"Ma, Pa... Katakan aku harus gimana? Aku harus apa?" Suara isakan Nayya terdengar semakin intens. Memecah area pemakaman yang lenggang hari itu."Dulu aku percaya kalau cinta bisa menaklukkan segalanya. Aku pikir selama aku punya Mas Liam, aku bisa bertahan. Tapi sekarang aku sadar... mungkin cinta saja gak cukup." Suaranya semakin lirih, hampir tertelan oleh angin. "Kalau gak ada harapan... kalau aku gak bisa jadi istri yang diharapkan keluarga Liam... apa gunanya aku di sana?"Nayya terdiam sejenak, membiarkan kata-kata itu menggantung. Ia mencengkeram nisan dengan lebih erat. "Ma, Pa, aku gak mau jadi beban. Tapi aku juga gak mau menyerah. Aku masih cinta sama dia... meskipun setiap harinya aku bertanya-tanya, apa Mas Liam masih memiliki perasaan yang sama?"Galen berdiri di belakang, menyaksikan punggung Nayya yang rapuh di hadapan dua pusara itu. Ia mengerti bahwa dirinya tak lebih dari bayang-bayang di sini, namun di saat yang bersamaan, ia merasakan keinginan kuat untuk memberi
"Galen...""Iya Nona?"Namun bukan jawaban yang Galen dapatkan saat ia menunggu respons, melainkan gerakan tangan Nayya yang perlahan terulur. Jari kelingkingnya terulur ke depan wajah Galen. Untuk sesaat, Nayya menatap Galen dengan pandangan yang sulit diartikan—ada kelelahan, luka, dan sebersit harapan yang terpantul dalam matanya."Kamu mau janji kan?" tanyanya pelan, hampir seperti bisikan. "Janji kalau kamu akan tetap di sini. Tidak pergi atau meninggalkan aku, apapun yang terjadi?"Galen tertegun. Ia tak menyangka akan permintaan ini, namun ia melihat harapan dalam tatapan Nayya. Ia tahu, ini bukan sekadar permohonan sederhana dari seorang majikan pada bawahan sepertinya. Ini adalah permintaan yang datang dari seseorang yang sudah berada di titik terendahnya, seseorang yang merasa dunia bisa runtuh kapan saja.Galen menatap perempuan itu sebelum melingkarkan jari kelingkingnya pada Nayya. Membuat pinky promise. "Saya janji, Nona," k
"Aku mau langsung pulang aja." Galen mengangguk tanpa banyak bertanya. Ia mengerti bahwa Nayya butuh waktu untuk menenangkan diri setelah apa yang terjadi hari ini. Ia kembali fokus pada kemudi, memacu mobil dengan kecepatan sedang menuju rumah.Perjalanan berlangsung dalam keheningan. Nayya bersandar di kursi, matanya terpejam, meskipun pikirannya masih terus bekerja. Sesekali, ia merasa kehadiran Galen di depannya memberikan sedikit rasa nyaman, seperti jangkar yang menahannya agar tidak sepenuhnya tenggelam dalam kekacauan ini.Begitu tiba di rumah, Galen memarkir mobil dengan hati-hati di depan garasi. Ia keluar terlebih dahulu, membuka pintu untuk Nayya. "Kita sudah sampai, Nona," ucapnya dengan lembut.Nayya membuka matanya perlahan, lalu mengangguk. Ia turun dari mobil dengan langkah pelan, merasakan lelah yang luar biasa di tubuhnya. Galen memperhatikan langkahnya yang lunglai dan segera berkata, "Kalau ada yang Nona butuhkan, Anda bisa p
Liam menatap layar ponselnya cukup lama. Nama sang istri terpampang jelas di sana. Namun, ada sesuatu yang membuatnya ragu untuk menghubungi Nayya. "Sudahlah. Nanti aja aku telfon Nayya." Liam kembali meletakkan ponselnya di meja. Ia mengusap wajahnya dengan kedua tangan, mencoba menghilangkan rasa penat dalam dirinya. Sebagai gantinya, ia meraih laptop dan membuka berkas yang baru saja dikirimkan oleh Revan. "Mungkin aku akan menyelesaikan dokumen ini sebelum pulang ke rumah," bisiknya, seolah sedang meyakinkan dirinya sendiri. Pria 30 tahunan itu berusaha fokus pada pekerjaannya. Ia menatap layar laptopnya, mencoba mengabaikan suara-suara kecil di kepalanya yang terus memunculkan bayangan wajah Nayya. Ia membuka dokumen dari Revan dan mulai membacanya dengan saksama, tetapi pikirannya tetap melayang ke rumah. "Fokus, Liam. Fokus," gumamnya sembari memijat pelipis.
