“Semua itu berawal ketika ….
….….Pernikahanku dengan suamiku hanya karena perjodohan keluarga besar kami yang sangat menginginkan sebuah hubungan darah dan keluarga.Ayahku juga sangat berharap pria itu bisa menjadi suamiku, karena ia adalah tangan kanan kepercayaan ayahku.Aku dan suamiku tidak saling mencintai. Aku bahkan tidak menyukainya karena sikapnya yang dingin, arogan dan acuh terhadapku.Suamiku jarang sekali menyentuhku, apalagi memberikan nafkah batin, hampir tidak pernah, atau mungkin aku lupa hanya beberapa kali ketika awal menikah.Akhirnya kami berdua sudah sangat membenci satu sama lain, aku pernah menggugat cerai dan dia juga menginginkan perceraian, tetapi mengingat kedua keluarga besar kami sangat anti dengan yang namanya perceraian. Perceraian di keluarga besar kami adalah aib dan sangat dihindari, jadi lebih baik kami tersiksa di dalam pernikahan daripada harus bercerai, maka kami tidak mengungkapkan rencana perceraian itu pada keluarga kami.Kami bertahan dengan semua kebencian yang terpendam diantara kami. Suamiku tidak menceritakan apa yang sudah terjadi di dalam rumah tangga kami, karena dia sangat menyayangi ibunya, dan tidak ingin membuat ibunya kecewa, maka dia menyembunyikan hubungan pernikahan kami yang kelam, dan seolah semua baik-baik saja.Dari situlah aku menjadi sakit-sakitan, menahan kebencian karena sikap suamiku, dan karena pernikahan kami yang hanya seperti bayangan, tidak ada keharmonisan sama sekali.Aku menahan semua ini selama empat tahun lebih, dan selama itu pula aku tidak pernah tahu dan tidak pernah perduli dengan apa yang suamiku lakukan diluar sana, mungkin dengan wanita lain, aku tidak pernah perduli lagi"“Jadi untuk apa sebenarnya pernikahan anda diteruskan nyonya?” tanya Arlin dengan serius.“Entahlah, mungkin hanya untuk menyenangkan keluarga besar kami, hingga pada waktunya nanti kami bisa berpisah”Arlin menghela nafas panjang.“Jadi, berapa lama tuan akan pulang dan menetap dirumah ini nyonya?”“Entahlah, semau dia, terkadang hanya sepekan, terkadang hanya beberapa hari. Aku rasa dia bukanlah pulang kerumah, melainkan hanya singgah”“Aku hanya ingin kau tahu sifat suamiku, sehingga kau tidak kaget ketika bertemu dengannya” ucap Melinda.“Baik nyonya”.Di kamar Arlin, gadis itu sempat berfikir, alangkah teganya suami yang membiarkan istrinya tak disentuh hingga sakit-sakitan seperti itu, ‘suami macam apa dia’ batin Arlin membayangkan suami dari wanita yang tengah dirawatnya itu.Gadis itu juga teringat kata-kata si mbok dan para pelayan tadi siang, seolah terlihat ketakutan di wajah mereka ketika membahas tentang tuan mereka, dan seolah sebuah beban besar akan mereka hadapi.Ketika Arlin bertanya pada mereka kenapa menjadi takut seperti itu, mereka mengatakan bahwa kedatangan tuan mereka bagaikan neraka di rumah itu, karena sifat keras dan arogannya terkadang membuat para pelayan harus lebih ekstra sabar dan menyiapkan mental yang kuat.Hingga, hari yang menegangkan akhirnya tiba.Pagi, pukul 07:05Sebuah sedan Mercedess hitam berhenti di depan gerbang, klakson mobil beberapa kali berbunyi dari mobil tersebut. Mbok Min buru-buru berlari kecil dan membuka gerbang lebar-lebar.Mobil tersebut memasuki area halaman rumah dan berhenti tak jauh dari pintu masuk utama.Dari