Share

Bab 02

Penulis: CH. Blue Lilac
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-05 08:59:15

"Kalau kamu jadi aku, apa yang akan kamu lakukan?"

"Tentu saja saya akan bicara kan masalah ini dengan Tuan Liam."

Nayya terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. "Mungkin kamu benar, Galen. Aku harus bicara sama Mas Liam."

"Saya yakin, Tuan bisa mengerti posisi anda."

Nayya menghela nafas panjang. Ia tersenyum ke arah Galen yang berdiri tak jauh darinya. "Oke, aku akan coba. Makasih ya sarannya."

###

"Mas Liam!" Perempuan 23 tahun itu melompat kecil ke arah suaminya. Kedua lengannya bergelayut manja di bahu kokoh pria tersebut dengan wajah sumringah. "Akhirnya Mas pulang juga. Aku... Kangen."

Nayya tertegun sejenak, senyumnya perlahan memudar ketika Liam dengan halus menyingkirkan kedua lengannya dari bahunya.

"Maaf ya, Nay. Aku gerah banget." ujar Liam sembari mengusap tengkuknya. "Aku mau mandi dulu."

Nayya menatap suaminya yang berjalan menjauh, tubuhnya terasa sedikit lemas. "Mas... sebentar," panggilnya ragu-ragu.

Liam berhenti sejenak, lalu menoleh, sedikit terkejut. "Iya? Ada apa?"

Nayya menelan ludah, berusaha mengumpulkan keberanian. "Aku… ada yang mau aku omongin sama kamu. Mungkin nanti kalau Mas udah selesai mandi kita bisa bicara bentar."

Liam mengangguk singkat. "Oke, habis mandi kita ngobrol."

Nala tersenyum kecil, sedikit lega.

Setelah Liam selesai mandi dan berganti pakaian, ia duduk di ruang tamu bersama Nayya. Wajahnya tampak tenang, tetapi ada sedikit ketidakpedulian yang membuat Nayya merasa gugup.

"Jadi kamu mau bicara soal apa?" Liam bertanya, tatapannya lurus ke arah Sang istri yang ada tepat di hadapannya.

Nayya menunduk sejenak, lalu memandang suaminya. "Mas… tadi Mama datang ke rumah, dan lagi-lagi, dia menuntut kita buat segera punya momongan."

Liam menghela napas panjang, menyandarkan tubuhnya ke sofa dengan wajah lelah. "Nay, kita udah sering bahas ini, kan? Dan kamu tau kan apa jawabanku?"

"Tapi, Mas… aku merasa tertekan. Mama terus saja nuntut aku, padahal kamu kan juga punya andil soal ini." Suara Nayya bergetar ketika menyampaikan keluh kesahnya. "Mama cuma nyalahin aku, ngatain aku gak sempurna, gak becus, mandul. Aku capek Mas."

Liam terdiam sejenak, pandangannya tetap ke depan tanpa menatap Nayya. Dia tak berniat menyela ucapan istrinya dan membiarkan wanita itu terus berbicara.

"Aku udah ke dokter, udah cek segala macam, minum obat, terapi, tapi kamu—" Nayya menelan ludah, mencoba menahan emosinya. "Tapi, kamu... kamu kayak gak peduli sama sekali. Kamu tetap aja santai, aku jadi ngerasa kayak berjuang sendirian, Mas." Nayya terus berbicara dalam satu tarikan nafas.

Liam mengernyit, tak terima dengan tuduhan itu. "Maksud kamu apa ngomong seperti itu?"

"Kenapa? Aku bicara fakta kan? Selama ini kamu sibuk sama kerjaan dan diri sendiri, kamu gak pernah berusaha buat dapat momongan. Kamu juga selalu nolak kalau aku ajak ke dokter, ya kan?"

Liam menghela napas berat, ekspresinya tampak kesal. "Dengar, Nay. Aku gak punya masalah kesehatan, jadi untuk apa aku periksa ke dokter kalau aku sendiri merasa baik-baik aja."

Nayya merasa dadanya sesak mendengar jawaban itu. "Kalau memang gak ada masalah, kenapa takut buat periksa?"

"Aku gak takut! Aku cuma gak mau buang waktu untuk hal yang gak perlu. Ada banyak hal penting yang lebih baik aku kerjakan."

"Hal yang gak perlu? Mas, ini soal rumah tangga kita! Ini soal pernikahan kita dan tentang masa depan kita berdua. Apa kamu gak ngerti perasaanku sedikitpun?" Nayya memandang Liam dengan penuh keputusasaan, matanya mulai berkaca-kaca.

"Tiap hari Mama kamu nuntut aku buat hamil, tapi kamu anaknya malah ogah-ogahan buat punya momongan."

