Share

Bab 04

last update Last Updated: 2024-11-05 09:05:03

"Nona!!"

Dengan panik, Galen naik ke lantai dua. Gerakannya begitu sigap menuju kamar sang majikan.

"Non Nayya! Apa yang terjadi?"

Galen menatap pintu kamar yang masih tertutup rapat dengan rasa cemas. Sudah beberapa kali ia mencoba mengetuk pintu kamar majikannya. Namun yang ia dapati hanyalah suara jerit frustasi Nayyara. Juga beberapa barang yang sepertinya menjadi sasaran amuknya.

"Nona, buka pintunya! Apa yang terjadi? Apa Nona baik-baik saja?"

Galen masih mencoba membujuk Nayya agar keluar. Namun Nayya masih saja mengabaikan dirinya. Khawatir terjadi sesuatu pada perempuan itu, dengan satu hentakan, ia mendobrak pintu di depannya.

"Nona!!!" Galen berlari kecil ke dalam dan mendapati Nayya terduduk di lantai, bersandar pada sisi tempat tidur. Tubuhnya gemetar, wajahnya basah dengan air mata yang mengalir tanpa henti. Sementara kamar tersebut sudah seperti kapal pecah. Banyak barang berserakan di lantai, bahkan beberapa di antaranya ada yang terbuat dari kaca.

“Nona…” Galen mendekat, berlutut di hadapannya, tatapannya penuh kekhawatiran. “Ada apa? Apa yang terjadi?”

Nayya mengangkat kepalanya perlahan, menatap Galen dengan mata yang sembab. "Galen, aku… aku gak tahu harus gimana lagi," isaknya, suaranya lemah dan penuh keputusasaan.

Galen menatap iba perempuan itu. Tatapannya tampak sendu, alisnya berkerut prihatin, sungguh dia tidak pernah melihat majikannya tersebut dalam keadaan serapuh ini. Nayya, tampak seperti porselen malah yang gampang remuk saat disentuh.

“Nona, tenang dulu ya! Semua pasti baik-baik saja!” kata Galen dengan nada lembut namun tegas. “Semua pasti ada jalan keluarnya."

Nayya menarik napas panjang, suaranya penuh kepedihan. "Aku udah capek, Galen. Aku capek berjuang sendirian." ia terisak sambil menutup wajahnya dengan tangan. "Mas Liam gak pernah mau dengerin ucapanku. Dia terlalu egois. Dia bersikap seolah-olah setuju dengan perintah Mama buat pisah."

Galen diam sejenak, menahan gejolak emosinya melihat Nayya yang begitu putus asa. Ia membiarkan perempuannya yang beberapa tahun lebih muda darinya itu, meluapkan segala emosinya.

“Nona, aku tahu ini berat,” kata Galen pelan. “Tapi Nona tidak sendirian. Aku selalu di sini untuk Nona.”

Nayya menurunkan tangannya perlahan, menatap Galen dengan mata yang dipenuhi kesedihan. “Galen, kamu gak ngerti. Ini terlalu berat buatku. Mama, Mas Liam, semua orang cuma ngelihat aku sebagai alat, bukan sebagai seorang istri, bukan sebagai perempuan.”

"Mungkin Tuan tidak bermaksud menyakiti hati, Nona. Kalian sama-sama terbawa emosi kan?"

Nayya menggeleng. Ia ingin sekali membantah ucapan Galen, namun dia sudah terlalu lelah untuk berdebat malam ini.

Galen menarik napas dalam, lalu mengulurkan tangan untuk meraih tubuh Nayya dengan lembut. Tanpa banyak kata, ia membungkuk sedikit dan mengangkatnya dalam gendongan bridal, berusaha memastikan kenyamanannya. Nayya sempat memandangnya kaget, tapi tidak ada perlawanan; ia hanya diam, menyerahkan dirinya pada perlakuan penuh perhatian dari Galen.

Perlahan, Galen membawa Nayya ke tempat tidur, menurunkannya dengan hati-hati agar ia bisa bersandar dengan nyaman. "Nona lebih baik istirahat dulu. Saya akan minta ART untuk membuatkan teh hijau."

Nayya menatap Galen, ekspresi wajahnya tampak lelah. "Makasih," bisiknya lirih, suaranya nyaris seperti bisikan.

Galen tersenyum tipis— sangat tipis sampai nyaris tak terlihat. "Saya juga akan meminta ART membereskan kamar tamu. Supaya Nona bisa tidur di sana malam ini."

Nayya mengangguk lemah, lalu menunduk, memejamkan mata sejenak untuk mengatur napasnya yang sempat kacau. Ia menyadari betapa besar peran Galen selama ini, bukan hanya sebagai penjaga, tapi juga sebagai satu-satunya tempat ia bisa berbagi kesedihan yang selama ini dipendamnya.

"Nona, ini tehnya. Minum pelan-pelan!"

