"Sayaaang..."
Liam menoleh ke arah suara yang baru saja memanggilnya. Di ambang pintu ruang tamu, berdirilah seorang wanita paruh baya yang masih memancarkan kecantikan khasnya. Wajahnya anggun, dengan garis-garis halus yang menambah kesan kebijaksanaan. Ia adalah Widuri, ibu kandung Liam. "Sayaaang... jam segini kok masih santai di rumah?" tanya Widuri sambil melangkah mendekat, nada suaranya penuh kasih sayang sekaligus heran. “Apa kamu gak kerja hari ini?” Liam menghela napas, lalu menatap kopi hitam di tangannya tanpa minat. "Belum, Ma. Aku berangkat agak siang." “Jangan karena masalah kamu ama Nayya, kamu jadi males-malesan gini.” Widuri duduk di sofa di seberangnya, menatap putranya dengan cermat. Liam menggeleng, mencoba menghindari tatapan ibunya. "Enggak, Ma. Aku cuma males aja." Widuri menyipitkan mata. Sebagai seorang ibu, ia paham betul setiap ekspresi Liam, dan ia bisa melihat dengan jelas ada sesuatu yang mengganggu pikiran putranya. “Jujur aja ya, Mama ini heran ama kamu." Liam melihat ke arah sang Mama. Tidak minat untuk menyahuti ucapan wanita itu. "Padahal Mama udah bantuin kamu buat singkirin, Nayya. Tapi kamu malah sok belain dia kemarin." Widuri menyeruput kopinya sendiri. Sementara kedua matanya menyorot langsung ke arah Liam yang masih memasang ekspresi datar. "Gak segampang itu, Ma." "Apanya yang susah sih? Kamu tinggal ngajuin talak, terus bilang aja ke hakim kalau Nayya itu gak bisa kasih keturunan. Kan beres?" Liam mendesah. "Aku cinta sama Nayya, Ma." "Cinta? Yakin kamu masih cinta ama dia?" "Maksud Mama apa ngomong kayak gitu?" Widuri meletakkan cangkirnya ke atas meja. Wanita paruh baya itu duduk dengan elegan sebelum kembali berkata, "Liam sayang, cinta sama kasian itu beda tipis loh." "Mama tau kamu masih mempertahankan Nayya karena kamu merasa bersalah sudah bikin kedua orang tuanya meninggal dunia. Ya kan?" Liam terdiam, tatapannya mengeras. Kata-kata ibunya menusuk dalam, membawa kembali ingatan-ingatan pahit yang selama ini berusaha ia lupakan. Namun, di satu sisi, ada kebenaran dalam ucapan itu—rasa bersalah itu memang tak pernah sepenuhnya hilang. "Mama tahu kamu merasa bertanggung jawab atas Nayya," lanjut Widuri, tatapan matanya tajam namun penuh kelembutan. "Tapi rasa tanggung jawab itu tidak sama dengan cinta, sayang. Kadang kita hanya tidak ingin melukai orang lain, meski akhirnya kita melukai diri sendiri." Liam menghela napas berat, memijat pelipisnya dengan gusar. "Gak semudah itu, Ma. Aku gak bisa melepaskan Nayya begitu saja. Aku merasa bertanggungjawab padanya." "Kamu masih bisa bertanggungjawab pada Nayya, Liam. Tapi caranya gak seperti ini. Yang Mama liat, kamu cuma nyakitin diri sendiri— dan mungkin juga si Nayya." Liam hanya bisa menatap sang Mama. Membiarkan ibunya berbicara sesuka hatinya. "Siapa tau, dengan kalian berpisah kalian malah lebih bahagia. Toh, sekarang kalian sering bertengkar kan? Jadi alangkah baiknya kalau kalian pisah. Daripada terus menerus saling menyakiti?" Widuri masih saja mencecar Liam dengan pemikirannya sendiri. Seolah pendapatnya adalah yang paling benar di antara yang lain. "Lagian, diusia kamu yang sekarang, apa kamu gak kepingin punya momongan? Kamu pasti mau kan punya anak?" Liam menghela napas panjang. Mendengar semua ucapan ibunya membuat perasaannya semakin kacau. Masalah anak—kata itu terus menggaung di pikirannya, menambah beban yang selama ini ia coba abaikan. "Coba kamu jujur ama Mama, apa alasan kamu gak mau periksa? Mama tau sih kamu sehat, tapi jelas ada sesuatu yang kamu tutupin. Iya kan?" Widuri terus menatapnya, menunggu jawaban, seolah-olah menantikan agar putranya akhirnya mengikuti saran darinya. "Liam, kalau kamu gak mau terbuka sama Nayya, seenggaknya kamu bisa cerita ke Mama. Apa alasan kamu nolak