"Kan aku juga udah puluhan kali bilang ke kamu, jangan dengerin perkataan Mama! Kamu juga kan yang sedikit-sedikit OVT?!" Nada bicara Liam mulai meninggi. Tampaknya dia juga mulai emosi.

Nayya menggeleng pelan, merasa lelah dengan keadaan ini. "Kalau Mama kamu gak ngancam buat nyari istri baru, aku gak akan seoverthinking ini, Mas." Perempuan itu ikut berteriak, namun kini disertai lelehan bening yang keluar dari pelupuk matanya.

Nayya menutup wajahnya dengan kedua tangan, berusaha menahan tangis yang kini tak lagi bisa dibendung. Suaranya bergetar saat ia meluapkan perasaannya yang sudah lama terpendam.

"Mas, aku capek… capek disalahin terus. Aku ngerasa sendirian berjuang, sementara kamu gak pernah mau pasang badan buat bantuin aku. Apa kamu ngerti rasanya jadi aku?" Nayya terisak, air matanya mengalir deras, mencerminkan rasa sakit yang ia simpan selama ini.

Liam menatap istrinya dengan ekspresi yang sulit diartikan. Ada rasa bersalah yang mulai merayap di wajahnya, tetapi ia tak tahu harus berkata apa.

"Aku udah tahan segala tekanan ini, Mas," lanjut Nayya sambil mengusap matanya. "Aku takut Mama bener-bener minta kita cerai, aku takut kehilangan kamu, aku takut, Mas."

Liam menunduk, terpukul melihat Nayya yang tampak begitu hancur. Ia mendekat perlahan, tangannya ragu-ragu menyentuh bahu Nayya. "Nay... maaf, maafin aku."

Nayya mengangkat wajahnya yang basah, menatap suaminya dengan tatapan terluka. "Kamu terlalu menganggap remeh semuanya, Mas. Kamu egois."

Liam menarik napas dalam, memejamkan matanya sejenak. "Aku akan bicara sama Mama besok."

Nayya memandang suaminya, masih tersisa rasa sakit di matanya. "K- kamu... serius?"

Liam mengangguk, berusaha tersenyum tipis. "Iya. Aku akan bilang ke Mama untuk berhenti ikut campur urusan rumah tangga kita. Terutama soal momongan."

"Gimana kalau Mama kamu tetap keras kepala?"

"Aku akan yakinin Mama."

Nayya menatap wajah suaminya. Dia ingin percaya pada pria itu kali ini. Namun hati kecilnya masih saja merasa ragu. Dia butuh bukti langsung dari suaminya. Apalagi selama ini Liam terlalu sering meremehkan masalah ini.

Namun saat mertuanya kembali datang ke rumah untuk membicarakan masalah ini, yang terjadi justru...

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nova Silvia
selingkuh,,,liam pst maen² d luar
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Hasrat Terlarang Sang Bodyguard   Bab 122

    Setelah sarapan selesai, Nayya membereskan piring sementara Galen menghilang ke kamar sebentar. Ia kembali beberapa menit kemudian, sudah rapi dengan kemeja biru muda yang digulung hingga siku dan celana jeans gelap. Di tangannya ada kotak kecil berisi vitamin dan sebotol air mineral.“Ini, jangan lupa,” ujarnya sambil menyodorkan kotak itu ke Nayya.Nayya menatapnya, agak terkejut. “Oh iya. Hampir aja lupa," Ia mengetuk keningnya sendiri.Galen mengangguk. “Vitamin dan obat ini kan hal yang penting, jadi jangan sampai lupa."Nayya diam sejenak, lalu tersenyum. Senyum itu lembut, penuh rasa syukur dan sedikit gugup. “Terima kasih, Galen…”Galen mengangguk kecil, lalu dengan hati-hati membantu Nayya memakai jaket tipis. Gerakannya pelan dan penuh perhatian, seperti takut menyakiti.“Siap ke butik, calon Mama terbaik di dunia?” ledek Galen dengan senyum hangat.Nayya mencubit perut Galen dengan reflek. "Apaan sih!"“Tapi ka

  • Hasrat Terlarang Sang Bodyguard   Bab 121

    “Kalau rencana ini berhasil,” gumam Liam, suaranya serak dan dalam, “aku bakal kasih kamu lebih dari separuh aset yang kita selamatkan. Kamu pantas dapet semuanya.”Cintya menyentuh dada Liam dengan telapak tangannya, menatapnya dari dekat. “Aku gak butuh semua itu. Aku cuma butuh kamu tetap di atas. Karena kalau kamu runtuh, semuanya gak ada artinya.”Liam menatap mata Cintya dalam-dalam, lalu mencium bibir perempuan itu perlahan. Bukan ciuman tergesa, tapi ciuman yang menuntut—penuh strategi seperti rencana mereka, tapi tak kalah panas dari ambisi yang mereka bawa.Liam menarik napas dalam, lalu mencengkeram tengkuk Cintya dengan satu tangan—tidak kasar, tapi penuh kendali. Pandangannya menusuk lurus ke mata perempuan itu.“Kamu tahu,” bisiknya, suaranya turun setengah oktaf, “kalau aku bukan tipe pria yang gampang kagum. Tapi kamu… kamu selalu bikin aku kehilangan pijakan.”Cintya tidak mundur. Nafasnya mulai naik turun, tapi dia tetap mempertahankan kontak mata, tak gentar sedikit

