua alasan palsu di balik pernikahan ini untuk balas dendam, untuk Vivienne, untuk Lucien, bukan untuk cinta.
Janji suci terucap, namun ciuman tak terjadi. Damien hanya mendekat dan berbisik, "Kau terlihat sangat cantik."
Di dalam mobil pengantin, Damien memecah keheningan. "Aku tidak tahu kenapa kau mau menikahiku, Anna Valleria."
Anna membeku seketika.
"Aku tahu cerita masa lalu ibumu bahkan aku tahu tentang kau dan Lucien."
"Kau... memata-matai aku?" tanya Anna tak percaya.
"Tidak perlu," jawab Damien datar. "Ibumu sudah bicara terlalu banyak pada orang-orang yang salah. Dunia ini kecil, Anna. Apalagi dunia orang kaya yang berpura-pura bahagia."
Anna merasa terhimpit.
"Kau menikahiku untuk alasan yang salah," lanjut Damien, "tapi... aku akan memanfaatkan itu."
"Apa maksudmu?" bentak Anna.
"Kau ingin membayar utangmu pada ibumu, bukan? Maka bayar juga padaku," ucapnya dengan senyum miring. "Dengan menjadi tawanan."
"Aku bukan bonekamu, jadi kau tidak berhak mengaturku." kata Anna.
"Tidak," sahut Damien, "tapi mulai malam ini, kau adalah milikku. Dan aku akan menyentuh apa pun yang menjadi milikku."
Mobil berhenti di mansion Sinclair. Pintu terbuka. Sebelum Anna sempat lari, Damien berdiri dari kursi rodanya. Tegak, stabil, tanpa bantuan siapapun dan apapun.
Anna menatapnya seperti melihat hantu. "Kau... kau tidak lumpuh?"
Damien tersenyum penuh kemenangan. "Oh, Anna. Permainan ini bahkan belum dimulai."
---TBC---
Anna mengangkat sebelah alisnya, penasaran.Damien mendekat, mengunci pergerakan Anna. Lidahnya bermain, seolah menantang Anna untuk beradu. Anna menolak seperti biasa, tapi Damien tak menyerah. Ciumannya turun, menjelajahi leher hingga dadanya.“Ahhh...”Akhirnya Anna mendesah tanpa sadar. Bibirnya tertahan, namun desahan itu tak bisa membohongi Damien. Tangan Damien juga mulai bermain di bawah, perlahan namun membuat Anna tak karuan. Tepat saat Anna hampir mencapai puncaknya, Damien menjauh.“Oke, sudah waktunya kita makan malam di bawah,” ucap Damien seolah tak terjadi apa-apa.Anna menelan ludah, napasnya tersengal. Dia terkejut. Bagaimana bisa Damien berhenti begitu saja saat dia hampir meledak? Tapi Anna terlalu malu untuk meminta Damien melanjutkan.“Gimana? Mau makan malam atau---““Makan malam!” potong Anna cepat. Dia sudah cukup merasa dipermalukan di depan Damien.&ldqu
Anna menatap mata yang dingin itu. Jauh di lubuk hatinya, ia tahu satu hal. Jika ingin bertahan, ia harus mulai melawan.Keesokan harinya, Anna mulai membuat salinan semua dokumen yang ia kirim dan menyimpannya di drive pribadi. Ia juga diam-diam mempelajari sistem log perusahaan dan mencatat setiap waktu akses file. Benar saja, ada dua dokumen yang diakses ulang oleh akun Bianca tepat setelah Anna mengunggahnya. Namun, satu file terpenting. laporan Zurich hilang total. Tidak hanya dihapus, tetapi benar-benar musnah dari server utama.Jantung Anna berdegup kencang saat menatap layar laptopnya. Sekretaris Damien bukan hanya ingin menyingkirkannya. Dia ingin Damien sendiri yang membuangnya.Anna berdiri di depan kaca, memandangi bayangannya. Ia sadar, cinta saja tidak akan cukup untuk bertahan di rumah ini. Ia harus cerdas, licik dan harus tega."Bianca yang memulai perang. Aku harus siap membalasnya. Tapi kenapa aku harus terlalu ikut campur? Bukankah aku tidak menyukai Damien? Tugasku
