Share

Bab 06

last update Last Updated: 2024-11-05 16:26:58

"Sayaaang..."

Liam menoleh ke arah suara yang baru saja memanggilnya. Di ambang pintu ruang tamu, berdirilah seorang wanita paruh baya yang masih memancarkan kecantikan khasnya. Wajahnya anggun, dengan garis-garis halus yang menambah kesan kebijaksanaan. Ia adalah Widuri, ibu kandung Liam.

"Sayaaang... jam segini kok masih santai di rumah?" tanya Widuri sambil melangkah mendekat, nada suaranya penuh kasih sayang sekaligus heran. “Apa kamu gak kerja hari ini?”

Liam menghela napas, lalu menatap kopi hitam di tangannya tanpa minat. "Belum, Ma. Aku berangkat agak siang."

“Jangan karena masalah kamu ama Nayya, kamu jadi males-malesan gini.” Widuri duduk di sofa di seberangnya, menatap putranya dengan cermat.

Liam menggeleng, mencoba menghindari tatapan ibunya. "Enggak, Ma. Aku cuma males aja."

Widuri menyipitkan mata. Sebagai seorang ibu, ia paham betul setiap ekspresi Liam, dan ia bisa melihat dengan jelas ada sesuatu yang mengganggu pikiran putranya. “Jujur aja ya, Mama ini heran ama kamu."

Liam melihat ke arah sang Mama. Tidak minat untuk menyahuti ucapan wanita itu.

"Padahal Mama udah bantuin kamu buat singkirin, Nayya. Tapi kamu malah sok belain dia kemarin." Widuri menyeruput kopinya sendiri. Sementara kedua matanya menyorot langsung ke arah Liam yang masih memasang ekspresi datar.

"Gak segampang itu, Ma."

"Apanya yang susah sih? Kamu tinggal ngajuin talak, terus bilang aja ke hakim kalau Nayya itu gak bisa kasih keturunan. Kan beres?"

Liam mendesah. "Aku cinta sama Nayya, Ma."

"Cinta? Yakin kamu masih cinta ama dia?"

"Maksud Mama apa ngomong kayak gitu?"

Widuri meletakkan cangkirnya ke atas meja. Wanita paruh baya itu duduk dengan elegan sebelum kembali berkata, "Liam sayang, cinta sama kasian itu beda tipis loh."

"Mama tau kamu masih mempertahankan Nayya karena kamu merasa bersalah sudah bikin kedua orang tuanya meninggal dunia. Ya kan?"

Liam terdiam, tatapannya mengeras. Kata-kata ibunya menusuk dalam, membawa kembali ingatan-ingatan pahit yang selama ini berusaha ia lupakan. Namun, di satu sisi, ada kebenaran dalam ucapan itu—rasa bersalah itu memang tak pernah sepenuhnya hilang.

"Mama tahu kamu merasa bertanggung jawab atas Nayya," lanjut Widuri, tatapan matanya tajam namun penuh kelembutan. "Tapi rasa tanggung jawab itu tidak sama dengan cinta, sayang. Kadang kita hanya tidak ingin melukai orang lain, meski akhirnya kita melukai diri sendiri."

Liam menghela napas berat, memijat pelipisnya dengan gusar. "Gak semudah itu, Ma. Aku gak bisa melepaskan Nayya begitu saja. Aku merasa bertanggungjawab padanya."

"Kamu masih bisa bertanggungjawab pada Nayya, Liam. Tapi caranya gak seperti ini. Yang Mama liat, kamu cuma nyakitin diri sendiri— dan mungkin juga si Nayya."

Liam hanya bisa menatap sang Mama. Membiarkan ibunya berbicara sesuka hatinya.

"Siapa tau, dengan kalian berpisah kalian malah lebih bahagia. Toh, sekarang kalian sering bertengkar kan? Jadi alangkah baiknya kalau kalian pisah. Daripada terus menerus saling menyakiti?" Widuri masih saja mencecar Liam dengan pemikirannya sendiri. Seolah pendapatnya adalah yang paling benar di antara yang lain.

