Share

Bab 03

last update Last Updated: 2024-11-05 09:02:44

"Kamu denger sendiri kan? Mama kamu itu keras kepala, bahkan ucapan kamu aja gak di dengar sama dia."

Liam melepaskan dasinya dengan kasar. Ia melempar benda itu ke lantai dan melihat ke arah Nayya sang istri. Beberapa waktu yang lalu mereka berdua baru saja pulang dari rumah bu Widuri untuk makan malam bersama.

"Jaga bicara kamu, Nayya! Gimana pun juga, dia itu mertua kamu."

Nayya melipat kedua tangannya di dada. Perempuan dengan lipstik merah itu tampak lelah dengan balasan sang suami yang ujung-ujungnya pasti menyudutkan dirinya.

"Lupain soal itu, Mas! Sekarang apa yang harus kita lakukan?" tanya Nayya setengah frustasi. Bagaimana tidak, kedatangan mereka ke rumah Widuri beberapa waktu yang lalu sama sekali tak membuahkan hasil. Widuri masih bersih kukuh untuk memaksa Liam dan Nayyara bercerai jika tidak kunjung juga mendapatkan momongan.

Dan Liam— walaupun berusaha membantah, namun pada akhirnya dia hanya bisa pasrah pada perintah sang Mama.

"Ya semua itu kan tergantung kamu."

"Loh? Kok tergantung aku?"

"Iya. Siapa lagi?"

Nayya menatap Liam dengan ekspresi marah, napasnya bergetar. "Maksud kamu, semua ini salah aku kalau kita gak punya anak dalam waktu yang Mama kamu tetapkan?"

Liam mendesah, mencoba menenangkan diri, tapi nada suaranya tetap dingin. "Yah. Kan kamu pihak perempuan. Lagian, masalahnya kan emang ada di kamu. Kalau kamu bisa hamil, gak mungkin kan Mama sampai ulti kita seperti tadi."

"Kamu serius ngomong kayak gitu?" Nayya tertawa pahit. "Hamil dan punya anak itu harus diperjuangkan sama dua orang Mas, SUAMI dan ISTRI!"

Nayya menatap suaminya tajam, frustasi dan terluka. "Gimana aku bisa hamil kalau kamu bahkan hampir gak pernah nyentuh aku! Kamu pulang larut, capek, dan tidur. Kita jarang punya waktu bersama, apalagi selama ini kamu juga nolak ke dokter kan? Siapa tau sperma kamu yang bermasalah, bukan aku!"

Liam terdiam sejenak, ekspresinya mulai berubah, tapi tetap enggan mengakui kesalahannya. "Aku kerja buat kita, buat masa depan kita juga. Dan harus berapa kali aku tekankan, AKU INI SEHAT!"

"Di mana aku di masa depan kamu itu, Mas? Di mana Mas?" Nayya berkata dengan suara bergetar, menahan air mata yang hampir jatuh. "Setiap hari Mama kamu menyalahkan aku, memaksakan kehendaknya, dan kamu hanya diam. Sekarang kamu malah bilang ini tergantung aku?"

"Gak usah bicara soal masa depan, Mas. Sekarang aja kamu udah terlalu egois."

"Cukup, Nayya! Aku gak mau kita berantem."

Nayya menggeleng. "Gak bisa Mas! Aku gak terima terus disalahkan!"

Liam meremas kedua tangannya dengan kesal. "Aku udah bilang cukup, Nay! Kamu jangan buat aku semakin emosi!"

Nayya menggeleng, air matanya mulai mengalir.

"Aku udah bosan denger kamu ngeluh terus!"

"Kamu pikir aku juga gak capek apa?"

Liam mendekati Nayya. Ekspresi wajahnya tampak marah. "Terus mau kamu apa?!"

"Ayo kita ke dokter! Kita cari tau siapa yang bermasalah di sini, AKU atau KAMU!" balas Nayya setengah berteriak. Dia sudah emosi setengah mati karena semua orang menyalahkannya.