"Enghhh..."Nayya tidak melawan, tubuhnya terlalu lemah untuk menolak. Beberapa detik berlalu dalam keheningan. Galen menunggu dengan cemas, tangannya masih memegangi termometer untuk memastikan posisinya tidak bergeser.Ketika bunyi “bip” terdengar, Galen dengan cepat menarik termometer dan melihat angka yang tertera.“39,2 derajat...” gumamnya, alisnya berkerut. Ia meletakkan termometer itu di atas meja dan menatap Nayya penuh kekhawatiran. “Nona, Anda demam tinggi. Saya telfon dokter dulu." Dengan cekatan, Galen berusaha menghubungi dokter langganan keluarga mereka. Namun beberapa kali mencoba, panggilan tersebut belum tersambung juga.Galen berdecak kesal. Ia melihat ke Hanya dengan cemas sebelum menggendong tubuh perempuan berbalut selimut itu ala bridal. Tanpa menunggu persetujuan, ia bergerak cepat untuk membawa Nayya ke rumah sakit. Hanya saja, saat baru separuh ia menuruni tangga, seseorang yang sangat Galen kenal, sedang berdir
"Tapi Tuan, saya..." Galen menggigit ujung lidahnya. Tidak berani melanjutkan kalimat yang hendak ia katakan."Ada apa Galen? Kamu kenapa?""Saya akan menunggu di depan, Tuan. Barang kali Tuan membutuhkan sesuatu," balasnya. Dengan kalimat yang cukup sopan."Ya sudah, terserah kamu saja." Liam tak terlalu ambil pusing. Dia hanya mengangguk setelah Galen pamit untuk standby di depan. Sementara dia, berada di kamar rawat Nayya dan memperhatikan istrinya tersebut dengan seksama.Setelah beberapa jam berlalu, Nayya mulai siuman. Ia membuka kedua kelopak matanya sambil berusaha menyesuaikan cahaya lampu yang menyilaukan penglihatannya."Kamu udah bangun?""M- mas Liam?" Nayya sedikit terkejut saat melihat suami berada tak jauh darinya. Bahkan Liam tampak segera bangkit dari sofa dan berjalan menghampirnya. "Kenapa aku bisa di sini?"Nayya mencoba bangkit, tetapi tubuhnya terasa lemas. Sebelum ia sempat bergerak lebih jauh, Li
"Selamat ulang tahun, Ma. Semoga Mama panjang umur, sehat selalu, dan diberikan keberkahan."Nayya memeluk ibu mertuanya— Widuri. Memberikan ucapan selamat di hari jadi ulang tahun sang mertua."Makasih, Nay." Wanita dengan gincu merah dan rambut disanggul rapi ke belakang itu memeluk Nayya. Berterimakasih karena sang menantu menyempatkan waktunya untuk datang ke pesta ini."Aku bawain kado buat Mama." Dengan senyum tulusnya, Nayya menunjukkan paperbag besar berisi tas mewah yang dia beli di luar negeri. Barang branded yang menjadi incaran sang Mertua selama beberapa bulan terakhir. "Aku tau Mama udah lama kepengen tas ini.""Makasih ya sayaang.""Sama-sama.""Mama suka kan?""Suka," Widuri tersenyum penuh arti setelah menerima kado dari Nayya. Ia mendekati menantunya lalu berbisik, "tapi kamu tau kan apa hal yang paling Mama harapkan?"Tubuh Nayya membeku. Selama beberapa detik ia merasa jantungnya seperti berh
