Sudah beberapa hari sejak berita itu muncul, dengan cara yang tidak semestinya bisa menembus sistem yang Julian bangun rapat-rapat.
Sejak malam itu, Julian menjadi berbeda. Tidak sepenuhnya. Ia masih mencium Silvi dengan lembut. Masih menggenggam tangannya setiap malam. Masih tersenyum saat menatapnya.
Tapi tatapannya… terasa jauh sekali. Ia tidak pernah fokus terlalu lama saat Silvi bicara. Pikirannya seperti menolak untuk tinggal. Bahkan tidak sadar ketika Silvi sengaja diam hingga Silvi menyadarkannya. Kadang tangannya terasa dingin. Dan yang paling mencolok, ia tidak pernah benar-benar menatap mata Silvi terlalu lama seperti dulu. Seolah takut Silvi tahu sesuatu jika dia menatap terlalu lama.
Silvi merasakannya. Tapi ia tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya menarik napas panjang dan membiarkan semuanya
Silvi memandangi pintu ruang kerja Julian dengan gelisah. Sejak tadi tidak ada teriakan, tidak ada suara barang-barang yang pecah, tapi udara di sekelilingnya berubah menjadi mencekam sejak Julian masuk ke dalamnya.Silvi mengenal Julian dan Julian, setenang apapun dirinya saat menghadapi masalah, bukanlah orang yang bisa mengambil keputusan tanpa menghancurkan sesuatu yang lainnya. Dan seegois apapun kedengarannya, Silvi takut yang dihancurkan adalah dirinya.Silvi mengangkat tangannya, mengetuk pintu di hadapannya dua kali. Tapi hening. Tidak ada jawaban apapun. Ia akhirnya memutuskan untuk membukanya perlahan. Julian sedang berada di balik mejanya, tangan kirinya mengepal erat di atas meja, sementara tangan kanannya sibuk dengan komputer di hadapannya.“Julian…” Silvi memanggilnya pelan dari ambang pintu, tapi butuh beberapa saat hingga akhirnya pria itu mengangkat kepalanya, memandang Silvi. Tidak ada jawaban.Silvi melangkah mendekat untuk berdiri di samping Julian yang masih ter
Sudah beberapa hari sejak berita itu muncul, dengan cara yang tidak semestinya bisa menembus sistem yang Julian bangun rapat-rapat.Sejak malam itu, Julian menjadi berbeda. Tidak sepenuhnya. Ia masih mencium Silvi dengan lembut. Masih menggenggam tangannya setiap malam. Masih tersenyum saat menatapnya.Tapi tatapannya… terasa jauh sekali. Ia tidak pernah fokus terlalu lama saat Silvi bicara. Pikirannya seperti menolak untuk tinggal. Bahkan tidak sadar ketika Silvi sengaja diam hingga Silvi menyadarkannya. Kadang tangannya terasa dingin. Dan yang paling mencolok, ia tidak pernah benar-benar menatap mata Silvi terlalu lama seperti dulu. Seolah takut Silvi tahu sesuatu jika dia menatap terlalu lama.Silvi merasakannya. Tapi ia tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya menarik napas panjang dan membiarkan semuanya
Mata Julian terpaku pada layar ponsel.Namanya muncul dalam sebuah artikel yang terlihat baru diunggah pagi itu, artikel yang membahas tentang pernikahan Celine dan dirinya yang disebut-sebut akan segera berlangsung. Bahkan ada hitung mundur yang muncul di bagian bawah halaman, seolah acara itu sudah pasti terjadi. Apanya yang semakin dekat? Bukankah ia sudah membatalkannya?Julian menatap layar itu cukup lama. Tangannya mencengkram ponselnya dengan kuat, rahangnya mengeras, tatapannya penuh kemarahan. Ia tahu ini bukan kesalahan media. Ini bukan berita yang tiba-tiba muncul dari udara. Ini jelas disusun dengan begitu baik. Ini bagian dari permainan orang tuanya.Dan dari setiap waktu yang ada, mereka memilih waktu di mana ia baru saja mendapatkan kepercayaan Silvi secara penuh.
Silvi tidak tahu bagaimana semuanya mulai berubah.Mungkin ketika Julian menunduk untuk mencium keningnya, bukan bibirnya, bukan tubuhnya, tapi keningnya. Dengan lembut, dengan sabar. Seolah bagian itu adalah hal yang paling sakral.Atau mungkin saat tangan Julian mendorong tubuhnya pelan untuk berbaring, sebelum bergerak pelan untuk menggenggam tangannya di atas tempat tidur. Erat, tapi masih berusaha memberinya ruang sehingga tidak merasa ada paksaan.Di bawah sinar lampu kamar yang redup dan waktu yang terasa melambat, Julian menyentuhnya lebih dalam dari biasanya. Tidak ada hasrat yang meledak. Tidak ada gerakan yang terburu-buru. Hanya dua manusia yang perlahan-lahan belajar membuka lapisan paling dalam dari diri mereka.
Keesokannya, Silvi bangun ketika matahari sudah tinggi. Saat tangannya menyentuh sisi ranjang yang kemarin malam ditempati oleh Julian, tempat itu sudah dingin. Menandakan bahwa Julian sudah lama meninggalkannya.Tapi sebelum Silvi benar-benar merasa sendirian, suara langkah kaki terdengar dari arah ruang kerja Julian. Pria itu melangkah terburu-buru, meninggalkan semua pekerjaannya untuk mendatangi Silvi.“Kamu sudah bangun.” itu bukan pertanyaan, suaranya lebih seperti sedang memastikan bahwa yang di hadapannya benar adalah Silvi.Ia duduk di tepi ranjang lalu menyentuh pipi Silvi dengan lembut, “Maaf aku ga nunggu kamu bangun dulu.”Silvi menggelengkan kepalanya pelan, “Gapapa,
Julian tidak berbohong saat mengatakan bahwa ia telah menyiapkan semuanya. Karena hal pertama yang menyambut Silvi saat mobil yang dikendarai oleh Julian berhenti adalah sebuah rumah yang cukup mewah. Tidak sebesar rumah keluarganya dulu dan mungkin tidak bisa dibandingkan dengan rumah keluarga Julian. Tapi cukup untuk membuat orang lain bertanya siapa yang tinggal di dalamnya.Silvi memperhatikannya dalam diam. Tanaman yang memenuhi halamannya, cat berwarna putih yang masih terlihat baru, danebranda lantai dua yang telah diisi dengan dua buah kursi dan meja, seolah memanggilnya untuk duduk di sana.Julian yang sudah turun terlebih dahulu, membukakan pintu untuk Silvi, mengulurkan tangannya dengan senyuman yang lembut. “Silvi…”Panggilan itu terdengar halu