Liam tiba-tiba melangkah cepat, menarik lengan Nayya dengan kasar. "Denger ya, Nayya! Aku gak mau pergi ke dokter."

Nayya tersentak, menahan sakit di lengannya, tapi tetap menatap Liam penuh keberanian. "Kenapa? Kamu takut? Kamu takut kalau hasil labnya gak sesuai dengan harapan kamu?"

"Kamu takut kan kalau dokter bilang yang mandul itu kamu! Aghh..." Nayya merintih kesakitan saat Liam meremas pipinya.

Liam semakin mempererat genggaman tangannya di pipi Nayya, membuat wanita itu meringis kesakitan. "Kamu bener-bener gak tau diri, ya?" suara Liam terdengar bergetar menahan amarah. "Berani sekali kamu ngomong kayak gitu ke suami sendiri?!"

Nayya mencoba melepaskan diri, air matanya mengalir semakin deras. "Kalau kamu ngerasa sehat, kenapa kamu selalu nolak buat periksa? Gimana aku gak nuduh kamu kayak gitu kalau kamu sendiri aja gak mau diajak kerja sama."

Liam memejamkan mata sejenak, lalu melepaskan genggamannya dengan kasar. "Itu bukan urusan kamu, Nay! Lagipula periksa atau enggak itu semua terserah padaku! Kamu tidak punya hak untuk memerintahku kan?!" Ia menunjuk-nunjuk ke arah Nayya yang tersungkur ke sofa, wajahnya masih memerah akibat genggaman keras Liam.

Dia menatap suaminya, matanya penuh kesedihan dan kekecewaan. Bertahun-tahun menikah baru kali ini Liam bersikap kasar.

"Kamu cukup jadi istri yang baik, melayaniku, menyiapkan semua yang aku butuhkan, termasuk soal seks."

"K- kamu anggap aku ini apa, Mas?" Nayya semakin terisak. Hatinya sakit mendengar perkataan suaminya tersebut. Liam yang dulu penyayang, kini berubah terlalu jauh menurutnya. "Padahal aku cuma mau kerja sama kamu agar kita bisa punya anak. Aku juga minta kamu ngelakuin ini supaya Mama gak nyuruh kita cerai. Tapi kamu—"

"Kamu ini terlalu dramatis! Tugas kamu itu cuma patuh padaku! Soal Mama atau yang lain, kita pikirkan saja nanti!" Tanpa menunggu jawaban, Liam mengambil kunci mobilnya dan berjalan cepat menuju pintu.

"Mas! Jangan pergi!" Nayya memanggil dengan suara terisak, namun Liam tak berhenti. Pintu pun tertutup dengan keras, meninggalkan Nayya sendiri di kamarnya dengan dada yang terasa sesak.

Nayya memeluk dirinya sendiri, tubuhnya gemetar. Air mata tak henti mengalir, menyadari bahwa lelaki yang dulu dia cintai kini berubah menjadi sosok asing yang tak lagi peduli pada perasaannya.

Sementara itu, Liam berjalan dengan langkah tegas. Ia menuruni tangga menuju lantai dasar. Nafasnya terdengar memburu, dadanya naik turun seiring langkah kakinya, sepertinya pria 30 tahunan tersebut sedang berusaha menetralkan emosinya.

"Tuan mau pergi?"

Liam melirik ke arah Galen yang baru saja keluar dari kamarnya. Ia membuang nafas sebelum membalas, "Hm. Kamu jaga rumah baik-baik."

Galen memberikan anggukan kecil, sementara kedua manik gelapnya, sibuk menatap punggung Liam yang semakin jauh dan menghilang di balik pintu depan. Tidak ada kata-kata ataupun pertanyaan lain yang keluar dari mulut bodyguard tampan tersebut, tetapi dari ekspresi Liam yang gelap dan langkahnya yang berat, Galen tahu persis ada sesuatu yang tidak beres.