"Mas... Kamu di mana? Kenapa belum datang juga? Kamu gak lupa kan kalau sekarang pesta ulang tahun Mama kamu?" ["Halo? Siapa ya?"] Nayya terdiam sejenak, terpaku mendengar suara perempuan di ujung telepon. "K- kamu yang siapa? Kenapa ponsel Mas Liam ada di kamu?" Ekspresi wajah perempuan itu menegang. Perasaan was-was seketika melingkupi hatinya. 'Siapa wanita ini? Dia belum pernah mendengar suara wanita itu sebelumnya. Dan... Kenapa ada di dekat mas Liam?' pikirnya panik. Sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, suara Liam terdengar di telepon. "Halo, Nayya," kata Liam dengan nada tenang. "Ada apa?" "Mas!" suara Nayya terdengar bergetar, penuh kecurigaan. "Itu tadi siapa? Kenapa hape kamu bisa ada sama dia?" Liam terdiam beberapa detik. "Oh, itu—" Ia terdengar menarik napas. "Itu sekretarisku. Kita lagi lembur bareng, kan aku bilang tadi aku ada meeting penting. HP aku tadi aku tinggal di meja, jadi mungkin dia yang angkat." "Sekertaris? Bukannya sekertaris kamu si Revan ya? Apa
Langkah kaki Liam terdengar semakin mendekat ke kamar. Pintu yang tak sepenuhnya tertutup pun akhirnya terdorong perlahan. Ia berdiri di ambang pintu, membisu selama beberapa detik saat melihat pemandangan di hadapannya.Nayya sedang membuka lemari, menarik satu per satu baju dan memasukkannya ke dalam koper besar berwarna hitam. Gerakannya cepat, tegas, tanpa ragu sedikit pun. Raut wajahnya dingin, matanya sembab tapi tegas.“Nay... kamu ngapain?” tanya Liam akhirnya, suaranya pelan tapi penuh tekanan.Nayya tak menjawab. Ia hanya melipat sehelai dress dan menekannya ke dasar koper.Liam masuk ke kamar, mendekat dengan hati-hati. “Kamu... kamu beneran mau ninggalin aku?”Nayya menoleh, menatapnya lurus. “Apa aku terlihat main-main, Mas?” suaranya dingin, nyaris tanpa emosi.Liam mengerutkan kening, seolah belum percaya dengan apa yang terjadi. “Terus anak kita gimana? Kasian dia Nay! Dia pasti butuh sosok ayah.”Nayya terkekeh pendek, getir. “Anak kita?” Ia menatap Liam tajam. “Mendi
“Mas Liam benar-benar keterlaluan.""Tidak ada yang harus disesali Nona, atas semua yang sudah terjadi. Yang penting sekarang Nona harus bangkit dan melawan balik Tuan Liam. Karena saya yakin dia juga tidak akan diam saja, apalagi setelah mendengarkan ancaman anda kemarin.""Aku tau, makanya setelah ini aku akan bertemu pengacara. Aku—" Nayya menelan ludah. "Aku akan mengajukan permohonan cerai. Aku sudah muak dengan Mas Liam dan semua drama yang dia buat. Aku ingin lepas darinya, Galen."Galen tersenyum, tangannya terulur untuk membantu Nayya bangkit. "Apapun keputusannya. Saya akan selalu mendukung anda, Nona."Nayya bangkit dan berdiri berhadapan langsung dengan Galen. Ia menghapus air matanya dan tersenyum tipis ke arah pria itu. Nayya juga tidak lupa mengucapkan terimakasih sebelum mengajak Galen pergi dari sana.Tujuan mereka selanjutnya adalah mencari solusi agar dia dan Liam bisa segera bercerai.***Kantor hukum itu terletak di sebuah bangunan tua namun elegan di pusat kota.
