"Kamu denger sendiri kan? Mama kamu itu keras kepala, bahkan ucapan kamu aja gak di dengar sama dia."
Liam melepaskan dasinya dengan kasar. Ia melempar benda itu ke lantai dan melihat ke arah Nayya sang istri. Beberapa waktu yang lalu mereka berdua baru saja pulang dari rumah bu Widuri untuk makan malam bersama. "Jaga bicara kamu, Nayya! Gimana pun juga, dia itu mertua kamu." Nayya melipat kedua tangannya di dada. Perempuan dengan lipstik merah itu tampak lelah dengan balasan sang suami yang ujung-ujungnya pasti menyudutkan dirinya. "Lupain soal itu, Mas! Sekarang apa yang harus kita lakukan?" tanya Nayya setengah frustasi. Bagaimana tidak, kedatangan mereka ke rumah Widuri beberapa waktu yang lalu sama sekali tak membuahkan hasil. Widuri masih bersih kukuh untuk memaksa Liam dan Nayyara bercerai jika tidak kunjung juga mendapatkan momongan. Dan Liam— walaupun berusaha membantah, namun pada akhirnya dia hanya bisa pasrah pada perintah sang Mama. "Ya semua itu kan tergantung kamu." "Loh? Kok tergantung aku?" "Iya. Siapa lagi?" Nayya menatap Liam dengan ekspresi marah, napasnya bergetar. "Maksud kamu, semua ini salah aku kalau kita gak punya anak dalam waktu yang Mama kamu tetapkan?" Liam mendesah, mencoba menenangkan diri, tapi nada suaranya tetap dingin. "Yah. Kan kamu pihak perempuan. Lagian, masalahnya kan emang ada di kamu. Kalau kamu bisa hamil, gak mungkin kan Mama sampai ulti kita seperti tadi." "Kamu serius ngomong kayak gitu?" Nayya tertawa pahit. "Hamil dan punya anak itu harus diperjuangkan sama dua orang Mas, SUAMI dan ISTRI!" Nayya menatap suaminya tajam, frustasi dan terluka. "Gimana aku bisa hamil kalau kamu bahkan hampir gak pernah nyentuh aku! Kamu pulang larut, capek, dan tidur. Kita jarang punya waktu bersama, apalagi selama ini kamu juga nolak ke dokter kan? Siapa tau sperma kamu yang bermasalah, bukan aku!" Liam terdiam sejenak, ekspresinya mulai berubah, tapi tetap enggan mengakui kesalahannya. "Aku kerja buat kita, buat masa depan kita juga. Dan harus berapa kali aku tekankan, AKU INI SEHAT!" "Di mana aku di masa depan kamu itu, Mas? Di mana Mas?" Nayya berkata dengan suara bergetar, menahan air mata yang hampir jatuh. "Setiap hari Mama kamu menyalahkan aku, memaksakan kehendaknya, dan kamu hanya diam. Sekarang kamu malah bilang ini tergantung aku?" "Gak usah bicara soal masa depan, Mas. Sekarang aja kamu udah terlalu egois." "Cukup, Nayya! Aku gak mau kita berantem." Nayya menggeleng. "Gak bisa Mas! Aku gak terima terus disalahkan!" Liam meremas kedua tangannya dengan kesal. "Aku udah bilang cukup, Nay! Kamu jangan buat aku semakin emosi!" Nayya menggeleng, air matanya mulai mengalir. "Aku udah bosan denger kamu ngeluh terus!" "Kamu pikir aku juga gak capek apa?" Liam mendekati Nayya. Ekspresi wajahnya tampak marah. "Terus mau kamu apa?!" "Ayo kita ke dokter! Kita cari tau siapa yang bermasalah di sini, AKU atau KAMU!" balas Nayya setengah berteriak. Dia sudah emosi setengah mati karena semua orang menyalahkannya. Liam tiba-tiba melangkah cepat, menarik lengan Nayya dengan kasar. "Denger ya, Nayya! Aku gak mau pergi ke dokter." Nayya tersentak, menahan sakit di lengannya, tapi tetap menatap Liam penuh keberanian. "Kenapa? Kamu takut? Kamu takut kalau hasil labnya gak sesuai dengan harapan kamu?" "Kamu takut kan kalau dokter bilang yang mandul itu kamu! Aghh..." Nayya merintih kesakitan saat Liam meremas pipinya. Liam semakin mempererat genggaman tangannya di pipi Nayya, membuat wanita itu meringis kesakitan. "Kamu bener-bener gak tau diri, ya?" suara Liam terdengar bergetar menahan amarah. "Berani sekali kamu ngomong kayak gitu ke suami sendiri?!" Nayya mencoba melepaskan diri, air matanya mengalir semakin deras. "Kalau kamu ngerasa sehat, kenapa kamu selalu nolak buat periksa? Gimana aku gak nuduh kamu kayak gitu kalau kamu sendiri aja gak mau diajak kerja sama." Liam memejamkan mata sejenak, lalu melepaskan genggamannya dengan kasar. "Itu bukan urusan kamu, Nay! Lagipula periksa atau enggak itu semua terserah padaku! Kamu tidak punya hak untuk memerintahku