Tak lama setelah suara mobil Liam menghilang, sebuah yang cukup keras dari lantai atas berhasil menarik perhatian Galen. Suara itu samar, namun cukup jelas baginya.

"Nona!!!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hasrat Terlarang Sang Bodyguard   Bab 119

    Nayya memiringkan kepala, menatap garpu kecil berisi semangka yang disodorkan Galen ke arahnya. Ia menyipitkan mata, lalu meraih garpunya sendiri dari meja dan berkata, “Aku bisa makan sendiri, Galen.” Galen tak bergeming. “Aku tahu. Tapi aku pengen suapin baby di perut kamu." “Galen…” Nayya memperingatkan dengan nada setengah malas. Pria itu tetap tak bergerak, garpunya masih terulur. Tatapannya tenang, tak ada paksaan, hanya perhatian yang begitu lembut. Akhirnya, Nayya mendesah pasrah. Ia sedikit menunduk dan membuka mulutnya, membiarkan Galen menyuapkan potongan semangka ke dalam mulutnya. Dingin, manis, dan segar. Tapi lebih dari itu, ada kehangatan aneh yang menjalar diam-diam dari dadanya ke seluruh tubuh. “Lihat? Gak susah kan nerima perhatian dariku?” goda Galen sambil tersenyum. “Sedikit?” Nayya mengangkat alis. “Kamu ini paket full service.” “Anggap aja bonus karena kamu orang spesial,” balas Galen santai. Nayya menunduk, tersenyum kecil. Tangannya bergerak ke arah

  • Hasrat Terlarang Sang Bodyguard   Bab 118

    Selesai membantu menata beberapa barang milik Nayya di kamar barunya, Galen membersihkan tangannya dengan handuk kecil yang tadi ia ambil dari dapur. Sore mulai merambat ke malam, cahaya jingga berubah redup, berganti dengan siluet lampu-lampu kota yang mulai menyala dari jendela balkon.“Kalau begitu, saya siapkan makan malam, ya?” katanya ringan, memecah keheningan yang nyaman di antara mereka.Nayya mengangguk pelan. “Makasih, Galen.”Ia duduk di tepi ranjang, memegangi perutnya yang terasa sedikit kencang. Mungkin karena terlalu banyak berjalan hari ini, atau mungkin juga karena emosinya tadi. Entahlah. Yang jelas, tubuhnya mulai terasa letih.Sementara Galen sibuk di dapur, aroma tumisan mulai menyebar ke seluruh apartemen. Nayya bisa mendengar bunyi spatula yang sesekali beradu dengan wajan, diselingi suara panci mendidih dan gesekan pelan ketika Galen membuka laci atau kulkas.Tak lama, pria itu muncul kembali di ambang pintu dengan dua piring makan dan satu mangkuk sup. “Seder

  • Hasrat Terlarang Sang Bodyguard   Bab 117

    “Galen... Kamu itu bicara apa sih?" katanya lirih. "kamu tau kan aku ini calon janda. Kamu gak malu punya pasangan janda?""Menikah dengan anda adalah salah satu tanggungjawab saya atas anda dan juga anak yang ada di perut anda," ungkap Galen dengan nada tenang dan ekspresi penuh keyakinan. "Dan janji saya adalah menunggu anda sampai anda mau menerima saya."Nayya menghela nafas. Tatapannya masih tertuju ke arah Galen. "Berapa lama kamu bakal nunggu? Aku yakin itu gak bakal berlangsung lama kan?""Mau taruhan?" tantang Galen. Melihat perubahan ekspresi Nayya yang semakin cemberut, ia pun berkata, "jangan bahas itu lagi, Nona. Lebih baik anda masuk sekarang dan coba pilih kamar mana yang ingin anda tempati."Nayya hendak mengatakan sesuatu, tapi lagi-lagi Galen menyela ucapannya dan menariknya masuk ke dalam.Begitu masuk, Galen berjalan lebih dulu menyusuri dalam apartemen yang mengarah ke beberapa pintu. Tangannya menunjuk satu per satu sambil menjelaskan dengan santai.“Yang ini kam