  • Hasrat Terlarang Sang Bodyguard   Bab 120

    Cintya menghela napas panjang, lalu menatap satu persatu wajah pria-pria di ruangan itu. “Masalahnya, Galen ini bukan bodyguard biasa. Dia itu jago banget. Geraknya cepet, matanya awas. Dia selalu nempel kayak bayangan. Sampai-sampai aku susah cari celah buat ngusik Nayya.” Pria berkepala plontos bersiul pelan. “Wah, yang begini biasanya ribet. Kita harus main halus kalau ada orang kayak gitu di sekitarnya.” “Betul,” Cintya mengangguk. “Makanya aku mau kalian berhati-hati. Kita gak boleh ketahuan. Gak boleh sampai ada jejak yang bisa buat kita ketahuan. Dan gak boleh ada keributan. Aku mau semuanya terlihat natural. Bisa kecelakaan. Bisa perampokan. Bisa juga cuma orang iseng. Terserah kalian, yang penting Nayya takut dan dia nurut.” “Dan Galen?” tanya pria berkumis tebal sambil menyilangkan tangan. “Kalau bisa, jangan konfrontasi langsung. Hindari dia. Tapi kalau emang gak bisa dihindari…” Cintya mengecilkan suaranya. “…buat dia sibuk. Jauhkan dia dari Nayya, tapi tanpa bikin jej

  • Hasrat Terlarang Sang Bodyguard   Bab 119

    Nayya memiringkan kepala, menatap garpu kecil berisi semangka yang disodorkan Galen ke arahnya. Ia menyipitkan mata, lalu meraih garpunya sendiri dari meja dan berkata, “Aku bisa makan sendiri, Galen.” Galen tak bergeming. “Aku tahu. Tapi aku pengen suapin baby di perut kamu." “Galen…” Nayya memperingatkan dengan nada setengah malas. Pria itu tetap tak bergerak, garpunya masih terulur. Tatapannya tenang, tak ada paksaan, hanya perhatian yang begitu lembut. Akhirnya, Nayya mendesah pasrah. Ia sedikit menunduk dan membuka mulutnya, membiarkan Galen menyuapkan potongan semangka ke dalam mulutnya. Dingin, manis, dan segar. Tapi lebih dari itu, ada kehangatan aneh yang menjalar diam-diam dari dadanya ke seluruh tubuh. “Lihat? Gak susah kan nerima perhatian dariku?” goda Galen sambil tersenyum. “Sedikit?” Nayya mengangkat alis. “Kamu ini paket full service.” “Anggap aja bonus karena kamu orang spesial,” balas Galen santai. Nayya menunduk, tersenyum kecil. Tangannya bergerak ke arah

  • Hasrat Terlarang Sang Bodyguard   Bab 118

    Selesai membantu menata beberapa barang milik Nayya di kamar barunya, Galen membersihkan tangannya dengan handuk kecil yang tadi ia ambil dari dapur. Sore mulai merambat ke malam, cahaya jingga berubah redup, berganti dengan siluet lampu-lampu kota yang mulai menyala dari jendela balkon.“Kalau begitu, saya siapkan makan malam, ya?” katanya ringan, memecah keheningan yang nyaman di antara mereka.Nayya mengangguk pelan. “Makasih, Galen.”Ia duduk di tepi ranjang, memegangi perutnya yang terasa sedikit kencang. Mungkin karena terlalu banyak berjalan hari ini, atau mungkin juga karena emosinya tadi. Entahlah. Yang jelas, tubuhnya mulai terasa letih.Sementara Galen sibuk di dapur, aroma tumisan mulai menyebar ke seluruh apartemen. Nayya bisa mendengar bunyi spatula yang sesekali beradu dengan wajan, diselingi suara panci mendidih dan gesekan pelan ketika Galen membuka laci atau kulkas.Tak lama, pria itu muncul kembali di ambang pintu dengan dua piring makan dan satu mangkuk sup. “Seder