Nayya buat ke dokter?" Liam mendesah, menundukkan pandangannya ke lantai, merasa tertekan. Semua pertanyaan otu baginya lebih mirip desakan. "Apa alasan kamu nolak punya anak? Karena kamu belum siap? Atau karena kamu gak cinta sama Nayya? Apa jangan-jangan ada alasan lain yang kamu tutupi?" Widuri benar-benar bersikap seperti detektif yang sibuk menginterogasi tersangka. Ia terus menggali informasi yang mungkin coba Liam sembunyikan darinya. "Liaaam..." "Udah deh Ma! Cukup interogasinya!" Liam menepuk bagian depan pahanya dan berdiri. "Aku mau siap-siap ke kantor." Widuri membelalakkan matanya. Kaget karena Liam tiba-tiba ingin melarikan diri darinya. "Ayo dong Liam! Ini Mama kamu sendiri loh. Masa pake rahasia-rahasia segala?" "Aku nggak mau mikirin soal itu sekarang, Ma," katanya dengan suara lemah. Tanpa menunggu jawaban, Liam bangkit dari sofa, berjalan cepat menuju kamarnya. Widuri tak sempat menghentikannya, hanya bisa memandang punggung putranya yang semakin menjauh dengan ekspresi kecewa. Begitu keluar dari rumah, Liam masuk ke kamar tidurnya dan duduk di tepi ranjang dalam keheningan. Ia memijit pelipisnya, mencoba menghalau semua pikiran yang memenuhi kepalanya. Pandangannya menerawang jauh ke depan. Ada banyak hal yang memenuhi pikirannya, dan itu membuat ia semakin gundah. "Sudahlah. Daripada stres, lebih baik aku ke kantor." *** Haaa... Entah sudah berapa kali Nayya menghela nafas pagi itu. Hidupnya terasa penuh beban hingga sarapan di depannya tidak tersentuh. Pikirannya masih berputar pada Liam. "Haaaa..." Ia menghela nafas lagi. Hingga menarik perhatian Galen yang berada di belakangnya. "Nona...” Galen akhirnya memecah keheningan, suaranya lembut namun tetap penuh rasa hormat. “Ada yang bisa saya bantu?” Nayya menoleh perlahan. Mata indahnya terlihat lelah, seolah dipenuhi beban yang terlalu berat untuk ditanggung sendirian. “Enggak." Galen menghela nafas pelan. Meskipun berkata demikian, reaksi Nayya terlihat berbanding terbalik. "Ada masalah sama sarapannya Nona? Mau ganti menu lainnya saja? Saya perhatikan dari tadi, Nona sama sekali belum memakannya sedikit pun." Nayya menoleh ke arah Galen, tepat setelah ia meletakkan alat makannya di atas piring. Bodyguard bertubuh tegap itu tak bereaksi apapun ketika Nayya mulai mendekat ke arahnya. Membuat mereka saling berhadapan satu sama lain. "Galen, kamu bisa bantu aku gak?" Dengan tegas Nayya bertanya. "Bantuan apa, Nona?" Nayya tersenyum ke arah pria itu sebelum menjawab...Nayya mengangguk pelan, matanya masih basah. Tapi kali ini, bukan karena sesak atau putus asa—melainkan karena rasa hangat yang mengalir dalam dadanya. Ia tak sanggup bicara, hanya menatap Galen dengan pandangan yang penuh kepercayaan… dan harapan.Galen tersenyum tipis. Ia menyelipkan rambut Nayya yang sedikit berantakan ke belakang telinga, lalu menghapus sisa air mata di pipinya dengan ibu jari yang hangat.“Udah ya... jangan nangis lagi,” bisiknya. “Air matamu terlalu berharga buat hal-hal kayak gitu.”Nayya mengangguk lagi, lalu tanpa ragu bersandar ke pelukan Galen. Lelaki itu menyambutnya dengan tangan terbuka, memeluknya erat, seolah ingin melindunginya dari seluruh dunia. Kepalanya bersandar di bahu Galen, menghirup wangi sabun dan aroma khas tubuh pria itu yang entah kenapa selalu berhasil menenangkan pikirannya.Galen mengusap punggung Nayya pelan, lembut, penuh ketulusan.“Kamu tahu gak?” ucap Galen dengan suara nyaris berbisik. “Pelukan ini... tempat ternyaman yang pernah