  • Hasrat Terlarang Sang Bodyguard   Bab 116

    Pagi datang perlahan, membawa sinar matahari yang menyusup malu-malu lewat sela-sela tirai butik. Aroma kain dan lavender masih menyelimuti ruangan, tapi kini bercampur dengan hawa pagi yang sedikit lebih hangat.Nayya membuka mata dengan pelan. Lehernya terasa kaku karena tidur di posisi yang salah. Ia duduk sambil mengusap perutnya, mengeluh pelan saat nyeri ringan menyapa punggungnya.Saat ia melirik ke bawah, ia sadar Galen sudah tidak ada di tempatnya. Jaket yang tadi malam ia berikan pun terlipat rapi di sisi karpet. Nayya sempat menatap kosong ke tempat itu beberapa detik, lalu menghela napas.“Mungkin dia pulang,” gumamnya pelan.Tapi Nayya tidak terlalu ambil pusing. Ia bangkit dari sofa, lalu berjalan pelan menuju kamar mandi kecil di pojok butik untuk membersihkan diri.Baru beberapa menit setelah ia keluar dari kamar mandi, pintu samping butik terbuka. Galen muncul dengan bungkusan kertas dan satu botol susu di tangan.“Pagi, Nona,” sapanya sambil sedikit terengah. “Saya b

  • Hasrat Terlarang Sang Bodyguard   Bab 115

    Mobil melaju pelan di jalanan kompleks elit yang mulai sepi. Di dalamnya, hanya suara mesin dan desahan napas berat Nayya yang terdengar. Galen melirik ke kaca spion, memperhatikan wanita yang duduk diam di kursi belakang dengan mata sembab dan wajah lelah.Setelah beberapa menit dalam keheningan, Galen akhirnya bertanya pelan, “Nona mau saya antar ke mana?”Nayya mengusap pipinya, mencoba merapikan suara yang masih basah oleh tangis. “Ke butik aja, Galen.”Galen melirik ke arah spion tengah dengan kening berkerut. “Ke butik? Tapi—""Hm. Aku istirahat di sana aja malam ini," potong Nayya cepat. “Lagipula di sana tempatnya sepi dan tenang. Jadi aku mau istirahat di sana aja malam ini."Galen menghela napas. “Saya ngerti Nona butuh ketenangan. Tapi di sana Nona gak bisa istirahat dengan layak. Setidaknya ikut saya ke apartemen, atau saya bookingin hotel... yang penting Nona bisa istirahat dengan nyaman. Apalagi Nona sedang hamil."

  • Hasrat Terlarang Sang Bodyguard   Bab 114

    Nayya menatapnya sebentar. Mata mereka bertemu—mata yang dulu penuh cinta, kini hanya menyisakan luka dan kecewa. “Kesempatan itu udah aku kasih bertahun-tahun, Mas. Dan kamu buang semuanya.”Liam menggenggam tepi pintu mobil, nadanya mulai putus asa. “Aku bisa buktiin! Apa pun yang kamu mau, Nay... aku lakuin! Jangan pergi kayak gini... tolong.”Nayya menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berpacu cepat karena campuran marah, sedih, dan iba. Tapi ia tahu, kali ini bukan saatnya goyah.“Keputusanku udah bulat Mas!" ucapnya pelan. “aku gak mau terus hidup sama orang yang udah buat kedua orang tuaku meninggal!"Pintu mobil ditutup perlahan oleh Galen, tapi suara klik-nya terdengar seperti tembakan di dada Liam. Ia berdiri terpaku saat mobil mulai berjalan mundur, lalu melaju perlahan melewati gerbang rumah yang dulu mereka bangun bersama.“Nayyaaa!!”Liam berteriak memanggil nama istrinya, tapi yang ia