Nayya mengambil cangkir tersebut, jari-jarinya masih bergetar. Ia menyesap teh itu perlahan, merasakan kehangatan yang menenangkan merambat ke seluruh tubuhnya.

"Terima kasih, Galen," ucapnya pelan, menatap lelaki itu dengan tatapan penuh makna. "Maaf ya, udah ngerepotin kamu malam-malam gini."

"Apa pun yang Nona butuhkan, saya siap membantu."

Nayya mengembalikan cangkir tehnya pada Galen. Sementara Galen langsung menerimanya sebelum membantu Nayya untuk istirahat.

"Mau pindah kamar sekarang?"

Perempuan itu menggeleng. "Gak perlu."

"Tapi kamarnya berantakan."

"Gak apa. Besok aja beresinnya. Aku udah capek banget."

"Apa saya perlu telfon Tuan Liam?"

Nayya tersentak kecil ketika nama itu diucapkan oleh sang bodyguard. Selama beberapa saat, Nayya tampak berpikir dan menimbang. Sebelum akhirnya perempuan 23 tahun itu membalas, "Gak perlu. Mas Liam mungkin pulang ke rumah Mamanya malam ini."

Mendengar jawaban tersebut, Galen hanya menganggukkan kepalanya. Dia tampak patuh dengan keputusan yang Nayya buat. Lagipula, mungkin sang nona sedang ingin sendiri dulu malam ini.

"Selamat tidur, Non Nayya." Dengan lembut dan penuh kehati-hatian, Galen menyelimuti Nayya. Ia berusaha membuat tidur perempuan itu nyaman walaupun kondisi ruangan ini sangat bertolak belakang.

"Galen..." Nayya menahan ujung lengan baju Galen ketika pemuda itu hendak menjauh darinya.

Tatapan mereka bertemu satu sama lain, sebelum akhirnya Nayya berkata...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hasrat Terlarang Sang Bodyguard   Bab 140

    “Eh, kalian berdua di sini?” katanya sambil melirik ke arah Galen. Nayya menoleh. "Dia kan..." Perempuan itu coba mengingat. Dan yang ia tau Rico adalah teman Galen yang banyak membantu saat proses hukum Liam dan Cintya dulu. “Aku Rico. Masa lupa sih?” jawab Rico sambil terkekeh jahil. "Bukan... maksudku..." "Rico itu adik Galen, Nayya. Mereka berdua anak kami," sahut Papa Galen diiringi senyuman yang sama tulusnya dengan sebelumnya. Nayya menatap Galen tak percaya. “Tunggu dulu... Jadi—" Galen mengangguk pelan. “Iya. Sebenarnya aku bukan bodyguard biasa. Aku calon CEO perusahaan milik Papa. Tapi sekarang… aku masih belajar gantiin Papa. Karena aku pengen punya kendali. Termasuk kendali atas masa depanku sendiri.” Nayya menatapnya lama. “Kamu beneran luar biasa… dan menyebalkan, karena nyembunyiin semua ini,” ujarnya pelan, setengah gemas. Galen tertawa. “Ya maaf. Aku cuma pengen kamu suka aku karena aku… bukan karena latar belakangku.” Ibunya Galen menimpali, “Dan kami senan

  • Hasrat Terlarang Sang Bodyguard   Bab 139

    Galen menatap langit-langit sesaat, menahan gelombang emosi yang sempat muncul di balik matanya yang biasanya tenang. Tapi bukan rasa sesak yang muncul. Hanya damai. Karena akhirnya, semua yang ia simpan sendiri selama bertahun-tahun… sudah terucap."Aku nggak apa-apa, Nay," katanya dengan suara rendah. Tangannya masih mengusap lembut punggung Nayya yang terisak di pelukannya. "Kalau harus milih buat bahagia tapi tanpa kamu, atau sakit asal bisa tetap di dekat kamu… aku selalu pilih yang kedua."Nayya menggigit bibir, air matanya terus jatuh meski sudah ia coba tahan. Ia menatap Galen, seolah ingin melihat sesuatu yang bisa menenangkan hati yang kini penuh sesal. Tapi yang ia temukan justru senyuman kecil di wajah lelaki itu. Senyum yang penuh ketulusan."Aku jahat banget, Galen," isaknya pelan. "Aku bahkan gak bisa ingat sedikit pun tentang kamu. Tentang kita. Padahal kamu terus ada. Kamu lindungin aku… kamu temani aku, bahkan pas aku jatuh cinta sama orang lain—"Galen memotongnya l