"Lagian, diusia kamu yang sekarang, apa kamu gak kepingin punya momongan? Kamu pasti mau kan punya anak?"

Liam menghela napas panjang. Mendengar semua ucapan ibunya membuat perasaannya semakin kacau. Masalah anak—kata itu terus menggaung di pikirannya, menambah beban yang selama ini ia coba abaikan.

"Coba kamu jujur ama Mama, apa alasan kamu gak mau periksa? Mama tau sih kamu sehat, tapi jelas ada sesuatu yang kamu tutupin. Iya kan?"

Widuri terus menatapnya, menunggu jawaban, seolah-olah menantikan agar putranya akhirnya mengikuti saran darinya. "Liam, kalau kamu gak mau terbuka sama Nayya, seenggaknya kamu bisa cerita ke Mama. Apa alasan kamu nolak Nayya buat ke dokter?"

Liam mendesah, menundukkan pandangannya ke lantai, merasa tertekan. Semua pertanyaan otu baginya lebih mirip desakan.

"Apa alasan kamu nolak punya anak? Karena kamu belum siap? Atau karena kamu gak cinta sama Nayya? Apa jangan-jangan ada alasan lain yang kamu tutupi?" Widuri benar-benar bersikap seperti detektif yang sibuk menginterogasi tersangka. Ia terus menggali informasi yang mungkin coba Liam sembunyikan darinya.

"Liaaam..."

"Udah deh Ma! Cukup interogasinya!" Liam menepuk bagian depan pahanya dan berdiri. "Aku mau siap-siap ke kantor."

Widuri membelalakkan matanya. Kaget karena Liam tiba-tiba ingin melarikan diri darinya. "Ayo dong Liam! Ini Mama kamu sendiri loh. Masa pake rahasia-rahasia segala?"

"Aku nggak mau mikirin soal itu sekarang, Ma," katanya dengan suara lemah.

Tanpa menunggu jawaban, Liam bangkit dari sofa, berjalan cepat menuju kamarnya. Widuri tak sempat menghentikannya, hanya bisa memandang punggung putranya yang semakin menjauh dengan ekspresi kecewa.

Begitu keluar dari rumah, Liam masuk ke kamar tidurnya dan duduk di tepi ranjang dalam keheningan. Ia memijit pelipisnya, mencoba menghalau semua pikiran yang memenuhi kepalanya. Pandangannya menerawang jauh ke depan. Ada banyak hal yang memenuhi pikirannya, dan itu membuat ia semakin gundah.

"Sudahlah. Daripada stres, lebih baik aku ke kantor."

***

Haaa...

Entah sudah berapa kali Nayya menghela nafas pagi itu. Hidupnya terasa penuh beban hingga sarapan di depannya tidak tersentuh. Pikirannya masih berputar pada Liam.

"Haaaa..." Ia menghela nafas lagi. Hingga menarik perhatian Galen yang berada di belakangnya.

"Nona...” Galen akhirnya memecah keheningan, suaranya lembut namun tetap penuh rasa hormat. “Ada yang bisa saya bantu?”

Nayya menoleh perlahan. Mata indahnya terlihat lelah, seolah dipenuhi beban yang terlalu berat untuk ditanggung sendirian. “Enggak."

Galen menghela nafas pelan. Meskipun berkata demikian, reaksi Nayya terlihat berbanding terbalik. "Ada masalah sama sarapannya Nona? Mau ganti menu lainnya saja? Saya perhatikan dari tadi, Nona sama sekali belum memakannya sedikit pun."

Nayya menoleh ke arah Galen, tepat setelah ia meletakkan alat makannya di atas piring. Bodyguard bertubuh tegap itu tak bereaksi apapun ketika Nayya mulai mendekat ke arahnya. Membuat mereka saling berhadapan satu sama lain.

"Galen, kamu bisa bantu aku gak?" Dengan tegas Nayya bertanya.

"Bantuan apa, Nona?"