"Galen..." bisiknya.Pria itu berdiri perlahan dari kursinya, lalu berlutut di depan Nayya. Tangannya masih menggenggam tangan perempuan itu. “Saya tahu ini bukan waktu yang tepat... Tapi saya akan tetap di sini. Menjaga Nona. Menemani. Apapun yang terjadi.”Tanpa sadar, air mata menetes dari sudut mata Nayya. Tapi kali ini bukan karena luka. Melainkan karena kehangatan—sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan.Dan ketika Galen dengan hati-hati menyentuh pipinya, menyeka air mata itu dengan jari-jarinya yang hangat, Nayya membiarkan dirinya tenggelam sejenak dalam sentuhan itu.“Terima kasih,” ucapnya pelan. “Terima kasih karena tetap di sini.”Galen hanya mengangguk, lalu mengecup punggung tangan Nayya penuh hormat dan kelembutan."Galen...""Iya Nona?""Setelah keluar dari rumah sakit, tolong temanin aku ya!"Galen menatap perempuan itu penuh tanya. "Nona mau ke mana?"Nayya hanya diam tanpa
"Apa maksud kamu?" tanya Cintya dengan nada dingin.Liam menghela napas berat, tangannya mengepal di atas lutut. "Nayya ngasih dua pilihan... cerai dan kasih semua asetku ke dia, atau dia bawa semua ini ke polisi."Cintya tercengang. "Apa?! Dia gila?!""Dia serius, Cintya. Dia kasih aku waktu sebulan buat mikir," kata Liam dengan nada getir.Cintya berjalan mondar-mandir di ruang tamu. Heelsnya berdetak keras di lantai kayu. Wajahnya penuh kecemasan dan kemarahan."Mas... kamu gak boleh nurutin dia," katanya akhirnya, berhenti tepat di depan Liam. "Kalau kamu kasih semua itu ke Nayya, kita gak punya apa-apa lagi! Semua yang udah kita rencanain bakal sia-sia."Liam mendongak, matanya sayu. "Terus aku harus gimana, hah? Kalau dia bawa kasus ini ke polisi, aku bisa dipenjara, Cintya! Sia-sia pengorbananku selama ini."Cintya merapatkan bibirnya. Wajahnya berpikir keras, matanya berkilat penuh perhitungan. "Siapa tau itu han
"Istri? Setelah perbuatan anda padanya, anda masih menyebutnya istri?" tanya Galen dengan nada sarkas."Kenapa nada bicaramu seperti itu?" Liam mengerutkan keningnya. Tampak tidak terima."Mungkin kalau saya jadi Tuan, saya sudah tidak punya muka untuk bertemu Nona Nayya, apalagi setelah kejahatan yang saya perbuat.""Jaga ucapanmu Galen!" Liam menarik kerah kemeja yang Galen pakai. "Kamu lupa apa posisimu di sini? Jangan terlalu ikut campur!""Dan Tuan juga jangan lupa kalau saya ini bodyguard Nona Nayya. Saya punya kewajiban untuk melindungi dia, terutama dari pria seperti anda?""Apa?!" Liam mengepalkan tangannya. Ucapan Galen sangat membuat dia emosi. "Nayya di dalam kan? Aku akan menemuinya." Menghindari keributan dengan Galen, Liam memilih untuk masuk ke dalam ruangan yang ada tepat di belakang pria tampan tersebut. Lebih baik ia menemui Nayya daripada meledeni bodyguard yang mulai tak tau tempat.Kleeek!Nayya sed
"Galen..." suara Nayya terdengar serak, memecah keheningan kamar rawat yang hanya diterangi lampu temaram."Iya, Nona?" sahut Galen, segera merapat ke sisi ranjang, menatap wajah perempuan itu yang tampak begitu rapuh.Dengan mata sembab dan merah, Nayya menatap Galen penuh iba. Ada ketakutan, ada kebingungan, dan di balik itu semua, ada permintaan tolong yang tak terucapkan. Ia butuh seseorang yang bisa diajak bicara, seseorang yang bisa membantunya memutuskan langkah berikutnya."Menurut kamu... apa yang harus aku lakukan setelah ini?" suaranya nyaris seperti bisikan, seolah takut jawaban itu sendiri akan menghancurkannya lebih dalam.Galen menahan napas sejenak, berpikir. Namun akhirnya ia balik bertanya dengan suara lembut, "Menurut Anda sendiri bagaimana?"Sejenak Nayya terdiam, lalu dengan suara bergetar, ia menjawab, "Aku ingin cerai dari Mas Liam. Aku ingin pergi jauh darinya... Aku ingin dia menghilang dari hidupku."Kalimat itu meluncur dari bibir Nayya dengan getir. Ia meng