  • Hasrat Terlarang Sang Bodyguard   Bab 117

    “Galen... Kamu itu bicara apa sih?" katanya lirih. "kamu tau kan aku ini calon janda. Kamu gak malu punya pasangan janda?""Menikah dengan anda adalah salah satu tanggungjawab saya atas anda dan juga anak yang ada di perut anda," ungkap Galen dengan nada tenang dan ekspresi penuh keyakinan. "Dan janji saya adalah menunggu anda sampai anda mau menerima saya."Nayya menghela nafas. Tatapannya masih tertuju ke arah Galen. "Berapa lama kamu bakal nunggu? Aku yakin itu gak bakal berlangsung lama kan?""Mau taruhan?" tantang Galen. Melihat perubahan ekspresi Nayya yang semakin cemberut, ia pun berkata, "jangan bahas itu lagi, Nona. Lebih baik anda masuk sekarang dan coba pilih kamar mana yang ingin anda tempati."Nayya hendak mengatakan sesuatu, tapi lagi-lagi Galen menyela ucapannya dan menariknya masuk ke dalam.Begitu masuk, Galen berjalan lebih dulu menyusuri dalam apartemen yang mengarah ke beberapa pintu. Tangannya menunjuk satu per satu sambil menjelaskan dengan santai.“Yang ini kam

  • Hasrat Terlarang Sang Bodyguard   Bab 116

    Pagi datang perlahan, membawa sinar matahari yang menyusup malu-malu lewat sela-sela tirai butik. Aroma kain dan lavender masih menyelimuti ruangan, tapi kini bercampur dengan hawa pagi yang sedikit lebih hangat.Nayya membuka mata dengan pelan. Lehernya terasa kaku karena tidur di posisi yang salah. Ia duduk sambil mengusap perutnya, mengeluh pelan saat nyeri ringan menyapa punggungnya.Saat ia melirik ke bawah, ia sadar Galen sudah tidak ada di tempatnya. Jaket yang tadi malam ia berikan pun terlipat rapi di sisi karpet. Nayya sempat menatap kosong ke tempat itu beberapa detik, lalu menghela napas.“Mungkin dia pulang,” gumamnya pelan.Tapi Nayya tidak terlalu ambil pusing. Ia bangkit dari sofa, lalu berjalan pelan menuju kamar mandi kecil di pojok butik untuk membersihkan diri.Baru beberapa menit setelah ia keluar dari kamar mandi, pintu samping butik terbuka. Galen muncul dengan bungkusan kertas dan satu botol susu di tangan.“Pagi, Nona,” sapanya sambil sedikit terengah. “Saya b

  • Hasrat Terlarang Sang Bodyguard   Bab 115

    Mobil melaju pelan di jalanan kompleks elit yang mulai sepi. Di dalamnya, hanya suara mesin dan desahan napas berat Nayya yang terdengar. Galen melirik ke kaca spion, memperhatikan wanita yang duduk diam di kursi belakang dengan mata sembab dan wajah lelah.Setelah beberapa menit dalam keheningan, Galen akhirnya bertanya pelan, “Nona mau saya antar ke mana?”Nayya mengusap pipinya, mencoba merapikan suara yang masih basah oleh tangis. “Ke butik aja, Galen.”Galen melirik ke arah spion tengah dengan kening berkerut. “Ke butik? Tapi—""Hm. Aku istirahat di sana aja malam ini," potong Nayya cepat. “Lagipula di sana tempatnya sepi dan tenang. Jadi aku mau istirahat di sana aja malam ini."Galen menghela napas. “Saya ngerti Nona butuh ketenangan. Tapi di sana Nona gak bisa istirahat dengan layak. Setidaknya ikut saya ke apartemen, atau saya bookingin hotel... yang penting Nona bisa istirahat dengan nyaman. Apalagi Nona sedang hamil."

  • Hasrat Terlarang Sang Bodyguard   Bab 114

    Nayya menatapnya sebentar. Mata mereka bertemu—mata yang dulu penuh cinta, kini hanya menyisakan luka dan kecewa. “Kesempatan itu udah aku kasih bertahun-tahun, Mas. Dan kamu buang semuanya.”Liam menggenggam tepi pintu mobil, nadanya mulai putus asa. “Aku bisa buktiin! Apa pun yang kamu mau, Nay... aku lakuin! Jangan pergi kayak gini... tolong.”Nayya menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berpacu cepat karena campuran marah, sedih, dan iba. Tapi ia tahu, kali ini bukan saatnya goyah.“Keputusanku udah bulat Mas!" ucapnya pelan. “aku gak mau terus hidup sama orang yang udah buat kedua orang tuaku meninggal!"Pintu mobil ditutup perlahan oleh Galen, tapi suara klik-nya terdengar seperti tembakan di dada Liam. Ia berdiri terpaku saat mobil mulai berjalan mundur, lalu melaju perlahan melewati gerbang rumah yang dulu mereka bangun bersama.“Nayyaaa!!”Liam berteriak memanggil nama istrinya, tapi yang ia

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status