balik jendela kamar, Melinda menyaksikan kepulangan suaminya tanpa menyambutnya sedikitpun.Beda halnya dengan Mbok Min, dua pelayan lainnya dan juga Arlin yang di perintahkan Melinda menyambut suaminya di depan pintu masuk.Pria gagah berbadan tinggi tegap dan berwajah tegas tersebut mulai memasuki pintu masuk utama.Awalnya pria itu diam, dingin dan dengan wibawanya melangkah menuju ke dalam rumah, sampai ia menyerahkan kopernya pada mbok Min, dan ketika itu Vardyn suami Melinda melihat sosok cantik yang baru ia lihat, gadis itu tertunduk berdiri disebelah mbok Min.Vardyn melihat gadis itu beberapa saat, kemudian dengan sikapnya yang acuh ia meneruskan melangkah menuju ruang tengah.Dua pelayan lainnya sibuk menyiapkan minuman dan makanan ringan untuk tuan mereka yang baru datang.Mbok Min beranjak ke lantai atas untuk menaruh koper ke kamar atas, sedangkan Arlin kembali ke kamar Melinda.Pria itu langsung merebahkan pinggangnya di sofa ruang tengah sambil mengendorkan dasinya.Melihat Arlin yang masuk ke kamar Melinda, Vardyn tertegun dan menegurnya.“Hey!, kenapa kau masuk ke kamar itu?!, sini kamu!” ucap pria itu terkesan marah.Arlin mendekati Vardyn tanpa berkata apapun dengan alis menaut.“Kamu baru disini?!” tanya pria itu yang masih bersandar di sandaran sofa.“Iya tuan, aku perawat nyonya Melinda, sudah sebulan aku bekerja disini”Terbersit kekesalan pada wajah Arlin, karena ketidak-ramahan pria itu, juga karena cerita Melinda yang sudah melekat di benak gadis itu, bahwa yang di hadapannya adalah suami yang tega membiarkan istrinya menjadi sakit-sakitan.Vardyn melihat Arlin dari atas sampai kebawah.“Yasudah, rawat wanita itu sana!” ucap pria itu ketus.Arlin melanjutkan langkahnya menuju kamar Melinda, dan menutup kamarnya. Di dalam kamar, Melinda duduk di kursi rodanya tengah melihat keluar jendela.Wajahnya sendu dan kosong, entah apa yang di tatapnya diluar sana.“Nyonya” sapa Arlin.“Kau sudah bertemu suamiku kan?” ucap Melinda tanpa menoleh kearah Arlin.“Ya nyonya, dan benar yang anda katakan, dia sangat dingin dan tidak ramah” ucap Arlin yang sudah terbentuk kebencian sedikit demi sedikit pada pria di luar kamar wanita yang dirawatnya itu.“Dia tidak akan lama disini, kau bersabarlah beberapa hari” ucap Melinda dengan suara lirih.“Ya, baiklah nyonya. Lalu, tuan akan tidur dimana nyonya?” tanya Arlin.“Di kamar atas, karena dia tidak akan tidur denganku di kamar ini”Arlin hanya mengangguk.“Tapi, nyonya apa tidak sebaiknya nyonya menemuinya barang sebentar saja?” ucap Arlin lagi.“Ya, nanti aku akan menemuinya, tapi tidak saat ini”“Maaf nyonya, tapi kalau tuan hanya sekedar singgah, untuk apa kerumah ini?, bukankah dia bisa ke hotel atau penginapan?” Arlin mulai penasaran.“Ini rumahnya, dia berhak datang kesini, dan setiap dia akan pulang kesini, keluarganya terutama ibunya akan mengecek bahwa dia berada disini dan menelponnya melaui vidio call”Arlin hanya mengangguk.“Baiklah Arlin, kau boleh beristirahat” ucap Melinda.“Baik nyonya” Arlin keluar kamar yang agak redup itu, mungkin se-redup hati yang berada di dalamnya.Ketika Arlin akan menuju ke lantai atas, ia akan beristirahat di kamarnya, tiba-tiba suara seorang pria menegur di belakangnya.