Galen berlari menerobos pintu gawat darurat, menggendong Nayya yang tubuhnya sudah begitu lemah. Keringat bercucuran di dahinya, tapi ia tak peduli. Yang ada dalam pikirannya hanya satu: *Selamatkan Nona Nayya dan bayinya.*Tim medis yang sigap segera menghampiri, seorang dokter perempuan paruh baya memimpin, matanya penuh ketegasan."Segera bawa ke ruang tindakan! Siapkan peralatan monitoring janin!" perintahnya cepat.Tandu digelindingkan mendekat. Dengan hati-hati, Galen memindahkan Nayya ke atasnya. Tubuh perempuan itu gemetar hebat, wajahnya memucat bagai kertas. Tangannya masih menggenggam perutnya erat-erat."A-aku... anakku..." isaknya lirih."Ssst, tenang Bu, fokuskan napasnya," suara perawat mencoba menenangkan, sambil memasang alat monitor di perut Nayya.Galen ikut berlari di samping tandu, sampai akhirnya seorang perawat pria menghentikannya di depan pintu ruang tindakan."Maaf, Pak. Bapak silakan tunggu di luar!""Aku... aku harus—" Galen tak bisa melanjutkan kata-katany
"Nayya... Aku minta maaf...""Segampang itu kamu minta maaf! Dasar penipu! Pembunuh! Gak tau malu kamu Mas!" Nayya terus memaki Liam tanpa henti, matanya merah, nafasnya memburu, seakan semua luka yang selama ini ia pendam, meledak malam itu."Kamu pria paling jahat yang pernah aku kenal!" teriak Nayya, tangannya gemetar menunjuk ke arah Liam. "Aku lebih baik hidup sendirian daripada harus serumah sama penjahat kayak kamu!"Liam menunduk dalam, menahan sakit di dadanya yang bukan karena pukulan Nayya, tapi karena rasa bersalah yang membunuhnya perlahan. Ia mencoba melangkah mendekat, ingin meredam badai di hadapannya.“Nayya, tolong... aku salah, aku sadar aku salah. Tapi demi Tuhan, aku mau memperbaikinya... untuk kamu, untuk bayi kita...” suara Liam lirih, hampir seperti bisikan.Mendengar itu, mata Nayya semakin membara."Bayi?" desisnya tajam. "Bayi yang bahkan kamu cegah kehadirannya dengan kebohonganmu itu?"Liam hanya diam, membiarkan kata-kata Nayya menghujamnya bertubi-tubi.
"Kenapa kamu tega ngelakuin ini Mas?! Kenapa?!” suara Nayya pecah, menggema dalam ruangan yang semula sunyi. Tangisnya meledak bersama amarah yang selama ini ditahannya.Liam mendekat, mencoba meraih tangan Nayya. “Nayya, tolong… ikut aku pulang. Kita bicara baik-baik di rumah!"Nayya langsung menarik tangannya, menepis dengan kasar. “Jangan sentuh aku!”Liam menunduk. Wajahnya bingung dan frustrasi. “Nayya... Please..."Cintya yang masih berdiri di sudut, tampak menggigit bibir, menahan tangisnya sendiri. Ia maju pelan, menatap Liam. "Jelasin aja apa yang sebenarnya terjadi Mas! Kamu juga gak mungkin bohongin Nayya selamanya kan?"Liam menoleh ke Cintya, tatapannya tajam dan panik. “Cintya, tolong…”“Gak ada lagi yang bisa kamu tutupi,” Cintya berkata dengan tenang namun tegas.Liam terdiam. Rahangnya mengencang.Nayya menghapus air matanya, bangkit dari sofa dengan sisa tenaga yang ia punya. “Apalagi yang kamu tutupi Mas?""Aku akan jelaskan semuanya di rumah!"***Langit semakin ge