Setelah sarapan selesai, Nayya membereskan piring sementara Galen menghilang ke kamar sebentar. Ia kembali beberapa menit kemudian, sudah rapi dengan kemeja biru muda yang digulung hingga siku dan celana jeans gelap. Di tangannya ada kotak kecil berisi vitamin dan sebotol air mineral.“Ini, jangan lupa,” ujarnya sambil menyodorkan kotak itu ke Nayya.Nayya menatapnya, agak terkejut. “Oh iya. Hampir aja lupa," Ia mengetuk keningnya sendiri.Galen mengangguk. “Vitamin dan obat ini kan hal yang penting, jadi jangan sampai lupa."Nayya diam sejenak, lalu tersenyum. Senyum itu lembut, penuh rasa syukur dan sedikit gugup. “Terima kasih, Galen…”Galen mengangguk kecil, lalu dengan hati-hati membantu Nayya memakai jaket tipis. Gerakannya pelan dan penuh perhatian, seperti takut menyakiti.“Siap ke butik, calon Mama terbaik di dunia?” ledek Galen dengan senyum hangat.Nayya mencubit perut Galen dengan reflek. "Apaan sih!"“Tapi ka
“Kalau rencana ini berhasil,” gumam Liam, suaranya serak dan dalam, “aku bakal kasih kamu lebih dari separuh aset yang kita selamatkan. Kamu pantas dapet semuanya.”Cintya menyentuh dada Liam dengan telapak tangannya, menatapnya dari dekat. “Aku gak butuh semua itu. Aku cuma butuh kamu tetap di atas. Karena kalau kamu runtuh, semuanya gak ada artinya.”Liam menatap mata Cintya dalam-dalam, lalu mencium bibir perempuan itu perlahan. Bukan ciuman tergesa, tapi ciuman yang menuntut—penuh strategi seperti rencana mereka, tapi tak kalah panas dari ambisi yang mereka bawa.Liam menarik napas dalam, lalu mencengkeram tengkuk Cintya dengan satu tangan—tidak kasar, tapi penuh kendali. Pandangannya menusuk lurus ke mata perempuan itu.“Kamu tahu,” bisiknya, suaranya turun setengah oktaf, “kalau aku bukan tipe pria yang gampang kagum. Tapi kamu… kamu selalu bikin aku kehilangan pijakan.”Cintya tidak mundur. Nafasnya mulai naik turun, tapi dia tetap mempertahankan kontak mata, tak gentar sedikit
Cintya menghela napas panjang, lalu menatap satu persatu wajah pria-pria di ruangan itu. “Masalahnya, Galen ini bukan bodyguard biasa. Dia itu jago banget. Geraknya cepet, matanya awas. Dia selalu nempel kayak bayangan. Sampai-sampai aku susah cari celah buat ngusik Nayya.” Pria berkepala plontos bersiul pelan. “Wah, yang begini biasanya ribet. Kita harus main halus kalau ada orang kayak gitu di sekitarnya.” “Betul,” Cintya mengangguk. “Makanya aku mau kalian berhati-hati. Kita gak boleh ketahuan. Gak boleh sampai ada jejak yang bisa buat kita ketahuan. Dan gak boleh ada keributan. Aku mau semuanya terlihat natural. Bisa kecelakaan. Bisa perampokan. Bisa juga cuma orang iseng. Terserah kalian, yang penting Nayya takut dan dia nurut.” “Dan Galen?” tanya pria berkumis tebal sambil menyilangkan tangan. “Kalau bisa, jangan konfrontasi langsung. Hindari dia. Tapi kalau emang gak bisa dihindari…” Cintya mengecilkan suaranya. “…buat dia sibuk. Jauhkan dia dari Nayya, tapi tanpa bikin jej
Nayya memiringkan kepala, menatap garpu kecil berisi semangka yang disodorkan Galen ke arahnya. Ia menyipitkan mata, lalu meraih garpunya sendiri dari meja dan berkata, “Aku bisa makan sendiri, Galen.” Galen tak bergeming. “Aku tahu. Tapi aku pengen suapin baby di perut kamu." “Galen…” Nayya memperingatkan dengan nada setengah malas. Pria itu tetap tak bergerak, garpunya masih terulur. Tatapannya tenang, tak ada paksaan, hanya perhatian yang begitu lembut. Akhirnya, Nayya mendesah pasrah. Ia sedikit menunduk dan membuka mulutnya, membiarkan Galen menyuapkan potongan semangka ke dalam mulutnya. Dingin, manis, dan segar. Tapi lebih dari itu, ada kehangatan aneh yang menjalar diam-diam dari dadanya ke seluruh tubuh. “Lihat? Gak susah kan nerima perhatian dariku?” goda Galen sambil tersenyum. “Sedikit?” Nayya mengangkat alis. “Kamu ini paket full service.” “Anggap aja bonus karena kamu orang spesial,” balas Galen santai. Nayya menunduk, tersenyum kecil. Tangannya bergerak ke arah