Nayya tersenyum ke arah pria itu sebelum menjawab...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hasrat Terlarang Sang Bodyguard   Bab 140

    “Eh, kalian berdua di sini?” katanya sambil melirik ke arah Galen. Nayya menoleh. "Dia kan..." Perempuan itu coba mengingat. Dan yang ia tau Rico adalah teman Galen yang banyak membantu saat proses hukum Liam dan Cintya dulu. “Aku Rico. Masa lupa sih?” jawab Rico sambil terkekeh jahil. "Bukan... maksudku..." "Rico itu adik Galen, Nayya. Mereka berdua anak kami," sahut Papa Galen diiringi senyuman yang sama tulusnya dengan sebelumnya. Nayya menatap Galen tak percaya. “Tunggu dulu... Jadi—" Galen mengangguk pelan. “Iya. Sebenarnya aku bukan bodyguard biasa. Aku calon CEO perusahaan milik Papa. Tapi sekarang… aku masih belajar gantiin Papa. Karena aku pengen punya kendali. Termasuk kendali atas masa depanku sendiri.” Nayya menatapnya lama. “Kamu beneran luar biasa… dan menyebalkan, karena nyembunyiin semua ini,” ujarnya pelan, setengah gemas. Galen tertawa. “Ya maaf. Aku cuma pengen kamu suka aku karena aku… bukan karena latar belakangku.” Ibunya Galen menimpali, “Dan kami senan

  • Hasrat Terlarang Sang Bodyguard   Bab 139

    Galen menatap langit-langit sesaat, menahan gelombang emosi yang sempat muncul di balik matanya yang biasanya tenang. Tapi bukan rasa sesak yang muncul. Hanya damai. Karena akhirnya, semua yang ia simpan sendiri selama bertahun-tahun… sudah terucap."Aku nggak apa-apa, Nay," katanya dengan suara rendah. Tangannya masih mengusap lembut punggung Nayya yang terisak di pelukannya. "Kalau harus milih buat bahagia tapi tanpa kamu, atau sakit asal bisa tetap di dekat kamu… aku selalu pilih yang kedua."Nayya menggigit bibir, air matanya terus jatuh meski sudah ia coba tahan. Ia menatap Galen, seolah ingin melihat sesuatu yang bisa menenangkan hati yang kini penuh sesal. Tapi yang ia temukan justru senyuman kecil di wajah lelaki itu. Senyum yang penuh ketulusan."Aku jahat banget, Galen," isaknya pelan. "Aku bahkan gak bisa ingat sedikit pun tentang kamu. Tentang kita. Padahal kamu terus ada. Kamu lindungin aku… kamu temani aku, bahkan pas aku jatuh cinta sama orang lain—"Galen memotongnya l

  • Hasrat Terlarang Sang Bodyguard   Bab 138

    Musim semi menyapu kota dengan lembut, membawa aroma bunga segar dan angin yang tak lagi terasa sesak. Di lantai tujuh sebuah apartemen di pusat kota, Nayya duduk di depan laptop, menyelesaikan desain terakhir untuk klien dari Singapura.Tangannya lincah, matanya fokus, dan ekspresinya tenang. Wajahnya kini jauh berbeda—lebih cerah, lebih ringan, seolah luka-luka lama akhirnya benar-benar tertinggal di masa lalu.Sejak vonis dijatuhkan, hidup Nayya perlahan berubah. Bukan dalam sekejap, bukan tanpa jatuh bangun, tapi hari-hari sulit itu kini hanya jadi bagian dari cerita masa lalu yang tak lagi menyakitkan untuk dikenang.Apartemennya tak besar, tapi nyaman dan hangat. Dan yang paling penting, ia memilihnya sendiri—tepat di samping unit milik seseorang yang diam-diam selalu ada di radius hidupnya: Galen.Sebenarnya, saat Galen tahu Nayya ingin pindah dan tinggal sendiri, dia cuma berkata, “Pindah aja ke sini, sebelahan sama aku. Biar kalau kamu butuh bantuan angkat galon atau benerin