  • Hasrat Terlarang Sang Bodyguard   Bab 113

    Langkah kaki Liam terdengar semakin mendekat ke kamar. Pintu yang tak sepenuhnya tertutup pun akhirnya terdorong perlahan. Ia berdiri di ambang pintu, membisu selama beberapa detik saat melihat pemandangan di hadapannya.Nayya sedang membuka lemari, menarik satu per satu baju dan memasukkannya ke dalam koper besar berwarna hitam. Gerakannya cepat, tegas, tanpa ragu sedikit pun. Raut wajahnya dingin, matanya sembab tapi tegas.“Nay... kamu ngapain?” tanya Liam akhirnya, suaranya pelan tapi penuh tekanan.Nayya tak menjawab. Ia hanya melipat sehelai dress dan menekannya ke dasar koper.Liam masuk ke kamar, mendekat dengan hati-hati. “Kamu... kamu beneran mau ninggalin aku?”Nayya menoleh, menatapnya lurus. “Apa aku terlihat main-main, Mas?” suaranya dingin, nyaris tanpa emosi.Liam mengerutkan kening, seolah belum percaya dengan apa yang terjadi. “Terus anak kita gimana? Kasian dia Nay! Dia pasti butuh sosok ayah.”Nayya terkekeh pendek, getir. “Anak kita?” Ia menatap Liam tajam. “Mendi

  • Hasrat Terlarang Sang Bodyguard   Bab 112

    “Mas Liam benar-benar keterlaluan.""Tidak ada yang harus disesali Nona, atas semua yang sudah terjadi. Yang penting sekarang Nona harus bangkit dan melawan balik Tuan Liam. Karena saya yakin dia juga tidak akan diam saja, apalagi setelah mendengarkan ancaman anda kemarin.""Aku tau, makanya setelah ini aku akan bertemu pengacara. Aku—" Nayya menelan ludah. "Aku akan mengajukan permohonan cerai. Aku sudah muak dengan Mas Liam dan semua drama yang dia buat. Aku ingin lepas darinya, Galen."Galen tersenyum, tangannya terulur untuk membantu Nayya bangkit. "Apapun keputusannya. Saya akan selalu mendukung anda, Nona."Nayya bangkit dan berdiri berhadapan langsung dengan Galen. Ia menghapus air matanya dan tersenyum tipis ke arah pria itu. Nayya juga tidak lupa mengucapkan terimakasih sebelum mengajak Galen pergi dari sana.Tujuan mereka selanjutnya adalah mencari solusi agar dia dan Liam bisa segera bercerai.***Kantor hukum itu terletak di sebuah bangunan tua namun elegan di pusat kota.

  • Hasrat Terlarang Sang Bodyguard   Bab 111

    "Galen..." bisiknya.Pria itu berdiri perlahan dari kursinya, lalu berlutut di depan Nayya. Tangannya masih menggenggam tangan perempuan itu. “Saya tahu ini bukan waktu yang tepat... Tapi saya akan tetap di sini. Menjaga Nona. Menemani. Apapun yang terjadi.”Tanpa sadar, air mata menetes dari sudut mata Nayya. Tapi kali ini bukan karena luka. Melainkan karena kehangatan—sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan.Dan ketika Galen dengan hati-hati menyentuh pipinya, menyeka air mata itu dengan jari-jarinya yang hangat, Nayya membiarkan dirinya tenggelam sejenak dalam sentuhan itu.“Terima kasih,” ucapnya pelan. “Terima kasih karena tetap di sini.”Galen hanya mengangguk, lalu mengecup punggung tangan Nayya penuh hormat dan kelembutan."Galen...""Iya Nona?""Setelah keluar dari rumah sakit, tolong temanin aku ya!"Galen menatap perempuan itu penuh tanya. "Nona mau ke mana?"Nayya hanya diam tanpa

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status