Selesai membantu menata beberapa barang milik Nayya di kamar barunya, Galen membersihkan tangannya dengan handuk kecil yang tadi ia ambil dari dapur. Sore mulai merambat ke malam, cahaya jingga berubah redup, berganti dengan siluet lampu-lampu kota yang mulai menyala dari jendela balkon.“Kalau begitu, saya siapkan makan malam, ya?” katanya ringan, memecah keheningan yang nyaman di antara mereka.Nayya mengangguk pelan. “Makasih, Galen.”Ia duduk di tepi ranjang, memegangi perutnya yang terasa sedikit kencang. Mungkin karena terlalu banyak berjalan hari ini, atau mungkin juga karena emosinya tadi. Entahlah. Yang jelas, tubuhnya mulai terasa letih.Sementara Galen sibuk di dapur, aroma tumisan mulai menyebar ke seluruh apartemen. Nayya bisa mendengar bunyi spatula yang sesekali beradu dengan wajan, diselingi suara panci mendidih dan gesekan pelan ketika Galen membuka laci atau kulkas.Tak lama, pria itu muncul kembali di ambang pintu dengan dua piring makan dan satu mangkuk sup. “Seder
“Galen... Kamu itu bicara apa sih?" katanya lirih. "kamu tau kan aku ini calon janda. Kamu gak malu punya pasangan janda?""Menikah dengan anda adalah salah satu tanggungjawab saya atas anda dan juga anak yang ada di perut anda," ungkap Galen dengan nada tenang dan ekspresi penuh keyakinan. "Dan janji saya adalah menunggu anda sampai anda mau menerima saya."Nayya menghela nafas. Tatapannya masih tertuju ke arah Galen. "Berapa lama kamu bakal nunggu? Aku yakin itu gak bakal berlangsung lama kan?""Mau taruhan?" tantang Galen. Melihat perubahan ekspresi Nayya yang semakin cemberut, ia pun berkata, "jangan bahas itu lagi, Nona. Lebih baik anda masuk sekarang dan coba pilih kamar mana yang ingin anda tempati."Nayya hendak mengatakan sesuatu, tapi lagi-lagi Galen menyela ucapannya dan menariknya masuk ke dalam.Begitu masuk, Galen berjalan lebih dulu menyusuri dalam apartemen yang mengarah ke beberapa pintu. Tangannya menunjuk satu per satu sambil menjelaskan dengan santai.“Yang ini kam
Pagi datang perlahan, membawa sinar matahari yang menyusup malu-malu lewat sela-sela tirai butik. Aroma kain dan lavender masih menyelimuti ruangan, tapi kini bercampur dengan hawa pagi yang sedikit lebih hangat.Nayya membuka mata dengan pelan. Lehernya terasa kaku karena tidur di posisi yang salah. Ia duduk sambil mengusap perutnya, mengeluh pelan saat nyeri ringan menyapa punggungnya.Saat ia melirik ke bawah, ia sadar Galen sudah tidak ada di tempatnya. Jaket yang tadi malam ia berikan pun terlipat rapi di sisi karpet. Nayya sempat menatap kosong ke tempat itu beberapa detik, lalu menghela napas.“Mungkin dia pulang,” gumamnya pelan.Tapi Nayya tidak terlalu ambil pusing. Ia bangkit dari sofa, lalu berjalan pelan menuju kamar mandi kecil di pojok butik untuk membersihkan diri.Baru beberapa menit setelah ia keluar dari kamar mandi, pintu samping butik terbuka. Galen muncul dengan bungkusan kertas dan satu botol susu di tangan.“Pagi, Nona,” sapanya sambil sedikit terengah. “Saya b
Mobil melaju pelan di jalanan kompleks elit yang mulai sepi. Di dalamnya, hanya suara mesin dan desahan napas berat Nayya yang terdengar. Galen melirik ke kaca spion, memperhatikan wanita yang duduk diam di kursi belakang dengan mata sembab dan wajah lelah.Setelah beberapa menit dalam keheningan, Galen akhirnya bertanya pelan, “Nona mau saya antar ke mana?”Nayya mengusap pipinya, mencoba merapikan suara yang masih basah oleh tangis. “Ke butik aja, Galen.”Galen melirik ke arah spion tengah dengan kening berkerut. “Ke butik? Tapi—""Hm. Aku istirahat di sana aja malam ini," potong Nayya cepat. “Lagipula di sana tempatnya sepi dan tenang. Jadi aku mau istirahat di sana aja malam ini."Galen menghela napas. “Saya ngerti Nona butuh ketenangan. Tapi di sana Nona gak bisa istirahat dengan layak. Setidaknya ikut saya ke apartemen, atau saya bookingin hotel... yang penting Nona bisa istirahat dengan nyaman. Apalagi Nona sedang hamil."