kan?!" Ia menunjuk-nunjuk ke arah Nayya yang tersungkur ke sofa, wajahnya masih memerah akibat genggaman keras Liam. Dia menatap suaminya, matanya penuh kesedihan dan kekecewaan. Bertahun-tahun menikah baru kali ini Liam bersikap kasar. "Kamu cukup jadi istri yang baik, melayaniku, menyiapkan semua yang aku butuhkan, termasuk soal seks." "K- kamu anggap aku ini apa, Mas?" Nayya semakin terisak. Hatinya sakit mendengar perkataan suaminya tersebut. Liam yang dulu penyayang, kini berubah terlalu jauh menurutnya. "Padahal aku cuma mau kerja sama kamu agar kita bisa punya anak. Aku juga minta kamu ngelakuin ini supaya Mama gak nyuruh kita cerai. Tapi kamu—" "Kamu ini terlalu dramatis! Tugas kamu itu cuma patuh padaku! Soal Mama atau yang lain, kita pikirkan saja nanti!" Tanpa menunggu jawaban, Liam mengambil kunci mobilnya dan berjalan cepat menuju pintu. "Mas! Jangan pergi!" Nayya memanggil dengan suara terisak, namun Liam tak berhenti. Pintu pun tertutup dengan keras, meninggalkan Nayya sendiri di kamarnya dengan dada yang terasa sesak. Nayya memeluk dirinya sendiri, tubuhnya gemetar. Air mata tak henti mengalir, menyadari bahwa lelaki yang dulu dia cintai kini berubah menjadi sosok asing yang tak lagi peduli pada perasaannya. Sementara itu, Liam berjalan dengan langkah tegas. Ia menuruni tangga menuju lantai dasar. Nafasnya terdengar memburu, dadanya naik turun seiring langkah kakinya, sepertinya pria 30 tahunan tersebut sedang berusaha menetralkan emosinya. "Tuan mau pergi?" Liam melirik ke arah Galen yang baru saja keluar dari kamarnya. Ia membuang nafas sebelum membalas, "Hm. Kamu jaga rumah baik-baik." Galen memberikan anggukan kecil, sementara kedua manik gelapnya, sibuk menatap punggung Liam yang semakin jauh dan menghilang di balik pintu depan. Tidak ada kata-kata ataupun pertanyaan lain yang keluar dari mulut bodyguard tampan tersebut, tetapi dari ekspresi Liam yang gelap dan langkahnya yang berat, Galen tahu persis ada sesuatu yang tidak beres. Tak lama setelah suara mobil Liam menghilang, sebuah yang cukup keras dari lantai atas berhasil menarik perhatian Galen. Suara itu samar, namun cukup jelas baginya. "Nona!!!"“Eh, kalian berdua di sini?” katanya sambil melirik ke arah Galen. Nayya menoleh. "Dia kan..." Perempuan itu coba mengingat. Dan yang ia tau Rico adalah teman Galen yang banyak membantu saat proses hukum Liam dan Cintya dulu. “Aku Rico. Masa lupa sih?” jawab Rico sambil terkekeh jahil. "Bukan... maksudku..." "Rico itu adik Galen, Nayya. Mereka berdua anak kami," sahut Papa Galen diiringi senyuman yang sama tulusnya dengan sebelumnya. Nayya menatap Galen tak percaya. “Tunggu dulu... Jadi—" Galen mengangguk pelan. “Iya. Sebenarnya aku bukan bodyguard biasa. Aku calon CEO perusahaan milik Papa. Tapi sekarang… aku masih belajar gantiin Papa. Karena aku pengen punya kendali. Termasuk kendali atas masa depanku sendiri.” Nayya menatapnya lama. “Kamu beneran luar biasa… dan menyebalkan, karena nyembunyiin semua ini,” ujarnya pelan, setengah gemas. Galen tertawa. “Ya maaf. Aku cuma pengen kamu suka aku karena aku… bukan karena latar belakangku.” Ibunya Galen menimpali, “Dan kami senan
Galen menatap langit-langit sesaat, menahan gelombang emosi yang sempat muncul di balik matanya yang biasanya tenang. Tapi bukan rasa sesak yang muncul. Hanya damai. Karena akhirnya, semua yang ia simpan sendiri selama bertahun-tahun… sudah terucap."Aku nggak apa-apa, Nay," katanya dengan suara rendah. Tangannya masih mengusap lembut punggung Nayya yang terisak di pelukannya. "Kalau harus milih buat bahagia tapi tanpa kamu, atau sakit asal bisa tetap di dekat kamu… aku selalu pilih yang kedua."Nayya menggigit bibir, air matanya terus jatuh meski sudah ia coba tahan. Ia menatap Galen, seolah ingin melihat sesuatu yang bisa menenangkan hati yang kini penuh sesal. Tapi yang ia temukan justru senyuman kecil di wajah lelaki itu. Senyum yang penuh ketulusan."Aku jahat banget, Galen," isaknya pelan. "Aku bahkan gak bisa ingat sedikit pun tentang kamu. Tentang kita. Padahal kamu terus ada. Kamu lindungin aku… kamu temani aku, bahkan pas aku jatuh cinta sama orang lain—"Galen memotongnya l