“Hey, buatkan aku teh hangat, gulanya sedikit saja!” perintah pria itu sambil melangkah kearah ruang makan dan hendak duduk di kursi meja makan.Arlin menghentikan langkahnya, kemudian menoleh kearah suara.“Baik aku akan meminta mbok Min membuatkannya” ucap Arlin pada Vardyn.“Kenapa kau menyuruh mbok Min lagi?!, aku meyuruhmu!” bentak Vardyn yang menatap tajam kearah Arlin.“Maaf tuan, aku perawat nyonya Melinda dan bukan pelayan” ucap Arlin membela diri dan masih bernada sopan.Spontan Vardyn bangkit dari duduknya dan melangkah mendekati Arlin hingga tubuh pria itu sangat dekat berdiri berada didepan gadis yang tengah merasakan aura kemarahan itu.Arlin terperanjat takut, matanya membulat, nafasnya seolah berhenti dan jantungnya tiba-tiba berdegup kencang. Gadis itu kaku terdiam dengan ketakutannya.* * *Terimakasih sudah mampir ya teman-teman. Mohon bantuan dukungannya, kritik dan saran juga komennya ya...Yuk simak bab selanjutnya....Arlin diantar pulang oleh Rey. Di dalam mobil, mereka lebih banyak diam, memendam perasaan masing-masing.“Tuan Rey, besok kau tidak perlu repot untuk mengunjungiku dan menjagaku seperti ini. Aku tahu kesibukanmu” akhirnya satu kalimat terlontar dari bibir Arlin setelah sebelumnya beberapa saat hening.“Benarkah kau tidak membutuhkan aku?” tanya Rey seolah sindiran halus.Arlin hanya diam dan menunduk.Sepekan berlalu, Vardyn telah kembali ke sisi Arlin. Namun Arlin mendapati sikap Vardyn yang sedikit berubah, ia agak pendiam semenjak kepulangannya dari Luar Negeri.“Richo, kalau ada masalah mungkin kau bisa bercerita padaku” ucap Arlin di sela waktu santai mereka dan di temani suguhan teh melati hangat.“Masalah?, sepertinya tidak ada masalah. Oya, bagaimana kabar bu Siska?, kau bilang tempo hari ingin mengunjunginya?” tanya Vardyn sedikit mengalihkan pembicaraan.“Bu Siska sedang pulang kampung. Aku belum tau apa dia s
“Yup, ini kediaman kecilku” jawab Rey santai.“Kecil?” gumam Arlin.Mereka duduk di sofa mewah tadi. Arlin agak canggung dengan keadaanya. Ia seperti anak desa yang berada di istana megah.“Apa kau tinggal sendirian disini tuan Rey?” tanya Arlin masih menyimpan kekaguman luar biasa pada pribadi Rey yang sedikit demi sedikit terkuak.“Aku tinggal bersama anak buahku dan, ohya … tadi aku ingin mengenalkanmu pada Big Black” Rey mengisyaratkan jarinya pada pria yang berdiri tegak di dekat dinding.Pria itu menghampiri Rey dan menunduk karena Rey berbisik sesuatu padanya. Pria itu mengangguk kemudian berlalu dari sana.Tak lama kemudian, si pria tadi membawa seekor anak macan kumbang yang berbulu hitam mengkilat. Ia di rantai di lehernya. Matanya kuning menyeramkan. Tapi anak macan kumbang tersebut sungguh menggemaskan, bagai kucing hitam yang lucu.“Nah, kenalkan, dia Big Black” Rey menggendong Big Black kemudian mengelusnya. Hewan itu sangat penurut di tangan Rey.“I-ini piaraanmu?. Dia s
“Apa anda tidak sibuk tuan Rey?” tanya Arlin dengan keheranan yang belum sepenuhnya hilang.“Tidak, aku tidak sesibuk Vardyn” jawab Rey entang.“Anda selalu berkata seperti itu” kata Arlin sambil memalingkan wajahnya ke arah jendela.Sesampainya di kediaman bu Siska. Mereka turun dari mobil. Tapi Arlin melihat rumah bu Siska sepi dan seolah sudah ditinggal beberapa hari yang lalu, terbukti dari debu yang menempel di lantai teras.Seorang tetangga sempat menghampiri Arlin, seorang ibu sedang menggendong anak bayinya melangkah mendekat kearah Arlin.“Cari bu Siska ya, Mba?” tanya si ibu sopan.“Ah, iya bu, apa bu Siska pergi ya?” Arlin juga menjawab sopan.“Iya, bu Siska sedang pulang kampung, sudah beberapa hari yang lalu” ujar si ibu tersebut.“Oh, gtu ya bu. Saya gak tau bu. Baik, terimakasih ya bu, permisi” kata Arlin sambil sedikit menundukan kepalanya.“Iya, Mba sama-sama” Arlin mendekat