  • Hasrat Terlarang Sang Bodyguard   Bab 138

    Musim semi menyapu kota dengan lembut, membawa aroma bunga segar dan angin yang tak lagi terasa sesak. Di lantai tujuh sebuah apartemen di pusat kota, Nayya duduk di depan laptop, menyelesaikan desain terakhir untuk klien dari Singapura.Tangannya lincah, matanya fokus, dan ekspresinya tenang. Wajahnya kini jauh berbeda—lebih cerah, lebih ringan, seolah luka-luka lama akhirnya benar-benar tertinggal di masa lalu.Sejak vonis dijatuhkan, hidup Nayya perlahan berubah. Bukan dalam sekejap, bukan tanpa jatuh bangun, tapi hari-hari sulit itu kini hanya jadi bagian dari cerita masa lalu yang tak lagi menyakitkan untuk dikenang.Apartemennya tak besar, tapi nyaman dan hangat. Dan yang paling penting, ia memilihnya sendiri—tepat di samping unit milik seseorang yang diam-diam selalu ada di radius hidupnya: Galen.Sebenarnya, saat Galen tahu Nayya ingin pindah dan tinggal sendiri, dia cuma berkata, “Pindah aja ke sini, sebelahan sama aku. Biar kalau kamu butuh bantuan angkat galon atau benerin

  • Hasrat Terlarang Sang Bodyguard   Bab 137

    Di luar ruang interogasi, Galen berdiri dengan gelisah. Ia mencoba menenangkan detak jantungnya yang tak karuan, sementara matanya tak lepas dari pintu berwarna abu-abu itu. Beberapa menit terasa seperti berjam-jam baginya. Ia tahu Nayya kuat. Tapi Galen juga tahu, kekuatan yang selama ini ditunjukkan Nayya bukan berarti ia tak terluka. Justru luka itu terlalu dalam—hanya saja selama ini disembunyikan di balik tatapan tajam dan ucapan penuh tekad.Saat pintu terbuka dan Nayya melangkah keluar, Galen langsung menegakkan tubuh.Langkah Nayya cepat dan tegas. Tapi hanya butuh satu detik. Satu pandang mata dari Galen, satu dekapan hangat yang ditawarkan tanpa kata—dan seluruh pertahanan yang tadi berdiri kokoh di hadapan Liam, runtuh dalam sekejap.Nayya terisak. Tangisnya pecah begitu tubuhnya bersandar di dada Galen."Galen…" bisiknya lirih, tubuhnya gemetar. "Aku… aku pikir aku bisa kuat."Galen memeluknya erat, menangkup kepalanya agar Nayya merasa terlindungi. “Gak apa-apa… Kamu uda

  • Hasrat Terlarang Sang Bodyguard   Bab 136

    "Galen, aku ingin ketemu sama dia. Kamu bisa kan nganter aku ke sana besok?"Galen menatap Nayya lama. Permintaan itu membuat dadanya mencelos. Ia tahu betul, pertemuan itu bisa mengguncang kondisi Nayya, apalagi kondisi perempuan itu masih belum benar-benar stabil. Tapi dari sorot mata Nayya, Galen tahu… ini bukan sekadar keinginan. Ini tekad.“Nay… aku gak yakin itu ide bagus,” katanya hati-hati. “Kamu masih dalam masa pemulihan dan aku khawatir kamu drop lagi."“Aku harus ketemu dia,” balas Nayya, tegas. “Aku harus dengar penjelasan dari mulutnya sendiri. Aku juga harus buat perhitungan dengannya!"Galen menghela napas berat. “Kamu yakin? Aku hanya takut kamu kenapa-napa."Nayya menatap Galen lurus. “Aku ingin ketemu dia langsung, Galen. Dan aku pasti bisa jaga diri sendiri."Melihat tekat Nayya, akhirnya Galen hanya bisa menghela nafas berat sebelum akhirnya mengangguk setuju.***Keesokan harinya…Nayya berdiri di depan kantor polisi dengan jantung berdebar keras. Tubuhnya masih

  • Hasrat Terlarang Sang Bodyguard   Bab 135

    Langit sore di luar jendela rumah sakit mulai menguning, menandai hari yang perlahan merambat senja. Cahaya matahari menyusup masuk lewat celah tirai, menyinari wajah pucat Nayya yang termenung di ranjang. Tatapannya kosong.Galen mendorong pintu pelan-pelan. Kakinya berat melangkah masuk, seolah membawa semua beban dunia. Begitu melihat Nayya duduk diam dengan tatapan kosong, rasa bersalah itu menyeruak lagi dari dadanya.“Nay…” panggilnya pelan.Nayya tak menjawab.Galen menutup pintu perlahan, lalu berjalan mendekat. Ia sempat menoleh ke luar—anak buah Rico, dua pria berbadan kekar, masih berdiri berjaga di koridor, memberi anggukan singkat saat mata mereka bertemu. Galen sedikit lega. Setidaknya, Nayya gak sepenuhnya sendiri waktu dia pergi tadi.Namun tetap saja, hatinya seperti terkoyak melihat wanita yang dicintainya duduk seperti boneka patah. Hampa.“Kamu udah minum obatnya?" tanya Galen, kali ini sambil duduk di tepi ranjang.Nayya baru menoleh. Pelan. Pandangannya sendu, ma

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status