Musim semi menyapu kota dengan lembut, membawa aroma bunga segar dan angin yang tak lagi terasa sesak. Di lantai tujuh sebuah apartemen di pusat kota, Nayya duduk di depan laptop, menyelesaikan desain terakhir untuk klien dari Singapura.Tangannya lincah, matanya fokus, dan ekspresinya tenang. Wajahnya kini jauh berbeda—lebih cerah, lebih ringan, seolah luka-luka lama akhirnya benar-benar tertinggal di masa lalu.Sejak vonis dijatuhkan, hidup Nayya perlahan berubah. Bukan dalam sekejap, bukan tanpa jatuh bangun, tapi hari-hari sulit itu kini hanya jadi bagian dari cerita masa lalu yang tak lagi menyakitkan untuk dikenang.Apartemennya tak besar, tapi nyaman dan hangat. Dan yang paling penting, ia memilihnya sendiri—tepat di samping unit milik seseorang yang diam-diam selalu ada di radius hidupnya: Galen.Sebenarnya, saat Galen tahu Nayya ingin pindah dan tinggal sendiri, dia cuma berkata, “Pindah aja ke sini, sebelahan sama aku. Biar kalau kamu butuh bantuan angkat galon atau benerin
Di luar ruang interogasi, Galen berdiri dengan gelisah. Ia mencoba menenangkan detak jantungnya yang tak karuan, sementara matanya tak lepas dari pintu berwarna abu-abu itu. Beberapa menit terasa seperti berjam-jam baginya. Ia tahu Nayya kuat. Tapi Galen juga tahu, kekuatan yang selama ini ditunjukkan Nayya bukan berarti ia tak terluka. Justru luka itu terlalu dalam—hanya saja selama ini disembunyikan di balik tatapan tajam dan ucapan penuh tekad.Saat pintu terbuka dan Nayya melangkah keluar, Galen langsung menegakkan tubuh.Langkah Nayya cepat dan tegas. Tapi hanya butuh satu detik. Satu pandang mata dari Galen, satu dekapan hangat yang ditawarkan tanpa kata—dan seluruh pertahanan yang tadi berdiri kokoh di hadapan Liam, runtuh dalam sekejap.Nayya terisak. Tangisnya pecah begitu tubuhnya bersandar di dada Galen."Galen…" bisiknya lirih, tubuhnya gemetar. "Aku… aku pikir aku bisa kuat."Galen memeluknya erat, menangkup kepalanya agar Nayya merasa terlindungi. “Gak apa-apa… Kamu uda
"Galen, aku ingin ketemu sama dia. Kamu bisa kan nganter aku ke sana besok?"Galen menatap Nayya lama. Permintaan itu membuat dadanya mencelos. Ia tahu betul, pertemuan itu bisa mengguncang kondisi Nayya, apalagi kondisi perempuan itu masih belum benar-benar stabil. Tapi dari sorot mata Nayya, Galen tahu… ini bukan sekadar keinginan. Ini tekad.“Nay… aku gak yakin itu ide bagus,” katanya hati-hati. “Kamu masih dalam masa pemulihan dan aku khawatir kamu drop lagi."“Aku harus ketemu dia,” balas Nayya, tegas. “Aku harus dengar penjelasan dari mulutnya sendiri. Aku juga harus buat perhitungan dengannya!"Galen menghela napas berat. “Kamu yakin? Aku hanya takut kamu kenapa-napa."Nayya menatap Galen lurus. “Aku ingin ketemu dia langsung, Galen. Dan aku pasti bisa jaga diri sendiri."Melihat tekat Nayya, akhirnya Galen hanya bisa menghela nafas berat sebelum akhirnya mengangguk setuju.***Keesokan harinya…Nayya berdiri di depan kantor polisi dengan jantung berdebar keras. Tubuhnya masih
Langit sore di luar jendela rumah sakit mulai menguning, menandai hari yang perlahan merambat senja. Cahaya matahari menyusup masuk lewat celah tirai, menyinari wajah pucat Nayya yang termenung di ranjang. Tatapannya kosong.Galen mendorong pintu pelan-pelan. Kakinya berat melangkah masuk, seolah membawa semua beban dunia. Begitu melihat Nayya duduk diam dengan tatapan kosong, rasa bersalah itu menyeruak lagi dari dadanya.“Nay…” panggilnya pelan.Nayya tak menjawab.Galen menutup pintu perlahan, lalu berjalan mendekat. Ia sempat menoleh ke luar—anak buah Rico, dua pria berbadan kekar, masih berdiri berjaga di koridor, memberi anggukan singkat saat mata mereka bertemu. Galen sedikit lega. Setidaknya, Nayya gak sepenuhnya sendiri waktu dia pergi tadi.Namun tetap saja, hatinya seperti terkoyak melihat wanita yang dicintainya duduk seperti boneka patah. Hampa.“Kamu udah minum obatnya?" tanya Galen, kali ini sambil duduk di tepi ranjang.Nayya baru menoleh. Pelan. Pandangannya sendu, ma