Kemudian Vardyn mendekati istrinya dan mereka menikmati kebersamaan di malam itu.Hari kepergian Vardyn ke Luar Negeri sedikit berat untuk Arlin, walau suaminya hanya pergi untuk beberapa pekan, tapi tetapi ia akan menjalani hari-harinya dengan sendirian.Arlin menatap punggung Vardyn ketika pria itu sudah akan beranjak ke mobil sedannya setelah sebelumnya mencium dan mengucapkan kata-kata perpisahaan sementara diantara mereka.Dari dalam pintu mobil yang kecanya terbuka, Vardyn menyembulkan kepalanya sambil menoleh ke belakang dan memberi lambaian tangan pada Arlin, sambil memekik agak keras, “Rey akan datang siang ini, sayang. Kau tunggu saja ya. Dah! aku pergi!”“Hah?! tuan Rey akan kesini siang ini?” ekspresi terkejut Arlin tidak sempat di saksikan suaminya, karena sudah berlalu dari sana.Arlin yang masih berdiri di posisinya masih tercengang dengan kata-kata terakhir dari Vardyn. “Dia serius akan mengirim tuan Rey untuk menemaniku”
“Vardyn, aku tahu kau masih memikirkan tentang penabrak mobilmu. Bagaimana jika pelaku penabrak mobilmu ditemukan?, apa yang akan kau lakukan?” tanya Rey.“Entahlah, mungkin aku ingin pelakunya merasakan apa yang aku rasakan. Kehilangan sebuah harapan, merasakan sakit yang mendalam” ujar Vardyn terdengar geram.Rey hanya diam dengan pernyataan sepupunya itu.“Oya Rey, sebenarnya aku ingin meminta tolong padamu, tapi aku khawatir kau tidak akan bersedia”Rey mengerutkan alisnya. “Memangnya kenapa aku harus tidak bersedia?,” tanya Rey penasaran.“Pekan ini aku harus pergi ke Luar Negeri. Ada bisnis yang harus kujalani. Aku khawatir jika meninggalkan Arlin sendirian. Maukah kau menjaganya sementara aku pergi?”“Hah?, apa kau gila Vardyn?!. Dia istrimu, mana mungkin aku menjaganya disini” tolak Rey dengan wajah heran.“Nah, kan. Aku sudah tahu jawabanmu” kata Vardyn datar.“Bukan begitu maksudku. Apa kau yakin istri
Entah darimana datangnya, aliran deras air mata yang tiba-tiba melucur jatuh membasahi selimut Arlin. Wanita itu sudah bisa menerka apa yang terjadi walau dokter belum menjelaskannya.“A-apa itu tentang bayiku dokter?” tanya Arlin, suaranya bergetar diiringi tangis yang mulai membuncah.“Maaf nyonya, iya benar, bayi anda tidak selamat, akibat guncangan hebat maka kandungan anda mengalami pendarahan, dan terpaksa kami harus mengangkat rahim anda karena beberapa resiko yang akan kami jelaskan nanti” jelas dokter yang membuat Arlin memecahkan tangisnya.Arlin menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Dengan segera bu Siska yang sudah mengetahui yang sebenarnya memeluk Arlin dengan erat.Tangisan Arlin tumpah dalam pelukan bu Siska, kini keduanya berduka dan menangis.“yang sabar ya sayang …” hanya itu yang mampu di ucapkan bu Siska dengan isak tangisnya dan suaranya yang bergetar hebat.Sedangkan Arlin hanya lemas dengan air mat