Aroma kopi pekat dan parfum mahal menguar di ruang rapat utama lantai lima. Pagi itu, Anna terpaksa hadir. Duduk di ujung meja panjang, ia merasa kecil di antara para penasihat hukum perusahaan yang mengapitnya. Gaun formal berwarna abu-abu lembut membalut tubuhnya, namun rasa malu jauh lebih terasa. Sebab ia masih merasa sebagai istri sementara Damien.Entah mengapa ia begitu pasrah saat Damien memintanya ikut mengurus perusahaan setelah dua hari lalu ia dikurung di kamarnya. Seolah-olah hidupnya sudah bukan miliknya lagi.Sepuluh menit kemudian, Damien masuk. Langkahnya cepat, dingin, dan penuh wibawa. Seluruh orang di ruangan berdiri serentak. Di belakangnya, seorang perempuan anggun mengikuti. Setelan hitam yang pas dengan ukuran badannya, rambut diikat rapi, clipboard di tangan kanan, dan tablet di tangan kiri.“Selamat pagi, semuanya,” sapa Damien tanpa melirik Anna sedikit pun.Perempuan itu menarik kursi tepat di samping Damien. Dengan
BRAKK !Pintu kamar terbanting terbuka dengan kasar. Langkah kaki Damien menghentak lantai marmer, bergegas dan penuh amarah yang mendidih. Anna, yang baru saja melepas sepatu, membeku di tempatnya. Jantungnya serasa berhenti berdetak sesaat.Tubuh Damien kini berdiri tegap di ambang pintu, siluetnya mengancam. Mata gelapnya menancap langsung ke pupil mata Anna seolah sedang menghakiminya."Kau mau lari... lagi, hmm?" suaranya nyaris berbisik, namun justru membuat Anna gemetar hebat."A-aku..." Suara Anna tercekat, mencoba menyangkal meskipun tubuhnya tak bisa berbohong. tas kecil, dompet, bahkan ponsel, semua tetap tersembunyi di balik kardigan.Damien berjalan perlahan ke arahnya, seperti predator yang mengintai mangsanya. Tapi bukan karena amarah atau benci semata. Ada sesuatu yang lebih dalam di wajahnya yaitu luka dan frustrasi."Kau pikir aku akan diam saja? Setelah semua ini?" suaranya dalam, mengandung racun kekecewaan. "Setelah aku memberimu tempat tinggal, makan, keamanan, d
Air mata jatuh sebelum sempat ia sadari. Ia membuka satu per satu dokumen. Sebuah percakapan email antara Viviane dan seseorang bernama “L”—jelas Lucian. Kalimat-kalimat yang menusuk, membicarakan Anna seolah hanya alat.“Begitu dia menikah dengan Damien, aku bebas. Selena juga tak perlu kusembunyikan lagi.”“Viviane, tolong jaga agar dia tak kembali. Aku tak ingin Anna melihat kami sebelum waktu yang tepat.”Anna mematung. Nafasnya sesak. Ia hampir tidak bisa menelan rasa pahit yang mendadak memenuhi kerongkongannya. Semua yang ia pertahankan, kenangan, cinta, harapan bahwa suatu hari ia akan kembali ke pelukan Lucian ternyata tidak lebih dari kebohongan yang dikemas rapi.Ia menggeleng, menutup laptop. Tapi semuanya sudah terlanjur terekam dalam kepalanya.Lucian...Selama ini, Damien yang ia benci, ternyata adalah satu-satunya yang tetap jujur dengan ketidakjujurannya. Sementara Lucian, pria yang ia percaya sampai akhir... adalah kebohongan itu sendiri.Dan Anna tertawa. Pelan. Pah
Viviane tersengal pelan, tubuhnya seperti kehilangan kendali, dan dalam pandangan mata yang remang itu, Anna melihat sesuatu yang ganjil dan terlihat ketakutan. Ketakutan seorang ibu. Atau mungkin sekadar ketakutan seorang manusia yang kini tahu ia bukan lagi siapa-siapa.Anna ingin tertawa, tapi yang keluar malah sesak. Ia duduk di lantai, menatap lantai marmer yang dulu ia pel dengan tangan sendiri karena dihukum. Kini marmer itu dingin menempel di kakinya yang basah kuyup."Aku mau gugurin anak ini," katanya, lirih, tapi tajam. "Anak dari pria yang kau paksa jodohkan denganku. Anak dari rencana yang kau buat sendiri. Tapi sekarang aku lihat kau seperti ini..."Ia menoleh ke arah Viviane, yang tampak mulai kelelahan bahkan hanya untuk menangis."Aku benci kau... tapi aku juga benci rasa kasihan ini."Viviane merintih, tubuhnya merosot lebih dalam ke kursi, dan Anna bangkit.Ia menyusuri rumah. Mencari kotak P3K, mencari handuk, mencari botol air. Ia menemukan semua itu dalam lemari