  • Hasrat Terlarang Sang Bodyguard   Bab 137

    Di luar ruang interogasi, Galen berdiri dengan gelisah. Ia mencoba menenangkan detak jantungnya yang tak karuan, sementara matanya tak lepas dari pintu berwarna abu-abu itu. Beberapa menit terasa seperti berjam-jam baginya. Ia tahu Nayya kuat. Tapi Galen juga tahu, kekuatan yang selama ini ditunjukkan Nayya bukan berarti ia tak terluka. Justru luka itu terlalu dalam—hanya saja selama ini disembunyikan di balik tatapan tajam dan ucapan penuh tekad.Saat pintu terbuka dan Nayya melangkah keluar, Galen langsung menegakkan tubuh.Langkah Nayya cepat dan tegas. Tapi hanya butuh satu detik. Satu pandang mata dari Galen, satu dekapan hangat yang ditawarkan tanpa kata—dan seluruh pertahanan yang tadi berdiri kokoh di hadapan Liam, runtuh dalam sekejap.Nayya terisak. Tangisnya pecah begitu tubuhnya bersandar di dada Galen."Galen…" bisiknya lirih, tubuhnya gemetar. "Aku… aku pikir aku bisa kuat."Galen memeluknya erat, menangkup kepalanya agar Nayya merasa terlindungi. “Gak apa-apa… Kamu uda

  • Hasrat Terlarang Sang Bodyguard   Bab 136

    "Galen, aku ingin ketemu sama dia. Kamu bisa kan nganter aku ke sana besok?"Galen menatap Nayya lama. Permintaan itu membuat dadanya mencelos. Ia tahu betul, pertemuan itu bisa mengguncang kondisi Nayya, apalagi kondisi perempuan itu masih belum benar-benar stabil. Tapi dari sorot mata Nayya, Galen tahu… ini bukan sekadar keinginan. Ini tekad.“Nay… aku gak yakin itu ide bagus,” katanya hati-hati. “Kamu masih dalam masa pemulihan dan aku khawatir kamu drop lagi."“Aku harus ketemu dia,” balas Nayya, tegas. “Aku harus dengar penjelasan dari mulutnya sendiri. Aku juga harus buat perhitungan dengannya!"Galen menghela napas berat. “Kamu yakin? Aku hanya takut kamu kenapa-napa."Nayya menatap Galen lurus. “Aku ingin ketemu dia langsung, Galen. Dan aku pasti bisa jaga diri sendiri."Melihat tekat Nayya, akhirnya Galen hanya bisa menghela nafas berat sebelum akhirnya mengangguk setuju.***Keesokan harinya…Nayya berdiri di depan kantor polisi dengan jantung berdebar keras. Tubuhnya masih

  • Hasrat Terlarang Sang Bodyguard   Bab 135

    Langit sore di luar jendela rumah sakit mulai menguning, menandai hari yang perlahan merambat senja. Cahaya matahari menyusup masuk lewat celah tirai, menyinari wajah pucat Nayya yang termenung di ranjang. Tatapannya kosong.Galen mendorong pintu pelan-pelan. Kakinya berat melangkah masuk, seolah membawa semua beban dunia. Begitu melihat Nayya duduk diam dengan tatapan kosong, rasa bersalah itu menyeruak lagi dari dadanya.“Nay…” panggilnya pelan.Nayya tak menjawab.Galen menutup pintu perlahan, lalu berjalan mendekat. Ia sempat menoleh ke luar—anak buah Rico, dua pria berbadan kekar, masih berdiri berjaga di koridor, memberi anggukan singkat saat mata mereka bertemu. Galen sedikit lega. Setidaknya, Nayya gak sepenuhnya sendiri waktu dia pergi tadi.Namun tetap saja, hatinya seperti terkoyak melihat wanita yang dicintainya duduk seperti boneka patah. Hampa.“Kamu udah minum obatnya?" tanya Galen, kali ini sambil duduk di tepi ranjang.Nayya baru menoleh. Pelan. Pandangannya sendu, ma

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status